Pada dasarnya, berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan
pengetahuan. Proses tersebut merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam
mengikuti jalan pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan
berupa pengetahuan. Sejauh ini hampir semua
kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan
filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu
digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan.
Ilmu dan
pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat. Sementara pengetahuan merupakan
logika konseptual (conceptual logic), atau sekumpulan ilmu-ilmu yang belum
terhimpun dalam sebuah metode tertentu, sedang ilmu secara sederhana bisa
dimaknai sebagai semua pengetahuan yang terkonstruk melalui beberapa
metode-metode keilmuan. Oleh karena itu, ilmu merupakan salah satu dari
pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai
ilmu pengetahuan, seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan.
Pergerakan yang dialami
oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga
menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu
pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan
proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement)
yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Perlunya penilaian
dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang
dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara
umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan
dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses
berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan
pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.
A.
Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman,
dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami
benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut science ; dari bahasa Latin scientia
(pengetahuan)-scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan
bahasa Yunani adalah episteme. Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus
bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[1]
Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang
cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih dari pada satu arti. Oleh karena
itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya
menyadari arti mana yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu
merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap ilmu pengetahuan ilmiah
yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu
seumumnya (science-in-general).[2]
Yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang ilmu pengetahuan
ilmu ilmiah yang mempelajari sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti ini ilmu
berarti suatu cabang ilmu khusus seperti misalnya anthropologi, biologi,
geografi, atau sosiologi. Istilah inggris science kadang-kadang diberi arti
sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan
sistematis mengenai dunia fisis atau material.[3]
Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized
knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad
ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau
inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang nonfisik, seperti
metafisika.[4]
Adapun definisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah:[5]
1.
Ralp Ross dan
Ernest Van Deen Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum, dan
sistematik, dan keempatnya serentak.
2.
Karl person, mengatakan
ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang
fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
3.
Ashley Montagu,
Guru Besar Anthropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi
dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
4.
Harsojo, Guru
besar Anthropologi di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa llmu adalah:
a.
Merupakan
akumulasi pengetahuan yang sistematika
b.
Suatu
pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia
yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat
diamati oleh panca indera manusia.
c.
Suatu cara
menganalisisyang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu
proposisi dalam bentuk: “jika…, maka…”.
Dalam bukunya, Nazir menjelaskan bahwa ilmu tidak lain adalah suatu
pengetahuan, baik natural ataupun sosial yang telah terorganisir serta tersusun
secara sistematik menurut kaidah umum yang telah disepakati.[6]
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun
melakukan penerapan.
Konsep ilmu dalam Islam yang tertuang dalam al-Qur’an merupakan
gagasan yang paling canggih dan komprehensif. Pandangan Islam berbeda dengan
idiologi lainnya tentang ‘ilm. Selain itu, tidak ada pandangan dunia
lain yang menjadikan pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial
yang mempunyai dimensi moral dan religious sebagai suatu ibadah.[7]
Dalam perspektif Islam, ‘ilm adalah Islam. Islam merupakan
bagian dari ilmu. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan.
Tidak satupun agama atau ideologi selain Islam yang menekankan akan pentingnya
ilmu pengetahuan bagi kelangsungan peradaban ummat dan perjalanan hidup
manusia.[8]
Ilmu dalam pandangan Islam merupakan suatu yang sangat diperlukan
manusia dan umat Islam diwajibkan untuk mencarinya. Tuhanpun mencintai mereka
yang senantiasa mencari ilmu. Dengan ilmu itulah manusia akan dapat menuju ke
surga dengan baik.
Sedangkan pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan ingin tahu
manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.
Pengetahuan ini bermacam-macam sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tidak
langsung; ada yang bersifat tidak tetap (berubah-ubah), subyektif, dan khusus,
dan ada pula yang bersifat tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan
ini tergantung kepada sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu
diperoleh. Kemudian ada pengetahuan yang benar dan ada pengetahuan yang salah.
Tentu saja yang dikehendaki adalah pengetahuan yang benar.[9]
Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan dengan ilmu
tidaklah berbeda. Pengetahuan (knowledge) bagi mereka tak ubahnya
sebagai ilmu (science), sehingga ilmu dengan pengetahuan tidaklah
berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana yang dinyatakan M. Thoyibi,
pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higher level’ dalam perangkat
pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan
sehari-hari. sementara dalam Encyclopedia of philosophy, pengetahuan
disebutnya sebagai ‘justified true belief’, yakni kepercayaan yang
benar. Sedangkan menurut Amtsal Bahtiar, pengetahuan merupakan hasil proses
dari usaha manusia untuk tahu.[10]
Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di
dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti
seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada objek kajian
yang berada dalam lingkup pengalaman manusia.[11]
Suparlan Suhartono mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu
dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary,
Suparlan menjelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang
menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau
sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi, dan
sebagainya. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya terkandung adanya
pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodis, ilmiah, dan
mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang bersifat fisis (natural).[12]
Menurut Jujun S. Suriansumantri, Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah
yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan kata lain,
ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan.
Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang
memilikisifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian
“ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita memperguanakan
istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan”.[13]
Jadi, Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai
kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau
cara pandang (approach), metode (method), dan sistem tertentu.
B.
Hakikat Ilmu
Pengetahuan
Hakikat ialah realitas (real), artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu, bukan
keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah.[14]
Ilmu dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di
mana ilmu adalah hasil dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil tahu
(ilmu) manusia terhadap sesuatu objek yang dihadapinya atau dengan kata lain,
ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode
tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.[15]
Kata science dalam Webste’s New World Dictionary,
berasal dari kata Latin scire yang mempunyai arti mengetahui. Secara
bahasa, science berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil
dalam arti pengetahuan (knowledge). Pada akhirnya, kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga mempunyai pengertian “pengetahuan
yang sistematis yang didapatkan melalui observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan dari apa yang dikaji”. Dari penelusuran
makna tersebut, terjadi pergeseran makna sains, dari “pengetahuan” menjadi
“pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi”.[16]
Dari sinilah titik awal kehancuran terminologi Barat dalam
perspektif ilmu, yang akhirnya banyak melahirkan pendapat tentang perolehan
ilmu melalui doktrin empiris. Pada awal kemunculannya, kejadian alam semesta
secara terus menerus diukur dan dikaji melalui pengamatan. Pada masa inilah,
berbagai kejadian sudah tidak diamati atau dikaitkan dengan kepercayaan
terhadap dewa-dewa tertentu, seperti peradaban awal manusia dengan
kesederhanaan yang mewarnai pola pikir mereka – melainkan sudah dilakukan upaya
teoritisasi yang sangat sederhana, seperti melalui hubungan sebab akibat. Air
menjadi mendidih jika dipanasi dengan api yang suhunya 100 derajat celcius,
sebaliknya air dapat menjadi es jika dibekukan dengan suhu di bawah – 10
derajat celcius. Setelah pengalaman empiris berjalan lama, maka muncullah upaya
teoritisasi, yang merupakan pertanda tentang ilmu teoritis. Dari upaya tersebut
memunculkan metode perolehan ilmu pengetahuan, yang terdiri atas empirisme,
rasionalisme, dan metode keilmuan.[17]
Dalam upaya memperoleh pengakuan, maka perlu pemahaman tentang sistem
kerja ilmu. Sehingga, ilmu akan dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science)
bukan pengetahuan saja (knowledge). Kinerja ilmu pengetahuan dapat
diukur dengan pola-pola seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi,
penjelasan, ramalan dan kontrol. Tata kerja tersebut menjadikan suatu
pengetahuan dapat terukur dan teramati dengan baik. Melalui metode keilmuan
tersebut, yang dihasilkan dari penggabungan yang baik antara data-data empiris
dan pemikiran yang rasional, memungkinkan diperoleh teori-teori ilmu
pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.[18]
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa sumber pencapaian
ilmu pengetahuan di Barat adalah rasio yang di dukung dengan data-data empirik.
Dengan cara yang demikian, dalam sejarahnya memunculkan suatu pertentangan
antara ahli agama dengan ilmuan. Sebagai contoh, krisis yang terjadi antara
pihak gereja dengan ilmuan pada abad pertengahan terhadap kasus penemuan teori
bumi. Hal inilah yang membedakan antara pengertian ilmu pengetahuan perspektif
Barat dan dalam sudut pandang Islam. walaupun di Barat telah ditemukan berbagai
metode keilmuan seperti intuisi, falsafah hidup, dan femenologi. Namun,
kasus-kasus yang sekarang bermunculan merupakan pertanda adanya dimensi
kekeringan spiritual diantara mereka.[19]
Dalam ajaran Islam, teks al-Qur’an dan hadits serta teks nonverbal
alam natural dan sosial adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan
entitas mistis universum yang tak terpisahkan kecuali bagi kebutuhan analisis
ilmiah rasional materialistik.[20]
Ketika dunia Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan
berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara
berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance
yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang
dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja
atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang
memandang dunia dengan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka
mencoba mencari altenatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari
itu bermunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit
yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul
terdiri dari dua aliran, yakni aliran rasionalis dan empiris.[21]
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang
dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan
pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia
memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Pengalaman tidaklah
membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui, prinsip yang di
dapat lewat penalaran rasional itulah kita dapat mengerti kejadian-kejadian
yang berlaku dalam alam sekitar kita.[22]
Berlainan dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak, namun
lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera.[23]
Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris dinamakan metode
keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis.
Sedangkan empirisme merupakan kerangkan pengujian dalam memastikan suatu
kebenaran. Kedua metode ini, yang dipergunaka secara dinamis, menghasilkan
pengetahuan yang konsisten dan sistematis serta dapat diandalkan, sebab
pengetahuan tersebut telah teruji secara empiris.[24]
Adalah Auguste Comte, seorang pembawa ide posotovisme dalam sains.
Menurutnya, segala sesuatu harus bersifat nyata, bermanfaat, pasti jelas serta
tepat, atau kebalikan dari segala sesuatu yang negative. Dengan demikian,
bentuk pengetahuan yang paling tinggi, menurutnya adalah segala sesuatu yang
didasarkan pada gejala atau fenomena yang tampak. Dalam hal ini, karakter sains
baru muncul ketika pengetahuan yang sistematis tersebut muncul melalui tindakan
observasi inderawi, sehingga mensyaratkan observasi sains harus bersifat
empiris sehingga bisa diukur, objek-objek ilmu haruslah bersifat fisik atau
posistif, sehingga sains akan bersifat posivistik.
Teori ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya terpaku
pada teori epistimologi. Namun Islam memadukan in sight (pengetahuan yang
dalam), ilmu pengetahuan, dan amal sosial dalam satu rumusan untuk dikonsumsi
oleh umat manusia. Rasulullah Saw mengatakan, bahwa suatu waktu malaikat Jibril
as. mendatangi Adam as, ia menawarkan pada Adam iman, moralitas (haya) dan
rasio serta meminta Adam memilih salah satunya. Dalam hadits di bawah ini
merupakan sebuah riwayat ketika Adam memilih rasio (akal), maka moralitas dan
iman diminta untuk kembali ke surga. Moralitas dan iman berkata pada Jibril
bahwa mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyertai rasio kemanapun ia pergi.
Hadits ini mengindikasikan betapa komprehensifnya arti intelegensia dan ilmu
pengetahuan, serta betapa kuatnya korelasi antara fakultas rasio, iman dan
moralitas dalam Islam[25].
رَوى الْأَ
صْبَغُ بْن نُبَاتَة عَنْ أميرِ المؤمنين علي عليه السلام أنهُ قضالَ هَبَطَ جَبْرَئِيْلُ
عَلَى آدَمَ عليه السلام فَقَالَ: يَا آدَمُ إنِّي أُمِرْتُ أَنْ أُخَيْرَكَ وَاحِدَةً
مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَيْنِ. قَالَ لَهُ آدَمُ : يَا جَبْرَئِيْلُ
وَ مَا الثَّلَاثُ؟ فَقَالَ: اْلعَقْلُ وَاْلحَيَاءِ وَالدِّيْنُ. فَقَالَ آدَمُ:
إِنِّي قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلُ. فَقَالَ جَبْرَئِيْلُ لِلْحَيَاءِ وَالدِّيْنِ
النْصَرِفَا وَ دَعَاهُ. فَقالَ: يَا جَبْرَئِيْلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَكُونَ
مَعَ الْعَقْلُ حَيْثُ كَنَ. قَالَ: فَشَأْ نَكُمَا وَ عَرَجَ.[26]
Ali bin Abi Thalib berkata: Jibril telah turun kepada Adam seraya
berkata: Hai Adam as. diperintahkan untuk menawarkan kepadamu tiga masalah yang
haruskamu pilih salah satu di antaranya. Adam bertanya tiga masalah apa
gerangan wahai Jibril? Jibril menjawab: akal, malu, dan agama. Adam berkata aku
memilih akal. Setelah Adam memilih akal segera Jibril menyuruh malu dan agama
untuk pergi meninggalkan tempat. Namun keduanya berkata: Wahai Jibril, kami
berdua diperintahkan untuk menyertai akal di manapun ia berada. Jibril berkata:
terserahlah kalian, kamudian Jibril naik ke langit.
Islam tidak membedakan ilmu dan metafisika. Metafisika merupakan
bagian dari ilmu. Bahkan aspek inilah yang disebut oleh Imam Ibnu Abdil Bar sebagai
al-‘ilm al-a’la (ilmu yang tertinggi). Dikotomi ilmu dan metafisika seperti
yang terjadi pada paradigma Barat, jelas memiskinkan makna dari ilmu itu
sendiri. Jika penyempitan ilmu pada pengetahuan empiris, dan filsafat serta
metafisika pada sesuatu yang non empiris dapat dimaklumi jika hanya sebatas
terminologi semata. Tetapi jika perbedaan kedua istilah tersebut dalam rangka
mendefinisikan soal-soal filsafat dan metafisika sebagai persangkaan kosong,
jelas-jelas merupakan sebuah paradoks.[27]
Pencapaian ilmu juga tidak terlepas dari rahmat Ilahi, proses
tersebut memiliki muatan makna yang identik dengan suatu alat untuk memahami
realitas dan nilai-nilai. Intelek dalam pengertian Islam tidak semata-mata
berkaitan dengan rasionalisme tetapi juga berhubungan erat dengan persoalan
wahyu, sehingga bagi seorang muslim kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan
dirinya dari ibadah dan Tuhan.[28]
Sebab orang yang berilmu adalah orang yang faqih atas paham terhadap
persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab seorang muslim dihadapan Allah.
Orang yang faqih atau berilmu adalah berpegang teguh pada al-Qur’an,
memahaminya, memikirkannya, dan melaksanakannya. Ibadah yang tanpa disertai
dengan ilmu maka tidak ada nilainya.
1.
Obyek Ilmu
Pengetahuan
Adapun objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (obyek
materi) dan ada yang berupa bentuk (obyek forma).
Objek materi berupa benda-benda materiil maupun non-materiil,
bahkan bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep, dan
sebagainya. Objek materiil tidak terbatas apakah materiil konkret atau abstrak.
[29]
Sedangkan objek forma merupakan objek yang akan menjelaskan
pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Melalui
objek forma ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi
apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal
ini menandakan bahwa dengan objek forma, ruang lingkup (scope)ilmu pengetahuan
bisa ditentukan pula.[30]
Ambillah contoh, obyek materi “manusia” sendiri. Dari segi kejiwaan
keragaan, keindividuan, kesosialan, dan segi dirinya sebagai makhluk Tuhan,
masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri-sendiri yang
berbeda-beda.
2.
Sumber Ilmu
Pengetahuan
a.
Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan
bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah
pengalaman inderawi.
John Locke, bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa
(sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
kemudian ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu
sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan
berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan
indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber
pengetahuan yang benar.[31]
Dengan pengetahuan, kita mendapatkan pengetahuan beruapa
gejala-gejala. Oleh sebab itu, kita sering tertipu dalam bersikap dan
bertingkah laku. Pepatah bahasa Inggris mengatakan “appearance are deeving”
(apa yang kelihatan tidak selalu dapat dipercaya). Lihatlah, kita sering
tertipu dengan peristiwa-peristiwa alam, seperti fatamorgana, gaung atau gema,
ilusi, halusinasi, dan sebagainya.[32]
Namun demikian, pengetahuan indrawi ini tidak boleh diabaikan sama
sekali. terutama sumbanganya kepada penyelenggaraan hidup sehari-hari dan
eksplorasi pengetahuan selanjutnya dalam rangka memperoleh kebenaran yang
valid.
b.
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.[33]
c.
Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman
yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan
kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan
suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang
langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[34]
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar
untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.
Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis
selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan.
Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran.[35]
Menurut ajaran tasawwuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh
hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dari
penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu
bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawwuf ini digambarkan
sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah
diperoleh pengetahuan.[36]
Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan makrifat
dalam Islam adalah intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang
konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat perenungan dan
penyinaran dari Tuhan. Namun dalam pandangan Islam, sumber ilmu tidak hanya
melalui empiris, rasio, dan intuisi, melainkan terdapat pula wahyu, keyakinan,
dan alam.
d.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia
lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa
upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan
mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[37]
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan
sseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah
transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan
segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat
pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu.
sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu mulai mengkaji dengan riset,
pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.[38]
e.
Keyakinan
Keyakinan adalahkemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh
dari kepercayaan. Keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan
pematangan dari kepercayaan.[39]
f.
Alam
Dalam Islam terdapat cara-cara tertentu untuk menetapkan wujud
Allah swt., dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda dan kekuasaan Allah swt.,
yang terhampar memenuhi jagad raya ini. fenomena alam semesta ini, baik yang
ada di muka bumi maupun di langit atau yang ada pada diri setiap manusia itu
sendiri merupakan dalil Allah swt., yang akan memberikan petunjuk kepada hati
dan akal untuk menuju kepada pusat wujud yang hadir pada setiap zaman dan
tempat. [40]
Ilmu
di Barat hanya berhenti pada akal dan pengetahuan empiris. Sementara dalam
tradisi Islam, perolehan ilmu mempunyai semacam integrasi dalam berbagai aspek
perolehannya, mulai dari akal atau rasio, pengalaman sampai wahyu (intuisi), hingga pada
barakah (keberkahan ilmu) dan‘afiyah (kemanfaatan ilmu).
Akan tetapi tetap melalui jalan pembenaran yang biasa disebut
tasawwuri dan tasdiq. Dalam tradisi Yunani, hikmah (wisdom) dipandang lebih
tinggi derajatnya dibanding dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dalam Islam, ‘ilm
bukan sekedar ilmu pengetahuan, namun ‘ilm bersinonim dengan ma’rifat.
Istilah ma’rifat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan (perolehan ilmu melalui proses
logis), atau dengan kata lain ilmu pengetahuan (knowledge) yang dianggap
memiliki derivasi dari dua sumber, yakni ‘aql dan ilmu huduri (ilmu
pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman spiritual).[41]
Dalam sebuah hadits di ungkapkan tentang adanya tanda-tanda ilmu
adalah sopan dan diam. Sebagaimana hadits di bawah ini:
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda berilmu adalah sopan dan diam”.[42]
Dalam hadits lain diungkapkan tentang ciri-ciri orang yang bodoh
dan dengan memperkuat ciri-ciri orang yang berilmu. Hadits tersebut adalah:
عَلِيُّ
بْنُ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَعْبَدٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبِي عَبْدِاللهِ عليه السلام قَالَ كَانَ أَمِيْرُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ عليه السلام يَقُوْلُ يَا طَالِبَ اْلعِلْمِ إِنَّ لِلْعَا لِمِ ثَلَاثَ
عَلَامَاتٍ العِلْمَ وَاْلحِلْمَ وَالصَّمْتَ وَلْلمُتَكَلِّفِ ثَلَاثَ عَلَامَاتٍ
يُنَازِعُ مَنْ فَوْقَهُ بالمَعْصِيَةِ وَيَظْلِمُ مَنْ دُوْ نَهُ با لْغَلَبَةِ وَيُظَاهِرُ
اْلظَّلَمَةَ.[43]
“Wahai pencari ilmu,
sesungguhnya orang berilmu itu memiliki tiga ciri: memiliki ilmu, sopan, diam.
Adapun orang yang pura-pura berilmu juga memiliki tiga ciri: membantah
seniornya dengan maksiat, menzalimi juniornya dengan keunggulan, dan membantu
kezaliman”.
Inilah hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam. suatu hakikat yang
tidak tersentuh oleh perspektif barat, dimana sikap, adab dan tingkah laku juga
menjadi tolak ukur pencapaian ilmu. Konsep ilmu yang menggabungkan seluruh
aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah, batiniyah dan dahiriyah, sehingga
konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar biasa ketimbang menyempitkan makna
ilmu ke dalam aspek material semata. Akan tetapi, konsep tersebut tidak
terlepas dari pembuktian secara rasional dan empiris.
C.
Analisis
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun
melakukan penerapan. Sains dan filsafat adalah dua hal yang berbeda, dimana
sains diletakkan untuk istilah ilmu-ilmu empiris positif dan filsafat digunakan
untuk bidang-bindang ilmu kemanusiaan yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan
lewat pengalaman inderawi, seperti metafisika. Dalam perspektif modern mencari
ilmu pengetahuan bukanlah bagian dari agama. Sehingga ilmu pengetahuan yang
diperoleh jauh dari unsur-unsur spiritual. Sumber ilmu dalam pandangan modern
berasal dari rasio, empiric, dan intuisi. Oleh karena itu pembuktian kebenaran
ilmu pengetahuan dalam perspektif modern didasarkan pada dukungan fakta-fakta
empiris. Melalui pengujian secara empirislah suatu pernyataan yang dikemukakan
dalam rangka keilmuan itu dapat diterima atau tidak.
Dalam perspektif Islam, menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban,
ini merupakan suatu perintah agama. Kesempurnaan seseorang adalah dari ilmunya
dan pengalaman atasnya. Oleh karena itu, seorang muslim apapun kapasitas
keilmuan dalam dirinya paling tidak harus memahami persoalan keagamaan atau
amalan keseharian sebagai manifestasi keimanannya pada Allah swt. hal tersebut
berkaitan dengan manusia sebagai khalifah di bumi, maka ilmu juga identik
dengan persoalan khilafah yang disandang manusia. Dalam perspektif Islam, sumber
ilmu tidak hanya melalui rasio, empiric, dan intuisi melainkan juga wahyu yang
berasal dari Allah swt sebagai pilar keimanan dalam Islam. kenabian dan
keimanan, serta alam. Demikianlah hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana
sikap, adab dan tingkah laku juga menjadi tolak ukur pencapaian ilmu. Konsep
ilmu yang menggabungkan seluruh aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah,
batiniyah dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar
biasa ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam aspek material semata. Akan
tetapi, konsep tersebut tidak terlepas dari pembuktian secara rasional dan
empiris.
[1] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 12
[2] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta: Liberty Yogyakarta, 2010), hlm. 85.
[4] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 12-13
[5] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 15-16
[6] Idzam Fautanu,
Filsafat Ilmu (Teori & Aplikatif), (Jakarta: Referensi, 2012), hlm.
63.
[7] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009)…,
hlm. 103.
[8] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 101.
[9] Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Surabaya: Ar Ruzz Jogjakarta, 2004),
hlm. 77-78.
[10] A. Susanto, Filsafat
Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologis),
(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 46-47.
[11] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 47.
[12] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 77.
[13] Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 11.
[14] Idzham
Fautanu, Filsafat Ilmu…, hlm. 106.
[15] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 77-78.
[16] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 94-95.
[17] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 95-96.
[18] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 96.
[19] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.
96-97.
[20] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.
[21] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
52.
[22] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
55.
[23] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
55-56.
[24] Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam…, hlm. 15.
[25] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 106-107.
[26] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107
[27] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107-108.
[28] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 108.
[29] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 81.
[30] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 82-83.
[31] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 99-100.
[32] Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar…, hlm. 86-87.
[33] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 102-103
[34] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 107
[35] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 108.
[36] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109.
[37] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109-110.
[38] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 110.
[39] Idzam fautanu,
Filsafat Ilmu…,hlm. 71.
[40] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 176.
[41] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 110.
[42] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …,
hlm. 111.
[43] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …,
hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar