KAJIAN FIQIH KONTEMPORER
A. UNDANG-UNDANG KEHALALAN DI
INDONESIA
1. Proses Pemberian Sertifikasi
Kehalalan menurut Undang-undang Kehalalan
Pasal 1 Angka 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyebutkan bahwa:
“Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan
sertifikat terhadap barang dan atau jasa”.
Selanjutnya, Pasal 1 Angka 12 Peraturan
Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang
Standardisasi Nasional
menyebutkan bahwa:
“Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang,
jasa, proses, sistem atau
Salah satu bentuk dari pemberian
sertifikat adalah sertifikat
halal. Pengertian sertifikat halal, dapat di lihat dalam Pasal 1 Huruf d
Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 Tentang
Pedoman Dan Tata Cara Pemeriksaan Dan Penetapan
Pangan Halal yang menyatakan bahwa:
“Sertifikat halal
adalah fatwa tertulis yang menyatakan
kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksa”.
Lembaga Pemeriksa adalah lembaga
keagamaan yang di tunjuk
oleh Menteri
Agama untuk melakukan pemeriksaan pangan
halal setelah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional
(KAN). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga
pemeriksa adalah sebagai berikut:
a. Memiliki tenaga auditor atau inspektor pangan halal dalam jumlah dan kualitas yang memadai
dengan memenuhi syarat-syarat antara lain:
1) Beragama Islam,
memiliki wawasan yang luas,
dan mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi atau golongan;
2) Minimal berpendidikan S-1 bidang pangan, Kimia Biokimia, Teknik Industri, Syariah, atau
Administrasi;
3) Mempunyai sertifikat auditor atau inspektor pangan halal dari pelatihan
atau penataran auditor
atau inspektor pangan halal yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pemeriksa.
b. Memiliki Standar Prosedur
Tetap Pemeriksaan pangan Halal;
c. Memiliki laboratorium yang mampu melakukan
pengujian pangan untuk mendukung pemeriksaan kehalalan pangan;
d. Memiliki jaringan dan kerjasama
dengan lembaga sertifikasi halal di dalam negeri dan luar negeri.
Sebelum pelaku usaha mengajukan
sertifikat halal bagi produknya, maka terlebih
dahulu disyaratkan menyiapkan suatu jaminan
halal dari pelaku
usaha.
Setelah adanya jaminan halal dari pelaku usaha, maka langkah-langkah yang harus
di tempuh oleh para pelaku usaha apabila ingin memperoleh sertifikat halal adalah sebagai berikut:[1]
a. Pengajuan Permohonan
a. Data Pelaku
Usaha;
b. Nama dan jenis Produk;
c. Daftar Produk dan Bahan yang
digunakan; dan
d. Proses pengolahan
Produk
b. Penetapan Lembaga Pemeriksa
Halal
a. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan Produk.
b. Penetapan LPH dilakukan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap
c. Pemeriksaan dan Pengujian
a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal.
b. Pemeriksaan terhadap Produk
dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
c. Dalam hal pemeriksaan Produk
terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di
laboratorium.
d. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di
lokasi usaha, Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal
e. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada
BPJPH.
f. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan Produk kepada
MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk
d. Penetapan Kehalalan Produk
1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal.
2) Sidang Fatwa Halal MUI
mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
3) Sidang Fatwa Halal memutuskan
kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima
hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian Produk dari BPJPH.
4) Keputusan Penetapan Halal Produk
ditandatangani oleh MUI.
5) Keputusan Penetapan Halal Produk
disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal
e. Penerbitan Sertifikat Halal
1)
Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada
Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
2)
Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan
Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alas an
3)
Sertifikat Halal
diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI
f. Label Halal
a.
BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku
nasional
b.
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada:
1) Kemasan Produk;
2) Bagian tertentu dari Produk; dan/atau
3)
Tempat
tertentu pada Produk
4)
Pencantuman
Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus,
dilepas, dan dirusak
g. Pembaruan Sertifikat Halal
1) Sertifikat Halal berlaku selama
4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali
terdapat perubahan
komposisi Bahan.
2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha
dengan mengajukan pembaruan
Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku
Sertifikat Halal berakhir
h. Pembiayaan
1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan
usaha mikro dan kecil,
biaya Sertifikasi Halal
dapat difasilitasi oleh pihak lain
Mengenai jangka waktu sertifikat halal, telah ditentukan bahwa
sertifikat halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH,
kecuali terdapat perubahan komposisi bahan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 42 Ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.[2]
Sertifikat
halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Maksud kehalalan
suatu produk di sini adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan
sesuai dengan syariat Islam, yaitu:
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti
bahan- bahan yang berasal dari organ manusia,
darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
3) Semua bahan yang bearsal
dari hewan halal yang di sembelih
menurut tata cara syariat Islam.
4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh
digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya, terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tata cara yang di atur menurut syariat Islam.
5) Semua makanan
dan minuman yang tidak mengandung khamar
2. Pemberian Label Sertifikasi Halal
dan Sanksi begi Pelaku Usalah yang Menyalahgunakannya
Label adalah setiap keterangan mengenai produk yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan produk. Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan[3] menyebutkan bahwa isi pada label, harus memuat sekurang- kurangnya keterangan mengenai:
a. Nama produk
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif berupa:
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis; atau
c. Pencabutan Sertifikat Halal.
Salah satu jenis dari label adalah labelisasi halal. Labelisasi
halal merupakan
tulisan halal baik dalam huruf
Latin dan atau huruf
Arab yang ditempelkan pada kemasan makanan,
minuman, obat-obatan atau kosmetika atas persetujuan Departemen Kesehatan yang sebelumnya telah memperoleh sertifikat halal terlebih dahulu dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Labelisasi halal ini akan menunjukkan kepada
konsumen bahwa
makanan yang memiliki label halal
tersebut memang telah di periksa kehalalannya dan di jamin kehalalannya oleh lembaga yang memeriksanya.[4]
B. HUKUMAN MATI
1. Pengertian Hukuman Mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan
atas seseorang akibat perbuatannya.
Dalam
sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
b. Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian
dialiri listrik bertegangan tinggi.
e. Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang,
biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
2. Tindak Pidana yang Diancam Hukuman
Mati
Dalam hukum pidana Islam, hukuman dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
tergantung dari aspek mana pembagian itu dilakukan. Eksistensi hukuman mati
dapat dilihat pada pembagian hukuman berdasarkan bentuk/sasaran dari hukuman
itu sendiri. Pada klasifikasi model ini, hukuman dapat dikelompokkan
sebagai berikut:[6]
a.
‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik).
b.
‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis).
c.
‘Uqubah maliyyah (hukuman denda).
Adapun tindak pidana yang
dijatuhi hukuman mati, berdasarkan nas-nas agama adalah sebagai berikut:
a.
Pembunuhan
(al-qatl)
b.
Perampokan
(al-hirabah)
c.
Pemberontakan (al-bagy)
d.
Riddah (keluar dari Islam)
e.
Zina
f.
Tindak Pidana Ta’zir
Tindak pidana ta’zir adalah
tindak pidana yang bentuk hukumannya belum ditentukan oleh syara’.[7] Sanksi tindak pidana ini bisa berupa nasihat,
peringatan, hingga pada hukuman penjara dan dera, bahkan hukuman mati dalam
kasus-kasus yang sangat berat dan membahayakan. Hukuman-hukuman tersebut
sepenuhnya penentuannya diserahkan kepada pemerintah dan dalam peradilannya
sepenuhnya diserahkan kepada para hakim dengan mempertimbangkan berat-ringannya
tindak pidana serta keadaan pelaku tindak pidana tersebut.
Secara sederhana, tindak pidana
ta’zir ini dapat terbagi menjadi tiga bagian:[8]
a. Tindak pidana hudud atau qisas
yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, seperti
percobaan pencurian, pencurian di kalangan keluarga dan sebagainya.
b. Tindak pidana yang ditentukan
oleh nas agama (Al-Qur`an dan Hadis), namun tidak ditentukan sanksinya, seperti
penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan sebagainya.
c. Tindak pidana yang ditentukan
oleh ulil amri (pemerintah) untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai (ruh)
ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Dengan demikian, pemerintah dapat
saja menjatuhkan hukuman mati misalnya pada kasus-kasus yang sangat berat
seperti narkoba dan korupsi dalam jumlah tertentu.
3. Mekanisme dan Elastisitas Eksekusi
Terpidana Mati
Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tata cara ataupun etika dalam
melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati,
yaitu:[9]
a.
Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak
menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal,
misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari
Syadad bin Aus bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian membunuh,
maka baguslah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang
baiklah cara menyembelihnya.
b.
Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal
ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat
Rasulullah SAW apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum
mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang
memenggal lehernya.”
c.
Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan
dan menyusukan bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini
juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW.
d.
Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi
dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal
ini didasarkan hadis Rasulullah SAW, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab
Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, “Rasulullah SAW melarang kita
merampas dan mencincang.
e.
Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau
belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya
ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishaskan, maka
Nabi SAW melarang atau menunda qishas tersebut hingga orang yang dianiaya itu
sembuh dari lukanya.[10]
f.
Pelaku pembunuh boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses
eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya
dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat
tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain, tidak
disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-Qathli (eksekusi yang paling
baik), yakni yang mempermudah kematian.[11]
Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah satu tata cara pelaksanaan
pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa,
sebenarnya dapat dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: a) Jika cara yang dilakukan
menimbulkan penderitaan yang panjang di samping tidak diperlukan dalam
menimbulkan kematian; b) bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut
dalam masyarakat; dan c) tidak sengaja dan mempertahankan harkat martabat
terpidana sebagai manusia.
Para ulama sepakat bahwa penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati
dengan cara atau alat yang lebih cepat menghabisi nyawa, atau alat yang bisa
menyegerakan mati. Ini dimaksudkan agar penderitaan atau rasa sakit yang
dirasakan terpidana mati tidak terlalu lama. Di sini berlaku kaidah
‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’.[12]
4. Hukuman Mati di Indonesia
Didalam KUHP terdapat
beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang
kejahatan terhadap keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana, pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang, pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu
perang, pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara,
pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat,
pasal 149 k ayat (2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan
sarana penerbangan, pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan
kematian dan pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara
bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
Didalam perkembangan
kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati,
yaitu UU No.22/97 tentang Narkotika, UU No.5/97 tentang Psikotropika, UU
No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No.31/99 jo UU No.20/2001 tentang
Pemberantasan Korupsi dan UU No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi.
C. PRAPERADILAN DI INDONESIA
1. Pengertian dan Tujuan Praperadilan
Pengertian
Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
undang-undang ini tentang[13]
:
a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
Pada
prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan bertujuan untuk mengawasi
tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian
upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa
HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak
terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun[14].
2. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Tata cara atau proses pemeriksaan
sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian kesatu mulai dari
pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan pasal-pasal tersebut,
telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan.
Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut[15]:
a.
Yang berhak mengajukan permohonan
1)
Tersangka, keluarganya atau kuasanya
2)
Penuntut umum dan pihak ketiga yang
berkepentingan
3)
Penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan
4)
Tersangka, Ahli warisnya atau
kuasanya
5)
Tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan menuntut ganti rugi
b.
Pengertian pihak ketiga yang
berkepentingan
Mengenai pengertian “pihak ketiga
yang berkepentingan”, menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan. Ada
yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas:
a.
Saksi korban tindak pidana, atau
b.
Pelapor
Sebaliknya, muncul pendapat lain. Pengertian
pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas. Tidak terbatas
pada saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili
oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana
menyangkut kepentingan umum.
3. Kedudukan Lembaga Praperadilan
dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan
sistem dalam suatu masyarakat untuk dapat menanggulangi masalah kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan. Indonesia sebagai
negara hukum menganut sistem peradilan pidana yang dinamakan sistem peradilan
pidana terpadu (integrated criminal justice system)[16].
Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum diberikan
wewenang tambahan oleh KUHAP berupa praperadilan. Dalam menjalankan wewenang
tambahan tersebut, praperadilan tetap berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
Lembaga praperadilan diakui dalam pasal 1
butir 10 pasal 77 KUHAP yaitu: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang[17]:
a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
b.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Berdasarkan pasal
78 KUHAP yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 butir 10 pasal 77 KUHAP
adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk
oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Selanjutnya
mengenai pihak-pihak yang berhak mengajukan pemeriksaan praperadilan yaitu[18]:
a.
Tersangka, keluarga atau kuasanya terkait sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan dapat diajukan (pasal 79 KUHAP)
b.
Penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan terkait
sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan (pasal 80 KUHAP)
c.
Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan mengenai tuntutan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi terkait tidak sahnya penangkapan atau penahanan
maupun akibat sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal
81 KUHAP).
Permohonan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam waktu tiga hari setelah permohonan
diterima, hakim yang ditunjuk menetapakan hari sidang sesuai dengan ketentuan
pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP. Selanjutnya menurut pasal 82 ayat (1) huruf c
KUHAP ditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan
selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari hakim yang memeriksa perkara
praperadilan harus sudah menjatuhkan putusan.
Terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat diajukan
upaya hukum banding kecuali putusan yang menetapkan sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke
pengadilan tinggi sesuai dengan ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU-IX/201, ketentuan pasal 83
ayat (2) KUHAP dicabut sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat
diajukan banding.
Selanjutnya tujuan Praperadilan seperti yang tersirat
dalam pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan kebenaran melalui
pengawasan horisontal. Pengawasan horisontal disini adalah untuk mengawasi
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka. Tindakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang
bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal tersebut untuk
meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam
pelaksanaan proses penegakan hukum[19].
Adapun tujuan pengawasan secara horisontal yang dilakukan
oleh lembaga praperadilan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia terutama hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan terhadap
hak-hak tersangka yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tidak terlepas dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagiamana
diatur dalam KUHAP. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum
efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi
tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan
kekurangan.
Berdasarkan kewenangan pada pasal 77 KUHAP, pengawasan
praperadilan terhadap upaya paksa masih terbatas. Praperadilan hanya memeriksa
dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan.
Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan
oleh KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksa
apabila terjadi pelanggaran. Tidak hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80
KUHAP yaitu mengenai pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penghentian penyidikan maupun penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas
mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam
pasal tersebut. Hal tersebut mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap
interpretasi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim praperadilan bersifat pasif, artinya
tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon
pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian, meskipun terdapat suatu penyimpangan
secara nyata dan jelas dalam upaya paksa, tetapi pihak-pihak yang dirugikan
tidak mengajukan permohonan maka hakim praperadilan tidak dapat menguji dan
memutus kebenaran dari upaya paksa tersebut.
Dibatasinya waktu dalam proses beracara merupakan masalah
dalam praperadilan. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf c ditentukan bahwa
pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lamatnya tujuh hari hakim sudah
harus menjatuhkan putusannya. Jika proses beracara perkara praperadilan tidak
selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan dianggap gugur.
Dengan demikian perkara pokok sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri. Dibatasinya waktu tersebut mengacu pada salah satu asas
dalam sistem peradilan pidana yaitu asas peradilan cepat sederhana dan biaya
ringan.
Dalam praktek praperadilan, hakim lebih banyak
memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa tanpa
memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya surat
perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah
penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering diabaikan oleh hakim
praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian
subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum. Akibatnya masih sering
terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum.
Selain itu perbedaan dasar pertimbangan hakim
praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi.
Perkara yang diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan
dan jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam penetapan sering
berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim yang melakukan
pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain itu
juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.
D. BANK KONVENSIONAL DAN BANK
SYARI’AH
1. Pengertian Bank Konvensional dan
Bank Syari’ah
Bank konvensional merupakan bank
yang paling banyak beredar di Indonesia. Bank umum mempunyai kegiatan pemberian
jasa yang paling lengkap dan dapat
beroperasi diseluruh wilayah Indonesia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Konvensional berarti “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Dimana dapat
kita ambil kesimpulan bahwa bank konvensional adalah bank yang operasionalnya
menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang
menjadi kebiasaan.[20]
Bank Syariah adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syariah.[21]
2. Sistem bank Konvensional dan bank
Syari’ah
a. Bank Konvensional
Sistem Penghimpunan Dana
Aktifitas perbankan yang pertama adalah
menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah di dunia
perbankan adalah kegiatan funding. Pengertian menghimpun dana maksudnya adalah
mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat.
Pada dasarnya suatu bank mempunyai empat
alternatif untuk menghimpun dana untuk kepentingan usahanya, yaitu:
1)
Dana
sendiri
2)
Dana
dari deposan
3)
Dana
pinjaman
4)
Sumber
dana lain
Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan
oleh bank dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan
dananya dalam bentuk simpanan. Simpanan/dana dari deposan yang sering disebut
dengan nama rekening atau account. Jenis simpanan yang dapat dipilih oleh
masyarkat adalah seperti:
1)
Simpanan
Giro (Demand Deposit)
2) Simpanan
Tabungan (Saving Deposit)
3) Simpanan
Deposito (Time Deposit)
Dalam
praktiknya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan antara lain: pengiriman uang,
kliring, inkaso, safe deposit box, Bank card, Bank Notes, Bank Garansi, Bank
Draft, Letter of Credit (L/C), menerima setoran-setoran, serta melayani
pembayaran-pembayaran.
Sistem Penyaluran Dana
Sebelum kredit dikucurkan, bank terlebih dahulu menilai
kelayakan kredit yang diajukan oleh nasabah. Secara umum jenis-jenis kredit yang
ditawarkan meliputi:
1) Kredit
Investasi
2) Kredit
Modal Kerja
3) Kredit
Perdagangan
4) Kredit
Produktif
Selisih
antara tingkat bunga pinjaman dan tingkat bunga simpanan disebut dengan spread.
Semakin efisien kinerja suatu bank, akan semakin kecil komponen-komponen yang
ditambahkan pada tingkat bunga simpanan untuk membentuk tingkat bunga pinjaman
b.
Bank Syari’ah
Batasan-batasan
bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam,
menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah
adalah sebagai berikut:
1)
Prinsip
Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Secara umum
terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu:
a)
Wadiah
Yad al-Amanah (Trustee Depository)
Wadiah Yad al-Amanah adalah akad penitipan
barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan
barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian
penerima titipan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe
deposit box.
b)
Wadiah
Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)
Wadiah Yad adh-Dhamanah adalah akad penitipan
barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik
barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam
penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini
diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan.5
2)
Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Sistem
ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini
adalah:
a) Al-Mudharabah
Al-Mudharabah
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan
atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut. Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua jenis:
(1) Mudharabah
Muthlaqah
(2) Mudharabah
Muqayyadah
b) Al-Musyarakah
Al-musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dua jenis
al-musyarakah:
(1) Musyarakah pemilikan.
(2) Musyarakah akad.
Prinsip
al-musyarakah dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
(1) Syirkah al’Inan, yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih
dimana masing-masing pihak meyerahkan suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif
dalam usaha/kerja.
(2) Syirkah Mufawadhah,yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih
dimana masing-masing pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar
dan ikut berpartisipasi dalam pekerjaan.
(3) Syirkah A’maal (Syirkah abdan atau Sanaa’i), yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak
atau lebih yang memiliki keahlian atau profesi yang sama untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan di mana keuntungan dibagi bersama.
(4) Syirkah Wujuh, yaitu perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih yang msing-masing memiliki reputasi dan
kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
(5) Syirkah al-Mudharabah, yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak
atau lebih di mana pihak satunya menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan
tenaga atau keahlian.
3)
Prinsip
Jual Beli (Al-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang
menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang
yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian
barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah
dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasinya
berupa:
a) Al-Murabahah
b) Salam
c)
Istishna’ (akad)
4)
Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
Al-ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-ijarah
terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit
tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak
untuk memiliki barang pada akhir masa sewa.
5)
Prinsip Jasa
(Fee-Based Service)
Prinsip
ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk
yang berdasarkan prinsip ini antara lain:
a)
Al-Wakalah
b)
Al-Kafalah
c)
Al-Hawalah
d)
Ar-Rahn
e)
Al-Qardh
3. Perbedaan antara Bank
Konvensional dan Bank Syari’ah
Secara garis besar perbandingan bank syariah dengan
bank konvensional dapat dilihat pada tabel berikut:
Bank Syari’ah
|
Bank
Konvensional
|
||
Melakukan
|
investasi-investasi
|
Investasi yang
halal dan haram
|
|
yang halal saja
|
|||
Berdasarkan
|
prinsip
|
bagi hasil,
|
Memakai perangkat
bunga
|
jual beli, atau
sewa
|
|||
Berorientasi
|
pada
|
keuntungan
|
Profit
oriented
|
(profit oriented)
dan kemakmuran
|
|||
dan kebahagian
dunia akhirat
|
|||
Hubungan dengan
nasabah dalam
|
Hubungan dengan
nasabah dalam
|
||
bentuk hubungan
kemitraan
|
bentuk hubungan
kreditur-debitur
|
||
Penghimpunan dan
|
penyaluran
|
Tidak terdapat
dewan sejenis
|
|
dana harus sesuai
dengan fatwa
|
|||
Dewan Pengawas
Syariah
|
|||
4. Kontroversi Bunga Bank
Majlis
Tarjih Muhadiyah di sidoarjo pada tahun 1968 memutuskan:
(1) Riba
hukumya haram dengan sharih Al-qur’an dan As Sunah.
(2) Bank
dengan sistem riba hukumya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
(3) Bunga yang
diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya yang selama ini
berlaku termasuk perkara mustabihat.
Lajnah
Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama
(1) Bunga bank
sama dengan riba secara mutlak
(2) Bunga bank
tidak sama dengan riba
(3) Bunga bank
hukumnya syubhat
Majlis
Ulama Indonesia (MUI)
(1) Alasan
pendapat yang mengharamkan ialah karena di dalam bunga bank terdapat
unsur-unsur riba yaitu:
(a) Unsur tambahan
pembayaran atas modal yang dipinjamkan
(b) Tambahan
tersebut tanpa ‘iwad/muqabil (risiko), hanya karena adanya tenggang waktu
pembayaran kembali
(c) Tambahan
itu diisyaratkan dalam akad
(d) Dapat
menimbulkan adanya unsur pemerasan.
(2) Alasan
pendapat yang menghalalkan ialah:
(a) Adanya
kesukarelaan kedua belah pihak
(b) Tidak
adanya unsur pemerasan
(c) Mengandung
manfaat untuk kemaslahatan umum
E. NARKOBA
1. Definisi Khamr dan Narkoba
Al-khamr secara etimologi berarti menutupi,
yang dimaksud dengan khamr itu adalah sesuatu yang menutupi kepala
seperti sorban atau kerudung. Dinamakan khamr karena menutupi atau mengacaukan akal.[22]
Sedangkan istilah NARKOBA merupakan singkatan dari NARkotika, psiKOtropika dan
BAhan Adiktif lainnya. Istilah Narkoba berdasarkan Kepres No.17 tahun 2002
sejak terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan istilah sebelumnya
NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) istilah yang digunakan Departemen Kesehatan
(DEPKES) RI, dan NAFZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) istilah yang
digunakan oleh DEPKES dan DEPSOS (Departemen Sosial RI), sudah tidak digunakan
lagi sejak Kepres tersebut.[23]
Tentang Narkotika dalam istilah
bahasa Arab paling sedikit ada 3, yaitu al-Mukhaddirat
(المخدرات), al-aqaqir (العقاقير), dan hasyisy
(حشيي). Narkotika al-Mukhaddirat (المخدرات), secara
etimologi berarti sesuatu yang terselubung, kegelapan atau kelemahan . Diambil
dari kata al-Khidr (الخدر) yang berarti
tirai yang terjurai di sudut ruangan seorang gadis. Kata tersebut biasanya
digunakan sebagai penirai rumah. Kata al-Mukhaddirat
(المخدرات) dapat juga terambil dari kata al-Khadar (الخدر) yang berarti
kemalasan dan kelemahan. Al-Khadir
(الخدر) bentuk fâ’il (إسم فاعل) atau subyek
dari kata al-Khadar (الخدر) artinya orang
yang lemah dan malas.[24]
Jenis-jenis Narkoba
a. Candu/ madat atau opium,
b. Heroin.
c. Shabu-shabu.
d. Ekstasi/Metamphetamines.
e. Putauw.
f. Ganja atau mariyuana.
g. Hashish.
2. Ketetapan Pidanan (Jinayah)
Berkaitan dengan Narkoba
a. Sanksi hukum bagi pembuat dan
pengedar narkoba.
Jinayah atau Jarimah yaitu tindak pidana di
dalam hukum Islam berupa larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah SWT.
dengan hukuman had atau ta’zir.[25] Hukuman had adalah hukuman yang ditetapkan
melalui wahyu yang merupakan hak Allah SWT. sebagai syari’. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ada
nasnya, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim (qadhi).
Mengingat ketidakseimbangan antara
manfaat yang ditimbulkan oleh narkoba pada satu sisi dan besarnya bahaya yang
ditimbulkan pada sisi yang lain, maka hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa
penyalahgunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang
dilakukannya. Narkoba dengan berbagai jenis, bentuk dan nama yang telah
diidentifikasi pengaruhnya terhadap akal pikiran dan fisik, maka sanksi
hukumannya dikategorikan ke dalam khamr, yang secara tegas dan keras dilarang oleh
Allah SWT. dan Rasul-Nya. Kemudian timbul suatu pertanyaan apakah Boleh menjatuhkan hukuman mati kepada
produsen dan pemasok narkoba dalam pandangan Islam? Hukumnya boleh, karena
sudah jelas pemasok narkoba menimbulkan mafsadah yang besar. Dalilnya
dalam surat al-Ma’idah ayat 33 yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar”.
Hadits Nabi yang menyatakan keharusan memerangi
(menghukum) orang yang membuat khamr (narkoba):
Artinya: “Dari Dailami Al-Himyari, ia berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang
bersuhu udara dingin dan kami mengatasinya dengan cara kerja berat dan kami
membuat minuman dari gandum ini untuk menambah kekuatan kami dalam bekerja dan
mengatasi dinginnya suhu di negeri kami. Beliau SAW. menjawab: Apakah
menyebabkan mabuk? Aku menjawab: Ya. Beliau bersabda: Jauhilah! Kata Dailani:
Lalu aku mendekat tepat dihadapan beliau SAW., dan hal tersebut aku tanyakan
kembali kepada beliau. Maka beliau menjawab: Apakah memabukkan? Aku menjawab:
Ya. Sabda beliau: Jauhilah! Aku mencoba menjelaskan: Orang-orang sulit
meninggalkan (kebiasaan) tersebut. Beliau menjawab: Jika mereka tidak mau
meninggalkannya maka perangilah mereka! (HR. Ahmad, hadits ke-17243 dan Abu
Daud hadits ke 3198).
Qoul Ulama yang menyatakan kebolehan memberikan hukuman
mati terhadap pelaku kriminal (membuat narkoba):
Artinya: “Barangsiapa yang perilaku kriminal dan
negatifnya tidak bisa dicegah kecuali dengan jalan hukuman mati, maka hukuman
mati harus dijatuhkan kepadanya. Semisal orang yang memprovokasi perpecahan
dalam masyarakat muslim, atau orang yang mengajak pada perbuatan bid’ah dalam
agama...Karena Nabi Saw. pernah memerintahkan untuk melaksanakan hukuman mati
kepada orang yang secara sengaja membuat kebohongan atas nama beliau. Dailami
al-Himyari menanyakan kepada beliau – dalam versi riwayat Ahmad dalam al-Musnad
– tentang orang yang tidak bisa berhenti minum-minuman keras sampai pada
peringatan yang keempat kali. Maka beliau SAW. menjawab: jika mereka tetap
tidak mau meninggalkannya, maka jatuhkanlah hukuman mati kepada mereka.
Kesimpulannya: Bahwa diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati sebagai kebijakan
atas mereka yang melakukan tindakan kriminal secara berulang-ulang, para
pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, tindakan subversif yang
mengancam keamanan negara dan lain sebagainya.[26]
b. Pendapat para imam mazhab terhadap
sanksi hukuman peminum al-khamr
Sementara yang berkaitan dengan ringan
beratnya hukuman bagi pemakai khamr tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi hanya
disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami
Hisyam bin ‘Ammar, Telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Ishak, Telah
menceritakan kepada kami Said bin Abi ‘Arubah bin Bahdalah dari Zakwan Abi
Shâlih dari Mu’awiyah bin Abî Sufyân bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila
mereka meminum khamr, maka hendaklah kamu dera/jilid, kemudian jika minum lagi
maka deralah ia, kemudian jika minum lagi deralah ia, kemudian minum lagi maka
bunuhlah.” (H.R. Ibn Majah).[27]
Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa ‘Umar
bin Khattab meminta pendapat tentang khamr yang dikonsumsi manusia. ‘Ali bin Abi Thalib
berkata: “Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum
yang memabukan. Jika ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah
bicara tidak karuan maka ia berbohong”.
Kemudian ‘Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80 kali cambuk.
Hadits dari Ibn ‘Umar, bahwasannya Rasulullah
bersabda: “Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terkait dengan khamr:
produsennya (pembuat), distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya
(kurir), pengirimnya, penuangnya (penyuguh), penjualnya, pemakan hasil
penjualannya, pembayar dan pemesannya.” (H.R. Ibn Majah dan al-Tirmiza).[28]
Menyikapi hadits di atas, para ulama
bersepakat bahwa bagi para peminum khamr
dikenakan had berupa hukuman dera
atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak.[29]
Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum
tersebut. Dari kalangan mazhab Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa
peminum khamr di-kenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara
itu dari mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa peminum khamr
diberikan sanksi cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hanbali terjadi
perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya
berpendapat hanya 40 kali cambuk.[30]
Perbedaaan hukuman ta’zir
dengan hukuman had, menurut
Imam al-Mawardi yaitu memberikan sanksi ta’zir
kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam
hukuman had tidak ada
perbedaan. Dalam hukuman had
tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zir ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman had itu memungkinkan bisa menimbulkan
kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman ta’zir
terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu.[31]
3. Fatwa MUI, Muhammadiyah, dan NU
mengenai Hukum Penyalahgunaan Narkoba
a.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
1)
Menyatakan haram hukumnya penyalahgunaan
narkotika dan semacamnya, yang membawa kemudaratan yang mengakibatkan rusak
mental fisiknya seseorang, serta terancamnya kemanan masyarakat dan Ketahanan
Nasional.
2)
Mendukung sepenuhnya rekomendasi Majelis
Ulama DKI Jakarta tentang pemberantasan narkotika dan kenakalan remaja.
3)
Menyambut baik dan menghargai segala usaha
menaggulangi segala akibat yang timbul dari bahaya penyalahgunaan narkotik dan
semacamnya.
4)
Menganjurkan kepada Presiden RI agar merusaha
segera mewujudkan Undang-Undang tentang Penggunaan dan Penyalahgunaan Narkotik,
termasuk obat bius dan semacamnya, serta pemberian hukuman terhadap
pelanggarnya.
5)
Menganjurkan kepada Presiden RI membuat
instruksi-instruksi yang lebih keras dan intensif terhadap penanggulangan
korban penyalahgunaan narkotik.
6)
Menganjurkan kepada alim ulama, guru-guru,
mubaligh, dan pendidik untuk lebih giat memberikan pendidikan/ penerangan
terhadap masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkotik.
7)
Menganjurkan kepada organisasi –organisasi
keagamaan, organisasi pendidikan dan sosial, serta masyarakat pada umumnya
terutama pada orang tua untuk bersama-sama berusaha menyatakan “Perang Melawan
Narkotik”.
Mengingat:
Dalil
Al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut:[32]
1)
Firman Allah SWT.:
...ولا تلقو بأيديكم إلى
التهلكة...( البقرة: 195)
“…Dan Janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 195)
...ولا تقتلوا أنفسكم، إن الله
كان بكم رحيما. (النساء: 29)
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah SWT.
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
2)
Hadits Ummu Salamah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كلّ مسكر
ومفنّر (رواه أحمد في مسنده وأبو داود في سننه سند صحيح)
Rasulullah SAW melarang setiap
yang memabukkan dan melemahkan akal dan badan. (Hadits riwayat Ahmad dalam sunahnya,
dengan sanad shahih)
3)
Sabda Rasulullah:
كلّ مسكر حرام (رواه البخاري والمسلم)
Tiap-tiap barang yang memabukkan
haram. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim)
4)
Hadits dari Jabir RA bahw Rasulullah
bersabda:
كلّ ما أسكر كثيره فقليله حرام (أخرجه أحمد
وأبو داود والترمذى والنسائى وابن ماجه وابن حبان وصحيح وحسنه الترمذى ورجاله
ثقاث)
Setiap sesuatu yang apabila
dikonsumsi dalam jumlah banyak itu bisa memabukkan, maka apabila dikonsumsi
dalam jumlah sedikit hukumnya haram. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzi,
An-Nasa’i, Ibn Majjah, dan Ibn Hibban yang meng-shahih- kannya, serta
at-Turmudzi yang menganggapnya hasan, sedang rijal-nya dipercaya.
b.
Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah bertanya kepada
para ahli dalam bidang mereka masing-masing, terutama para ahli farmasi dan
para dokter. Dari hasil diskusi dengan mereka itu, diambil kesimpulan bahwa mengharamkan makanan dan minuman yang kadar alkoholnya
diatas 5% karena memabukkan, tetapi jika dibawah 5%
diperbolehkan, seperti air tape.
Dalil yang melandasi keputusan
tersebut antara lain berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَس لَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ( رواه مسلم )
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a.
(diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap yang
memabukkan itu adalah khamr, dan setiap yang memabukkan itu adalah haram.” (HR. Muslim)
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa di
samping khamr, ada lagi makanan atau minuman yang jika dimakan atau diminum
dalam jumlah tertentu dapat memabukkan si peminum, tetapi haramnya tidak mutlak
seperti minum khamr; seperti ganja, alkohol, berbagai macam alat perangsang dan
penambah tenaga. Dalam al-Qur’an disebutkan:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ
النَّخِيلِ وَاْلأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ
فِي ذَلِكَ ( لَآيَةً لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ (النحل : 67(
Artinya: “Dan dari buah korma
dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
(QS. An-Nahl,: 67).
Makanan dan minuman
yang dapat memabukkan bila dimakan atau diminum dalam jumlah tertentu selain
khamr itulah mungkin yang dimaksudkan oleh golongan Hanafiyah dengan nama
nabidz. Mereka membedakan antara khamr dan nabidz. Khamr keharamannya mutlak,
sedangkan nabidz tidak. Pertanyaannya ialah, bagaimana dapat menetapkan ukuran
atau kadar makanan dan minuman tersebut sehingga dapat memabukkan? Dalam al-Qur’an Allah SWT
telah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ( النحل : 43(
Artinya: “… maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. An-Nahl,: 43)
c. Bahtsul Masail (NU)
Nahdlatul
Ulama sendiri dalam Muktamar ke-31 di Asrama Haji Donohudan-Boyolali-Jawa
Tengah telah memutuskan kebolehan untuk menghukum mati bagi pemasok psychotropika
dan narkotika. Alasan yang dikemukan dalam keputusan tersebut adalah karena
menimbulkan mafsadah yang besar. Landasannya sebagaimana
dikemukakan Ibnu Taimiyah.[33]
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّعْزِيْرَ مَشْرُوْعٌ فِيْ
كُلِّ مَعْصِيَّةٍ لاَ حَدَّ فِيْهَا وَلاَ كَفَّارَةَ
“Para ulama telah sepakat bahwa hukuman ta’zir itu disyariatkan untuk
setiap pelanggaran (ma’shiyah) yang tidak terdapat ketentuan
hukuman had dan kafarat”.
Pertanyaan penting yang harus diajukan disini adalah apakah
hukuman ta’zir diperbolehkan sampai pada taraf menghukum mati?
Dalam pandangan kami, jelas diperbolehkan sepanjang pelanggaran yang dilakukan
menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang massif.
Bahkan memberikan hukuman ta’zir dengan cara menghukum
mati pernah dilakukan pada masa sayyidina Umar bin al-Khaththab ra. Sayyidina
Umar bin al-Khaththab ra pernah mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak
mereka untuk mendiskusikan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku liwath.
Mereka pun kemudian mengeluarkan fatwa agar pelakunya dihukum mati dengan cara
dibakar.[34]
…أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ كِبَارَ عُلَمَاءِ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ
عَلَيْهِمْ وَاسْتَشَارَهُمْ فِيْ عُقُوْبَةِ اللاَّئِطِ فَأَفْتَوْا
بِإِعْدَامِهِ حَرْقًا، وَهَذَا مِنْ أَشَدِّ مَا يُتَصَوَّرُ فِيْ بَابِ
التَّعْزِيْرِ
“…bahwa sayyidina Umar bin
al-Khaththab ra mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak mereka
bermusayawarah mengenai hukuman yang layak bagi pelaku liwath.
Kemudian mereka pun memberikan fatwa hukuman mati bagi pelaku tersebut dengan
cara membakarnya. Model hukuman ini merupakan model yang paling mengerikan
dalam bab hukuman ta’zir…”.
F. KORUPSI
1. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus
yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau
memfitnah. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris: Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie
(Korruptie). Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa
Indonesia: Korupsi.[35]
Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan
Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang
swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada
kepentingan-kepentingan si pemberi.[36]
Adapun definisi yang sering dikutip adalah: Tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan
status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.[37]
2.
Upaya
pemberantasan Korupsi di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam lingkar sejarah telah tercatat
bahwa pemerintah telah memberlakukan beberapa Undang-Undang guna pemberantasan
korupsi. Peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi pada
mulanya berdasarkan KUHP seperti pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220,
423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.
Undang-Undang yang lebih jelas tentang tindak pidana korupsi adalah
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi.
Pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 dan sejak saat itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang
korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20.
kemudian pada Bab IV mulai pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan
formil bagaimana menjalankan
ketentuan meteriilnya. Pemerintah
kemudian melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.[38]
Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi
khusus yang akan menangani dan memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian terakhir disebut KPK (Komisi
Pemberantasa Korupsi). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara
yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas
dari kekuasaan manapun.
Komisi ini memiliki kekuasaan yang super power, very-very high
(meminjam istilah Abdullah Hehamahua), karena tidak sekedar menyidik, menangkap
tetapi juga supervisi lembaga yudikatif. Dia melakukan supervisi kehakiman,
kejaksaan dan kepolisian. Tidak ada lembaga di dunia yang memiliki kewenangan
supervise lembaga yudikatif seperti KPTPK ini.[39]
3.
Pemberantasan
Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam
Di dalam
hukum Islam khususnya ilmu fiqih kata korupsi termasuk dalam kategori jarimah
(tindak pidana). Unsur-unsur dan definisi yang masuk kategori jarimah dan mendekati tindak
pidana korupsi tersebut antara lain :
a. Ghulul (penggelapan)
Penegertian ghulul pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan,
penggelapan atau berlaku curang dan hianat terhadap rampasan perang. Akan
tetapi, dalam perkembangan berikutnya menjadi tindakan curangdan hianat
terhadap harta-harta lain, seperti baitul mal, harta milik bersama kaum muslim,
harta bersama dalam kerja bisnis, harta Negara, zakat dan lain-lain.[40]
b. Risywah (penyuapan)
Risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah
dan menyalahkan yang benar. Risywah termasuk dosa besar dan hukumnya haram
apabila dengan tujuan sperti pengertian di atas.
Untuk
sanksi pelaku Risywah sendiri sama dengan pelaku ghulul, namun kasus suap
menyuap yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini harus ditangani oleh
pemrintah bekerjasama dengan semua komponen bangsa.
c. Ghasab (Mengambil paksa hak/harta orang lain)
Ghasab adalah mengambil harta atau menguasai harta atau hak orang lain
tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan
serta dilakukan secara terang-terangan.
Para ulama sepakat bahwa Ghasab merupakan perbuatan terlarang dan
hukumnya haram untuk dilakukan. Walapun barang yang diambil tidak mencapai
nisab pencurian.
d. Khianat
Khianat adalah sikap tidak becusnya seseorang pada saat diberikan
kepercayaan. Disamping itu ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang
melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan
sepihak dalam perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah utang piutang
atau masalah muamalah secara umum.[41]
e. Sariqah (Pencurian)
Sariqah adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari
tempat penyimpananya. Syarat yaitu ; pelaku telah dewasa dan berakal sehat,
pelakunya terdesak dengan kebutuhan hidup, tidak terdapat hubungan kekerabatan
antara korban dan pelaku, tidak ada unsur subhat dan pencurian tidak terjadi
saat peperangan di jalan Allah.
Sedangkan rukunya yaitu ; mengambil secara sembunyi, barang yang diambil
berupa harta, harta tersebut milik orang lain, dan melawan hokum.[42]
f. Hirabah (Perampokan)
Tindakan
kekerasan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain, baik
yang dilakukan di dalam rumah maupun di dalam rumah, dengan tujuan mengambil
harta, membunuh atau teror pada pihak korban.
g. Al-Maks (Pungutan Liar), al-Ikhtilas (Pencopetan)
dan al-Ihtihab (Perampasan)
Al-Maks adalah memungut cukai, menurunkan harga, dan menzalimi.
Sederhanya Al-Maks adalah sejumlah uang
yang diambil dari para pedagang yang ada di pasar.
Al-Ikhtilas adalah cara untuk menguasai atau memiliki harta pihak lain
dengan cara merebut, merampat dengan cepat dan terang-terangan melalui
kekerasan dengan cara memperdaya korban.
Al-Ihtihab mengambil harta orang lain secara terang-terangan dan memaksa,
namun tidak ada upaya untuk memperdayai korban.[43]
Salah satu kontribusi agama yang
bisa digali menurut penulis adalah dengan cara
menggali konsep korupsi
dan berikut sanksi-sanksinya dalam hukum Islam untuk kemudian
dikontekstualisasikan dengan kondisi
Indonesia saat ini.
Lalu bagaimana pandangan hukum Islam tentang korupsi di Indonesia?
Korupsi dalam tindak pidana
(jarimah) digolongkan ke dalam bentuk ta’zir karena jenis pidana yang ada dalam
korupsi tidak termasuk ke dalam bentuk-bentuk pidana yang ditentukan oleh
syari’ dalam hudud dan diyat-qisas. Dengan demikian, maka ta’zir bisa didefinisikan
sebagai: Hukuman yang diwajibkan karena adanya kesalahan, di mana pemberi
syari’at tidak menentukan hukumannya secara tertentu.[44]
Maksud ta’zir
adalah untuk memperbaiki
pribadi orang yang bersalah. Ini
dapat kita pahami dari perkataan-perkataan para ahli fiqh, yaitu: at ta’ziru ta’dibun was tislahun wa
zajrun-ta’zir itu ialah mendidik, memperbaiki dan menghalangi orang yang
berbuat jahat dari berbuat sesudah dilakukannya. Di samping itu, ta’zir adalah
suatu prosedur yang harus dilakukan untuk menenangkan gelora keamarahan
masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang teraniaya.[45]
Jenis hukuman ta’zir diserahkan
kepada hakim, oleh karena itu Hakim memiliki
kebebasan dalam menetapkan ta’zir
kepada pelaku tindak
pidana atau pelanggaran yang
ancaman hukumannya tidak ditentukan oleh nash (Al-Qur’an atau hadits) termasuk
di antaranya tindak pidana korupsi. Karena itu, ta’zir dapat berubah sesuai
dengan kepentingan dan kemaslahatan. Pemberian hak penentuan ta’zir kepada
penguasa (hakim) dimaksudkan supaya mereka dapat mengatur kehidupan
masyarakat secara tertib dan mampu
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.
Hukum Islam mendasarkan rumusan
hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan
(retribution) dan penjeraan (deterrence). Dalam hal retribusi sebagai alasan
rasional dibalik pemberian hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang
harus ada di dalamnya yaitu: (1). kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan
hukuman itu diberikan kepada pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan
penjeraan yang pokok adalah mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut di
kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu internal dan jeneral.
Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya lagi. Jeneral
maksudnya penjeraan itu diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut
untuk melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman
terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk jarimah ta’zir maka hakim
yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam menentukan berat ringannya
hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang
hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan
masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang
koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu
juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.[46]
G. PAEDOFIL (HUKUMAN KEBIRI)
1. Pengertian Kekerasan Seksual
Paedofil dan Penyebabnya
Paedofil adalah orang yang
mempunyai selera seksual terhadap anak.[47]
Penderita paedofil memiliki perilaku menyimpang dimana ia memilih anak-anak di
bawah umur sebagai obyek pemuasan kebutuhan seksualnya.
Manurut Marzuki Umar Sa’abah,
paedofil adalah penyakit kejiwaan dimana seseorang mempunyai penyimpangan
seksual, yakni mempunyai kecenderungan seksual terhadap anak.[48]
Menurut kamus kesehatan, paedofil
adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13
tahun. Penderita paedofil berusia lebih dari 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih
tua dari si anak. Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada laki-laki.
Individu dengan gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk
mendapatkan akses dan kepercayaan dari anak-anak.[49]
Pedofilia adalah gangguan
psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk terlibat dalam
tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan jenis. Tiga
puluh persen dari anak-anak korban kejahatan pedofilia dilecehkan
oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang dewasa yang mereka kenal
dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10 persen anak-anak yang
mengalami kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[50]
2. Hukuman Kebiri bagi Paedofil
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua
buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis
saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa
pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat
dan sekaligus menjadikan mandul.[51]
Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan
metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ
yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang
melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis
tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit
gairahseks. Akibatnya laki-laki akan
kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi
mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau
penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri.
Ada dua metode injeksi. Pertama,
diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan
berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang
dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun
dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini
dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Kebiri dengan pembedahan yakni pengangkatan
(amputasi) testis sebagai tempat produksi hormon testosteron. Cara ini sudah
ditinggalkan di dunia modern karena dianggap menentang HAM. Sedangkan cara
kedua dengan menyuntikkan cairan kimiawi yang memusnahkan libido seksualnya. Kedua
model kebiri ini sama-sama melumpuhkan fungsi organ vital laki-laki dalam hal
seksualitas. Namun untuk jenis suntikan kimiawi, ada yang hanya bersifat sementara
dan bisa pulih kembali.
Yahya Harahap menyebutkan,[52] “Dengan landasan
sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun
Tersangka/ Terdakwa adalah :
a.
Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung
kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan
yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat
Tuhan;
b.
Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung
kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa:
1)
Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia
2)
Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan
mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan
3)
Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa
kecuali
4)
Fungsi dan tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata
dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya, sebelum wacana
pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut, perlu kiranya kita mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi
manusia dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar
hak asasi dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena
dalam beberapa kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga
dalam arti memilki istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara
kimia di India, maka para aktivis hak asasi manusia menentang praktek kebiri
kimia paksa, dan menyebut itu sebagai sebuah tindakan melawan kebebasan dan
kemanusiaan. Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok
maupun kimiawi dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro
dan kontra khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia;
b.
Pelaku pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan
keturunan;
c.
Pelaku pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku
pedofilia tidak serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa.
3. Hukuman Kebiri dalam Perspektif
Islam
Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku
pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada
manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha.
Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al
Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul
Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al
Qurthubi (Al
Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus
Salam, 3/110). (Lihat Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al
Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan,
hlm. 90).
Dalam kitab Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip
pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut:
وقال ابن حجر : هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم
“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang
kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil
Mathrudi berkata :
أجمع العلماء على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز
“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu
diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil
Mathrudi,Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah
hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW
terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata:
رد رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون
التبتل، ولو أذن له لاختصينا
“Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin
Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi
ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un
untuk melakukan tabattul,
niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata:
كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء،
فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن ذلك
“Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi
SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi
SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang
demikian itu.” (HR Bukhari
no 4615; muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141).
(taqiyuddin
an nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119).
Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku
pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram)
melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan syariahIslam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).
Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila
sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukumkebiri untuk pelaku pedofilia, karena syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu
bagi pelaku pedofilia.
Adapun rincian hukuman dalam Islam untuk
pelaku pedofilia adalah sebagai berikut:
a. Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah
perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had
az zina), yaitu
dirajam jika sudahmuhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali
jika bukan muhshan.
b. Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman
mati, bukan yang
lain.
c. Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual
(at
taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zinaatau homoseksual, hukumannya ta’zir.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat,
hlm. 93).
Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan
adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen,
hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang
dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya
adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال
بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال
“Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang
menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki
menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri
dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram
hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk
menyerupai lawan jenisnya (perempuan).
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة
“Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram
hukumnya haram juga).
Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas,
menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.
H. HUKUM HAJI BERKALI-KALI
1. Pendapat MUI tentang haji
berkali-kali
MUI telah lama mengeluarkan fatwa agar umat Islam melaksanakan
Ibadah haji satu kali saja, adapun jika mempunyai dana untuk haji lagi lebih
baik digunakan untuk membantu fakir miskin dan masyarakat yang membutuhkan.
Majelis Ulama Indonesia pada bulan Jumadil Akhir 1404/Maret 1984 menghimbau
kepada Umat Islam Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk :
a.
Menghayati
bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat
istitha’ah dalam arti yang luas.
b.
Memberi
kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada
keluarga yang belum haji.
c.
Kepada
umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu
disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum
disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.[53]
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mendukung rencana pemerintah menerapkan aturan larangan haji berkali-kali.
Kebijakan itu tidak perlu didasarkan kepada fatwa MUI karena bukan persoalan
hukum Islam. Kebijakan ini adalah langkah untuk mengurangi daftar antrean calon
haji asal Indonesia.
Komisi Kerukunan Antarumat Beragama
MUI, Slamet Effendi Yusuf, mengatakan, pemerintah tidak perlu takut menerapkan
larangan haji berkali-kali akan dianggap melatang beribadah. “Ini bukan perkara
hukum Islamnya, dan pemerintah tidak perlu takut dianggap melarang beribadah.
Ada prinsip yang seharusnya dipegang
oleh pemerintah, yaitu kaidah bahwa kewajiban pemerintah atas rakyatnya harus
diorientasikan pada kemaslahatan. “Ketika pemerintah mengambil kebijakan hanya
membolehkan orang yang belum haji untuk mendaftar dan berangkat haji, alasannya
adalah untuk kebaikan bersama. hal tersebut juga menghindarkan diri dari
perbuatan zalim karena masih banyak orang belum berhaji tidak mendapatkan
haknya untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu, gara-gara ada yang sudah haji
namun kembali lagi pergi berhaji.
MUI menganjurkan umat Islam yang
memiliki harta lebih, bisa menggunakannya untuk amal dan sosial, seperti
membantu kegiatan pendidikan, penyantunan anak yatim, membantu fakir dan
miskin. “Kalau memang rindu Tanah Suci, kan bisa ikut umrah saja.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat H. Hamdan Rasyid menunaikan ibadah haji kedua dan seterusnya dalam hukum Islam
termasuk sunnah, didasarkan pada sabda Nabi yang menjawab pertanyaan sahabat;
Barangsiapa yang menambah maka hukumnya tathawwu (sunnah). Sunnah yaitu
perbuatan yang jika dilaksanakan akan memperoleh nilai keutamaan, akan tetapi
jika tidak dikerjakan tidak berdosa.[54]
Namun dengan melakukan haji berulang di tengah kondisi keterbatasan kuota
haji, menurut Hamdan bisa membawa dampak negatif. Antara lain, mengurangi,
bahkan menghilangkan kesempatan orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji,
karena jatahnya diambil oleh orang yang melaksanakan ibadah haji sunnah atau
haji berulang. Ibadah sunnah menghambat yang wajib harus dikalahkan. Lebih baik
mereka membantu faqir miskin dan sebagainya, dan membantu kemiskinan adalah
wajib.
2. Hukum haji berkali-kali menurut
Kemenag
Wakil
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, kewajiban beribadah bagi umat Muslim
hanya satu kali. Apabila melakukan kembali atau haji berulang, sementara
waiting list (daftar tunggu) calon jamaah haji di tanah air sudah semakin
banyak, maka sebaiknya mengalihkan kepada amaliah yang lain seperti membantu
kemiskinan. Haji berulang-ulang tidak baik, kecuali menjadi petugas. [55]
Ditempat terpisah Menteri Agama Lukman
mengatakan, daftar tunggu diberlakukan mengingat banyaknya animo masyarakat
untuk menjalankan ibadah haji. Menurut dia, daftar tunggu merupakan salah satu
langkah untuk membatasi agar jumlah jamaah tidak melebihi kuota yang ditetapkan
Pemerintah Arab Saudi sebanyak 168.000 jamaah.
Ada beberapa prioritas
yang merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2015. Peraturan
tersebut menyebutkan jamaah yang baru pertama naik haji dan berusia minimal 12
tahun mendapatkan prioritas dari pemerintah.
Salah satu
aturan yang ditetapkan dalam PMA 29/2015 ini adalah masyarakat Indonesia yang
bisa mendaftar haji adalah mereka yang pada saat mendaftar minimal berusia 12
tahun. Tak hanya itu, bagi jemaah haji yang sebelumnya sudah pernah
menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftara haji setelah 10 (sepuluh)
tahun sejak menunaikan ibadah haji yang terakhir.
Dalam
aturan tersebut juga disebutkan bahwa calon jamaah haji berusia di bawah 17
tahun dan belum belum memiliki KTP dapat menggunakan kartu identitas lain yang
sah.
3. Hukum haji berkali-kali menurut MK
Dalam hukum di Indonesia haji berkali-kali
tetap diperbolehkan, karena tidak melanggar konstitusi yang ada. Hal ini
diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggarakan Ibadah Haji dan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. MK
berpandangan bahwa melakukan ibadah haji lebih dari sekali tidak melanggar
konstitusi.[56]
Menurut majelis hakim, sistem penyelenggaraan
ibadah haji yang diatur undang-undang sudah tepat. MK juga menegaskan WNI yang
ingin naik haji 2 kali tak perlu diberatkan dengan syarat-syarat. Dalam pertimbangan Majelis Hakim MK Anwar Usman, UU
Nomor 13 Tahun 2008, sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Di
mana aturan tersebut dilakukan setelah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan
kuota haji kepada semua negara, termasuk Indonesia.
Dengan adanya kebijakan tersebut pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun lalu, telah menerapkan pendaftaran haji dan memungkinkan adanya daftar tunggu. Kebijakan tersebut, untuk menerapkan prinsip keadilan dalam setiap penyelenggaran haji.
Dengan adanya kebijakan tersebut pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun lalu, telah menerapkan pendaftaran haji dan memungkinkan adanya daftar tunggu. Kebijakan tersebut, untuk menerapkan prinsip keadilan dalam setiap penyelenggaran haji.
[1] UU Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 14-19
[2] UU Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 18
[3] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan :
Label Halal atau
Haram, Fakultas
Hukum USU Medan
[4] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan :
Label Halal atau
Haram, Fakultas
Hukum USU Medan
[5]Wikipedia bahasa Indonesia akses 21-11-2015
[6]‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’
al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i (Beirut: Dar
al-Katib al-‘Arabiy, t.t.), I: 633-4.
[9]Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia (Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama R.), hlm. 174
[13]
Anggun Prastawa, Tinjauan
Yuridis Keberadaan Sistem Hakim Komisaris Sebagai Alternatif Pengganti Sistem
Pra Peradilan Untuk Memberikan Keadilan Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat
Secara Efektif Dan Prospek Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Yang Akan Datang, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret,
2010)
[14] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 3.
[15] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 8
[16] Devi Kartika Sari dkk, Analisis
Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga
Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Malang: Universitas Brawijaya).
[17] M. Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, hlm 2.
[18] M. Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, hlm 8.
[19] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 4.
[21] Dadan Mutaqqin, Aspek Legal lembaga Keuangan Syariah
Bank, LKM, Asuransi, dan Reasuransi (Yogyakarta : Safiria Insania
Press, 2008), Hlm. 14
[22] Misbah al-Munir, Al-Qamus Muhit (Bayrut: Dar al-Fikr,
t.t.), hlm. 567, lihat pula Muhammad ‘Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, jilid ke-1, (Mesir: ‘Ali Shabih wa ‘Auladuh,
t.t.), hlm. 119.
[23] Yanuar Sadewa, Bimbingan dan Penyuluhan Islam
terhadap Bahaya Narkoba, (makalah Badan Narkotika Nasional 21 Agustus 2007).
[24] Ahmad Warson al-Munawir,
al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Agustus, 1984), hlm.
351, lihat pula Muhammad al-Hawari, Narkoba
Kesalahan dan Keterasingan (Riyadh: 1408 H.), hlm.156
[25] A. Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm.10,
lihat pula A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 1
[26] H. M.
Djamaluddin Miri, Lc, MA, Ahkamul Fuqaha (Jawa Timur: Lajnah Ta’lim Wan
Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2004), hlm. 569
[27] Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah
(Bayrut: Dar al Fikr, 1415 H./1995 M.), hlm. 61
[31] A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi
Kejahatan..., hlm. 220-221.
[33] Ibnu
Taimiyah, Majmu’
al-Fatwa (Iskandaria-Dar al-Wafa,1426 H/2005 M), Cet. III, juz, 30,
hlm. 39
[34]Abdurrahman
al-Juzairi, al-Fiqh
‘ala Madzahbib al-Arba`ah, (Bairut-Dar al-Fikr), Juz V, hlm. 249
[35] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan
Pemecahannya, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1984), hlm. 7.
[36] Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah
Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, (LP3ES, Jakarta, 1986), hlm. 11
[37] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Alih Bahasa
Hermoyo, Cet. ke-2, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 31.
[38] Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Undang-undang RI
Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, (Citra Umbara, Bandung, 2003)
[39] Abdullah Hehamahua, “Membangun Gerakan Antikorupsi
Dalam Perspektif Pendidikan”, (LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in
Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, Yogyakarta, 2004) ,
hlm. 86.
[40] M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, AMZAH,
Jakarta 2012. Hal. 81
[41] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 113
[42] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 119
[43] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 141
[44] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin
Khatab, Edisi I, Cet-1 Penerj. Abdul Mujieb AS (et al), (PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999), hlm. 579
[45] T. M. Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at
Islam, Cet-1, (PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1998), hlm. 49-50.
[46] Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam,
jilid 3, Cet. 1, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996), hlm. 976
[47] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 2011).
[48] Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 154.
[49]http://Apakah/Pelaku/Pedofilia/Tidak/Dapat/Dimintai/Pertanggungjawaban/Pidana//=hukumonline.com.htm. Diakses
pada tanggal 20 November 2015.
[50] Diakses pada http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html tanggal 26 November 2015.
[51] ‘Adil Mathrudi, Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88.
[52] Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika, 2000), hlm. 20-21.
[53] Fatwa MUI: “Ibadah Haji hanya Sekali dalam Seumur
Hidup”. http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/18.-Ibadah-Haji-Hanya-Sekali-Seumur-Hidup.pdf. Diakses pada 1 desember 2015 pukul 07.20 wib
[54] http://haji.kemenag.go.id/v2/content/kuota-terbatas-haji-berulang-tidak-baik. Diakses pada 1 desember 2015 pukul 07.50 wib.
[55] http://haji.kemenag.go.id/v2/content/kuota-terbatas-haji-berulang-tidak-baik. Diakses
pada 1 desember 2015 pukul 07.50 wib.
[56] http://news.liputan6.com/read/2344951/mk-bolehkan-naik-haji-lebih-dari-sekali diakses pada 1 desember 2015 pukul 07.30 wib
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.