Kamis, 15 Februari 2018

AZ-ZARNUJI (Sebuah Filsafat Pendidikan) Oleh Ria Astika



Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama  manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode, pendidik dan pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya. Aksentuasinya pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya dicari pemecahannya melalui pendidikan.
Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya, berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pemikiran Burhanuddin az-Zarnuji mengenai pendidikan. Beliau adalah penulis  Kitab Ta’lim al-Muta’llim, warisan intelektual muslim yang begitu penting karena ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar.
Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah.
Ada tiga persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu menurut al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral  manusia dan pengembangan sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran az-Zarnuji tentang tujuan pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang bersifat deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif yakni gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Teknik analisisnya menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Dengan demikian pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan dengan setting sosial yang melingkupinya dan latar belakang pendidikannya.

A.  Biografi Burhanuddin az-Zarnuji
1.    Riwayat Hidup Burhanuddin az Zarnuji
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin al-Islam az-Zarnuji. Di kalangan ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat yang dikemukakan disini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa BUrhanuddin az zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M. sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H/1243 M. sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida ad Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H.[1]
Sehubungan dengan hal di atas, Grunebaum dan Abel mengatakan bahwa Burhanuddin az zarnuji adalah toward the end of 12th and beginning of 13th century A.D. demikian pula mengenai daerah tempat kelahirannya yang pasti. Namun jika dilihat dari nisbahnya, yaitu az Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa ia berasal dari Zaradj. Dalam hubungan ini Mochtar Affandi mengatakan: it is a city in Persia which was formally a capital and city of Sadjistan to the south of Heart (now Afganistan). Pendapat senada juga dikemukakan Abd al Qadir Ahmad yang mengatakan bahwa az Zarnuji berasal dari suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afganistan.[2]
Mengenai riwayat pendidikannya dapat diketahui dari karangan yang dikemukakan para peneliti. Djudi misalnya mengatakan bahwa az-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Kota yang menjadi pusat kegiatan kelimuan, pengajaran, dan lain-lainnya. Masjid-masjid dikedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd as-Sattar al-Amidi dan lain-lainnya.[3]
Selain itu, Burhanuddin az zarnuji juga belajar kepada Burhanuddin al-Firginani, seorang ahli Fiqih, sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/1196 M; Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam di samping sebagai sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/1170 M,; Rukn al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair yang wafat tahun 573 H/1177 M, dan lain-lain.[4]
Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa az Zarnuji selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, juga menguasai bidang-bidang lain, seperti sastra, fiqih, ilmu kalam dan lain sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa untuk bidang tasawuf ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat diduga bahwa dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memiliki akses (peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf.
Selain karena faktor latar belakang pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, faktor situasi sosial dan perkembangan masyarakat juga mempengaruhi pola pikir seseorang.
2.      Situasi pendidikan pada zaman Az Zarnuji
Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama, pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632); kedua pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M); ketiga, pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M), keempat, pendidikan pada masa kekuasaan pada masa Abbasyiah di Baghdad (750-1250 M), dan kelima, pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[5]
Disebutkan bahwa az-Zarnuji hidup sekita akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640/1195-1243 M). dari kurun waktu tersebut dapat diketahui bahwa az-zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, yaitu antara tahun 750-1250 M. dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan atau kejayaan. Peradaban Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya. Dalam hubungan ini, Hasan Langgulung sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya mengatakan:”Zaman keemasan Islam ini mengenai dua pusat, yaitu kerajaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang berlangsung krang lebih lima abad (750-1258 M) dan kerajaan Umayyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih 8 abad (711-1492 M).[6]
Pada masa tersebut, kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya berbagi lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan dengan tingkat perguruan tinggi. Di antara lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk (457 H/106 M), Madrasah an-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167 M. di Damaskus dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus; Madrasah al-Muntasiriah yang didirikan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Muntasir Billah di Baghdad pada tahun 631 H/1234 M. Sekolah yang disebutkan terakhir ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti gedung berlantai dua, aula, perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang luas, masjid, balai pengobatan dan lain sebagainya. Keistimewaan lainnya Madsarasah yang disebut terakhir ini adalah karena mengajarkan ilmu fiqih dalam empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal).[7]
Di samping ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman za-Zarnuji hidup. Dengan memperhatikan informasi tersebut di atas, tampak jelas bahwa az-Zarnuji hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya. Yaitu pada akhir masa Abbasiyah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian.
Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut di atas amat menguntungkan bagi pembentukan az-zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Hasan Langgulung menilai bahwa az-Zarnuji termasuk seorang filosof yang memiliki sistem pemikiran tersendiri dan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, al-Ghazali dan lain sebagainya.

B.  Karya Burhanuddin az-Zarnuji
Karya termasyhur al-Zarnuji adalah Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, sebuah kitab yang bisa dinikmati dan dijadikan rujukan hingga sekarang. Menurut Haji Khalifah, kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang dihasilkan oleh al-Zarnuji. Meski menurut peneliti yang lain, Ta’lim al-Muta’allim, hanyalah salah satu dari sekian banyak kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji. Seorang orientalis, M. Plessner, misalnya, mengatakan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim adalah salah satu karya al-Zarnuji yang masih tersisa. Plessner menduga kuat bahwa al-Zarnuji memiliki karya lain, tetapi banyak hilang, karena serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad pada tahun 1258 M.[8]
Pendapat Plessner ini dikuatkan oleh Muhammad ‘Abd Qadir Ahmad. Menurutnya, minimal ada dua alasan bahwa al-Zarnuji menulis banyak karya, yaitu: pertama, kapasitas al-Zarnuji sebagai pengajar yang menggeluti bidang kajiannya. Ia menyusun metode pembelajaran yang dikhususkan agar pasa siswa sukses dalam belajarnya. Tidak masuk akal bagi al-Zarnuji, yang pandai dan bekerja lama di bidangnya itu, hanya menulis satu buku.Kedua, ulama-ulama yang hidup semasa al-Zarnuji telah menghasilkan banyak karya.Karena itu, mustahil bila al-Zarnuji hanya menulis satu buku.[9]
Tentang ada tidaknya karya lain yang dihasilkan al-Zarnuji sebenarnya dilukiskan al-Zarnuji sendiri dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, yang dalam salah satu bagiannya ia mengatakan: “…kala itu guru kami syeikh Imam ‘Ali bin Abi Bakar semoga Allah menyucikan jiwanya yang mulia itumenyuruhku untuk menulis kitab Abu Hanifah sewaktu aku akan pulang ke daerahku, dan aku pun menulisnya…” Hal ini bisa memberikan gambaran bahwa al-Zarnuji sebenarnya mempunyai karya lain selain kitabnya yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim. Telepas dari perdebatan itu, al-Zarnuji merupakan tokoh yang telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan Islam.Karyanya, patut dikaji dan dipelajari.[10]

C.  Konsep Pemikiran Burhanuddin az-Zarnuji dalam Pendidikan
Konsep pemikiran yang dikemukakan az-Zarnuji secara monumental dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui sebagai suatu karya yang jenial dan monumental serta sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitia dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini banyak dipergunakan tidak saja terbatas di kalangan ilmuwan Muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para penulis Barat. Di antara tulisan yang menyinggung kitab ini dapat dikemukakan antara lain: G.E. Von Grunebaum dan T.M. Abel yang menulis Ta’lim al Muta’allim Thuruq al-Ta’allum; Intruction of the Students: The Method of Learning; Carl Brockelmann dengan bukunya Geshicte der Arabischen Litteratur; Mehdi Nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350, dan lain sebagainya.[11]
Keistimewaan lainnya dari buku Ta’lim Muta’allim tersebut adalah terletak pada materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategibelajar dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religious.
Keterkenalan Kitab Ta’lim al-Muta’allim terlihat dari tersebarnya buku ini hampir ke seluruh penjuru dunia. Kita ini telah dicetak dan diterjemahkan serta dikaji diberbagai Negara, baik di Timur maupun di Barat. Kita ini juga menarik perhatian beberapa ilmuwan untuk memberikan komentar atau syarah terhadapnya.
Di Indonesia, kitab Ta’lim al-Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren bahkan di pondok pesantren modern sekalipun.
Dari kitab tersebut dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan az-Zarnuji. Secara umum kitab inimencakup tiga belas pasal yang singkat-singkat, yang meliputi pengertian ilmu dan keutamaannya, niat di kala belajar, memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar, memghormati ilmu dan ulama, ketekunan, kontinuitas, dan cita-cita luhur, permulaan dan intensitas belajar serta tata teribnya, tawakkal kepada Allah, masa belajar, kasih sayang dan memberi nasihat, mengambil pelajaran, wara ( menjaga diri dari yang haram dan syubhat) pada masa belajar, penyebab hafal dan lupa, serta masalah rezeki dan umur.[12] Semua inti tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a)      Pengertian ilmu dan keutamaannya
Jurisprudence is the science of the fine points of knowledge. Abi Hanifa Said, “Jurisprudenceia aperson’s knowledge of his rights and duties.” He said Further, “The purpose of learning is to ac by it, while the purpose of action is to abandon the fleeting (things of this life) for what last forever.”[13]
So one must never heedless of his soul or af what benefits or harms it in this life and in the next. Hence, man must seek out what is useful, while avoiding what is harmful to the (soul), lest his intelligence and his knowledge become weapons against him (in the Hereafter) and thus his punishment in increased. May God preserve us from His Wrath and His punishment.[14]

b)      Niat dikala belajar
Imam Burhanuddin, author of the Hidaya, recited a poem by an unnamed author:
An immoral man of learning is a great evil;
Yet a greater evil is an ignoramus leading a godly life,
Both are a great trial everywhere
To whomever clings to his religion[15]
One must intend (with knowledge) to being thankful (to God)  for a healthy mind and a sound body; one should not, however, (intend) to attract people toward himself, or reap the vanities of the world, or obtain honors from the king, and the like.[16]
c)      Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar
When undertaking the pursuit of knowledge, it is necessary to choose among the brances of learning those that are the most beneficial to oneself. One should (also) select what is essential according to the stage one has reached in his religion development. And finally, (one shoul) choose what will be essential to one in the future. (With this, the individual) will perfect himself in the knowledge of the oneness of God and learn about God to Exalted throught (sound) evidence, for the faith o one who blindly follows authority, even though it may be correct in our view, is still defective because of his failure to seek out proofs.[17]
Al-Hakim (al-Samarkand) stated, “If you come to Bukhara, do not hasten between various learned masters. Rather, be patient a couple of months until you reflect concerning the choice of a teacher.” For if you come to a learned man and begin to study with him right away, his teaching may often not to be your liking, (If this is the case) you leave him and move on to another teacher. But no blessing will come to you by taking up your studies in this manner. So reflect two months about the (right) choice of a teacher and seek advice so that you do not have to leave and withdraw from him. (it is better) that you remain with him untilyour studies have prospered and you profit a great deal from the knowledge you have attained.[18]
Know that patience and preverance comprise the foundation of all (important) maters, but these (two qualities) are rare, as it is said ini a verse (of poetry), “The effort in the attainment of glory wearies/but persistence is rare among men.”[19]
It is said that courage is having endurance for (even) one hour. Hence, It is necessary for the pursuer of knowledge to be firm and exert patience with his teacher and his text so as to not abandon (his studies) incomplete. (Also exert patience) wit one discipline in order not to be distracted by another before the first is completed. (likewise have patience)  with one land so as to not migrate to another unnecessarily. For all these changes dirturb one’s affairs, preoccupy the heart, lose time, and injure the teacher.[20]
d)     Menghormati ilmu dan ulama
Know that in the pursuit of knowledge, one does not acquire learning nor profit from it unless one holds knowledge in esteem and those who possess it. So one (must) esteem and venerate the teacher. It is said that he who attains knowledge does not do so except through respect, while he who fails (in this goal) does so only by ceasing to respect and venerate learning and its bearers. It is stated that respect is preferable to obedience, for you do not perceive a man becoming an unbeliever through his rebellion (against God’s revelation), but by (his) mocking of it nad by discarding reverence (for it). One aspect of venerating knowledge consist in holding the teacher in esteem. Ali (ibnu Abi Thalib) said: “I am the slave of him who teaches me one letter of the alphabet. If he wishes, he may sell me; if he so desires, he may set me free; and if he cares to, he may deploy me as a slave.[21]
In verating the teacher, avoid walking in front of him and sitting in his place. And do not begin speaking in his presence without his permission, and do not speak to any great extent before him without his permission.[22]
In seeking knowledge, it is necessary that one choose by himself the kind of learning to pursue, but to entrst the matter to the teacher.[23]
e)      Ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur
Earnestness, perseverance, and assiduity are indispensable in the quest for knowledge. This is indicated in the Qur’an, in the very words of God, the Exalted, Those who have earnestly striven in Our cause, we shall surely guide them to Our ways (29:69); and “O John (Yahya), take the book with power” (19:12). It is said that he who seeks something and is persistent shall ente. And it is said that you will reach what you desire (only) to the extent that you pursue it. It is said as well that the industriousness of three kinds of people is essential in (the pursuit of) knowledge and understanding: the student, the teacher, and the father, if he among the living.[24]
f)       Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Our teacher, Burhan al-Din, used o begin his studies on Wednesday. He used to related (the following tradition he heard) from his teacher, Qiwam al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Rashid, “(heard from a certain man, in whom I have confidence, that Imam Yusuf al-Hamdani undertook all his best work on Wednesdays, (He did) this because Wednesday is the day in which light was created and it is a day injurious to the ways of the disbeliever, though it is a providential day for the believer.”[25]
It is necessary to begin (one’s study) with matters that are more readily understood. Imam Sharaf al-Din al-Uqayli used to say, “In my opinion the right procedure (in study) is what our elders practiced. They chose to begin with a few subjects of broad content because these are more readily understood nad retained; they are less fatiguing and occur frequently among men. “It is (also) essential to write down an extract (of the material) after memorizing it and then repeat it often, for this (method) is indeed profitable. Hut the student shoul not write anything unless it is fully understood, for (writing down of undigested matter) blunts the character, revages intelligence, and wastes time. It is importantthat the student exert himself strenuously to understand what he is offered by the teacher, apllying intelligence, reflection, and much repetition. For if reading is limited but repetition and reflection are axtensive, the (thestudent) will attain a firm grasp and understanding (of the material). It is said that memorizing teo letters is better than listening to two loads (of books);moreover, comprehending two letters is betterthan memorizing two such loads. But if comprehension by passes one and he does not exert oneself (to repeat the lesson at least) one or two times (to learn it), one (become vulnerable to) getting accustomed to this (negligence), such that even an easy lesson will not be comprehended. So it is necessary not to neglect gaining understanding (of one’s subject matter) and to do one’s work diligently, while praying to God the Exalted and beseeching Him humbly (for knowledge). Indeed, God answers those who call upon Him and does not disappoint those who place hope in Him.[26]
g)      Tawakkal kepada Allah
It is necerrasy in the quest for knowledge that one rely entirely on God and not be worried about matters (like) material sustenance; one should not occupy one’s mind with (such concerns). Abu Hanifa related what he heard from ‘Abadallah ibn al-Hasan al-Zabidi, “A person who devotes himself to learning God’s religion, God Almighty gives him sufficient care and provides for him in unexpectedways.” So he who occupies himself with matters of sustenance, such as food and clothing, is not yet free enough for the acquisition of noble traits and elevated matters, (like knowledge and scholarship).[27]
It is obligatory for the student not to be occupied with anything else but knowledge and never turn away from learning. Muhammad ibn al-Hasan said, “Indeed, this trade of (scholarship) goes on from cradle to grave; so he who wishes to refrain from this pursuit of knowledge for even one hour, might as well leave it entirely this very hour.[28]
h)      Masa belajar
The best period (in life for study) is at the beginning of adolescene. (The best period of the day) is the time of dawn and that between the setting of the sun and the first Prayer vigil of the night. It is necessary to fully immerse oneself in the study of knowledge at all times. But if one becomes over-fatigued by a given discipline, then he should move on to another.[29]
i)        Kasih sayang dan memberi nasihat
A person of knowledge must be sympathetic and helpful rather than jealou, for envy is injurious and devoid of benefit. Shaykh al-Islam Burhan al-Din used to say, “The son of the learned man will be learned himself because the man of knowledge earnestly desires that his discipline become scholars. So trought the blessing that comes from his conviction and compassion, hos son too will become leared.[30]
j)        Mengambil pelajaran
A person in pursuitof knowledge should seek it at all times, so that he may eventually attain excellence. One way to attain knowledge is to have ink available to(the seeker) at every occasion so that he can jot down whatever knowledge he hears. It is said that he who simply tries to memorize (what he has eard, the lesson will) flee; but he who writes it down stands firm. It is (also) said that knowledge is that which is taken from the lips of men, since they recall only the best of what they heard and mention only the best of what they recall.[31]
k)      Wara (menjaga diri dari yang haram dan syubhat) pada masa belajar
The more abstinent seeker of knowledge is the more useful his knowledge becomes. Moreover, his learning becomes easier and the acquisition of beneficial matters more expansive. In part, abstinence is toguard against satiety (from hunger), much sleep, and abundant talk about useless matters. One must also beware of eating food in the marketplace if possible, because food of the market is further removed from the contemplation of God nad closer to being heedless of Him. Moreover, the eyes of the needy fall upon the food (in the marketplace); while the needy are unable to purchase anything. As a result, they are further harmed, and the blessing of the food vanishes.[32]
l)        Penyebab hafal dan lupa
The most influential factors in (strengthening) memory are indrustrousness and commitment. Reducing one’s consumption, (increasing) Prayer at night, and reading the Quran are also factors for(improving) one’s memory. It is said that nothing increases memory retention more than reading the Quran silently; and reading the Quran the Quran silently is most excellent, for the Prophet saw aid, “The most excellent among the works of my community is reading the Quran silently.”[33]
m)    Masalah rezeki dan umur
The student of learning must have sustenance and have knowledge of those things which increase it. (The student should know as well) what augments life and health in order to be free from (other) occupation and thus (devote himself) to the pursuit of knowledge alone. Books have been written describing these matters; so briefly I will cite only some (points concerning this).[34]
The Messenger of God swt said, “The decrees of God are not averted except by supplication, and your span of life is not augmented except through piety. For a man is deprived of sustenance because of a sin he has committed.” This statement establishes for certain that the perpetration of sin the cause of sustenance deprivation, especially in the case of telling lies which brings about proverty. There is a specific hadith that establishes this (effect of lying). Sleep in the morning cuts off sustenance.in fact, an overabundance of sleep brings about poverty and a dearth of learning as well.[35]

Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[36] Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[37] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan  pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5)  untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[38]
Menurut al-Zarnuji tujuan belajar pendidikan Islam berikut ini[39]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم متهتك       *          وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[40]
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[41]
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه     * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[42]
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل     *  وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي *  فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[43]:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.[44]
Dalam pendidikan Islam dikenal sebuah teori yakni teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan, apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[45] Menurut Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[46]
Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa dari John Locke.  Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang  bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara.
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji[47]:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته  *  فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة       *    وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته     *     كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد سريعة       *     كالجمر يوضع في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak seorang anakpun, kecuali ia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Kedua orang tuanyalah yang mengyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggotan tubuhnya). Apakah kalian mengetahui di antara binatang itu ada yang putus (telinganya atau anggotan tubuh lainnya). Kemudian Abu Hurairah berkata, jika kamu kehendaki bacalah: fitrah.
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.  Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan).  Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.





[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 103.
[2] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 103-104.
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 104.
[4] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 104-105.
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 105.
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 105-106.
[7] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 106.
[8] Yandi Aphamudin, Biografi Para Ulama, (online) diakses melalui http://biografiulama4.blogspot.com/2012/10/biografi-syekh-az-zarnuji-pengarang.html, tgl akses 21 Desember 2014.
[9] Yandi Aphamudin, Biografi Para Ulama…, 21 Desember 2014.
[10] Yandi Aphamudin, Biografi Para Ulama…, 21 Desember 2014
[11] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 107.
[12]  Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 108.
[13] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student: The Method of Learning = Ta’lim al-muta’allim tariq al-ta’allum/al-Zarnuji : translated by G.E. von, Grunebaum and Theodora M. Abel, (New York: King’s Crown Press, 1947), hlm. 5.
[14] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 5.
[15] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 6.
[16] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 7.
[17] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 9.
[18] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 10-11.
[19] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 11.
[20] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 11.
[21] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 13.
[22] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 14.
[23] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm.  17.
[24] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 18.
[25] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 25.
[26] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 26.
[27] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 34.
[28] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 35.
[29] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 37.
[30] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 38.
[31] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 41.
[32] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 43.
[33] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 47.
[34] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 50.
[35] Burhanuddin az-Zarnuji, Intruction of the Student…, hlm. 50.
[36] Muhammad Faadhil al-Jamaly, Tarbiyah al-Insan al-Jadid, (Tunisia: Al-Syirkah al-Thurnisiyah Littauzi, 1967), hlm. 99.
[37] Syed Muhammad al-Naqueib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah:  King Abdul Aziz University, 1979), hlm. 1.
[38] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha, (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Pabi wa Syurakah, 1975), hlm. 22-25.
[39] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 10
[40] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 10.
[41] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 11.
[42] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 11.

[43] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 13.
[44] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  hlm. 14.
[45] Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, (Mesir: al-Haidah al-Ammah, 1987), hlm. 156-157.
[46] Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 41-75.
[47] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim...,hlm. 15-16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar