PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM
"KAIFA NATA 'AMALU MA'A AL-QUR'ANI"
(BAGAIMANA BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR'AN)
Oleh :
Ria Astika
Banyak orang yang
merasa kebingungan ketika mereka mulai menyadari harus berinteraksi dengan Al
Quran. Di satu sisi meyakini Al Quran adalah kitab berisi petunjuk dan pedoman
kehidupan sehingga mereka berkesimpulan bahwa yang paling penting berinteraksi
dengan Al Quran adalah memahaminya agar dapat diamalkan, namun tidak sedikit
yang berkeyakinan bahwa membaca Al Quran dalam arti membaca rangkaian huruf
demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat adalah semata-mata untuk
nilai ibadah saja tanpa ada beban harus memahaminya walaupun meyakini
pentingnya memahami al Quran tersebut.
Ada juga yang
bersungguh-sungguh menghafalkannya karena memang tidak sedikit
keterangan-keterangan baik dari al Quran maupun sunnah Rasulullah saw yang
menekankan pentingnya menghafal Al Quran. Efek yang buruk dari pemahaman yang
parsial berkaitan dengan tuntutan berinteraksi dengan Al Quran pada
akhirnya mengantarkan seseorang pada sikap saling merendahkan pendapat yang
lain dan mengunggulkan pendapat pribadinya.
Jadi didalam
berinteraksi dengan al-Qur’an harus berjalan secara proposional yakni dengan
cara menghafal, membaca, mendengarkan, menyimak dan memperhatikannya. Tapi
disisi lain manusia harus memahami al-Qur’an dengan penafsiran yang baik dan
sudah ditentukan. Karena allah SWT menurunkan al-Qur’an agar kita mendalaminya,
memamahami rahasia-rahasianya, mengeluarkan karunianya dan masing-masing
menurut kadar kemampuannya.
Untuk menghindari
pemahaman dan penafsiran al-Qur’an, manusia harus mengikuti ilmu penafsiran
yang sudah ditentukan oleh para ulama’ karena didalam penafsiran terdapat celah
yang yang sangat berbahaya terhadap pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sendiri
sehingga a-Qur’an ajaran nantinya al-Qur’an tidak sepenuhnya dijalankan menurut
anjuran Allah SWT.
A. Biografi Yusuf Qardhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah
Qardhawi dilahirkan pada tanggal 9 September
1926 disebuah desa yang bernama Shaftu
Turab, daerah Mahallah al-Kubra Provinsi
al-Garbiyah Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga yang taat beragama
dan hidup sederhana.[1]
Ayahnya adalah seorang petani yang
wafat pada saat Qardhawi berusia dua tahun
sehingga ia dipelihara oleh pamannya dan hidup bergaul dengan
putra putri pamannya yang dianggap sebagai saudara
kandungnya sendiri. Saat berusia sepuluh tahun,
ia belajar pada sekolah al-Ilzamiyah pada pagi
hari dan sore harinya ia belajar al-Quran. Pada usia itu ia telah
hafal al-Quran dan menguasai Ilmu Tilawah.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Tanta
dan menamatkan pendidikannya pada Fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun 1952/1953
dengan predikat terbaik. Setelah itu ia
belajar bahasa Arab selama dua tahun
dan memperoleh ijazah internasional dan sertifikat
mengajar. Tahun 1957 ia melanjutkan karirnya di
Ma’had al-Buhus wa al-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah
(Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban). Tahun 1960 ia
menamatkan studi pada Pascasarjana di Universitas
Azhar dengan konsentrasi Tafsir Hadits. Selanjutnya
Qardhawi berhasil menyelesaikan pendidikannya pada program Doktor
dengan disertasi Fiqh al-Zakah pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude.[2]
Qardhawi memiliki tujuh
anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka,
dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat
dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan
pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.[3]
Salah seorang putrinya
memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya
memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang
ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan
S1-nya di Universitas Texas Amerika.[4]
Anak laki-laki yang
pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar
di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan
kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.[5]
Dilihat dari beragamnya
pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi
terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di
Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang
lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri.
Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian
ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung
kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara
dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
B. Pandangan Yusuf
Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an
Menurut pandangan Yusuf
Qardhawi Al-Qur’an adalah kitab Ilahi yang bersumber asli dari Allah dan
diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman hidup beragama yang memiliki karakteristik dan
tujuan-tujuan utamanya, antara lain adalah:
Pertama, al-Quran sebagai kitab Allah Swt yang mengandung firman-firman-Nya, yang
diberikan kepada penutup para rasul dan nabi-Nya, yaitu Muhammad saw. al-Qur’an
– seratus persen – berasal dari Allah swt kepada Rasul dan Nabi-Nya: Muhammad
saw. melalui wahyu al-Jaliyy ‘wahyu yang jelas’. Yaitu, dengan turunnya
malaikat utusan Allah swt, Jibril a.s. untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada
Rasulullah saw. yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain: seperti
ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa.[6]
Al-Quran tidak
diturunkan Allah sekedar untuk mencari berkah dari membacanya, menjadi hiasan
dinding rumah, atau dibacakan pada orang yang meninggal dunia agar mereka
mendapatkan rahmat dari Allah. Sesungguhnya, Allah menurunkan al-Qur’an untuk
memastikan petunjuk-Nya bagi perjalanan hidup manusia, sehingga kehidupan
mereka dapat diatur dengan petunjuk dan agama yang diturunkan oleh Allah. Dengan cahaya petunjuknya, Allah memberikan
petunjuk kepada umat manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.[7]
Demikianlah al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia.
kedua, al-Qur’an adalah kitab suci
yang terpelihara, Allah sendiri menjamin pemeliharaannya, serta tidak
membebankan hal itu kepada seorangpun. Tidak seperti kitab-kitab suci lainnya,
yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya.[8]
Diantara nikmat Allah
terhadap pemeluk Islam ialah bahwasannya Dia telah menjamin pemeliharaan kitab
suci mereka dari penghapusan, penyimpangan, dan pemalsuan. Allah berfirman:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَ الذِّكْرَ
وَ اِنَّ لَهُ لَحَافِظُوْنَ.
“Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”. (al-Hijr: 9).
Jaminan seperti ini
sesuai dengan hikmah Allah. Sesungguhnya kitab-kitab suci ini berisi
firman-firman Allah yang terakhir untuk mahkluk-Nya, dan tidak ada kitab suci
lagi setelah itu. Tidak ada lagi Nabi setelah Rasulullah saw yang menerima
kitab suci ini. kalau kitab suci ini hilang atau diselewengkan – sebagaimana
yang terjadi pada kitab-kitab suci sebelumnya – maka kehidupan manusia akan
mengalami ketimpangan dan tidak ada timbangan yang bisa dirujuk, dan tidak ada
petunjuk yang diandalkan , serta tidak ada lagi harapan dan tujuan. Setelah wahyu ini turun seluruhnya, maka telah
sempurnalah hubungan antara langit dan bumi melalui al-Qur’an ini.[9]
Ketiga, al-Qur’an adalah kitab suci
yang menjadi mukjizat yang mengandung syarat-syarat kemukjizatan yang dapat
diakui kebenarannya, serta manusia tunduk kepadanya, yaitu:
·
Harus ada tantangan dengan mukjizat itu.
·
Harus mengandung unsur yang dapat mendorong pihak musuh untuk menentang.
·
Tidak ada penghalang bagi orang lain untuk menentangnya.[10]
Dalam hal ini, Allah memberikan tantangan melalui al-Qur’an untuk diuji
kebenarannya, tidak ada penghalang bagi siapapun yang hendak menguji
kemukjizatan al-Qur’an tersebut sehingga manusia itu sendiri yang pada akhirnya
menemukan kebenaran dari kemukjizatan al-Qur’an.
Keempat, al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan dimudahkan
pemahamannya. Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang datang untuk berinteraksi
dengan seluruh macam manusia dan hatinya serta indra dan kalbunya, sehingga ia
menerangi akal manusia, mengguncang hati manusia, memuaskan batin manusia,
menggerakkan kehendak dan mendorong manusia untuk bekerja.[11]
Kelima, al-Qur’an adalah kitab suci
agama seluruhnya, pokok agama, dan ruh wujud Islam. darinya disimpulkan konsep
akidah Islam, tatacara ibadah, tuntunan akhlak, dan pokok-pokok legislasi dan
hukum.[12]
Al-Qur’an berisi pokok-pokok ajaran Islam secara keseluruhan sehingga ia
sendiri adalah kitab suci yang sempurna.
Keenam, al-Qur’an adalah kitab suci
bagi seluruh zaman, yakni ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu
masa tertentu, atau kitab bagi suatu generasi tertentu, yang kemudian habis
masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum al-Qur’an, perintah, dan larangannya,
tidak berlaku secara kontemporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian
habis masanya.[13]
Hal ini pulalah yang membedakan al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya
yang hanya diturunkan kepada umat dan bangsa dalam suatu masa tertentu.
Ketujuh, al-Qur’an adalah kitab suci bagi manusia seluruhnya. Al-Qur’an bukanlah
kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa
yang lain, tidak juga hanya untuk satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah
tertentu, dan tidak pula hanya untuk satu jenis manusia. Juga tidak hanya bagi
kalangan rasional, sementara tidak menyentuh kalangan intuitif dan esoteric
(khusus), dan tidak pula sebaliknya. Tidak hanya untuk kalangan rohaniawan,
sementara tidak menyentuh kalangan materialis, dan begitu juga sebaliknya.[14] Dan
lain sebagainya.
Demikianlah pandangan Yusuf Qardhawi mengenai al-Qur’an yang dijelaskan
dengan tujuh karakteristik yang terkandung di dalamnya. Dengan
karakteristik-karakteristik tersebut al-Qur’an menjadi Kitab Suci yang
menyempurnakan Kitab-kitab Suci sebelumnya, Kitab suci yang terpelihara dan
menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia dengan mukjizatnya yang luar biasa.
C. Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam
“Berinteraksi dengan Al-Qur’an”
Di dalam bukunya Kaifa Nata ‘amalu ma’a al-Qur’ani” yang dalam terjemahan
bahasa Indonesianya berjudul “Berinteraksi dengan al-Qur’an” Yusuf Qardhawi
memiliki pandangan tersendiri bagaimana cara berdialog dengan al-Qur’an. Beliau
membagi tiga cara dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, yaitu: berinteraksi
dengan al-Qur’an menghafal, membaca dan mendengarnya. Berinteraksi dengan
al-Qur’an melalui pemahaman dan tafsir, serta berinteraksi dengan al-Qur’an
dengan mengikuti, mengamalkannya, dan berdakwah, berikut akan dijelaskan ketiga
cara berdialog dengan al-Qur’an tersebut:
1.
Berinteraksi dengan al-Qur’an: Menghafal,
Membaca, dan Mendengarkan
Diantara karakteristik al-Qur’an adalah ia merupakan kitab suci yang mudah
untuk di hafal, diingat, dan dipahami. Allah swt, berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا اْلقُرْءَانَ
لِلذِّ كْرِفَهَلْ مِنْ مُدَّكِرِ.
“Dan sesungguhnya telah Kami
mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
(Q.S.: al-Qamar;17)
Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung
keindahan dan kemudahan untuk menghafal bagi mereka yang ingin mengahafalnya dan
menyimpannya di dalam hati.
Dalam menghafal al-Qur’an, ada etika-etika yang harus diperhatikan. Para
penghafal al-Qur’an mempunyai tugas yang harus dijalankan, sehingga mereka
benar-benar menjadi “keluarga al-Qur’an”.
a.
Selalu Bersama Al-Qur’an
Diantara etika itu adalah selalu bersama al-Qur’an, sehingga al-Qur’an
tidak hilang dari ingatannya. Caranya, dengan terus membacanya melalui hafalan,
dengan membaca dari mushaf, atau mendengarkan pembacaannya dari radio atau kaset
rekaman.[15]
Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ
الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ، إِنَّ عَاهَدَ عَلَيْهَا
أَمْسَكَهَا، وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ.
“Perumpamaan orang yang hafal al-Qur’an seperti
pemilik unta yang terikat. Jika ia terus menjaganya, maka ia dapat terus
memegangnya. Dan, jika ia lepaskan maka ia akan segera pergi.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Penghafal al-Qur’an harus menjadikan al-Qur’an sebagai temannya dalam
kesendiriannya, serta penghiburnya dalam kegelisahannya sehingga ia tidak
berkurang dari hafalannya. Qasim bin Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada
sebagian kaum sufi, “Tidak ada yang menjadi teman dalam kesepianmu disini?”. Ia
mengulurkan tangannya ke mushaf dan meletakkannya di atas batu dan berkata,
“Inilah temanku dalam kesepian.”[16]
Al-Qur’an hanya akan tersimpan dalam hati orang-orang yang senantiasa
menjaganya. Selalu bersama al-Qur’an sebagai teman setianya, sehingga
hafalannya tidak luput dari ingatan dan hatinya.
b.
Berakhlak dengan Akhlak Al-Qur’an
Orang yang menghafal al-Qur’an hendaklah berakhlak dengan akhlak al-Qur’an
seperti halnya Nabi Muhammad saw., Aisyah r.a, pernah ditanya tentang akhlak
Rasulullah saw., ia menjawab:
“Akhlak Nabi saw., adalah al-Qur’an”.
Penghafal al-Qur’an harus menjadi kaca tempat orang dapat melihat akidah
al-Qur’an, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya agar ia membaca
al-Qur’an dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya. Bukan sebaliknya, ia
membaca al-Qur’aan namun ayat-ayat al-Qur’aan melaknatnya.
Abdullah bin Amru mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَقَدْ اسْتَدْرَجَ
النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبَيْهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَايُوْحَى إِلَيْهِ.
لَايَنْبَغِى لِصَاحِبِ الْقُرْآنَ أَنْ يَجِدَ مَعَ مَنْ وَجِدَ، وَلَا يَجْهَلُ
مَعَ مَنْ جَهِلِ، وَفِيْ جَوْفِهِ كَلَامُ اللهِ.
“Siapa yang membaca (menghafal) al-Qur’an, berarti ia telah meningkatkan
kenabian dalam dirinya, hanya saja al-Qur’an tidak diwahyukan langsung
kepadanya. Tidak sepantasnya seorang penghafal al-Qur’an ikut emosi bersama
orang yang emosi, dan ikut bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam
dirinya ada hafalan al-Qur’an.”[17]
c.
Ikhlas dalam Mempelajari Al-Qur’an
Para pengkaji dan penghafal al-Qur’an harus mengikhlaskan niatnya dan
mecari ridha Allah swt semata dalam mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an itu.
Bukan untuk pamer di hadapan manusia dan juga tidak untuk mencari dunia. [18]
Para penghafal al-Qur’an dan penuntut ilmu harus bertakwa kepada Allah swt
dalam dirinya dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya. Sedangkan, perbuatan dan
niat buruk yang pernah terjadi sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertobat dan
kembali kepada Allah swt untuk kemudian memulai dengan keikhlasan dalam
menuntut ilmu dan beramal.[19]
Allah swt. menurunkan
kitab-Nya yang mulia al-Qur’an, agar dibaca oleh lidah-lidah manusia, didengarkan oleh telinga
mereka, ditadaburi oleh akal mereka, dan menjadi ketenangan dalam hati mereka.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. yang mendorong kita untuk
membaca al-Qur’an dengan menjanjikan pahala dan balasan yang besar dengan
membacanya itu.
Allah swt. berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ
كِتَابَ للهِ وَاَقَامُوالصَّلاَةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّاوَّعَلَا
نِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ (٢٩) لِيُوَفَّيَهُمْ اُجُوْرَهُمْ
وَيَزِيْدَ هُمْ مِّنْ فَضْلِهِ اِنَّهُ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ (٣٠)
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab-kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada
mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan
yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka
dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Mensyukuri.” (Faathir: 29-30).
Dalam membaca al-Qur’an
tidak terlepas dari adab, diantara adab atau sikap yang sopan bagi untuk
membaca al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawi.
a.
Membaca al-Qur’an Secara Tartil
Allah swt, berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ
تَرْتِيْلًا.
“Dan engkau bacalah akan al-Qur’an itu, akan sempurna betul bacaan”.
(Q.S. Al-Muzammil: 4).
Menurut Ali bin Abi Thalib, yang dimaksudkan dengan “tartila” dalam ayat
itu, ialah “Tajwid”.[20]
Membaca al-Qur’an tidak sama dengan membaca bahan bacaan lainnya karena ia
adalah kalam Allah swt. Allah swt berfirman.
“Ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Mahabijaksana lagi Mahatahui.” (Hud:
1)
Oleh karena itu, membacanya mempunyai etika zahir dan batin. Di antara
etika-etika zahir adalah membacanya dengan tartil, maka membaca dengan tartil
adalah dengan perlahan-lahan, sambil memperhatikan huruf-huruf dengan barisnya.[21]
Kalam Allah berbeda dengan perkataan siapapun maka dari itu
al-Qur’an harus dibaca dengan tatacara yang benar yaitu dengan jalan tartil.
Harapannya dengan membaca al-Qur’an dengan cara tartil dapat memperjelas huruf
dan harakatnya.
b.
Membaca dengan Irama dan Suara yang Indah
Di antara etika membaca al-Qur’an
yang disepakati oleh para ulama adalah memperbagus suara saat membaca.
Al-Qur’an – tentunya – adalah indah bahkan ia amat indah. Namun, suara yang
indah akan menambah keindahannya sehingga menggerakkan hati dan menggoncangkan
kalbu.
Akan tetapi, ada perbedaan tentang batas melagukan suara itu. Ada ulama
yang ketat, ada yang membebaskan, dan ada yang bersikap pertengahan. Dan sebaik
perkara adalah pertengahannya, tidak baik dalam berlaku berlebihan atau
berkurangan. As-Suyuthi mengatakan disunnahkan untuk memperindah suara dalam
membaca al-Qu’an dan menghiasinya. Dengan landasan hadits Ibnu Hibban dan
lainnya,
“Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian”.[22]
Jika al-Qur’an menjadi ibadah dengan membacany, ia juga menjadi ibadah
dengan mendengarkannya. Pada saat sekarang, kesempatan untuk mendengarkan
al-Qur’an menjadi terbuka luas dari para qari yang bagus dan khusyu, yang
bacaannya menyentuh kalbu. Bacaan mereka telah meyebar dengan perantaraan kaset
rekaman yang dijual dengan harga murah. Juga ada radio yang secara khusus
menyiarkan al-Qur’an di banyak Negara Islam. ini merupakan nikmat Allah swt
bagi manusia.
2.
Berinteraksi dengan al-Qur’an Melalui Pemahaman
dan Tafsir
Mengkaji Al-Qur’an
adalah upaya lanjutan yang dilakukan untuk memahami dan menghayati Al-Qur’an
secara lebih dalam. Pengkajian terhadap Al-Qur’an pada langkah ini dilakukan
dengan mempelajari dan mengkaji secara lebih dalam dan lebih luas lagi.
Pada tahap ini, kita
dituntut tidak hanya untuk memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an secara harfiyah,
tetapi lebih jauh dari itu, yaitu mempelajari penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an. Mempelajari dan memahami penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an akan
menjadikan kita memahami lebih jauh lagi pesan yang terdapat dalam ayat-ayat
itu dan pesan-pesan yang terdapat di balik ayat-ayat itu, dan ini hanya
dapat diperoleh melalui pengkajian yang lebih dalam.
Berikut adalah metode yang dianggap ideal oleh Yusuf Qardhawy dalam
manafsirkan al-Qur’an
a.
Menggabungkan antara Riwayat dan Dirayat
Prinsip pertama manhaj ini
adalah menggabungkan antara riwayat dan dirayah. Jika ada manhaj tafsir yang
berfokus pada riwayat dan atsar, dan ada pula yang berfokus pada dirayah dan
perenungan pemikiran. Maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesiskan
antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul (dalil naql) yang shahih
dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara warisan salaf dan
pengetahuan kaum khalaf.[23]
b.
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Yaitu bahwa ayat al-Qur’an
saling membenarkan antara satu dengan lainnya, dan saling memberikan penafsiran
antara sebagian terhadap sebagian yang lain. bagian al-Qur’an yang dijelaskan
secara umum pada satu tempat akan dijelaskan secara terinci pada tempat lain.
dan bagian yang belum dijelaskan pada satu tempat akan dijelaskan pada tempat
yang lain. [24]
c.
Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah yang sahih
Apabila tidak mendapatkan
penafsirannya pada al-Qur’an maka tafsirkanlah dengan Sunnah Nabi saw karena
sesungguhnya dia memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’i
mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw merupakan
pemahaman yang berasal dari al-Qur’an.[25]
d.
Mempergunakan tafsir Sahabat dan Tabi’in
Kita dapat menerima penafsiran
dari para sahabat ra tertentu, dengan alasan bahwa mereka memiliki keistimewaan
karena ikut menyaksikan sebab dan keterkaitan turunnya satu ayat; mereka
melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar oleh orang lain;
mereka memiliki kedalaman dari segi bahasa saat bahasa itu dipergunakan,
kejernihan pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan yang kuat.
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Apabila tidak ditemukan penafsiran di dalam al-Qur’an dan juga di dalam
Sunnah; serta tidak ditemukan pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini
biasanya para imam merujuk kepada qaul para tabi’in, seperti Mujahid
Ibnu Jabar, karena ia merupakan pakar dalam tafsir.[26]
e.
Mengambil kemutlakan bahasa
Sesungguhnya al-Qur’an
diturunkan: “Dengan bahasa Arab yang jelas”. (asy-Syu’araa: 195).
Oleh sebab itu, kita mesti –
di samping berpedoman pada hal-hal yang telah diebutkan di atas – menafsirkan
lafal sesuai dengan apa yang ditunjukkan dan dipergunakan oleh bahasa Arab,
sesuai dengan kaidah-kaidahnya, serta sesuai dengan balaghah al-Qur’an yang
merupakan mu’jizat.[27]
f.
Memperhatikan konteks kalimat
Sebuah ayat mesti dikaitkan
dengan konteks yang terkandung di dalamnya dan tidak diputus dengan kaitan
sebelum atau sesudah ayat itu, lalu ayat itu dilepaskan sama sekali; agar dapat
mengungkapkan makna yang dikandungnya atau menguatkan hukum yang dimaksudkan
olehnya.[28]
g.
Memperhatikan asbabun nuzul (Sebab turunnya ayat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata bahwa mengetahui asbabun nuzul akan membantu untuk memahami ayat
al-Qur’an , karena ilmu tentang asbabun nuzul
akan mewariskan ilmu tentang musabab (akat al-Qur’an yang diturunkan
berkaitan dengan sebab itu).[29]
h.
Menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam mencari pemahaman.
Orang yang ingin memahami
al-Qur’an dan menafsirkannya harus
mengosongkan dirinya dari keyakinan dan pemikiran-pemikirannya yang sebelumnya,
tidak memaksakan kehendak dirinya terhadap al-Qur’an, dan menafsirkannya dengan
memaksakan agar sesuai dengan pendapat dan kehendaknya, dan mengarahkannya
untuk memperkuat keyakinan yang ia anut, pemikiran yang ia adopsi atau mazhab
yang ia ikuti.[30]
Adapun beberapa peringatan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an menurut
Yusuf qardhawi adalah:
a.
Mengikuti mutasyabihat dan meninggalkan muhkamat
Mengenai pengertian muhkam dan
mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya
adalah sebagai berikut:
1)
Muhkam adalah ayat yang mudah dketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih
hanyalah diketahui oleh Allah sendiri.
2)
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabihat
mengandung banyak wajah.
3)
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[31]
Adapun menurut yusuf qardhawi
yang dimaksud dengan muhkamat ialah ayat-ayat yang telah jelas dengan
sendirinya, tegas, dan terang maknanya, dan tidak mengandung keraguan di dalam
lafalnya, dan dari segi maknanya. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat-ayat
mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung banyak penafsiran, karena serupa
dengan ayat-ayat yang lainnya.[32]
Dalam hal ini, untuk dapat
menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an secara baik dan benar adalah dengan
mengikuti keduanya, yakni muhkamat dan mutasyabih dan tidak mengabaikan salah
satunya.
b.
Takwil yang buruk
Takwil yaitu memalingkan lafaz
dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil. [33]
Bahaya paling besar yang mengancam nash-nash adalah takwil yang buruk
terhadapnya.[34]
Dengan penakwilan yang buruk maka penafsiran tersebut akan mengalami tafsiran
yang jauh berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
c.
Meletakkan nash tidak pada tempatnya
Diantara larangan yang paling
penting yang harus diperhatikan dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, serta
terhadap apa yang dikandung keduanya, dari akidah, syariat, hukum, dan akhlak
adalah meletakkan nash tidak pada tempat yang benar. Ini adalah semacam
penggeseran Kalam Allah swt dari tempatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh
Ahli Kitab sebelum kita.[35]
d.
Dakwaan nasakh dengan tanpa bukti
Diantara rintangan dalam
memamahami al-Qur’an dan menafsirkannya adalah dakwaan adanya nasakh
(penghapusan hukum) suatu ayat al-Qur’an, tanpa adanya bukti yang meyakinkan
yang mewajibkan nasakh itu.[36] oleh
karena itu dalam melakukan dakwaan adanya nasakh maupun mansukh harus menyadurkan
bukti yang kuat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara baik dan benar.
e.
Ketidaktahuan terhadap sunnah dan atsar
Diantara faktor yang
menggelincirkan penafsir dan yang dilarang dalam penafsiran adalah
ketidaktahuan terhadap Sunnah dan atsar, atau tidak memperhatikan keduanya
dengan sengaja.[37]
f.
Mempercayai cerita israiliyat begitu saja
Di antara larangan dalam
tafsir dan yang membuat para penafsir terperosok adalah menerima secara bulat
israiliyat yang memenuhi kitab-kitab tafsir (terutama dalam kitab nabi-nabi dan
kaum beriman dalam al-Qur’an) yang menyelinap ke dalam turats tafsir ini
sehingga merusak wajahnya dan mengeruhkan kemurniannya karena ia mengandung khurafat
dan kebatilan yang berkembang di tengah bangsa Yahudi dan Nasrani, kemudian
mereka ingin mengembangkan dan menyebarkan hal itu di kalangan kaum muslimin.[38]
Adapun disini pentingnya bagi seseorang yang hendak memahami dan menafsirkan
al-Qur’an mempelajari betul-betul sejarah maupun cerita-cerita israiliyat
sehingga tidak mengeruhkan pemahamannya terhadap al-Qur’an.
g.
Menghindar dari konsensus umat
Di antara beberapa pedoman
pokok untuk mencapai pemahaman Islam yang benar, juga untuk memahami teks-teks al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah saw. secara tepat, adalah dengan berpegang pada sesuatu
yang telah menjadi konsensus umat, konsisten terhadap akidah, tasyri’, dan
pemikirannya, berpijak kepada nilai-nilai dan dasar mengikutinya,
mengklasifikasikan adab dan beberapa suluk (jalannya) serta hubungannya.[39]
Dalam hal ini para mufassir maupun orang yang hendak memahami al-Qur’an tidak
boleh menghindari kesepakatan umat selama kesepakatan tersebut tidak keluar
dari konteks syariat yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
h.
Kelemahan kerangka ilmiah
Ulama terdahulu mensyaratkan
bagi seseorang yang menafsirkan al-Qur’an beberapa syarat ilmiah (di samping
syarat yang berdimensi agama dan moral). Di antara beberapa syarat ini adalah
kemampuan bahasa Arab sehingga ia dapat mengetahui maksud (dilalah) kata dan
kalimat, macam-macam dilalah antara hakikat dan majas, sharih dan kinayah.
Demikian juga mengetahui ilmu nahwu dan sharaf, ilmu asal kata (etimologi), dan
ilmu balaghah sehingga tidak tergelincir dalam memahami al-Qur’an.[40]
Demikianlah syarat-syarat yang sudah semestinya dimiliki oleh para mufassir
dalam memahami al-Qur’an.
3.
Berinteraksi dengan al-Qur’an dengan mengikuti,
mengamalkannya, dan berdakwah
1.
Mengikuti al-Qur’an dengan mengamalkannya
Kaum muslimin telah mengetahui semenjak masa sahabat bahwa keberkahan
al-Qur’an bukan dengan jalan membawa, menggantung, dan menjadikannya hiasan di
dinding-dinding. Juga bukan pada acara penyembuhan yang dibacakan oleh seorang
syaikh, atau menulisnya dalam piring lalu diisi air dan diminum airnya. Akan
tetapi, keberkahan al-Qur’an yang sesungguhnya adalah mengikuti (itba’) dan
mengamalkannya.[41]
Hal ini seperti dikatakan oleh al-Qur’an sendiri:
وَهَذَا كِتَبٌ أَنْزَلْنَهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوْهُ وَاتَّقُوْا
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati maka
ikutilah dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. al-An’am: 155).
Jadi, keberkahan seperti disinyalir ayat tersebut adalah mengikutinya dan
takwa kepada Allah dengannya. Dengan demikian rahmat Allah bisa diharapkan
juga.
2.
Al-Qur’an adalan panduan bagi kehidupan manusia
Seyogyanya setiap muslim mengetahui bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an
“untuk menjelaskan segala sesuatu” (an-Nahl: 89), seperti difirmankan
oleh Zat yang menurunkannya (Allah). Ia merupakan pedoman bagi setiap pribadi
dan undang-undang bagi sebuah masyarakat, memang, ia merupakan pedoman praktis
yang menjamin dasar yang mengarah bagi kehidupan pribadi, hubungannya dengan
Tuhannya, hubungannya dengan alam dan kehidupan sekitarnya, hubungannya dengan
dirinya, hubungannya dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat, hubungannya
dengan kaum muslim, hubungannya dengan kaum non muslim, baik yang berdamai
maupun yang memeranginya.[42]
Hubungannya dengan Allah dalam bentuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan
dengan lain-Nya,
قُلْ اِنَّيْ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ (١١) وَاُمِرْتُ لِاَنْ اَكُوْنَ
اَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ (١٢) قُلْ اِنِّيْ اَخَافُ اِنْ عَصَيْتُ رَبِّيْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ (١٣) قُلِ اللهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا
لَّهُ دِيْنِيْ (١٤) فَاعْبُدُوْا مَا شِئْتُمْ مِّنْ دُوْنِهِ قُلْ اِنَّ الْخَسِرِيْنَ الَّذِ
يْنَ خَسِرُوْآ اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلَا ذَلِكَ هُوَ
الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ(١٥)
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku
diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri,
‘Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika
akudurhaka kepada Tuhanku.’ Katakanlah, “Hanya Allah saja yang aku sembah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka
sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.
Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri dan keluarga pada hari kiamat. ‘Ingatlah, yang
demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 11-15).
3.
Al-Qur’an adalah konstitusi politik pemerintahan
Pemberlakuan hukum (semua yang diturunkan oleh Allah) merupakan keharusan.
Dalam logika keimanan, tidak boleh menerima sebagian hukum yang diturunkan
Allah dan menolak sebagian yang lain. dengan ini maka perlu diwaspadai orang-orang
yang berusaha menyelewengkan sebagian hukum yang diturunkan Allah sehingga
tidak sampai terjadi sebagaimana Ahli Kitab yang mempercayai sebagian isi Kitab
Suci dan mengingkari sebagian lainnya.[43]
4.
Al-Qur’an adalah konstitusi dakwah
Al-Qur’an mempunyai tugas lain dalam kehidupan islami, di samping fungsinya
sebagai metode aktivitas bagi kehidupan pribadi muslim, undang-undang hukum dan
tasyri’ bagi masyarakat muslim atupun bagi Negara muslim, yaitu sebagai perundang-undangan dakkwah
islamiyah.[44]
Demikian pula kesempatan pertama yang diberikan oleh Rasulullah adalah
mengirim utusan untuk menyampaikan beberapa surat beliau kepada para raja level
dunia beserta para penguasa-penguasanya: mereka adalah Kaisar romawi, Kaisar
Persia, Najasyi-al-Habsyi, penguasa Syam, Mesir, dan lain-lainnya. Beliau
mengajak mereka untuk masuk Islam agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.[45]
Al-Qur’an telah mendeklarasikan keuniversalitasan dakwahnya. Juga
Rasulullah telah mendeklarasikan keuniversalitasan risalahnya, yaitu risalah
yang universal di semua tempat, konstan di segala zaman, dan komprehensif
meliputi semua problematika manusia.
5.
Keharusan beriman dengan kitab secara keseluruhan
Keimanan seorang muslim belumlah dianggap sejati sebelum beriman dengan
al-Qur’an. Bahkan, tidaklah sempurna keimanannya kecuali jika telah beriman
kepada semua kitab suci Allah. Keimanan terhadap al-Qur’an adalah keimanan
terhadap semua yang tersurat dan tersirat, baik tentang, baik tentang akidah
maupun beberapa pemahaman, ritual dan siar, moral dan adab, serta syariat dan
muamalah.
Seorang muslim tidak boleh mengatakan, “Kami mengambil al-Qur’an tentang
akidah saja dan tidak mengambilnya tentang akhlak.” Atau mengatakan, “Kami
mengambilnya dalam bidang ibada dan tidak mengambil dalam bidang muamalah”.
Atau, “Kami mengambilnya dalam dimensi spiritual dan tidak mengambilnya dalam
dimensi ekonomi, politik, atau perundang-undangan bagi berbagai urusan
kehidupan.”[46]
6.
Memperhatikan segala sesuatu sesuai dengan kadar perhatian al-Qur’an
terhadapnya
Adapun sesuatu yang menjadi perhatian al-Qur’an – sesuai dengan ia
mengulang-ulang dan menekankannya dalam banyak banyak surat, moment, dan uslub
– menunjukkan dengan jelas bahwa hal itu adalah mempunyai perhatian dan
kedudukan tersendiri dalam agama dan kehidupan. Hal ini mengharuskan berpaling
(menghadap) kepadanya, memperhatikannya, memberikan haknya dari angan-angan,
perhatian, pemikiran, kecenderungan, dan pengamalan sesuai dengan kapasitasnya
dalam al-Qur’an.[47]
Adapun sesuatu yang dibiarkan oleh al-Qur’an tidak menyebutkannya baik
dalam ayat Makiyah maupun Madaaniyah adalah menunjukkan bahwa ia tidak
merupakan pilar-pilar agama, juga bukan asasnya. Karena, al-Qur’an telah berisi
semua yang berhubungan dengan asas agama, bahkan memisahkan daalam bagiannya.[48]
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:
“…, Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (an-Nahl: 89).
Demikianlah
pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai cara berinteraksi dengan al-Qur’an. Al-Qur’an
bukan hanya sekedar dibaca dan dijadikan hiasan di rumah-rumah. Al-Qur’an akan
terasa keberkahannya melalui cara-cara berinteraksi yang baik dengannya
sebagaimana yang telah dijelaskan. Dengan begitu maka al-Qur’an akan senantiasa
menjadi cahaya dalam perjalanan kehidupan manusia.
[3] Rokhim, Pemikiran Yusuf Qardhawi “Bagaimana
Berinteraksi dengan al-Qur’an”, (online) diakses melalui http://www.rokhim.net, tanggal akses. 13 November 2014.
[7]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah; Referensi Tertinggi Ummat
Islam, (Jakarta_ Robbani Press: 1997),hlm. 19.
[20] Ismail tekan, Tajwid al-Qur’anul Karim: Pembahasan Secara Praktis,
Populer dan Sistematis, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2005),hlm. 13.
[27] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 55
[31] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2012), hlm. 305-306.
[33] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. 4, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm. 39