Kamis, 15 Februari 2018

HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN (Oleh Ria Astika)



Pada dasarnya, berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan pengetahuan. Proses tersebut merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan.
Ilmu dan pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat. Sementara pengetahuan merupakan logika konseptual (conceptual logic), atau sekumpulan ilmu-ilmu yang belum terhimpun dalam sebuah metode tertentu, sedang ilmu secara sederhana bisa dimaknai sebagai semua pengetahuan yang terkonstruk melalui beberapa metode-metode keilmuan. Oleh karena itu, ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan, seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan.
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.


A.  Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut science ; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan)-scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[1]
Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih dari pada satu arti. Oleh karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap ilmu pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya (science-in-general).[2]
Yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang ilmu pengetahuan ilmu ilmiah yang mempelajari sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti suatu cabang ilmu khusus seperti misalnya anthropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Istilah inggris science kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistematis mengenai dunia fisis atau material.[3]
Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika.[4]
Adapun definisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah:[5]
1.      Ralp Ross dan Ernest Van Deen Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum, dan sistematik, dan keempatnya serentak.
2.      Karl person, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
3.      Ashley Montagu, Guru Besar Anthropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
4.      Harsojo, Guru besar Anthropologi di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa llmu adalah:
a.       Merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematika
b.      Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
c.       Suatu cara menganalisisyang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk: “jika…, maka…”.
Dalam bukunya, Nazir menjelaskan bahwa ilmu tidak lain adalah suatu pengetahuan, baik natural ataupun sosial yang telah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum yang telah disepakati.[6]
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.
Konsep ilmu dalam Islam yang tertuang dalam al-Qur’an merupakan gagasan yang paling canggih dan komprehensif. Pandangan Islam berbeda dengan idiologi lainnya tentang ‘ilm. Selain itu, tidak ada pandangan dunia lain yang menjadikan pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial yang mempunyai dimensi moral dan religious sebagai suatu ibadah.[7]
Dalam perspektif Islam, ‘ilm adalah Islam. Islam merupakan bagian dari ilmu. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan. Tidak satupun agama atau ideologi selain Islam yang menekankan akan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan peradaban ummat dan perjalanan hidup manusia.[8]
Ilmu dalam pandangan Islam merupakan suatu yang sangat diperlukan manusia dan umat Islam diwajibkan untuk mencarinya. Tuhanpun mencintai mereka yang senantiasa mencari ilmu. Dengan ilmu itulah manusia akan dapat menuju ke surga dengan baik.
Sedangkan pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Pengetahuan ini bermacam-macam sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung; ada yang bersifat tidak tetap (berubah-ubah), subyektif, dan khusus, dan ada pula yang bersifat tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan ini tergantung kepada sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu diperoleh. Kemudian ada pengetahuan yang benar dan ada pengetahuan yang salah. Tentu saja yang dikehendaki adalah pengetahuan yang benar.[9]
Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan (knowledge) bagi mereka tak ubahnya sebagai ilmu (science), sehingga ilmu dengan pengetahuan tidaklah berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana yang dinyatakan M. Thoyibi, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higher level’ dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. sementara dalam Encyclopedia of philosophy, pengetahuan disebutnya sebagai ‘justified true belief’, yakni kepercayaan yang benar. Sedangkan menurut Amtsal Bahtiar, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[10]
Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada objek kajian yang berada dalam lingkup pengalaman manusia.[11]
Suparlan Suhartono mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary, Suparlan menjelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodis, ilmiah, dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang bersifat fisis (natural).[12]
Menurut Jujun S. Suriansumantri, Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memilikisifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita memperguanakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan”.[13]
Jadi, Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan sistem tertentu.

B.  Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat ialah realitas (real), artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah.[14]
Ilmu dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di mana ilmu adalah hasil dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil tahu (ilmu) manusia terhadap sesuatu objek yang dihadapinya atau dengan kata lain, ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.[15]
Kata science dalam Webste’s New World Dictionary, berasal dari kata Latin scire yang mempunyai arti mengetahui. Secara bahasa, science berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge). Pada akhirnya, kata ini mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga mempunyai pengertian “pengetahuan yang sistematis yang didapatkan melalui observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan dari apa yang dikaji”. Dari penelusuran makna tersebut, terjadi pergeseran makna sains, dari “pengetahuan” menjadi “pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi”.[16]
Dari sinilah titik awal kehancuran terminologi Barat dalam perspektif ilmu, yang akhirnya banyak melahirkan pendapat tentang perolehan ilmu melalui doktrin empiris. Pada awal kemunculannya, kejadian alam semesta secara terus menerus diukur dan dikaji melalui pengamatan. Pada masa inilah, berbagai kejadian sudah tidak diamati atau dikaitkan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa tertentu, seperti peradaban awal manusia dengan kesederhanaan yang mewarnai pola pikir mereka – melainkan sudah dilakukan upaya teoritisasi yang sangat sederhana, seperti melalui hubungan sebab akibat. Air menjadi mendidih jika dipanasi dengan api yang suhunya 100 derajat celcius, sebaliknya air dapat menjadi es jika dibekukan dengan suhu di bawah – 10 derajat celcius. Setelah pengalaman empiris berjalan lama, maka muncullah upaya teoritisasi, yang merupakan pertanda tentang ilmu teoritis. Dari upaya tersebut memunculkan metode perolehan ilmu pengetahuan, yang terdiri atas empirisme, rasionalisme, dan metode keilmuan.[17]
Dalam upaya memperoleh pengakuan, maka perlu pemahaman tentang sistem kerja ilmu. Sehingga, ilmu akan dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science) bukan pengetahuan saja (knowledge). Kinerja ilmu pengetahuan dapat diukur dengan pola-pola seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan dan kontrol. Tata kerja tersebut menjadikan suatu pengetahuan dapat terukur dan teramati dengan baik. Melalui metode keilmuan tersebut, yang dihasilkan dari penggabungan yang baik antara data-data empiris dan pemikiran yang rasional, memungkinkan diperoleh teori-teori ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.[18]
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa sumber pencapaian ilmu pengetahuan di Barat adalah rasio yang di dukung dengan data-data empirik. Dengan cara yang demikian, dalam sejarahnya memunculkan suatu pertentangan antara ahli agama dengan ilmuan. Sebagai contoh, krisis yang terjadi antara pihak gereja dengan ilmuan pada abad pertengahan terhadap kasus penemuan teori bumi. Hal inilah yang membedakan antara pengertian ilmu pengetahuan perspektif Barat dan dalam sudut pandang Islam. walaupun di Barat telah ditemukan berbagai metode keilmuan seperti intuisi, falsafah hidup, dan femenologi. Namun, kasus-kasus yang sekarang bermunculan merupakan pertanda adanya dimensi kekeringan spiritual diantara mereka.[19]
Dalam ajaran Islam, teks al-Qur’an dan hadits serta teks nonverbal alam natural dan sosial adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan entitas mistis universum yang tak terpisahkan kecuali bagi kebutuhan analisis ilmiah rasional materialistik.[20]
Ketika dunia Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dengan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari altenatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu bermunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul terdiri dari dua aliran, yakni aliran rasionalis dan empiris.[21]
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui, prinsip yang di dapat lewat penalaran rasional itulah kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.[22]
Berlainan dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak, namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera.[23]
Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris dinamakan metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme merupakan kerangkan pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Kedua metode ini, yang dipergunaka secara dinamis, menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan sistematis serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan tersebut telah teruji secara empiris.[24]
Adalah Auguste Comte, seorang pembawa ide posotovisme dalam sains. Menurutnya, segala sesuatu harus bersifat nyata, bermanfaat, pasti jelas serta tepat, atau kebalikan dari segala sesuatu yang negative. Dengan demikian, bentuk pengetahuan yang paling tinggi, menurutnya adalah segala sesuatu yang didasarkan pada gejala atau fenomena yang tampak. Dalam hal ini, karakter sains baru muncul ketika pengetahuan yang sistematis tersebut muncul melalui tindakan observasi inderawi, sehingga mensyaratkan observasi sains harus bersifat empiris sehingga bisa diukur, objek-objek ilmu haruslah bersifat fisik atau posistif, sehingga sains akan bersifat posivistik.
Teori ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya terpaku pada teori epistimologi. Namun Islam memadukan in sight (pengetahuan yang dalam), ilmu pengetahuan, dan amal sosial dalam satu rumusan untuk dikonsumsi oleh umat manusia. Rasulullah Saw mengatakan, bahwa suatu waktu malaikat Jibril as. mendatangi Adam as, ia menawarkan pada Adam iman, moralitas (haya) dan rasio serta meminta Adam memilih salah satunya. Dalam hadits di bawah ini merupakan sebuah riwayat ketika Adam memilih rasio (akal), maka moralitas dan iman diminta untuk kembali ke surga. Moralitas dan iman berkata pada Jibril bahwa mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyertai rasio kemanapun ia pergi. Hadits ini mengindikasikan betapa komprehensifnya arti intelegensia dan ilmu pengetahuan, serta betapa kuatnya korelasi antara fakultas rasio, iman dan moralitas dalam Islam[25].

رَوى الْأَ صْبَغُ بْن نُبَاتَة عَنْ أميرِ المؤمنين علي عليه السلام أنهُ قضالَ هَبَطَ جَبْرَئِيْلُ عَلَى آدَمَ عليه السلام فَقَالَ: يَا آدَمُ إنِّي أُمِرْتُ أَنْ أُخَيْرَكَ وَاحِدَةً مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَيْنِ. قَالَ لَهُ آدَمُ : يَا جَبْرَئِيْلُ وَ مَا الثَّلَاثُ؟ فَقَالَ: اْلعَقْلُ وَاْلحَيَاءِ وَالدِّيْنُ. فَقَالَ آدَمُ: إِنِّي قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلُ. فَقَالَ جَبْرَئِيْلُ لِلْحَيَاءِ وَالدِّيْنِ النْصَرِفَا وَ دَعَاهُ. فَقالَ: يَا جَبْرَئِيْلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَكُونَ مَعَ الْعَقْلُ حَيْثُ كَنَ. قَالَ: فَشَأْ نَكُمَا وَ عَرَجَ.[26]
Ali bin Abi Thalib berkata: Jibril telah turun kepada Adam seraya berkata: Hai Adam as. diperintahkan untuk menawarkan kepadamu tiga masalah yang haruskamu pilih salah satu di antaranya. Adam bertanya tiga masalah apa gerangan wahai Jibril? Jibril menjawab: akal, malu, dan agama. Adam berkata aku memilih akal. Setelah Adam memilih akal segera Jibril menyuruh malu dan agama untuk pergi meninggalkan tempat. Namun keduanya berkata: Wahai Jibril, kami berdua diperintahkan untuk menyertai akal di manapun ia berada. Jibril berkata: terserahlah kalian, kamudian Jibril naik ke langit.
Islam tidak membedakan ilmu dan metafisika. Metafisika merupakan bagian dari ilmu. Bahkan aspek inilah yang disebut oleh Imam Ibnu Abdil Bar sebagai al-‘ilm al-a’la (ilmu yang tertinggi). Dikotomi ilmu dan metafisika seperti yang terjadi pada paradigma Barat, jelas memiskinkan makna dari ilmu itu sendiri. Jika penyempitan ilmu pada pengetahuan empiris, dan filsafat serta metafisika pada sesuatu yang non empiris dapat dimaklumi jika hanya sebatas terminologi semata. Tetapi jika perbedaan kedua istilah tersebut dalam rangka mendefinisikan soal-soal filsafat dan metafisika sebagai persangkaan kosong, jelas-jelas merupakan sebuah paradoks.[27]
Pencapaian ilmu juga tidak terlepas dari rahmat Ilahi, proses tersebut memiliki muatan makna yang identik dengan suatu alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai. Intelek dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi juga berhubungan erat dengan persoalan wahyu, sehingga bagi seorang muslim kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.[28] Sebab orang yang berilmu adalah orang yang faqih atas paham terhadap persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab seorang muslim dihadapan Allah. Orang yang faqih atau berilmu adalah berpegang teguh pada al-Qur’an, memahaminya, memikirkannya, dan melaksanakannya. Ibadah yang tanpa disertai dengan ilmu maka tidak ada nilainya.

1.    Obyek Ilmu Pengetahuan
Adapun objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (obyek materi) dan ada yang berupa bentuk (obyek forma).
Objek materi berupa benda-benda materiil maupun non-materiil, bahkan bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep, dan sebagainya. Objek materiil tidak terbatas apakah materiil konkret atau abstrak. [29]
Sedangkan objek forma merupakan objek yang akan menjelaskan pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Melalui objek forma ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal ini menandakan bahwa dengan objek forma, ruang lingkup (scope)ilmu pengetahuan bisa ditentukan pula.[30]
Ambillah contoh, obyek materi “manusia” sendiri. Dari segi kejiwaan keragaan, keindividuan, kesosialan, dan segi dirinya sebagai makhluk Tuhan, masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
2.    Sumber Ilmu Pengetahuan
a.       Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.
John Locke, bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.[31]
Dengan pengetahuan, kita mendapatkan pengetahuan beruapa gejala-gejala. Oleh sebab itu, kita sering tertipu dalam bersikap dan bertingkah laku. Pepatah bahasa Inggris mengatakan “appearance are deeving” (apa yang kelihatan tidak selalu dapat dipercaya). Lihatlah, kita sering tertipu dengan peristiwa-peristiwa alam, seperti fatamorgana, gaung atau gema, ilusi, halusinasi, dan sebagainya.[32]
Namun demikian, pengetahuan indrawi ini tidak boleh diabaikan sama sekali. terutama sumbanganya kepada penyelenggaraan hidup sehari-hari dan eksplorasi pengetahuan selanjutnya dalam rangka memperoleh kebenaran yang valid.
b.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.[33]
c.       Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[34]
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.[35]
Menurut ajaran tasawwuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dari penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawwuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.[36]
Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan makrifat dalam Islam adalah intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan. Namun dalam pandangan Islam, sumber ilmu tidak hanya melalui empiris, rasio, dan intuisi, melainkan terdapat pula wahyu, keyakinan, dan alam.
d.      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[37]
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan sseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu mulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.[38]
e.       Keyakinan
Keyakinan adalahkemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh dari kepercayaan. Keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan.[39]
f.       Alam
Dalam Islam terdapat cara-cara tertentu untuk menetapkan wujud Allah swt., dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda dan kekuasaan Allah swt., yang terhampar memenuhi jagad raya ini. fenomena alam semesta ini, baik yang ada di muka bumi maupun di langit atau yang ada pada diri setiap manusia itu sendiri merupakan dalil Allah swt., yang akan memberikan petunjuk kepada hati dan akal untuk menuju kepada pusat wujud yang hadir pada setiap zaman dan tempat. [40]
Ilmu di Barat hanya berhenti pada akal dan pengetahuan empiris. Sementara dalam tradisi Islam, perolehan ilmu mempunyai semacam integrasi dalam berbagai aspek perolehannya, mulai dari akal atau rasio,  pengalaman sampai wahyu (intuisi), hingga pada barakah (keberkahan ilmu) dan‘afiyah (kemanfaatan ilmu).
Akan tetapi tetap melalui jalan pembenaran yang biasa disebut tasawwuri dan tasdiq. Dalam tradisi Yunani, hikmah (wisdom) dipandang lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dalam Islam, ‘ilm bukan sekedar ilmu pengetahuan, namun ‘ilm bersinonim dengan ma’rifat. Istilah ma’rifat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan (perolehan ilmu melalui proses logis), atau dengan kata lain ilmu pengetahuan (knowledge) yang dianggap memiliki derivasi dari dua sumber, yakni ‘aql dan ilmu huduri (ilmu pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman spiritual).[41]
Dalam sebuah hadits di ungkapkan tentang adanya tanda-tanda ilmu adalah sopan dan diam. Sebagaimana hadits di bawah ini:
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda berilmu adalah sopan dan diam”.[42]
Dalam hadits lain diungkapkan tentang ciri-ciri orang yang bodoh dan dengan memperkuat ciri-ciri orang yang berilmu. Hadits tersebut adalah:
عَلِيُّ بْنُ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَعْبَدٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبِي عَبْدِاللهِ عليه السلام قَالَ كَانَ أَمِيْرُ اْلمُؤْمِنِيْنَ عليه السلام يَقُوْلُ يَا طَالِبَ اْلعِلْمِ إِنَّ لِلْعَا لِمِ ثَلَاثَ عَلَامَاتٍ العِلْمَ وَاْلحِلْمَ وَالصَّمْتَ وَلْلمُتَكَلِّفِ ثَلَاثَ عَلَامَاتٍ يُنَازِعُ مَنْ فَوْقَهُ بالمَعْصِيَةِ وَيَظْلِمُ مَنْ دُوْ نَهُ با لْغَلَبَةِ وَيُظَاهِرُ اْلظَّلَمَةَ.[43]
“Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu memiliki tiga ciri: memiliki ilmu, sopan, diam. Adapun orang yang pura-pura berilmu juga memiliki tiga ciri: membantah seniornya dengan maksiat, menzalimi juniornya dengan keunggulan, dan membantu kezaliman”.
Inilah hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam. suatu hakikat yang tidak tersentuh oleh perspektif barat, dimana sikap, adab dan tingkah laku juga menjadi tolak ukur pencapaian ilmu. Konsep ilmu yang menggabungkan seluruh aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah, batiniyah dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar biasa ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam aspek material semata. Akan tetapi, konsep tersebut tidak terlepas dari pembuktian secara rasional dan empiris.

C.  Analisis
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Sains dan filsafat adalah dua hal yang berbeda, dimana sains diletakkan untuk istilah ilmu-ilmu empiris positif dan filsafat digunakan untuk bidang-bindang ilmu kemanusiaan yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan lewat pengalaman inderawi, seperti metafisika. Dalam perspektif modern mencari ilmu pengetahuan bukanlah bagian dari agama. Sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh jauh dari unsur-unsur spiritual. Sumber ilmu dalam pandangan modern berasal dari rasio, empiric, dan intuisi. Oleh karena itu pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan dalam perspektif modern didasarkan pada dukungan fakta-fakta empiris. Melalui pengujian secara empirislah suatu pernyataan yang dikemukakan dalam rangka keilmuan itu dapat diterima atau tidak.
Dalam perspektif Islam, menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban, ini merupakan suatu perintah agama. Kesempurnaan seseorang adalah dari ilmunya dan pengalaman atasnya. Oleh karena itu, seorang muslim apapun kapasitas keilmuan dalam dirinya paling tidak harus memahami persoalan keagamaan atau amalan keseharian sebagai manifestasi keimanannya pada Allah swt. hal tersebut berkaitan dengan manusia sebagai khalifah di bumi, maka ilmu juga identik dengan persoalan khilafah yang disandang manusia. Dalam perspektif Islam, sumber ilmu tidak hanya melalui rasio, empiric, dan intuisi melainkan juga wahyu yang berasal dari Allah swt sebagai pilar keimanan dalam Islam. kenabian dan keimanan, serta alam. Demikianlah hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana sikap, adab dan tingkah laku juga menjadi tolak ukur pencapaian ilmu. Konsep ilmu yang menggabungkan seluruh aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah, batiniyah dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar biasa ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam aspek material semata. Akan tetapi, konsep tersebut tidak terlepas dari pembuktian secara rasional dan empiris.

                                                



[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 12
[2] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta: Liberty Yogyakarta, 2010), hlm. 85.
[3]  The Liang Gie, Pengantar Filsafat…, hlm. 86.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 12-13
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 15-16
[6] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu (Teori & Aplikatif), (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 63.
[7] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009)…, hlm. 103.
[8] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 101.
[9] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Surabaya: Ar Ruzz Jogjakarta, 2004), hlm. 77-78.
[10] A. Susanto, Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologis), (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 46-47.
[11] A. Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 47.
[12] A. Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 77.
[13] Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,  2012), hlm. 11.
[14] Idzham Fautanu, Filsafat Ilmu…, hlm. 106.
[15] A. Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 77-78.
[16] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 94-95.
[17] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 95-96.
[18] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 96.
[19] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.  96-97.
[20] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.
[21]  Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm. 52.
[22]  Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm. 55.
[23]  Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm. 55-56.
[24] Jujun S. Suriansumantri, Ilmu dalam…, hlm. 15.
[25] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 106-107.
[26] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107
[27] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107-108.                                           
[28] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 108.
[29] A. Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 81.
[30] A. Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 82-83.
[31] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 99-100.
[32] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar…, hlm. 86-87.
[33] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 102-103
[34] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 107
[35] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 108.
[36] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109.
[37] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109-110. 
[38] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 110.
[39] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu…,hlm. 71.
[40] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 176.
[41] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 110.
[42]  M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 111.
[43]  M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar