Kamis, 15 Februari 2018

TIGA PEMIKIR ISLAM: Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibn al-Arabi


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ibnu Sina
1.    Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di Barat popular dengan sebutan Avicenna akibat dan terjadinya metmorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Eben. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan nasah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad kduabelas di Spanyol.[1]
Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[2]
Ibnu Sina dilahirkan pada masa kekacauan, di mana khakifah Abasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khalifah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Bagdad sendiri sebagai pusat pemerintahan khalifah Abasiyyah dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[3]
Pada masanya yaitu tahun 340 H, di suatu tempat bernama Afsyana, dari daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di kota Bukhara, ia menghafal Al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika, dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya seorang Masehi. Belum genap usia 16 tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.[4]
Pada usai duapuluh dua tahun, ayah Ibnu Sina meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Khawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi tidak lama juga di sini, karena kekacauan politik. Sesudah itu ia berpindah-pindah dari satu negeri kenegeri lainnya, dan akirnya sampai di Hamadzan. Oleh penguasa negeri ini, ia diangkat menjadi menterinya beberapa kali, sesudah ia dapat mengobati penyakit yang dideritanya, meskipun dapa masa itu pula ia pernah dipenjara. Dan kemudian ia pergi ke Isfaha.[5]
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit dingin yang tidak bida diobati. Pada tahun 428 H(1037 M) ia meninggal dunia di Hamadzan pada usia 58 tahun.
Ibnu Sina yang dalam autobiografinya terang-terangan mengakui berutang budi kepada Al-Farabi. Ia telah berhasil mengembangkan tema-tema dasar Neoplatonik yang dibayangkan pendahulunya, dengan pengecualian soal politik. Namun diksi Ibn Sina mengungguli Al-Farabi dalam hal keindahan ataupun ketandasan. Mungkin karena itu pula, tulisan-tulisannya memiliki pengaruh yang lebih luas di kalangan pelajar. Nama Ibn Sina pun pada masa itu selalu dikaitkan dengan neoplatonisme Islam meskipun pendiri yang sebenarnya adalah Al-Farabi.[6]
Ibn Sina telah menuangkan gagasan-gagasannya secara tertulis dalam berbagai bidang ilmu namun tampaknya Ibnu Sina tidak memiliki ketertarikan terhadap masalah politik. Perhatian Ibnu Sina terpusat pada bidang metafisika dan logika.  Menurutnya metafisika merupakan satu-satunya bidang ilmu yang rumit.[7]
2.    Karya-karya Ibnu Sina
Karya-karya penting Ibnu Sina yang telah dikenal dunia antara lain adalah[8]:
a.       Al-Qanun fi Ath-Thibb,
b.      Asy-Syifa,
c.       An-Najah,
d.      ‘Uyun al-Hikmah,
e.       Danisynama-yi Ala’I,
f.        Al Isyarat wa at-Tanbihat.

3.    Filsafatnya
Berkaitan dengan metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan sifat  wujudiyah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun itu esensi sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang ada dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof-filosof lain.[9]
Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a)      Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (mamnu’ul wujud/impossible being). Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b)      Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (mumkinul wujud/ contingent being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c)      Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (waibul wujud/ necessary being) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[10]
Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (ada) dan pasti ada. Segala sesuatu selain Dia bergantung kepada-Nya.
Dalam pemikiran Ibnu Sina mengenai wahyu dan Nabi, akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung symbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi,memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.[11]

A.  Suhrawardi
1.    Riwayat Hidup
Suhrawardi, nama lengkapnya Syihab al-Din Yhya Ibn Habasyi ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul, lahir di desa Suhrawd, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur laut Iran, tahun 545 H/ 1153 M. istilah “al-maqtul” ini digunakan untuk membedakannya dengan dua tokoh Suhrawardi yang lain yang sama-sama Suhrawardi. Dua tokoh yang dimaksud adalah (1) ‘Abd al-Qadir AbuNajib Suhrawardi (1097-1168 M), pendiri tarekat Suhrawardiyah. Ia adalah murid Ahmad al-Ghazali(w.1126H), adik kandung hujjah al-Islam Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M), penulis Ihya’ Ulum al-Din, (2) Shihab al-Din Abu Hafs’Umar Suhrawardi (1144-1234 M), keponakan sekaligus murid Suhrawardi pertama. Ia lebih berpengaruhdibanding pamannya dan menjadi mahaguru (syaihk al-syuyukh) ajaran sufi resmi di Baghdad pada masa khalifah al-Nasir (1180-1225 M). tokoh ini adalah pengarang kitab Awarif al-Ma’rif yang terkenal dalam sufisme.[12]
Suhrawardi sangat terkenal dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru iluminasi (Syeikh al-isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri mazhab Peripatetik.[13]
Pendidikan Suhrawardi al-Maqtul di mulai di Maraghah – sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena munculnya Nsir al-Din al-Tusi (1201-1274 M) yang membangun observasiotorium Islam pertama – di bawah bimbingan Majdud al-Din al-Jili dalam bidang Fiqh dan teologi. Al-Jili ini sendiri juga dikenal sebagai salah satu guru dari Fakr al-Din al-Razi (1149-1209 M), seorang teologi Sunni. Selanjutnya, Suhrawardi pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada Zahir al-Din Qari dan Fakhr al-Din al-Mardini (w.1198 M). Guru  yang disebut terakhir ini diduga merupakan guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu ia juga belajar logika pada Zahir al-Farisi yang mengajarkan al-Bashar al-Nashiriyah, karya ‘Umar ibn Sahlan a-Sawi (w.1138 M). ahli logika terkenal sekaligus salah satupemikir iluminasi awal dalam Islam.[14]
Setelah itu Suhrawardi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi yang hidup secara asketik. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama ber-khalwat untuk mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin lebar sehingga mancapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus, Syiria, ia pergike Aleppo untuk berguru pada Safir Iftikhar al-Din, dan di kota Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih yang iri mengecamnya. Akibatnya, ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir (1172-1216 M), gubernur Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayubbi (1138-1193 M), untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog. Namun, dalam perdebatan ini Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat itu justru membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara baik.[15]
Saat di Aleppo di usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam serta mampu menguraikannya secara baik. Bahkan, Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami ushul fiqih, begitu cerdasdan begitu fasih ungkapannya. Semua itu membuat lawan-lawannya atau pihak yang menyukainya semakin iri dan dendam. Karena itu, semakin tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat langsung pada Sultan Shalah al-Din dalam memperingati tentang bahya kemungkinan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri yang terpengaruh isi surat segera memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usia yang relatif muda 38 tahun karena kedengkian sebagian ulama fikih.[16]
2.    Karya-karya Suhrawardi al-Maqtul
As-Suhrawardi tergolong penulis produktif, baik dalam bentuk buku maupun risalah kecil. Karyanya dapat digolongkan menjadi tiga bagian[17]: pertama kitab induk filsafat iluminasinya:
a.       At-Talwihat (Pemberitahuan),
b.      Al-Muqawamat (Yang Tepat),
c.       Al-Masyari wa al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman), dan
d.      Al-Hikmah al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
Karya kedua adalah risalah ringkas filsafat seperti:
a.         Hayakil an-Nur (Rumah Suci Cahaya)
b.        Al-alwah al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah),
c.         Partaw-namah (Uraian tentang Tajalli), dan
d.        Bustan al-Qulub (Taman Kalbu).
Karya ketiga berupa kisah perumpamaan:
a.         Qishshah al-Gurbah al-Garbiyyah (Kisah pengasingan ke Barat),
b.        Risalah ath-Thair (Risalah Burung). Buku ini mengular buku karya Ibnu Sina, Isyyarah wa Tanbihat,
c.         Awaz-I pari-I Jibra’il (Suara sayap Jibril)
d.        Aql-i-surkh (Akal Merah),
e.         Ruzi ba Jama’at-I Sufiyan (Sehari dengan para sufi),
f.         Fi Haqiqah at-‘Isyq (Hakikat Cinta Ilahi),
g.        Fi Halah ath-Thufulliyah,
h.        Lugah al-Muran (Bahasa Semit), dan
i.          Safir-I Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai)

3.    Pemikiran dan Sumber-sumber Isyraqi
Kata Isyraq mengandung banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar berseri-seri, terang karena disinari san menerangi. Tegasnya isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambing kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambing keburukan, kesusahan, kerendahan, dan semua yang membuat manusia menderita. Illumination, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata isyraq juga berarti cahaya dan penerangan.[18]
Dalam bahasa filsafat, iluminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional kepada  pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, pa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini, melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil. Kepada cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut mazhab isyraqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah symbol utama dari filsafat isyraqi. Symbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk, dan materi, hal-hal masuka akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat, individual, dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan symbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqi.[19]
Selanjutnya tentang sumber-sumber yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut Nasr, terdiari atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya Mansur al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali(1058-1111 M). kedua, pemikiran filsafat Islam khususnya filsafat Ibn Sina (980-1037 M).[20]
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam yaitu aliran phytagoras (582-496 SM), dan Hermesisme (Hermes: Nabi Idris,  4533-4188 SM) sebagaimana yang tumbuh di Alexandria, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan ajaran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-kuno. Di sini Suhrawardi mencoba membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan memandang para pemikir Iran-kuno sebagai pearis langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana topan yang menimpa kaum Nabi Nuh (3993-3043 SM).[21]
Kelima, bersandar pada ajaran Zoroaster (hidp antara 1100-550 SM), seorang nabi kuno asal Persia , dalam menggunakan lambing-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat  yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri. Meski demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualism sebagaimana yang diajarakan Zoroaster.[22]
            Akar pemikiran filsafat iluminasi lainnya adalah teori emanasi yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai dasar epistemology Suhrawardi, meskipun ia berbeda dari mereka dalam hal akal terakhir. Emanasi Ibnu Sina dan al-Farabi berenti pada akal aktual (akal kesepuluh), sementara emanasi Suhrawardi tidak terbatas pada akal aktual, tetap terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung  selama cahaya dari cahaya-cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[23]
4.    Filsafat Iluminasi
Suhrawardi menambahkan kata “iluminasionis” (Isyraq) sebagai adjektif deskriptif bagi istilah-istilah teknis tertentu sebagai sarana untuk menandai atau memaknai pemakaian khusus istilah-istilah dalam sistemnya. Sebagai contoh, “visi iluminasionis” (musyahadah isyraqiyyah) menetapkan prioritas epistemology atas cara “mengetahui” secara langsung yang dibedakan dari pemakaian lebih umum kata “visi” seperti yang diterapkan pada pengalaman mistik. “Hubungan iluminasionis” (idhafah isyraqiyyah) menetapkan hubungan nonpredikatif antara subjek dan objek, dan merupakan istilah teknis baru yang menandai pandangan iluminasionis dalam soal landasan-landasan logis epistemology. “Pengetahuan iluminasionis melalui kehadiran” (al-‘Ulum al-hudhuri al-isyraqi) menandai kelebih utamaan modus pemahaman yang intuitif, langsung, dan tanpa selang waktu, atas definisi-definisi esensialis yang secara temporal diperluas yang digunakan sebagai proposisi-proposisi predikatif; dan pengetahuan itu juga membedakan pandangan iluminasionis dan pandangan peripatetik tentang pengetahuan perolehan” (al-‘ilm al-hushuli). Banyak istilah teknis lainnya yang serupa juga didefinisikan dan digunakan untuk pertama kali oleh Suhrawardi dalam pengertian filosofisiluminasionis guna membedakan istilah-istilah itu dari istilah-istilah Peripatetik atau dari kosakata nonfilosofis  umum dalam teks-teks mistik dan teologis.[24]
5.    Metodologi Filsafat Suhrawardi
Prinsip metodologis yang dibangun oleh Suhrawardi ketika untuk pertama kali dalam sejarah filsafat, ia membedakan secara gambling dua pembagian metafisika: metafisika generalis dan metafisika spesialis. Yang pertama, sebagaimana yang dipegang oleh pandangan filsafat baru, melibatkan diskusi-diskusi standar tentang subjek-subjek, seperti eksistensi, kestaun, substansi, aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya, sedangkan yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang baru untuk menganalisis masalah-masalah suprarasional, seperti eksistensi dan pengetahuan Tuhan; “mimpi-mimpi yang benar”; “pengalaman visioner”; tindakan-tindakan kreatif orang tercerahkan, “imajinasi” subjek yang mengatahui; “pembuktian” terhadap yang riil; keberadaan objektif “alam terpisah” yang disebut mundus imaginalis (‘alam khayal); dan banyak masalah serupa lainnya. [25]
6.    Epistemologi Iluminasionis
Prinsip dasar iluminasionis adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis setelah pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya. Adakah sesuatu dalam pengalam seorang subjek, demikian barangkali seseorang bertanya, yang menuntut agar apa yang diperolehnya itu diungkapkan melalui bahasa simbolik yang dikonstruksi secara khusus? Jawaban bagi pertanyaan ini harus diuji dari berbagai sudut pandang, tetapi jelaslah, bahkan pada tahap ini, bahwa “bahasa iluminasi” Suhrawardi dimaksudkan sebagai kosakata khusus yang melalui bahasa itu, pengalam iluminsi mungkin dapat dilukiskan. Jelas pula bahwa interpretasi terhadap simbolisme iluminasi serta implikasinya, sebagaimana yang dikemukakan secara terperinci oleh Suhrawardi dalam al-Masyari’ wa al-Mutarahat adalah aspek-aspek terpenting dalam kontroversi mengenai dasar filsafat iluminasi.[26]
Filsafat iluminasi, seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memamparkan pengalamann. Tahap pertama ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filsuf: ia harus “meninggalkan dunia” agar mudah menerima “pengalaman”. Tahap kedua adalah tahap iluminasi (pencerahan), ketika filsuf mencapai visi (melihat) “Cahaya Ilahi” (an-nur al-ilahi). Tahap ketiga, atau tahap konruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yaitu pengetahuan iluminasionis (al-‘ilm al-Isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi, tahap ketiga dan keempat, seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-tulisan Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat iluminasi, seperti yang dipraktikkan oleh Suhrawardi dan para muridnya.

B.   Ibn al-Arabi
1.    Riwayat Hidup
Ibn Arabi, lengkapnya Muhamma Ibn ‘Ali Muhammad ibn al-‘Arabial-Thai al-Tamimi, lair di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Abu Ya’kub Yusuf I (1163-1184 M) dari Dinasti MUwahhidun (1121-1269 M). Namun, tokoh ini harus dibedakan dari tokoh Ibnu Arabi yang lain yang juga berasal dari Spanyol, yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma’afiri (1076-1148 M). Ibn Arabi yang kedua ini bukan tokoh sufi, melainkan ahli hadits di Sevilla yang kemudian menjadi hakim di sana.[27]
Menurut Affifi, Ibnu Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhi al-Din (penghidup Agama), dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang luar biasa dalam bidang tasawuf. Menurut Arberry belum ada seorang tokoh Muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya dalam tasawuf sehingga ia juga diberi gelar “The greatest mystical genius of the Arab”.[28]
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Sevilla, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu al-Qur’an, hadits, fikih, teologi, tasawuf, dan filsafat skolastik. Saat itu, Sevilla merupakan kota ilmu pengetahuan dan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal di sana. Di antara guru tasawuf Ibn Arabi yang sangat dikagumi adalah dua orang wanita, yaitu Yasmin Mursaniyah dari Murcia dan Fatimah Qurtubiyah dan Kordoba. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentkan (pengarahan) kehidupan spiritualnya. Menurut Kautsar, kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif ini mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufi yang terpelajar, apalagi ia telah masuk tarekat sejak usia 20 tahun.[29]
Selama menetap di Sevilla Ibn Arabimuda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi meupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling engesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M)., saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filsuf Aristotelian ini dengan perdebatan dan tkar pikiran; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Menurut Kautsar, kenyataan tersebut juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tasawuf dan filsafat dalam kesadaran matafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner tasawufnya berhubungan dengan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang sufi sekaligus filsuf yang dapat menfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis mahabesar sebagaimana yang dapat dilihat dalam gagasannya tentang wahdah al-wujud.[30]
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar daari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk  berguru pada Husein ibn Qasi (I. 1151 M), tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada Dinasti Murabitun; kemudian pergi ke Fez dan tinggal di sana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bulgia, dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pulang ke Kordoba pada 1199 M guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menulis beberapa karya, seperti Mawaqi’ al-Nujum, Insya al-Dawa’ir dan lainnya. Akan tetapi, sistuasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara sehingga pergi ke Makkah (1201 M).[31]
Di Mekkah sekitar tiga tahun, ibn arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Di sini ia mendapat ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al-futuhat al-Makkiyah, d samping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota: Madinah, Yerussalem, Baghdad, Mosul, Konya, damaskus, Hebron, Kairo, dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Umar Suhrawardi al-Zanzani (1144-1234 M), seorang tokoh sufi penulis kitab Awarif al-Ma’arif.[32]
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damaskus.kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lag melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis, dan mengajar. Di sini ia menyelesaikan karya monumentalnya, al-Futuhat al-Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal, Fushus al-Hikam. Ibnu Arabi meninggal di Damaskus dan dimakamkan di sana pada 22 Rabi al-Tsani 634 H/November 1240 M dalam usia 78 tahun.[33]
2. Sandaran Pemikiran
Ibn Arabi menggunakan banyak sandaran teori, paradigm dan pengetahuan sebelumnya untuk menjelaskan hasil interpretasi dan pemahaman spiritualnya. Pertama, dari pemikiran-pemikiran tasawuf. Ada beberapa tokoh tasawuf yang digunakan, yaitu Abu Yazid al-Busthami (804-877 M), Hakim al-Tirmidzi (818-933 M), Husein al-hallaj (858-913 M), dan al-Ghazali (1058-1111 M).[34]
Kedua, dari pemikiran filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat-filsafat sebelumnya.dari tokoh filsafat Islam adalah pemikiran Ibn Sina (980-931 M), sedangkan dari filsafat sebelumnya adalah pemikiran Empedocles (484-424 SM) yang dkembangkan oleh Ibn Massarah (883-931 M), Neo-Phytagoras yang dibangun Apollonius Tyana (40-120 M) dan dikembangkan kelompok Ikhwan al-Shafa, juga Neo-Platonisme yang dibangun oleh Plotinus (204-270 M). Ibnu Arabi mengambil pemikiran filsafat Ibn Sina dan neo-Platonism untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, pemikiran Empiduckles untuk menguraikan masalah atribut-atribut ketuhanan, dan pemikiran Ikhwan al-Shafa untuk mendiskusikan masalah jiwa dalam upayanya untuk mencapai Tuhan.[35]
Ketiga sumber-sumber lain. sumber-sumber ini, antara lain, gaya bahasa teologi yang bersifat dialektis, pemikiran mazhab Syiah Ismailiyah yang esiterik dan pemikiran-pemikiran lainnya yang berkaitan masala metafisika, psikologi, epitemologi, fisika, dan logika.


3. Esensi dan eksistensi
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah wujud dari esensi. Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut tingkatkan wujud (maratib al-wujud) yang terdiri atas empat hal, yaitu (1) eksis dalam wujud seustau (wujud al-syafi’I fi ainihi), (2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujud al syai’ si al-‘ilm), (3) eksis dalam ucapan (wujud al-Syai fi al-alfazh), (4) eksis dalam tulisan (wujud al-sayi’ fi uqum). Segala sesuatu dianggap wujud jika ada dalam salah satu empat tingkatan tersebut. Sesuatu yang tidak ada di antara salah satunya tidak bisa dianggap sebagai wujud, dan  karena itu tidak bisa dibicarakan.[36]
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya eksistensi, dalam perspektif ontologism Ibn Arabi, terbagi dalam dua bagan, yaitu wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalah sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan, Allah Swt. wujud nisbi adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud yang lain (wujud bi al-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian, yaitu wujud bebas dan wujud bergantung; wujud bergantung ini berupa atribut-atribut, fenomena-fenomena dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas adalah berupa esensi-esensi, dan ia terbagi dalam dua bagian, yaitu maerial dan spiritual.[37]
4. Wahdah al-Wujud
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktualisasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam, adalah satu adanya, yaitu Tuhan sebagai satu-satunyarealitas dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya.[38]
Untuk menjelaskan hubungan ontologi Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, di mana alam semesta sebagai simbol cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertema, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yaitu bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. [39]
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yaitu bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia sendiri, sama sekali bukan selainnya, tetapi gambar-gambar tersebut bukan Dia yang sesungguhnya.[40]
5. Epistemologi
Ibn Arabi membedakan antara ilmu (al-ilm) dengan makrifah (al-ma’rifah). Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh rasio lewat diskusi (discursive reason), sedang makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh lewat pengenalan secara langsung (knowledge by acquaintance).[41]
Menurut Ibn Arabi, pengetahuan yang dimaksudkan dalam tasawuf adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung. Bukan pengetahuan tentang objek eksternal; pengetahuan tentang kebenaran itu sendiri, yaitu realitas-realitas dari segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan pemahaman rasional tentang suatu objek. Artinya, yang dimaksud pengetahuan dalam tasawuf adalah makrifah, bukan ilmu, karena dalam ilmu masih ada jarak antara subjek dan objek sehingga tidakdapat menangkap hakikat yang sesuangguhnya, sedangkan dalam makrifah persoalan subjek-subjek sudah tidak relevan karena keduanya menyatu. Di kemudian hari, pengetahuan makrifah inilah yang oleh Barush Spinoza (1632-1677 M) diistilahkan dengan scientia intuitive aitu pengetahuan yang diperoleh ketika kesadaran manusia tercerap ke dalam “Amor intelectualis Die”.[42]
Ada beberapa ciri khusus tentang pengetahuan tasawuf (makrifah) ini: (1) pengetahuan ini merupakan karunia Tuhan (al-faidh al-Ilahi) yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan kehidupan spiritual, bukan karena hasil usaha tertentu; (2) proses pencapainnya langsung masuk ke dalam hati, setelah yang bersangkutan mencapai tingkatan spiritual tertentu; (3) kebenarannya bersifat pasti atau niscaya (certain), tidak spekulatif sebagaimana yang terjadi dalam ilmu atau filsafat; (4) tidak berkaitan dengan penalaran (reason) dan tidak membutuhkan nalar untuk melakukan validasinya.[43]
Agar dapat menerima limpahan pengetahuan secara intuitif dari Tuhan, seseorang haruss menyiapkan sarana yang digunakan, yaitu hati (qalb. Ibnu Arabi menetpakna lima tahapan dalam proses ini: (1) membersihkan hati dengan cara menjauhi diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan di samping semakin rajin dalam melakukan kebajikan; (2) meninggalkan seluruh pengaruh duniawi, menghentikan pandangannya terhadap aspek fenomena dunia dan meningkatkan kesadaran terhadap aspek metafisik yang menjadi dasar fenomenanya; (3) menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kaulitas wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata tetapi tidak menghilangkan kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang sehingga hanya Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang; (5) melepaskan Tuhan dari atribut-atribut ketuhanannya; memandang Tuhan lebih sebagai substansi semesta daripada Sebab Pertama, Penggerak Pertama, atau lain dari realitas semesta. Secara lebih sederhana, sebelumnya al-Ghazali menyampaikan, proses-proses tersebut dalam tiga tahapan: takhliyah (pensucian diri), tahliyah (menghias diri), dan tajliyah (siap menerima tajalli).[44]


[1]Sirajuddin Zar,Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya . hlm. 91.
[2]Sirajuddin Zar,Filsafat Islam …, hlm. 91.
[3] Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm 168
[4] Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat…, hlm. 168.
[5] Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat…,  hlm 169
[6] Majid Fakhry, sejarah Filsafat islam, (bandung : Mizan) 2001, hlm 52
[7] Majid Fakhry, sejarah Filsafat…, hlm 55
[8] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) , hlm. 125.
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 69
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI-Press, 1994)
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (jakarta timur :Gaya media pratama, 1999), Hlm. 75.
[12]  Khudori Soleh, Filsafat Islam; Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 178.
[13]  Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…,, hlm. 176.
[14] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm 178-179.
[15] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 179.
[16]  Khudori Soleh, Filsafat Islam… , hlm. 180.
[17]  Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat,hlm. 179.
[18] Khudori Soleh, Filsafat Islam... , hlm. 181,
[19] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm 182.
[20] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 182.
[21] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 183.
[22] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 183.
[23] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 181.
[24] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 183.
[25] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 185.
[26] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 189.
[27] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm.198.
[28] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 198.
[29] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 198.
[30] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 199.
[31] Khudori Soleh, Filsafat Islam… , hlm, 200.
[32] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 200.
[33] Khudori Soleh, Filsafat Islam… , hlm. 202.
[34] Khudori Soleh, Filsafat Islam… , hlm. 203.
[35]Khudori Soleh, Filsafat Islam , hlm. 203.
[36] Khudori Soleh, Filsafat Islam, hlm. 204.
[37] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm, 204.
[38] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 207.
[39] Khudori Soleh, Filsafat Islam… ,hlm. 208.
[40] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 209.
[41] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 213.
[42] Khudori Soleh, Filsafat Islam… , hlm. 213.
[43] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm 214.
[44] Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 215.

2 komentar: