Rabu, 19 November 2014

PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM "KAIFA NATA 'AMALU MA'A AL-QUR'ANI"



PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM
"KAIFA NATA 'AMALU MA'A AL-QUR'ANI"
(BAGAIMANA BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR'AN)
Oleh :
Ria Astika



Banyak orang yang merasa kebingungan ketika mereka mulai menyadari harus berinteraksi dengan Al Quran. Di satu sisi meyakini Al Quran adalah kitab berisi petunjuk dan pedoman kehidupan sehingga mereka berkesimpulan bahwa yang paling penting berinteraksi dengan Al Quran adalah memahaminya agar dapat diamalkan, namun tidak sedikit yang berkeyakinan bahwa membaca Al Quran dalam arti membaca rangkaian huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat adalah semata-mata untuk nilai ibadah saja tanpa ada beban harus memahaminya walaupun meyakini pentingnya memahami al Quran tersebut.
Ada juga yang bersungguh-sungguh menghafalkannya karena memang tidak sedikit keterangan-keterangan baik dari al Quran maupun sunnah Rasulullah saw yang menekankan pentingnya menghafal Al Quran. Efek yang buruk dari pemahaman yang parsial  berkaitan dengan tuntutan berinteraksi dengan Al Quran pada akhirnya mengantarkan seseorang pada sikap saling merendahkan pendapat yang lain dan mengunggulkan pendapat pribadinya.
Jadi didalam berinteraksi dengan al-Qur’an harus berjalan secara proposional yakni dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan, menyimak dan memperhatikannya. Tapi disisi lain manusia harus memahami al-Qur’an dengan penafsiran yang baik dan sudah ditentukan. Karena allah SWT menurunkan al-Qur’an agar kita mendalaminya, memamahami rahasia-rahasianya, mengeluarkan karunianya dan masing-masing menurut kadar kemampuannya.
Untuk menghindari pemahaman dan penafsiran al-Qur’an, manusia harus mengikuti ilmu penafsiran yang sudah ditentukan oleh para ulama’ karena didalam penafsiran terdapat celah yang yang sangat berbahaya terhadap pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sendiri sehingga a-Qur’an ajaran nantinya al-Qur’an tidak sepenuhnya dijalankan menurut anjuran Allah SWT.



A.  Biografi Yusuf Qardhawi
Nama  lengkapnya  adalah  Yusuf  Abdullah  Qardhawi dilahirkan  pada  tanggal  9  September  1926  disebuah  desa  yang bernama  Shaftu  Turab,  daerah  Mahallah  al-Kubra  Provinsi  al-Garbiyah Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga yang taat  beragama dan hidup sederhana.[1]
Ayahnya  adalah  seorang  petani  yang  wafat  pada  saat Qardhawi  berusia  dua  tahun sehingga  ia  dipelihara  oleh pamannya dan hidup bergaul dengan putra putri pamannya yang  dianggap sebagai  saudara  kandungnya  sendiri.  Saat  berusia sepuluh  tahun,  ia  belajar  pada  sekolah al-Ilzamiyah pada  pagi  hari dan sore harinya ia belajar  al-Quran. Pada usia itu  ia telah hafal  al-Quran  dan  menguasai  Ilmu  Tilawah.  Kemudian  ia melanjutkan  pendidikannya  ke  Tanta  dan  menamatkan pendidikannya  pada  Fakultas  Ushuluddin  Universitas  al-Azhar pada  tahun 1952/1953  dengan  predikat  terbaik.  Setelah  itu  ia belajar  bahasa  Arab  selama  dua  tahun  dan  memperoleh ijazah internasional  dan  sertifikat  mengajar.  Tahun  1957  ia melanjutkan  karirnya  di Ma’had  al-Buhus  wa  al-Dirasat  al-Arabiyah al-Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban). Tahun  1960  ia  menamatkan  studi  pada  Pascasarjana  di Universitas  Azhar  dengan  konsentrasi  Tafsir  Hadits. Selanjutnya Qardhawi  berhasil  menyelesaikan pendidikannya pada program Doktor dengan disertasi Fiqh al-Zakah pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude.[2]
Qardhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.[3]
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.[4]
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.[5]
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
B.  Pandangan Yusuf Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an
Menurut pandangan Yusuf Qardhawi Al-Qur’an adalah kitab Ilahi yang bersumber asli dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman hidup beragama yang memiliki karakteristik dan tujuan-tujuan utamanya, antara lain adalah:
Pertama, al-Quran sebagai kitab Allah Swt yang mengandung firman-firman-Nya, yang diberikan kepada penutup para rasul dan nabi-Nya, yaitu Muhammad saw. al-Qur’an – seratus persen – berasal dari Allah swt kepada Rasul dan Nabi-Nya: Muhammad saw. melalui wahyu al-Jaliyy ‘wahyu yang jelas’. Yaitu, dengan turunnya malaikat utusan Allah swt, Jibril a.s. untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada Rasulullah saw. yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain: seperti ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa.[6]  
Al-Quran tidak diturunkan Allah sekedar untuk mencari berkah dari membacanya, menjadi hiasan dinding rumah, atau dibacakan pada orang yang meninggal dunia agar mereka mendapatkan rahmat dari Allah. Sesungguhnya, Allah menurunkan al-Qur’an untuk memastikan petunjuk-Nya bagi perjalanan hidup manusia, sehingga kehidupan mereka dapat diatur dengan petunjuk dan agama yang diturunkan oleh Allah. Dengan cahaya petunjuknya, Allah memberikan petunjuk kepada umat manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.[7] Demikianlah al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia.
kedua, al-Qur’an adalah kitab suci yang terpelihara, Allah sendiri menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu kepada seorangpun. Tidak seperti kitab-kitab suci lainnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya.[8]
Diantara nikmat Allah terhadap pemeluk Islam ialah bahwasannya Dia telah menjamin pemeliharaan kitab suci mereka dari penghapusan, penyimpangan, dan pemalsuan. Allah berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَ الذِّكْرَ وَ اِنَّ لَهُ لَحَافِظُوْنَ.
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (al-Hijr: 9).

Jaminan seperti ini sesuai dengan hikmah Allah. Sesungguhnya kitab-kitab suci ini berisi firman-firman Allah yang terakhir untuk mahkluk-Nya, dan tidak ada kitab suci lagi setelah itu. Tidak ada lagi Nabi setelah Rasulullah saw yang menerima kitab suci ini. kalau kitab suci ini hilang atau diselewengkan – sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab suci sebelumnya – maka kehidupan manusia akan mengalami ketimpangan dan tidak ada timbangan yang bisa dirujuk, dan tidak ada petunjuk yang diandalkan , serta tidak ada lagi harapan dan tujuan. Setelah wahyu ini turun seluruhnya, maka telah sempurnalah hubungan antara langit dan bumi melalui al-Qur’an ini.[9]
Ketiga, al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi mukjizat yang mengandung syarat-syarat kemukjizatan yang dapat diakui kebenarannya, serta manusia tunduk kepadanya, yaitu:
·         Harus ada tantangan dengan mukjizat itu.
·         Harus mengandung unsur yang dapat mendorong pihak musuh untuk menentang.
·         Tidak ada penghalang bagi orang lain untuk menentangnya.[10]
Dalam hal ini, Allah memberikan tantangan melalui al-Qur’an untuk diuji kebenarannya, tidak ada penghalang bagi siapapun yang hendak menguji kemukjizatan al-Qur’an tersebut sehingga manusia itu sendiri yang pada akhirnya menemukan kebenaran dari kemukjizatan al-Qur’an.
Keempat, al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan dimudahkan pemahamannya. Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang datang untuk berinteraksi dengan seluruh macam manusia dan hatinya serta indra dan kalbunya, sehingga ia menerangi akal manusia, mengguncang hati manusia, memuaskan batin manusia, menggerakkan kehendak dan mendorong manusia untuk bekerja.[11]
Kelima, al-Qur’an adalah kitab suci agama seluruhnya, pokok agama, dan ruh wujud Islam. darinya disimpulkan konsep akidah Islam, tatacara ibadah, tuntunan akhlak, dan pokok-pokok legislasi dan hukum.[12] Al-Qur’an berisi pokok-pokok ajaran Islam secara keseluruhan sehingga ia sendiri adalah kitab suci yang sempurna.
Keenam, al-Qur’an adalah kitab suci bagi seluruh zaman, yakni ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa tertentu, atau kitab bagi suatu generasi tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum al-Qur’an, perintah, dan larangannya, tidak berlaku secara kontemporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.[13] Hal ini pulalah yang membedakan al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang hanya diturunkan kepada umat dan bangsa dalam suatu masa tertentu.
Ketujuh, al-Qur’an adalah kitab suci bagi manusia seluruhnya. Al-Qur’an bukanlah kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain, tidak juga hanya untuk satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah tertentu, dan tidak pula hanya untuk satu jenis manusia. Juga tidak hanya bagi kalangan rasional, sementara tidak menyentuh kalangan intuitif dan esoteric (khusus), dan tidak pula sebaliknya. Tidak hanya untuk kalangan rohaniawan, sementara tidak menyentuh kalangan materialis, dan begitu juga sebaliknya.[14] Dan lain sebagainya.
Demikianlah pandangan Yusuf Qardhawi mengenai al-Qur’an yang dijelaskan dengan tujuh karakteristik yang terkandung di dalamnya. Dengan karakteristik-karakteristik tersebut al-Qur’an menjadi Kitab Suci yang menyempurnakan Kitab-kitab Suci sebelumnya, Kitab suci yang terpelihara dan menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia dengan mukjizatnya yang luar biasa.
C.  Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam “Berinteraksi dengan Al-Qur’an”
Di dalam bukunya Kaifa Nata ‘amalu ma’a al-Qur’ani” yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya berjudul “Berinteraksi dengan al-Qur’an” Yusuf Qardhawi memiliki pandangan tersendiri bagaimana cara berdialog dengan al-Qur’an. Beliau membagi tiga cara dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, yaitu: berinteraksi dengan al-Qur’an menghafal, membaca dan mendengarnya. Berinteraksi dengan al-Qur’an melalui pemahaman dan tafsir, serta berinteraksi dengan al-Qur’an dengan mengikuti, mengamalkannya, dan berdakwah, berikut akan dijelaskan ketiga cara berdialog dengan al-Qur’an tersebut:

1.    Berinteraksi dengan al-Qur’an: Menghafal, Membaca, dan Mendengarkan
   Diantara karakteristik al-Qur’an adalah ia merupakan kitab suci yang mudah untuk di hafal, diingat, dan dipahami. Allah swt, berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا اْلقُرْءَانَ لِلذِّ كْرِفَهَلْ مِنْ مُدَّكِرِ.
   Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S.: al-Qamar;17)
   Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung keindahan dan kemudahan untuk menghafal bagi mereka yang ingin mengahafalnya dan menyimpannya di dalam hati.
Dalam menghafal al-Qur’an, ada etika-etika yang harus diperhatikan. Para penghafal al-Qur’an mempunyai tugas yang harus dijalankan, sehingga mereka benar-benar menjadi “keluarga al-Qur’an”.
a.       Selalu Bersama Al-Qur’an
Diantara etika itu adalah selalu bersama al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tidak hilang dari ingatannya. Caranya, dengan terus membacanya melalui hafalan, dengan membaca dari mushaf, atau mendengarkan pembacaannya dari radio atau kaset rekaman.[15]
Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ، إِنَّ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ.
Perumpamaan orang yang hafal al-Qur’an seperti pemilik unta yang terikat. Jika ia terus menjaganya, maka ia dapat terus memegangnya. Dan, jika ia lepaskan maka ia akan segera pergi.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Penghafal al-Qur’an harus menjadikan al-Qur’an sebagai temannya dalam kesendiriannya, serta penghiburnya dalam kegelisahannya sehingga ia tidak berkurang dari hafalannya. Qasim bin Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada sebagian kaum sufi, “Tidak ada yang menjadi teman dalam kesepianmu disini?”. Ia mengulurkan tangannya ke mushaf dan meletakkannya di atas batu dan berkata, “Inilah temanku dalam kesepian.”[16]
Al-Qur’an hanya akan tersimpan dalam hati orang-orang yang senantiasa menjaganya. Selalu bersama al-Qur’an sebagai teman setianya, sehingga hafalannya tidak luput dari ingatan dan hatinya.
b.      Berakhlak dengan Akhlak Al-Qur’an
Orang yang menghafal al-Qur’an hendaklah berakhlak dengan akhlak al-Qur’an seperti halnya Nabi Muhammad saw., Aisyah r.a, pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab:
Akhlak Nabi saw., adalah al-Qur’an”.
Penghafal al-Qur’an harus menjadi kaca tempat orang dapat melihat akidah al-Qur’an, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya agar ia membaca al-Qur’an dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya. Bukan sebaliknya, ia membaca al-Qur’aan namun ayat-ayat al-Qur’aan melaknatnya.
Abdullah bin Amru mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
   مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَقَدْ اسْتَدْرَجَ النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبَيْهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَايُوْحَى إِلَيْهِ. لَايَنْبَغِى لِصَاحِبِ الْقُرْآنَ أَنْ يَجِدَ مَعَ مَنْ وَجِدَ، وَلَا يَجْهَلُ مَعَ مَنْ جَهِلِ، وَفِيْ جَوْفِهِ كَلَامُ اللهِ.     
Siapa yang membaca (menghafal) al-Qur’an, berarti ia telah meningkatkan kenabian dalam dirinya, hanya saja al-Qur’an tidak diwahyukan langsung kepadanya. Tidak sepantasnya seorang penghafal al-Qur’an ikut emosi bersama orang yang emosi, dan ikut bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam dirinya ada hafalan al-Qur’an.”[17]
c.       Ikhlas dalam Mempelajari Al-Qur’an
Para pengkaji dan penghafal al-Qur’an harus mengikhlaskan niatnya dan mecari ridha Allah swt semata dalam mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an itu. Bukan untuk pamer di hadapan manusia dan juga tidak untuk mencari dunia. [18]
Para penghafal al-Qur’an dan penuntut ilmu harus bertakwa kepada Allah swt dalam dirinya dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya. Sedangkan, perbuatan dan niat buruk yang pernah terjadi sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertobat dan kembali kepada Allah swt untuk kemudian memulai dengan keikhlasan dalam menuntut ilmu dan beramal.[19]
Allah swt. menurunkan kitab-Nya yang mulia al-Qur’an, agar dibaca oleh lidah-lidah manusia, didengarkan oleh telinga mereka, ditadaburi oleh akal mereka, dan menjadi ketenangan dalam hati mereka.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. yang mendorong kita untuk membaca al-Qur’an dengan menjanjikan pahala dan balasan yang besar dengan membacanya itu.
Allah swt. berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتَابَ للهِ وَاَقَامُوالصَّلاَةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّاوَّعَلَا نِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ (٢٩) لِيُوَفَّيَهُمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدَ هُمْ مِّنْ فَضْلِهِ اِنَّهُ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ (٣٠)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab-kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Faathir: 29-30).
Dalam membaca al-Qur’an tidak terlepas dari adab, diantara adab atau sikap yang sopan bagi untuk membaca al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawi.
a.       Membaca al-Qur’an Secara Tartil
Allah swt, berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا.
Dan engkau bacalah akan al-Qur’an itu, akan sempurna betul bacaan”. (Q.S. Al-Muzammil: 4).
Menurut Ali bin Abi Thalib, yang dimaksudkan dengan “tartila” dalam ayat itu, ialah “Tajwid”.[20]
Membaca al-Qur’an tidak sama dengan membaca bahan bacaan lainnya karena ia adalah kalam Allah swt. Allah swt berfirman.
Ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Mahabijaksana lagi Mahatahui.” (Hud: 1)
Oleh karena itu, membacanya mempunyai etika zahir dan batin. Di antara etika-etika zahir adalah membacanya dengan tartil, maka membaca dengan tartil adalah dengan perlahan-lahan, sambil memperhatikan huruf-huruf dengan barisnya.[21]
Kalam Allah berbeda dengan perkataan siapapun maka dari itu al-Qur’an harus dibaca dengan tatacara yang benar yaitu dengan jalan tartil. Harapannya dengan membaca al-Qur’an dengan cara tartil dapat memperjelas huruf dan harakatnya. 
b.      Membaca dengan Irama dan Suara yang Indah
   Di antara etika membaca al-Qur’an yang disepakati oleh para ulama adalah memperbagus suara saat membaca. Al-Qur’an – tentunya – adalah indah bahkan ia amat indah. Namun, suara yang indah akan menambah keindahannya sehingga menggerakkan hati dan menggoncangkan kalbu.
Akan tetapi, ada perbedaan tentang batas melagukan suara itu. Ada ulama yang ketat, ada yang membebaskan, dan ada yang bersikap pertengahan. Dan sebaik perkara adalah pertengahannya, tidak baik dalam berlaku berlebihan atau berkurangan. As-Suyuthi mengatakan disunnahkan untuk memperindah suara dalam membaca al-Qu’an dan menghiasinya. Dengan landasan hadits Ibnu Hibban dan lainnya,
Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian”.[22]
Jika al-Qur’an menjadi ibadah dengan membacany, ia juga menjadi ibadah dengan mendengarkannya. Pada saat sekarang, kesempatan untuk mendengarkan al-Qur’an menjadi terbuka luas dari para qari yang bagus dan khusyu, yang bacaannya menyentuh kalbu. Bacaan mereka telah meyebar dengan perantaraan kaset rekaman yang dijual dengan harga murah. Juga ada radio yang secara khusus menyiarkan al-Qur’an di banyak Negara Islam. ini merupakan nikmat Allah swt bagi manusia.
2.      Berinteraksi dengan al-Qur’an Melalui Pemahaman dan Tafsir
Mengkaji Al-Qur’an adalah upaya lanjutan yang dilakukan untuk memahami dan menghayati Al-Qur’an secara lebih dalam. Pengkajian terhadap Al-Qur’an pada langkah ini dilakukan dengan mempelajari dan mengkaji secara lebih dalam dan lebih luas lagi.
Pada tahap ini, kita dituntut tidak hanya untuk memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an secara harfiyah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu  mempelajari penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Mempelajari dan memahami penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an akan menjadikan kita memahami lebih jauh lagi pesan yang terdapat dalam ayat-ayat itu dan pesan-pesan yang terdapat di balik ayat-ayat itu, dan ini  hanya dapat diperoleh melalui pengkajian yang lebih dalam.
Berikut adalah metode yang dianggap ideal oleh Yusuf Qardhawy dalam manafsirkan al-Qur’an
a.    Menggabungkan antara Riwayat dan Dirayat
Prinsip pertama manhaj ini adalah menggabungkan antara riwayat dan dirayah. Jika ada manhaj tafsir yang berfokus pada riwayat dan atsar, dan ada pula yang berfokus pada dirayah dan perenungan pemikiran. Maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesiskan antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul (dalil naql) yang shahih dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara warisan salaf dan pengetahuan kaum khalaf.[23]
b.    Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Yaitu bahwa ayat al-Qur’an saling membenarkan antara satu dengan lainnya, dan saling memberikan penafsiran antara sebagian terhadap sebagian yang lain. bagian al-Qur’an yang dijelaskan secara umum pada satu tempat akan dijelaskan secara terinci pada tempat lain. dan bagian yang belum dijelaskan pada satu tempat akan dijelaskan pada tempat yang lain. [24]
c.    Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah yang sahih
Apabila tidak mendapatkan penafsirannya pada al-Qur’an maka tafsirkanlah dengan Sunnah Nabi saw karena sesungguhnya dia memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur’an.[25]


d.   Mempergunakan tafsir Sahabat dan Tabi’in
Kita dapat menerima penafsiran dari para sahabat ra tertentu, dengan alasan bahwa mereka memiliki keistimewaan karena ikut menyaksikan sebab dan keterkaitan turunnya satu ayat; mereka melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar oleh orang lain; mereka memiliki kedalaman dari segi bahasa saat bahasa itu dipergunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan yang kuat.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Apabila tidak ditemukan penafsiran di dalam al-Qur’an dan juga di dalam Sunnah; serta tidak ditemukan pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini biasanya para imam merujuk kepada qaul para tabi’in, seperti Mujahid Ibnu Jabar, karena ia merupakan pakar dalam tafsir.[26]
e.    Mengambil kemutlakan bahasa
Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan: “Dengan bahasa Arab yang jelas”. (asy-Syu’araa: 195).
Oleh sebab itu, kita mesti – di samping berpedoman pada hal-hal yang telah diebutkan di atas – menafsirkan lafal sesuai dengan apa yang ditunjukkan dan dipergunakan oleh bahasa Arab, sesuai dengan kaidah-kaidahnya, serta sesuai dengan balaghah al-Qur’an yang merupakan mu’jizat.[27]
f.     Memperhatikan konteks kalimat
Sebuah ayat mesti dikaitkan dengan konteks yang terkandung di dalamnya dan tidak diputus dengan kaitan sebelum atau sesudah ayat itu, lalu ayat itu dilepaskan sama sekali; agar dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya atau menguatkan hukum yang dimaksudkan olehnya.[28]
g.    Memperhatikan asbabun nuzul (Sebab turunnya ayat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengetahui asbabun nuzul akan membantu untuk memahami ayat al-Qur’an , karena ilmu tentang asbabun nuzul  akan mewariskan ilmu tentang musabab (akat al-Qur’an yang diturunkan berkaitan dengan sebab itu).[29]
h.    Menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam mencari pemahaman.
Orang yang ingin memahami al-Qur’an  dan menafsirkannya harus mengosongkan dirinya dari keyakinan dan pemikiran-pemikirannya yang sebelumnya, tidak memaksakan kehendak dirinya terhadap al-Qur’an, dan menafsirkannya dengan memaksakan agar sesuai dengan pendapat dan kehendaknya, dan mengarahkannya untuk memperkuat keyakinan yang ia anut, pemikiran yang ia adopsi atau mazhab yang ia ikuti.[30]
Adapun beberapa peringatan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an menurut Yusuf qardhawi adalah:
a.    Mengikuti mutasyabihat dan meninggalkan muhkamat
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Muhkam adalah ayat yang mudah dketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui oleh Allah sendiri.
2)      Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabihat mengandung banyak wajah.
3)      Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[31]
Adapun menurut yusuf qardhawi yang dimaksud dengan muhkamat ialah ayat-ayat yang telah jelas dengan sendirinya, tegas, dan terang maknanya, dan tidak mengandung keraguan di dalam lafalnya, dan dari segi maknanya. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung banyak penafsiran, karena serupa dengan ayat-ayat  yang lainnya.[32]
Dalam hal ini, untuk dapat menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an secara baik dan benar adalah dengan mengikuti keduanya, yakni muhkamat dan mutasyabih dan tidak mengabaikan salah satunya.
b.    Takwil yang buruk
Takwil yaitu memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil. [33] Bahaya paling besar yang mengancam nash-nash adalah takwil yang buruk terhadapnya.[34] Dengan penakwilan yang buruk maka penafsiran tersebut akan mengalami tafsiran yang jauh berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
c.    Meletakkan nash tidak pada tempatnya
Diantara larangan yang paling penting yang harus diperhatikan dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, serta terhadap apa yang dikandung keduanya, dari akidah, syariat, hukum, dan akhlak adalah meletakkan nash tidak pada tempat yang benar. Ini adalah semacam penggeseran Kalam Allah swt dari tempatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ahli Kitab sebelum kita.[35]
d.   Dakwaan nasakh dengan tanpa bukti
Diantara rintangan dalam memamahami al-Qur’an dan menafsirkannya adalah dakwaan adanya nasakh (penghapusan hukum) suatu ayat al-Qur’an, tanpa adanya bukti yang meyakinkan yang mewajibkan nasakh itu.[36] oleh karena itu dalam melakukan dakwaan adanya nasakh maupun mansukh harus menyadurkan bukti yang kuat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara baik dan benar.
e.    Ketidaktahuan terhadap sunnah dan atsar
Diantara faktor yang menggelincirkan penafsir dan yang dilarang dalam penafsiran adalah ketidaktahuan terhadap Sunnah dan atsar, atau tidak memperhatikan keduanya dengan sengaja.[37]

f.     Mempercayai cerita israiliyat begitu saja
Di antara larangan dalam tafsir dan yang membuat para penafsir terperosok adalah menerima secara bulat israiliyat yang memenuhi kitab-kitab tafsir (terutama dalam kitab nabi-nabi dan kaum beriman dalam al-Qur’an) yang menyelinap ke dalam turats tafsir ini sehingga merusak wajahnya dan mengeruhkan kemurniannya karena ia mengandung khurafat dan kebatilan yang berkembang di tengah bangsa Yahudi dan Nasrani, kemudian mereka ingin mengembangkan dan menyebarkan hal itu di kalangan kaum muslimin.[38] Adapun disini pentingnya bagi seseorang yang hendak memahami dan menafsirkan al-Qur’an mempelajari betul-betul sejarah maupun cerita-cerita israiliyat sehingga tidak mengeruhkan pemahamannya terhadap al-Qur’an.
g.    Menghindar dari konsensus umat
Di antara beberapa pedoman pokok untuk mencapai pemahaman Islam yang benar, juga untuk memahami teks-teks al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. secara tepat, adalah dengan berpegang pada sesuatu yang telah menjadi konsensus umat, konsisten terhadap akidah, tasyri’, dan pemikirannya, berpijak kepada nilai-nilai dan dasar mengikutinya, mengklasifikasikan adab dan beberapa suluk (jalannya) serta hubungannya.[39] Dalam hal ini para mufassir maupun orang yang hendak memahami al-Qur’an tidak boleh menghindari kesepakatan umat selama kesepakatan tersebut tidak keluar dari konteks syariat yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
h.    Kelemahan kerangka ilmiah
Ulama terdahulu mensyaratkan bagi seseorang yang menafsirkan al-Qur’an beberapa syarat ilmiah (di samping syarat yang berdimensi agama dan moral). Di antara beberapa syarat ini adalah kemampuan bahasa Arab sehingga ia dapat mengetahui maksud (dilalah) kata dan kalimat, macam-macam dilalah antara hakikat dan majas, sharih dan kinayah. Demikian juga mengetahui ilmu nahwu dan sharaf, ilmu asal kata (etimologi), dan ilmu balaghah sehingga tidak tergelincir dalam memahami al-Qur’an.[40] Demikianlah syarat-syarat yang sudah semestinya dimiliki oleh para mufassir dalam memahami al-Qur’an.

3.      Berinteraksi dengan al-Qur’an dengan mengikuti, mengamalkannya, dan berdakwah
1.      Mengikuti al-Qur’an dengan mengamalkannya
Kaum muslimin telah mengetahui semenjak masa sahabat bahwa keberkahan al-Qur’an bukan dengan jalan membawa, menggantung, dan menjadikannya hiasan di dinding-dinding. Juga bukan pada acara penyembuhan yang dibacakan oleh seorang syaikh, atau menulisnya dalam piring lalu diisi air dan diminum airnya. Akan tetapi, keberkahan al-Qur’an yang sesungguhnya adalah mengikuti (itba’) dan mengamalkannya.[41] Hal ini seperti dikatakan oleh al-Qur’an sendiri:
وَهَذَا كِتَبٌ أَنْزَلْنَهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوْهُ وَاتَّقُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati maka ikutilah dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. al-An’am: 155).
Jadi, keberkahan seperti disinyalir ayat tersebut adalah mengikutinya dan takwa kepada Allah dengannya. Dengan demikian rahmat Allah bisa diharapkan juga.
2.      Al-Qur’an adalan panduan bagi kehidupan manusia
Seyogyanya setiap muslim mengetahui bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an “untuk menjelaskan segala sesuatu” (an-Nahl: 89), seperti difirmankan oleh Zat yang menurunkannya (Allah). Ia merupakan pedoman bagi setiap pribadi dan undang-undang bagi sebuah masyarakat, memang, ia merupakan pedoman praktis yang menjamin dasar yang mengarah bagi kehidupan pribadi, hubungannya dengan Tuhannya, hubungannya dengan alam dan kehidupan sekitarnya, hubungannya dengan dirinya, hubungannya dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat, hubungannya dengan kaum muslim, hubungannya dengan kaum non muslim, baik yang berdamai maupun yang memeranginya.[42]
Hubungannya dengan Allah dalam bentuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan lain-Nya,
قُلْ اِنَّيْ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ (١١) وَاُمِرْتُ لِاَنْ اَكُوْنَ اَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ (١٢) قُلْ اِنِّيْ اَخَافُ اِنْ عَصَيْتُ رَبِّيْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ (١٣) قُلِ اللهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهُ دِيْنِيْ (١٤) فَاعْبُدُوْا مَا شِئْتُمْ مِّنْ دُوْنِهِ قُلْ اِنَّ الْخَسِرِيْنَ الَّذِ يْنَ خَسِرُوْآ اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ(١٥)
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri, ‘Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika akudurhaka kepada Tuhanku.’ Katakanlah, “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri dan keluarga pada hari kiamat. ‘Ingatlah, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 11-15).
3.      Al-Qur’an adalah konstitusi politik pemerintahan
Pemberlakuan hukum (semua yang diturunkan oleh Allah) merupakan keharusan. Dalam logika keimanan, tidak boleh menerima sebagian hukum yang diturunkan Allah dan menolak sebagian yang lain. dengan ini maka perlu diwaspadai orang-orang yang berusaha menyelewengkan sebagian hukum yang diturunkan Allah sehingga tidak sampai terjadi sebagaimana Ahli Kitab yang mempercayai sebagian isi Kitab Suci dan mengingkari sebagian lainnya.[43]
4.      Al-Qur’an adalah konstitusi dakwah
Al-Qur’an mempunyai tugas lain dalam kehidupan islami, di samping fungsinya sebagai metode aktivitas bagi kehidupan pribadi muslim, undang-undang hukum dan tasyri’ bagi masyarakat muslim atupun bagi Negara muslim, yaitu sebagai perundang-undangan dakkwah islamiyah.[44]
Demikian pula kesempatan pertama yang diberikan oleh Rasulullah adalah mengirim utusan untuk menyampaikan beberapa surat beliau kepada para raja level dunia beserta para penguasa-penguasanya: mereka adalah Kaisar romawi, Kaisar Persia, Najasyi-al-Habsyi, penguasa Syam, Mesir, dan lain-lainnya. Beliau mengajak mereka untuk masuk Islam agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.[45]
Al-Qur’an telah mendeklarasikan keuniversalitasan dakwahnya. Juga Rasulullah telah mendeklarasikan keuniversalitasan risalahnya, yaitu risalah yang universal di semua tempat, konstan di segala zaman, dan komprehensif meliputi semua problematika manusia.
5.      Keharusan beriman dengan kitab secara keseluruhan
Keimanan seorang muslim belumlah dianggap sejati sebelum beriman dengan al-Qur’an. Bahkan, tidaklah sempurna keimanannya kecuali jika telah beriman kepada semua kitab suci Allah. Keimanan terhadap al-Qur’an adalah keimanan terhadap semua yang tersurat dan tersirat, baik tentang, baik tentang akidah maupun beberapa pemahaman, ritual dan siar, moral dan adab, serta syariat dan muamalah.
Seorang muslim tidak boleh mengatakan, “Kami mengambil al-Qur’an tentang akidah saja dan tidak mengambilnya tentang akhlak.” Atau mengatakan, “Kami mengambilnya dalam bidang ibada dan tidak mengambil dalam bidang muamalah”. Atau, “Kami mengambilnya dalam dimensi spiritual dan tidak mengambilnya dalam dimensi ekonomi, politik, atau perundang-undangan bagi berbagai urusan kehidupan.”[46]

6.      Memperhatikan segala sesuatu sesuai dengan kadar perhatian al-Qur’an terhadapnya
Adapun sesuatu yang menjadi perhatian al-Qur’an – sesuai dengan ia mengulang-ulang dan menekankannya dalam banyak banyak surat, moment, dan uslub – menunjukkan dengan jelas bahwa hal itu adalah mempunyai perhatian dan kedudukan tersendiri dalam agama dan kehidupan. Hal ini mengharuskan berpaling (menghadap) kepadanya, memperhatikannya, memberikan haknya dari angan-angan, perhatian, pemikiran, kecenderungan, dan pengamalan sesuai dengan kapasitasnya dalam al-Qur’an.[47]
Adapun sesuatu yang dibiarkan oleh al-Qur’an tidak menyebutkannya baik dalam ayat Makiyah maupun Madaaniyah adalah menunjukkan bahwa ia tidak merupakan pilar-pilar agama, juga bukan asasnya. Karena, al-Qur’an telah berisi semua yang berhubungan dengan asas agama, bahkan memisahkan daalam bagiannya.[48] Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:
“…, Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89).
            Demikianlah pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai cara berinteraksi dengan al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya sekedar dibaca dan dijadikan hiasan di rumah-rumah. Al-Qur’an akan terasa keberkahannya melalui cara-cara berinteraksi yang baik dengannya sebagaimana yang telah dijelaskan. Dengan begitu maka al-Qur’an akan senantiasa menjadi cahaya dalam perjalanan kehidupan manusia.


[1] Yusuf Qardhawi, Masalah-Masalah  Islam  Kontemporer, (Jakarta: Najah Press 1994) Cet I hlm. 219
[2] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam j. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve  2005) hlm. 322
[3] Rokhim, Pemikiran Yusuf Qardhawi “Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an”, (online) diakses melalui http://www.rokhim.net, tanggal akses. 13 November 2014.
[4] Rokhim, Pemikiran Yusuf…, tanggal akses 13 November 2014.
[5] Rokhim, Pemikiran Yusuf…, tanggal akses 13 November 2014.
[6] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 25.
[7]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah; Referensi Tertinggi Ummat Islam, (Jakarta_ Robbani Press: 1997),hlm. 19.
[8] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…,hlm. 39.                                            
[9]  Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 16.
[10] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 52-53.
[11] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 61.
[12] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 70.
[13] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 93.
[14] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 98.
[15] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 200
[16] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 202.
[17]Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 204.
[18] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 208.
[19] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 211.
[20] Ismail tekan, Tajwid al-Qur’anul Karim: Pembahasan Secara Praktis, Populer dan Sistematis, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2005),hlm. 13.
[21] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 231.
             [22] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 233.            
[23] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 312.
[24] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 40-41
[25] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 45-46.
[26] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 51.
[27] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 55
[28] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 54.
[29]  Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 360.
[30] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 372.  
[31] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm. 305-306.
[32]  Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 222.
[33] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 39
[34]  Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 409.
[35] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…,hlm. 452.
[36] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 466.
[37] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 477.
[38] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 494.
[39] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 502.
[40] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 518
[41] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 582-583.
[42]  Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 596.
[43] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 607-608.
[44] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 615.
[45] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 617-618.
[46] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 631.  
[47] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 644.
[48] Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 644.