Kamis, 15 Februari 2018

KAJIAN FIQH KONTEMPORER : UU Kehalalan, Hukuman Mati, Praperadilan, Bank, Narkoba, Korupsi,Paedofil, dan Haji Berkali-kali


KAJIAN FIQIH KONTEMPORER




A.  UNDANG-UNDANG KEHALALAN DI INDONESIA
1.    Proses Pemberian Sertifikasi Kehalalan menurut Undang-undang Kehalalan
Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyebutkan bahwa:
“Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa”.
Selanjutnya, Pasal 1 Angka 12 Peraturan Pemerintah  Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyebutkan bahwa:
“Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau
Salah satu bentuk dari pemberian sertifikat adalah sertifikat  halal. Pengertian sertifikat halal, dapat di lihat dalam Pasal 1 Huruf d  Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Pemeriksaan Dan Penetapan Pangan Halal yang menyatakan bahwa:
“Sertifikat halal adalah fatwa tertulis  yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksa”.
Lembaga Pemeriksa adalah lembaga keagamaan yang di tunjuk oleh Menteri Agama untuk melakukan pemeriksaan pangan halal setelah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga pemeriksa adalah sebagai berikut:
a.    Memiliki tenaga auditor atau inspektor pangan halal dalam jumlah dan kualitas yang memadai dengan memenuhi syarat-syarat antara lain:
1)   Beragama Islam, memiliki wawasan yang luas, dan mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi atau golongan;
2)   Minimal berpendidikan S-1 bidang pangan, Kimia  Biokimia, Teknik Industri, Syariah, atau Administrasi;
3)   Mempunyai sertifikat auditor atau inspektor pangan halal dari pelatihan atau penataran auditor atau inspektor pangan halal yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemeriksa.
b.    Memiliki Standar Prosedur Tetap Pemeriksaan pangan Halal;
c.    Memiliki laboratorium yang mampu melakukan pengujian pangan untuk mendukung pemeriksaan kehalalan pangan;
d.    Memiliki jaringan dan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal di dalam negeri dan luar negeri.
Sebelum pelaku usaha mengajukan sertifikat halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan menyiapkan suatu jaminan halal  dari pelaku  usaha.
Setelah adanya jaminan halal dari pelaku usaha, maka langkah-langkah yang harus di tempuh oleh para pelaku usaha apabila ingin memperoleh sertifikat halal adalah sebagai berikut:[1]
a.    Pengajuan Permohonan
a.    Data Pelaku Usaha;
b.    Nama dan jenis Produk;
c.    Daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d.   Proses pengolahan Produk
b.    Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
a.    BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
b.    Penetapan LPH dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap
c.    Pemeriksaan dan Pengujian
a.    Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal.
b.    Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
c.    Dalam hal pemeriksaan Produk terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
d.   Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal
e.    LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
f.     BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk
d.   Penetapan  Kehalalan Produk
1)   Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal.
2)   Sidang Fatwa Halal MUI mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
3)   Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan         dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
4)   Keputusan Penetapan Halal Produk ditandatangani oleh MUI.
5)   Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal
e.    Penerbitan Sertifikat Halal
1)   Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada         Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
2)   Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk  tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alas an
3)   Sertifikat Halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI

f.     Label Halal
a.              BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional
b.             Pelaku  Usaha  yang  telah  memperoleh  Sertifikat  Halal wajib mencantumkan Label Halal pada:
1)    Kemasan Produk;
2)    Bagian tertentu dari Produk; dan/atau
3)    Tempat tertentu pada Produk
4)    Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak
g.    Pembaruan Sertifikat Halal
1)   Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
2)   Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir
h.    Pembiayaan
1)   Biaya Sertifikasi Halal  dibebankan kepada  Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
2)   Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain
Mengenai jangka waktu sertifikat halal, telah ditentukan bahwa sertifikat halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi bahan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Ketentuan ini sesuai dengan  Pasal 42 Ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.[2]
Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Maksud kehalalan suatu produk di sini adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu:
1)   Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2)   Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan- bahan yang berasal dari organ manusia,  darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
3)   Semua bahan yang bearsal dari hewan halal yang di sembelih menurut tata cara syariat Islam.
4)   Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh  digunakan  untuk  babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya, terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang di atur menurut syariat Islam.
5)   Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar
2.    Pemberian Label Sertifikasi Halal dan Sanksi begi Pelaku Usalah yang Menyalahgunakannya
Label adalah setiap keterangan mengenai produk yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan produk. Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan[3] menyebutkan bahwa isi pada label, harus memuat sekurang- kurangnya keterangan mengenai:
a.    Nama produk
b.    Daftar bahan yang digunakan;
c.    Berat bersih atau isi bersih;
d.   Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e.    Keterangan tentang halal; dan
f.     Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi  administratif berupa:
a.    Teguran lisan;
b.    Peringatan tertulis; atau
c.    Pencabutan Sertifikat Halal.
Salah satu jenis dari label adalah labelisasi halal. Labelisasi  halal merupakan tulisan halal baik dalam huruf Latin dan atau huruf Arab yang ditempelkan pada kemasan makanan, minuman, obat-obatan atau kosmetika atas persetujuan Departemen Kesehatan yang sebelumnya telah memperoleh sertifikat halal terlebih dahulu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Labelisasi halal ini akan menunjukkan kepada konsumen bahwa makanan yang memiliki label halal tersebut memang telah di periksa kehalalannya dan di jamin kehalalannya oleh lembaga yang memeriksanya.[4]

B.  HUKUMAN MATI
1.    Pengertian Hukuman Mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
a.     Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala.
b.     Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi.
c.     Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
d.     Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
e.     Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
f.      Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.[5]
2.    Tindak Pidana yang Diancam Hukuman Mati
Dalam hukum pidana Islam, hukuman dapat dibedakan menjadi beberapa macam, tergantung dari aspek mana pembagian itu dilakukan. Eksistensi hukuman mati dapat dilihat pada pembagian hukuman berdasarkan bentuk/sasaran dari hukuman itu sendiri. Pada klasifikasi model ini,  hukuman dapat dikelompokkan sebagai berikut:[6]
a.    Uqubat badaniyyah (hukuman fisik).
b.    Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis).
c.    Uqubah maliyyah (hukuman denda).
Adapun tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati, berdasarkan nas-nas agama adalah sebagai berikut:
a.    Pembunuhan (al-qatl)
b.    Perampokan (al-hirabah)
c.    Pemberontakan (al-bagy)
d.   Riddah (keluar dari Islam)
e.    Zina
f.     Tindak Pidana Ta’zir
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk hukumannya belum ditentukan oleh syara’.[7] Sanksi tindak pidana ini bisa berupa nasihat, peringatan, hingga pada hukuman penjara dan dera, bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus yang sangat berat dan membahayakan. Hukuman-hukuman tersebut sepenuhnya penentuannya diserahkan kepada pemerintah dan dalam peradilannya sepenuhnya diserahkan kepada para hakim dengan mempertimbangkan berat-ringannya tindak pidana serta keadaan pelaku tindak pidana tersebut.
Secara sederhana, tindak pidana ta’zir ini dapat terbagi menjadi tiga bagian:[8]
a.    Tindak pidana hudud atau qisas yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, seperti percobaan pencurian, pencurian di kalangan keluarga dan sebagainya.
b.    Tindak pidana yang ditentukan oleh nas agama (Al-Qur`an dan Hadis), namun tidak ditentukan sanksinya, seperti penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan sebagainya.
c.    Tindak pidana yang ditentukan oleh ulil amri (pemerintah) untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai (ruh) ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Dengan demikian, pemerintah dapat saja menjatuhkan hukuman mati misalnya pada kasus-kasus yang sangat berat seperti narkoba dan korupsi dalam jumlah tertentu.

3.    Mekanisme dan Elastisitas Eksekusi Terpidana Mati
Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tata cara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati, yaitu:[9]
a.    Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguslah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya.
b.    Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah SAW apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya.”
c.    Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusukan bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW.
d.   Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, “Rasulullah SAW melarang kita merampas dan mencincang.
e.    Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishaskan, maka Nabi SAW melarang atau menunda qishas tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya.[10]
f.     Pelaku pembunuh boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain, tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-Qathli (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian.[11]
Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah satu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: a) Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang di samping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b) bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c) tidak sengaja dan mempertahankan harkat martabat terpidana sebagai manusia.
Para ulama sepakat bahwa penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati dengan cara atau alat yang lebih cepat menghabisi nyawa, atau alat yang bisa menyegerakan mati. Ini dimaksudkan agar penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan terpidana mati tidak terlalu lama. Di sini berlaku kaidah ‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’.[12]
4.    Hukuman Mati di Indonesia
Didalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang, pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara, pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat (2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan, pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian dan pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
Didalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No.22/97 tentang Narkotika, UU No.5/97 tentang Psikotropika, UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No.31/99 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi.

C.  PRAPERADILAN DI INDONESIA
1.    Pengertian dan Tujuan Praperadilan
Pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang[13] :
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.    Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun[14].
2.    Proses Pemeriksaan Praperadilan
Tata cara atau proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian kesatu mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan. Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut[15]:
a.    Yang berhak mengajukan permohonan
1)   Tersangka, keluarganya atau kuasanya
2)   Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
3)   Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
4)   Tersangka, Ahli warisnya atau kuasanya
5)   Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi
b.    Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan
Mengenai pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan”, menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan. Ada yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas:
a.    Saksi korban tindak pidana, atau
b.    Pelapor
Sebaliknya, muncul pendapat lain. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas. Tidak terbatas pada saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum.
3.    Kedudukan Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk dapat menanggulangi masalah kejahatan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem peradilan pidana yang dinamakan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)[16].
Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum diberikan wewenang tambahan oleh KUHAP berupa praperadilan. Dalam menjalankan wewenang tambahan tersebut, praperadilan tetap berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Lembaga praperadilan diakui dalam pasal 1 butir 10 pasal 77 KUHAP yaitu: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang[17]:
a.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b.    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Berdasarkan pasal 78 KUHAP yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 10  pasal 77 KUHAP adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Selanjutnya mengenai pihak-pihak yang berhak mengajukan pemeriksaan praperadilan yaitu[18]:
a.    Tersangka, keluarga atau kuasanya terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan dapat diajukan (pasal 79 KUHAP)
b.    Penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan terkait sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan (pasal 80 KUHAP)
c.    Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan mengenai tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi terkait tidak sahnya penangkapan atau penahanan maupun akibat sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal 81 KUHAP).
Permohonan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam waktu tiga hari setelah permohonan diterima, hakim yang ditunjuk menetapakan hari sidang sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP. Selanjutnya menurut pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP ditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari hakim yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan putusan.
Terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding kecuali putusan yang menetapkan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi sesuai dengan ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU-IX/201, ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP dicabut sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding.
Selanjutnya tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan kebenaran melalui pengawasan horisontal. Pengawasan horisontal disini adalah untuk mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka. Tindakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal tersebut untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum[19].
Adapun tujuan pengawasan secara horisontal yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagiamana diatur dalam KUHAP. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.
Berdasarkan kewenangan pada pasal 77 KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih terbatas. Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran. Tidak hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80 KUHAP yaitu mengenai pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. Hal tersebut mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap interpretasi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian, meskipun terdapat suatu penyimpangan secara nyata dan jelas dalam upaya paksa, tetapi pihak-pihak yang dirugikan tidak mengajukan permohonan maka hakim praperadilan tidak dapat menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa tersebut.
Dibatasinya waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf c ditentukan bahwa pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lamatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Jika proses beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan dianggap gugur.
Dengan demikian perkara pokok sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri. Dibatasinya waktu tersebut mengacu pada salah satu asas dalam sistem peradilan pidana yaitu asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan.
Dalam praktek praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya surat perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering diabaikan oleh hakim praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum. Akibatnya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu perbedaan dasar pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi. Perkara yang diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan dan jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam penetapan sering berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim yang melakukan pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain itu juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.




D.  BANK KONVENSIONAL DAN BANK SYARI’AH
1.    Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syari’ah
Bank konvensional merupakan bank yang paling banyak beredar di Indonesia. Bank umum mempunyai kegiatan pemberian jasa yang paling  lengkap dan dapat beroperasi diseluruh wilayah Indonesia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Dimana dapat kita ambil kesimpulan bahwa bank konvensional adalah bank yang operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan.[20]
Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.[21]
2.    Sistem bank Konvensional dan bank Syari’ah
a.    Bank Konvensional
Sistem Penghimpunan Dana

Aktifitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding. Pengertian menghimpun dana maksudnya adalah mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat.
Pada dasarnya suatu bank mempunyai empat alternatif untuk menghimpun dana untuk kepentingan usahanya, yaitu:

1)   Dana sendiri
2)   Dana dari deposan
3)   Dana pinjaman
4)   Sumber dana lain

Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam bentuk simpanan. Simpanan/dana dari deposan yang sering disebut dengan nama rekening atau account. Jenis simpanan yang dapat dipilih oleh masyarkat adalah seperti:
1)   Simpanan Giro (Demand Deposit)

2)   Simpanan Tabungan (Saving Deposit)

3)   Simpanan Deposito (Time Deposit)

Dalam praktiknya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan antara lain: pengiriman uang, kliring, inkaso, safe deposit box, Bank card, Bank Notes, Bank Garansi, Bank Draft, Letter of Credit (L/C), menerima setoran-setoran, serta melayani pembayaran-pembayaran.
Sistem Penyaluran Dana
Sebelum kredit dikucurkan, bank terlebih dahulu menilai kelayakan kredit yang diajukan oleh nasabah. Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi:
1)   Kredit Investasi

2)   Kredit Modal Kerja

3)   Kredit Perdagangan

4)   Kredit Produktif

Selisih antara tingkat bunga pinjaman dan tingkat bunga simpanan disebut dengan spread. Semakin efisien kinerja suatu bank, akan semakin kecil komponen-komponen yang ditambahkan pada tingkat bunga simpanan untuk membentuk tingkat bunga pinjaman
b.   Bank Syari’ah
Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut:
1)   Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)

Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu:
a)     Wadiah Yad al-Amanah (Trustee Depository)

Wadiah Yad al-Amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box.
b)    Wadiah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)

Wadiah Yad adh-Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan.5
2)   Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
                   
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah:
a)     Al-Mudharabah

Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua jenis:

(1) Mudharabah Muthlaqah
    
(2) Mudharabah Muqayyadah

b)    Al-Musyarakah

Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Dua jenis al-musyarakah:                         

(1) Musyarakah pemilikan.
(2) Musyarakah akad.
Prinsip al-musyarakah dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
(1) Syirkah al’Inan, yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak meyerahkan suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif dalam usaha/kerja.
(2) Syirkah Mufawadhah,yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut berpartisipasi dalam pekerjaan.
(3) Syirkah A’maal (Syirkah abdan atau Sanaa’i), yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian atau profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan di mana keuntungan dibagi bersama.
(4) Syirkah Wujuh, yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang msing-masing memiliki reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
(5) Syirkah al-Mudharabah, yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana pihak satunya menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian.
3)   Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasinya berupa:

a)     Al-Murabahah
b)    Salam
c)     Istishna’ (akad)

4)   Prinsip Sewa (Al-Ijarah)

Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa.

5)    Prinsip Jasa (Fee-Based Service)

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain:
a)     Al-Wakalah
b)   Al-Kafalah
c)    Al-Hawalah
d)   Ar-Rahn
e)    Al-Qardh

3.     Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syari’ah
Secara garis besar perbandingan bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada tabel berikut:
Bank Syari’ah
Bank Konvensional



Melakukan
investasi-investasi
Investasi yang halal dan haram
yang halal saja






Berdasarkan
prinsip
bagi hasil,
Memakai perangkat bunga
jual beli, atau sewa






Berorientasi
pada
keuntungan
Profit oriented
(profit oriented) dan kemakmuran

dan kebahagian dunia akhirat



Hubungan dengan nasabah dalam
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan
bentuk hubungan kreditur-debitur



Penghimpunan  dan
penyaluran
Tidak terdapat dewan sejenis
dana harus sesuai dengan fatwa

Dewan Pengawas Syariah






4.    Kontroversi Bunga Bank
Majlis Tarjih Muhadiyah di sidoarjo pada tahun 1968 memutuskan:
(1) Riba hukumya haram dengan sharih Al-qur’an dan As Sunah.
(2) Bank dengan sistem riba hukumya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
(3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya yang selama ini berlaku termasuk perkara mustabihat.
Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama
(1)   Bunga bank sama dengan riba secara mutlak
(2)   Bunga bank tidak sama dengan riba
(3)   Bunga bank hukumnya syubhat
Majlis Ulama Indonesia (MUI)
(1) Alasan pendapat yang mengharamkan ialah karena di dalam bunga bank terdapat unsur-unsur riba yaitu:
(a)       Unsur tambahan pembayaran atas modal yang dipinjamkan
(b)     Tambahan tersebut tanpa ‘iwad/muqabil (risiko), hanya karena adanya tenggang waktu pembayaran kembali
(c)      Tambahan itu diisyaratkan dalam akad
(d)     Dapat menimbulkan adanya unsur pemerasan.
(2) Alasan pendapat yang menghalalkan ialah:
(a)      Adanya kesukarelaan kedua belah pihak
(b)     Tidak adanya unsur pemerasan
(c)      Mengandung manfaat untuk kemaslahatan umum


E.  NARKOBA
1.    Definisi Khamr dan Narkoba
Al-khamr secara etimologi berarti menutupi, yang dimaksud dengan khamr itu adalah sesuatu yang menutupi kepala seperti sorban atau kerudung. Dinamakan  khamr  karena menutupi atau mengacaukan akal.[22] Sedangkan istilah NARKOBA merupakan singkatan dari NARkotika, psiKOtropika dan BAhan Adiktif lainnya. Istilah Narkoba berdasarkan Kepres No.17 tahun 2002 sejak terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan istilah sebelumnya NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) istilah yang digunakan Departemen Kesehatan (DEPKES) RI, dan NAFZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) istilah yang digunakan oleh DEPKES dan DEPSOS (Departemen Sosial RI), sudah tidak digunakan lagi sejak Kepres tersebut.[23]
Tentang Narkotika dalam istilah bahasa Arab paling sedikit ada 3, yaitu  al-Mukhaddirat (المخدرات), al-aqaqir (العقاقير), dan hasyisy (حشيي). Narkotika al-Mukhaddirat (المخدرات), secara etimologi berarti sesuatu yang terselubung, kegelapan atau kelemahan . Diambil dari kata  al-Khidr  (الخدر) yang berarti tirai yang terjurai di sudut ruangan seorang gadis. Kata tersebut biasanya digunakan sebagai penirai rumah. Kata  al-Mukhaddirat (المخدرات) dapat juga terambil dari kata al-Khadar (الخدر) yang berarti kemalasan dan kelemahan.  Al-Khadir (الخدر) bentuk  fâ’il  (إسم فاعل) atau subyek dari kata al-Khadar  (الخدر) artinya orang yang lemah dan malas.[24]
Jenis-jenis Narkoba
a.    Candu/ madat atau opium,
b.    Heroin.
c.    Shabu-shabu.
d.   Ekstasi/Metamphetamines.
e.    Putauw.
f.     Ganja atau mariyuana.
g.    Hashish.
2.    Ketetapan Pidanan (Jinayah) Berkaitan dengan Narkoba
a.    Sanksi hukum bagi pembuat dan pengedar narkoba.
Jinayah  atau Jarimah yaitu tindak pidana di dalam hukum Islam berupa larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah SWT. dengan hukuman had  atau  ta’zir.[25]  Hukuman had adalah hukuman yang ditetapkan melalui wahyu yang merupakan hak Allah SWT. sebagai syari’. Hukuman  ta’zir adalah hukuman yang tidak ada nasnya, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim  (qadhi).
Mengingat ketidakseimbangan antara manfaat yang ditimbulkan oleh narkoba pada satu sisi dan besarnya bahaya yang ditimbulkan pada sisi yang lain, maka hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa penyalahgunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Narkoba dengan berbagai jenis, bentuk dan nama yang telah diidentifikasi pengaruhnya terhadap akal pikiran dan fisik, maka sanksi hukumannya dikategorikan ke dalam  khamr,  yang secara tegas dan keras dilarang oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya. Kemudian timbul suatu pertanyaan apakah Boleh menjatuhkan hukuman mati kepada produsen dan pemasok narkoba dalam pandangan Islam? Hukumnya boleh, karena sudah jelas pemasok narkoba menimbulkan mafsadah yang besar. Dalilnya dalam surat al-Ma’idah ayat 33 yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
Hadits Nabi yang menyatakan keharusan memerangi (menghukum) orang yang membuat khamr (narkoba):
Artinya: “Dari Dailami Al-Himyari, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang bersuhu udara dingin dan kami mengatasinya dengan cara kerja berat dan kami membuat minuman dari gandum ini untuk menambah kekuatan kami dalam bekerja dan mengatasi dinginnya suhu di negeri kami. Beliau SAW. menjawab: Apakah menyebabkan mabuk? Aku menjawab: Ya. Beliau bersabda: Jauhilah! Kata Dailani: Lalu aku mendekat tepat dihadapan beliau SAW., dan hal tersebut aku tanyakan kembali kepada beliau. Maka beliau menjawab: Apakah memabukkan? Aku menjawab: Ya. Sabda beliau: Jauhilah! Aku mencoba menjelaskan: Orang-orang sulit meninggalkan (kebiasaan) tersebut. Beliau menjawab: Jika mereka tidak mau meninggalkannya maka perangilah mereka! (HR. Ahmad, hadits ke-17243 dan Abu Daud hadits ke 3198).
Qoul Ulama yang menyatakan kebolehan memberikan hukuman mati terhadap pelaku kriminal (membuat narkoba):
Artinya: “Barangsiapa yang perilaku kriminal dan negatifnya tidak bisa dicegah kecuali dengan jalan hukuman mati, maka hukuman mati harus dijatuhkan kepadanya. Semisal orang yang memprovokasi perpecahan dalam masyarakat muslim, atau orang yang mengajak pada perbuatan bid’ah dalam agama...Karena Nabi Saw. pernah memerintahkan untuk melaksanakan hukuman mati kepada orang yang secara sengaja membuat kebohongan atas nama beliau. Dailami al-Himyari menanyakan kepada beliau – dalam versi riwayat Ahmad dalam al-Musnad – tentang orang yang tidak bisa berhenti minum-minuman keras sampai pada peringatan yang keempat kali. Maka beliau SAW. menjawab: jika mereka tetap tidak mau meninggalkannya, maka jatuhkanlah hukuman mati kepada mereka. Kesimpulannya: Bahwa diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati sebagai kebijakan atas mereka yang melakukan tindakan kriminal secara berulang-ulang, para pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan lain sebagainya.[26]
b.    Pendapat para imam mazhab terhadap sanksi hukuman peminum al-khamr
Sementara yang berkaitan dengan ringan beratnya hukuman bagi pemakai  khamr  tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi hanya disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, Telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Ishak, Telah menceritakan kepada kami Said bin Abi ‘Arubah bin Bahdalah dari Zakwan Abi Shâlih dari Mu’awiyah bin Abî Sufyân bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila mereka meminum khamr, maka hendaklah kamu dera/jilid, kemudian jika minum lagi maka deralah ia, kemudian jika minum lagi deralah ia, kemudian minum lagi maka bunuhlah.” (H.R. Ibn Majah).[27]
Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa ‘Umar bin Khattab meminta pendapat tentang  khamr  yang dikonsumsi manusia. ‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum yang memabukan. Jika ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah bicara tidak karuan maka ia berbohong”.  Kemudian ‘Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr  adalah 80 kali cambuk.
Hadits dari Ibn ‘Umar, bahwasannya Rasulullah bersabda: “Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terkait dengan khamr: produsennya (pembuat), distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya (kurir), pengirimnya, penuangnya (penyuguh), penjualnya, pemakan hasil penjualannya, pembayar dan pemesannya.” (H.R. Ibn Majah dan al-Tirmiza).[28]
Menyikapi hadits di atas, para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum  khamr dikenakan had  berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak.[29] Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut. Dari kalangan mazhab Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa peminum  khamr  di-kenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa peminum  khamr  diberikan sanksi cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk.[30]
Perbedaaan hukuman  ta’zir  dengan hukuman  had, menurut Imam al-Mawardi yaitu memberikan sanksi  ta’zir kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan  dalam  hukuman  had tidak ada perbedaan. Dalam hukuman  had tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zir  ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman  had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman  ta’zir  terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu.[31]
3.    Fatwa MUI, Muhammadiyah, dan NU mengenai Hukum Penyalahgunaan Narkoba
a.    Majelis Ulama Indonesia (MUI)
1)   Menyatakan haram hukumnya penyalahgunaan narkotika dan semacamnya, yang membawa kemudaratan yang mengakibatkan rusak mental fisiknya seseorang, serta terancamnya kemanan masyarakat dan Ketahanan Nasional.
2)   Mendukung sepenuhnya rekomendasi Majelis Ulama DKI Jakarta tentang pemberantasan narkotika dan kenakalan remaja.
3)   Menyambut baik dan menghargai segala usaha menaggulangi segala akibat yang timbul dari bahaya penyalahgunaan narkotik dan semacamnya.
4)   Menganjurkan kepada Presiden RI agar merusaha segera mewujudkan Undang-Undang tentang Penggunaan dan Penyalahgunaan Narkotik, termasuk obat bius dan semacamnya, serta pemberian hukuman terhadap pelanggarnya.
5)   Menganjurkan kepada Presiden RI membuat instruksi-instruksi yang lebih keras dan intensif terhadap penanggulangan korban penyalahgunaan narkotik.
6)   Menganjurkan kepada alim ulama, guru-guru, mubaligh, dan pendidik untuk lebih giat memberikan pendidikan/ penerangan terhadap masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkotik.
7)   Menganjurkan kepada organisasi –organisasi keagamaan, organisasi pendidikan dan sosial, serta masyarakat pada umumnya terutama pada orang tua untuk bersama-sama berusaha menyatakan “Perang Melawan Narkotik”.
Mengingat:
Dalil Al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut:[32]
1)   Firman Allah SWT.:
...ولا تلقو بأيديكم إلى التهلكة...( البقرة: 195)
“…Dan Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 195)

...ولا تقتلوا أنفسكم، إن الله كان بكم رحيما. (النساء: 29)
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

2)   Hadits Ummu Salamah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كلّ مسكر ومفنّر (رواه أحمد في مسنده وأبو داود في سننه سند صحيح)
Rasulullah SAW melarang setiap yang memabukkan dan melemahkan akal dan badan. (Hadits riwayat Ahmad dalam sunahnya, dengan sanad shahih)

3)   Sabda Rasulullah:
كلّ مسكر حرام (رواه البخاري والمسلم)
Tiap-tiap barang yang memabukkan haram. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)

4)   Hadits dari Jabir RA bahw Rasulullah bersabda:
كلّ ما أسكر كثيره فقليله حرام (أخرجه أحمد وأبو داود والترمذى والنسائى وابن ماجه وابن حبان وصحيح وحسنه الترمذى ورجاله ثقاث)
Setiap sesuatu yang apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak itu bisa memabukkan, maka apabila dikonsumsi dalam jumlah sedikit hukumnya haram. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ibn Majjah, dan Ibn Hibban yang meng-shahih- kannya, serta at-Turmudzi yang menganggapnya hasan, sedang rijal-nya dipercaya.

b.    Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah bertanya kepada para ahli dalam bidang mereka masing-masing, terutama para ahli farmasi dan para dokter. Dari hasil diskusi dengan mereka itu, diambil kesimpulan bahwa mengharamkan makanan dan minuman yang kadar alkoholnya diatas 5% karena memabukkan, tetapi jika dibawah 5% diperbolehkan, seperti air tape.
Dalil yang melandasi keputusan tersebut antara lain berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَس لَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ( رواه مسلم )
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap yang memabukkan itu adalah khamr, dan setiap yang memabukkan itu adalah haram.” (HR. Muslim)
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa di samping khamr, ada lagi makanan atau minuman yang jika dimakan atau diminum dalam jumlah tertentu dapat memabukkan si peminum, tetapi haramnya tidak mutlak seperti minum khamr; seperti ganja, alkohol, berbagai macam alat perangsang dan penambah tenaga. Dalam al-Qur’an disebutkan:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَاْلأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ ( لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (النحل : 67(
Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda  kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl,: 67).
Makanan dan minuman yang dapat memabukkan bila dimakan atau diminum dalam jumlah tertentu selain khamr itulah mungkin yang dimaksudkan oleh golongan Hanafiyah dengan nama nabidz. Mereka membedakan antara khamr dan nabidz. Khamr keharamannya mutlak, sedangkan nabidz tidak. Pertanyaannya ialah, bagaimana dapat menetapkan ukuran atau kadar makanan dan minuman tersebut sehingga dapat memabukkan? Dalam al-Qur’an Allah SWT telah berfirman:
 فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ( النحل : 43(
Artinya: “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl,: 43)
c.    Bahtsul  Masail (NU)
Nahdlatul Ulama sendiri dalam Muktamar ke-31 di Asrama Haji Donohudan-Boyolali-Jawa Tengah telah memutuskan kebolehan untuk menghukum mati bagi pemasok psychotropika dan narkotika. Alasan yang dikemukan dalam keputusan tersebut adalah karena menimbulkan mafsadah yang besar. Landasannya sebagaimana dikemukakan Ibnu Taimiyah.[33]
  وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّعْزِيْرَ مَشْرُوْعٌ فِيْ كُلِّ مَعْصِيَّةٍ لاَ حَدَّ فِيْهَا وَلاَ كَفَّارَةَ
“Para ulama telah sepakat bahwa hukuman ta’zir itu disyariatkan untuk setiap pelanggaran (ma’shiyah) yang tidak terdapat ketentuan hukuman had dan kafarat”.
Pertanyaan penting yang harus diajukan disini adalah apakah hukuman ta’zir diperbolehkan sampai pada taraf menghukum mati? Dalam pandangan kami, jelas diperbolehkan sepanjang pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang massif.
Bahkan memberikan hukuman ta’zir dengan cara menghukum mati pernah dilakukan pada masa sayyidina Umar bin al-Khaththab ra. Sayyidina Umar bin al-Khaththab ra pernah mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak mereka untuk mendiskusikan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku liwath. Mereka pun kemudian mengeluarkan fatwa agar pelakunya dihukum mati dengan cara dibakar.[34]
أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ كِبَارَ عُلَمَاءِ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ وَاسْتَشَارَهُمْ فِيْ عُقُوْبَةِ اللاَّئِطِ فَأَفْتَوْا بِإِعْدَامِهِ حَرْقًا، وَهَذَا مِنْ أَشَدِّ مَا يُتَصَوَّرُ فِيْ بَابِ التَّعْزِيْرِ
“…bahwa sayyidina Umar bin al-Khaththab ra mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak mereka bermusayawarah mengenai hukuman yang layak bagi pelaku liwath. Kemudian mereka pun memberikan fatwa hukuman mati bagi pelaku tersebut dengan cara membakarnya. Model hukuman ini merupakan model yang paling mengerikan dalam bab hukuman ta’zir…”.

F.   KORUPSI
1.    Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (Korruptie). Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia: Korupsi.[35]
Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi.[36]
Adapun definisi yang sering dikutip adalah: Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.[37]
2.    Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam lingkar sejarah telah tercatat bahwa pemerintah telah memberlakukan beberapa Undang-Undang guna pemberantasan korupsi. Peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi pada mulanya berdasarkan KUHP seperti pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.
Undang-Undang yang lebih jelas tentang tindak pidana korupsi adalah setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi. Pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan sejak saat itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. kemudian pada Bab IV mulai pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana menjalankan  ketentuan  meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[38]
Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi khusus yang akan menangani dan memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian terakhir disebut KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.
Komisi ini memiliki kekuasaan yang super power, very-very high (meminjam istilah Abdullah Hehamahua), karena tidak sekedar menyidik, menangkap tetapi juga supervisi lembaga yudikatif. Dia melakukan supervisi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian. Tidak ada lembaga di dunia yang memiliki kewenangan supervise lembaga yudikatif seperti KPTPK ini.[39]
3.    Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam
Di dalam hukum Islam khususnya ilmu fiqih kata korupsi termasuk dalam kategori jarimah (tindak pidana). Unsur-unsur dan definisi yang masuk kategori jarimah dan mendekati tindak pidana korupsi tersebut antara lain :
a.    Ghulul (penggelapan)
Penegertian ghulul pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan hianat terhadap rampasan perang. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya menjadi tindakan curangdan hianat terhadap harta-harta lain, seperti baitul mal, harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam kerja bisnis, harta Negara, zakat dan lain-lain.[40]
b.    Risywah (penyuapan)
Risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Risywah termasuk dosa besar dan hukumnya haram apabila dengan tujuan sperti pengertian di atas.
Untuk sanksi pelaku Risywah sendiri sama dengan pelaku ghulul, namun kasus suap menyuap yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini harus ditangani oleh pemrintah bekerjasama dengan semua komponen bangsa.
c.    Ghasab (Mengambil paksa hak/harta orang lain)
Ghasab adalah mengambil harta atau menguasai harta atau hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan secara terang-terangan.
Para ulama sepakat bahwa Ghasab merupakan perbuatan terlarang dan hukumnya haram untuk dilakukan. Walapun barang yang diambil tidak mencapai nisab pencurian.
d.   Khianat
Khianat adalah sikap tidak becusnya seseorang pada saat diberikan kepercayaan. Disamping itu ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan sepihak dalam perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah utang piutang atau masalah muamalah secara umum.[41]
e.    Sariqah (Pencurian)
Sariqah adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpananya. Syarat yaitu ; pelaku telah dewasa dan berakal sehat, pelakunya terdesak dengan kebutuhan hidup, tidak terdapat hubungan kekerabatan antara korban dan pelaku, tidak ada unsur subhat dan pencurian tidak terjadi saat peperangan di jalan Allah.
Sedangkan rukunya yaitu ; mengambil secara sembunyi, barang yang diambil berupa harta, harta tersebut milik orang lain, dan melawan hokum.[42]
f.     Hirabah (Perampokan)
Tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain, baik yang dilakukan di dalam rumah maupun di dalam rumah, dengan tujuan mengambil harta, membunuh atau teror pada pihak korban.
g.    Al-Maks (Pungutan Liar), al-Ikhtilas (Pencopetan) dan al-Ihtihab (Perampasan)
Al-Maks adalah memungut cukai, menurunkan harga, dan menzalimi. Sederhanya Al-Maks  adalah sejumlah uang yang diambil dari para pedagang yang ada di pasar.
Al-Ikhtilas adalah cara untuk menguasai atau memiliki harta pihak lain dengan cara merebut, merampat dengan cepat dan terang-terangan melalui kekerasan dengan cara memperdaya korban.
Al-Ihtihab mengambil harta orang lain secara terang-terangan dan memaksa, namun tidak ada upaya untuk memperdayai korban.[43]
Salah satu kontribusi agama yang bisa digali menurut penulis adalah dengan cara  menggali  konsep  korupsi  dan  berikut  sanksi-sanksinya  dalam hukum Islam untuk  kemudian  dikontekstualisasikan  dengan  kondisi  Indonesia  saat  ini.  Lalu bagaimana pandangan hukum Islam tentang korupsi di Indonesia?
Korupsi dalam tindak pidana (jarimah) digolongkan ke dalam bentuk ta’zir karena jenis pidana yang ada dalam korupsi tidak termasuk ke dalam bentuk-bentuk pidana yang ditentukan oleh syari’ dalam hudud dan diyat-qisas. Dengan demikian, maka ta’zir bisa didefinisikan sebagai: Hukuman yang diwajibkan karena adanya kesalahan, di mana pemberi syari’at tidak menentukan hukumannya secara tertentu.[44]
Maksud  ta’zir  adalah untuk memperbaiki  pribadi  orang yang bersalah. Ini dapat kita pahami dari perkataan-perkataan para ahli fiqh, yaitu:  at ta’ziru ta’dibun was tislahun wa zajrun-ta’zir itu ialah mendidik, memperbaiki dan menghalangi orang yang berbuat jahat dari berbuat sesudah dilakukannya. Di samping itu, ta’zir adalah suatu prosedur yang harus dilakukan untuk menenangkan gelora keamarahan masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang teraniaya.[45]
Jenis hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim, oleh karena itu Hakim memiliki  kebebasan  dalam menetapkan  ta’zir  kepada  pelaku  tindak  pidana  atau pelanggaran yang ancaman hukumannya tidak ditentukan oleh nash (Al-Qur’an atau hadits) termasuk di antaranya tindak pidana korupsi. Karena itu, ta’zir dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan. Pemberian hak penentuan ta’zir kepada penguasa (hakim) dimaksudkan supaya mereka dapat mengatur kehidupan masyarakat  secara tertib dan mampu mengantisipasi  berbagai  kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.
Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan (deterrence). Dalam hal retribusi sebagai alasan rasional dibalik pemberian hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada di dalamnya yaitu: (1). kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan kepada pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu internal dan jeneral. Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya lagi. Jeneral maksudnya penjeraan itu diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk jarimah ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam menentukan berat ringannya hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.[46]

G. PAEDOFIL (HUKUMAN KEBIRI)
1.    Pengertian Kekerasan Seksual Paedofil dan Penyebabnya
Paedofil adalah orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak.[47] Penderita paedofil memiliki perilaku menyimpang dimana ia memilih anak-anak di bawah umur sebagai obyek pemuasan kebutuhan seksualnya.
Manurut Marzuki Umar Sa’abah, paedofil adalah penyakit kejiwaan dimana seseorang mempunyai penyimpangan seksual, yakni mempunyai kecenderungan seksual terhadap anak.[48]
Menurut kamus kesehatan, paedofil adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13 tahun. Penderita paedofil berusia lebih dari 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada laki-laki. Individu dengan gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk mendapatkan akses dan kepercayaan dari anak-anak.[49]
Pedofilia adalah gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk terlibat dalam tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan jenis. Tiga puluh persen dari anak-anak korban kejahatan pedofilia dilecehkan oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang dewasa yang mereka kenal dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10 persen anak-anak yang mengalami kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[50]
2.    Hukuman Kebiri bagi Paedofil
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyataintestis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul.[51]
Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairahseks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Kebiri dengan pembedahan yakni pengangkatan (amputasi) testis sebagai tempat produksi hormon testosteron. Cara ini sudah ditinggalkan di dunia modern karena dianggap menentang HAM. Sedangkan cara kedua dengan menyuntikkan cairan kimiawi yang memusnahkan libido seksualnya. Kedua model kebiri ini sama-sama melumpuhkan fungsi organ vital laki-laki dalam hal seksualitas. Namun untuk jenis suntikan kimiawi, ada yang hanya bersifat sementara dan bisa pulih kembali.
Yahya Harahap menyebutkan,[52] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun Tersangka/ Terdakwa adalah :
a.    Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan;
b.    Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa:
1)   Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia
2)   Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan
3)   Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali
4)   Fungsi dan tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya, sebelum wacana pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut, perlu kiranya kita mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.    Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi manusia dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar hak asasi dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena dalam beberapa kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga dalam arti memilki istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara kimia di India, maka para aktivis hak asasi manusia menentang praktek kebiri kimia paksa, dan menyebut itu sebagai sebuah tindakan melawan kebebasan dan kemanusiaan. Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok maupun kimiawi dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro dan kontra khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia;
b.    Pelaku pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan keturunan;
c.    Pelaku pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku pedofilia tidak serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa.
3.    Hukuman Kebiri dalam Perspektif Islam
Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut:

وقال ابن حجر : هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم

“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata :

أجمع العلماء على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز

“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi,Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata:

رد رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له لاختصينا

Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata:

كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن ذلك

“Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (taqiyuddin an nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119).
Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan syariahIslam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).
Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukumkebiri untuk pelaku pedofilia, karena syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.
Adapun rincian hukuman dalam Islam untuk pelaku pedofilia adalah sebagai berikut:
a.    Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudahmuhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan.
b.    Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.
c.    Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zinaatau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال

Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan).
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة

“Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).
Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.

H.  HUKUM HAJI BERKALI-KALI
1.    Pendapat MUI tentang haji berkali-kali
MUI telah lama mengeluarkan fatwa agar umat Islam melaksanakan Ibadah haji satu kali saja, adapun jika mempunyai dana untuk haji lagi lebih baik digunakan untuk membantu fakir miskin dan masyarakat yang membutuhkan. Majelis Ulama Indonesia pada bulan Jumadil Akhir 1404/Maret 1984 menghimbau kepada Umat Islam Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk :
a.    Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat istitha’ah dalam arti yang luas.
b.    Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada keluarga yang belum haji.
c.    Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih  bermanfaat bila dana yang tersedia itu disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.[53]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung rencana pemerintah menerapkan aturan larangan haji berkali-kali. Kebijakan itu tidak perlu didasarkan kepada fatwa MUI karena bukan persoalan hukum Islam. Kebijakan ini adalah langkah untuk mengurangi daftar antrean calon haji asal Indonesia.
Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI, Slamet Effendi Yusuf, mengatakan, pemerintah tidak perlu takut menerapkan larangan haji berkali-kali akan dianggap melatang beribadah. “Ini bukan perkara hukum Islamnya, dan pemerintah tidak perlu takut dianggap melarang beribadah.
Ada prinsip yang seharusnya dipegang oleh pemerintah, yaitu kaidah bahwa kewajiban pemerintah atas rakyatnya harus diorientasikan pada kemaslahatan. “Ketika pemerintah mengambil kebijakan hanya membolehkan orang yang belum haji untuk mendaftar dan berangkat haji, alasannya adalah untuk kebaikan bersama. hal tersebut juga menghindarkan diri dari perbuatan zalim karena masih banyak orang belum berhaji tidak mendapatkan haknya untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu, gara-gara ada yang sudah haji namun kembali lagi pergi berhaji.
MUI menganjurkan umat Islam yang memiliki harta lebih, bisa menggunakannya untuk amal dan sosial, seperti membantu kegiatan pendidikan, penyantunan anak yatim, membantu fakir dan miskin. “Kalau memang rindu Tanah Suci, kan bisa ikut umrah saja.
Hal senada juga disampaikan oleh  anggota Komisi Fatwa MUI Pusat H. Hamdan Rasyid menunaikan ibadah haji kedua dan seterusnya dalam hukum Islam termasuk sunnah, didasarkan pada sabda Nabi yang menjawab pertanyaan sahabat; Barangsiapa yang menambah maka hukumnya tathawwu (sunnah). Sunnah yaitu perbuatan yang jika dilaksanakan akan memperoleh nilai keutamaan, akan tetapi jika tidak dikerjakan tidak berdosa.[54]
Namun dengan melakukan haji berulang di tengah kondisi keterbatasan kuota haji, menurut Hamdan bisa membawa dampak negatif. Antara lain, mengurangi, bahkan menghilangkan kesempatan orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji, karena jatahnya diambil oleh orang yang melaksanakan ibadah haji sunnah atau haji berulang. Ibadah sunnah menghambat yang wajib harus dikalahkan. Lebih baik mereka membantu faqir miskin dan sebagainya, dan membantu kemiskinan adalah wajib.
2.    Hukum haji berkali-kali menurut Kemenag
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, kewajiban beribadah bagi umat Muslim hanya satu kali. Apabila melakukan kembali atau haji berulang, sementara waiting list (daftar tunggu) calon jamaah haji di tanah air sudah semakin banyak, maka sebaiknya mengalihkan kepada amaliah yang lain seperti membantu kemiskinan. Haji berulang-ulang tidak baik, kecuali menjadi petugas. [55]
Ditempat terpisah Menteri Agama Lukman mengatakan, daftar tunggu diberlakukan mengingat banyaknya animo masyarakat untuk menjalankan ibadah haji. Menurut dia, daftar tunggu merupakan salah satu langkah untuk membatasi agar jumlah jamaah tidak melebihi kuota yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi sebanyak 168.000 jamaah.
Ada beberapa prioritas yang merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2015. Peraturan tersebut menyebutkan jamaah yang baru pertama naik haji dan berusia minimal 12 tahun mendapatkan prioritas dari pemerintah.
Salah satu aturan yang ditetapkan dalam PMA 29/2015 ini adalah masyarakat Indonesia yang bisa mendaftar haji adalah mereka yang pada saat mendaftar minimal berusia 12 tahun. Tak hanya itu,  bagi jemaah haji yang sebelumnya sudah pernah menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftara haji setelah 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan ibadah haji yang terakhir.
Dalam aturan tersebut juga disebutkan bahwa calon jamaah haji berusia di bawah 17 tahun dan belum belum memiliki KTP dapat menggunakan kartu identitas lain yang sah.
3.    Hukum haji berkali-kali menurut MK
Dalam hukum di Indonesia haji berkali-kali tetap diperbolehkan, karena tidak melanggar konstitusi yang ada. Hal ini diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggarakan Ibadah Haji dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. MK berpandangan bahwa melakukan ibadah haji lebih dari sekali tidak melanggar konstitusi.[56]
Menurut majelis hakim, sistem penyelenggaraan ibadah haji yang diatur undang-undang sudah tepat. MK juga menegaskan WNI yang ingin naik haji 2 kali tak perlu diberatkan dengan syarat-syarat. Dalam pertimbangan Majelis Hakim MK Anwar Usman, UU Nomor 13 Tahun 2008, sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Di mana aturan tersebut dilakukan setelah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan  kuota haji kepada semua negara, termasuk Indonesia.
Dengan adanya kebijakan tersebut pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun lalu, telah menerapkan pendaftaran haji dan memungkinkan adanya daftar tunggu. Kebijakan tersebut, untuk menerapkan prinsip keadilan dalam setiap penyelenggaran haji.



[1] UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 14-19
[2] UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 18
[3] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan : Label Halal atau Haram, Fakultas Hukum USU Medan
[4] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan : Label Halal atau Haram, Fakultas Hukum USU Medan
[5]Wikipedia bahasa Indonesia akses 21-11-2015
[6]‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i (Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy, t.t.), I: 633-4.
[7]‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i... hlm. 80, 685
[8]. Djazuli., Fiqh Jinayah, Cet. Ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada. 1997),  hlm106
[9]Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama R.), hlm. 174
[10]. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman...hlm. 175
[11]. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman....hlm. 176
[12]. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman...hlm. 176-177
[13]  Anggun Prastawa, Tinjauan Yuridis Keberadaan Sistem Hakim Komisaris Sebagai Alternatif Pengganti Sistem Pra Peradilan Untuk Memberikan Keadilan Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Secara Efektif Dan Prospek Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana Yang Akan Datang, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
[14] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 3.
[15] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,  hlm 8
[16]  Devi Kartika Sari dkk,  Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Malang: Universitas Brawijaya).
[17]  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 2.
[18]  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 8.
[19] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 4.
[20] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta : Kencana, 2009) Hlm. 7.
[21] Dadan Mutaqqin, Aspek Legal lembaga Keuangan Syariah Bank, LKM, Asuransi, dan Reasuransi (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2008), Hlm. 14
[22] Misbah al-Munir,  Al-Qamus Muhit (Bayrut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 567, lihat pula Muhammad ‘Ali Al-Sayis,  Tafsir Ayat al-Ahkam,  jilid ke-1, (Mesir: ‘Ali Shabih wa ‘Auladuh, t.t.), hlm. 119.
[23] Yanuar Sadewa, Bimbingan dan Penyuluhan Islam terhadap Bahaya Narkoba, (makalah Badan Narkotika Nasional 21 Agustus 2007).
[24] Ahmad Warson al-Munawir,  al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Agustus, 1984), hlm. 351, lihat pula Muhammad al-Hawari,  Narkoba Kesalahan dan Keterasingan (Riyadh: 1408 H.), hlm.156
[25] A. Hanafi,  Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm.10, lihat pula  A. Djazuli,  Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 1
[26] H. M. Djamaluddin Miri, Lc, MA, Ahkamul Fuqaha (Jawa Timur: Lajnah Ta’lim Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2004), hlm. 569
[27] Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah (Bayrut: Dar al Fikr, 1415 H./1995 M.), hlm. 61
[28] Al-Tirmidzî,  Jami’ al-Shahih (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid III, hlm. 589.
[29] Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995), Jilid II, hlm.364.
[30] Ibn Hajar al-Asqalâni,  Fath al-Bari (Ttp.: Tnp., t.t.), hlm. 82.
[31] A. Djazuli,  Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan..., hlm. 220-221.
[32] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Emir, 2015), hlm. 6-7.
[33] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatwa (Iskandaria-Dar al-Wafa,1426 H/2005 M), Cet. III, juz, 30, hlm. 39
[34]Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahbib al-Arba`ah, (Bairut-Dar al-Fikr), Juz V, hlm. 249

[35] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1984), hlm. 7.
[36] Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, (LP3ES, Jakarta, 1986), hlm. 11
[37] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Alih Bahasa Hermoyo, Cet. ke-2, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 31.
[38] Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  dan  Undang-undang  RI  Nomor  20  Tahun  2001 Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana Korupsi, (Citra Umbara, Bandung, 2003)
[39] Abdullah Hehamahua, “Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan”, (LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, Yogyakarta, 2004) , hlm. 86.
[40] M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, AMZAH, Jakarta 2012. Hal. 81
[41] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 113
[42] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 119
[43] M.Nurul Irfan, Korupsi ….. Hal. 141
[44] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khatab, Edisi I, Cet-1 Penerj. Abdul Mujieb AS (et al), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999), hlm. 579
[45] T.  M.  Muhammad  Hasbi  Ash  Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at Islam, Cet-1, (PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1998), hlm. 49-50.
[46] Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996), hlm. 976
[47] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 2011).
[48] Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 154.
[51] ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88.
[52] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000), hlm. 20-21.
[53] Fatwa MUI: “Ibadah Haji hanya Sekali dalam Seumur Hidup”. http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/18.-Ibadah-Haji-Hanya-Sekali-Seumur-Hidup.pdf. Diakses pada 1 desember 2015 pukul 07.20 wib

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus