BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ibnu Sina
1.
Riwayat Hidup
Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali
ibn Sina. Di Barat popular dengan sebutan Avicenna akibat dan terjadinya
metmorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben
atau Eben. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan
nasah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad kduabelas di
Spanyol.[1]
Ibnu
Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia
pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[2]
Ibnu
Sina dilahirkan pada masa kekacauan, di mana khakifah Abasiyah mengalami
kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khalifah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Bagdad
sendiri sebagai pusat pemerintahan khalifah Abasiyyah dikuasai oleh golongan
Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai
tahun 447 H.[3]
Pada
masanya yaitu tahun 340 H, di suatu tempat bernama Afsyana, dari daerah
Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di kota Bukhara, ia menghafal
Al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya
baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika, dan
ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya
seorang Masehi. Belum genap usia 16 tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia
tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan
mengobati orang-orang sakit.[4]
Pada
usai duapuluh dua tahun, ayah Ibnu Sina meninggal dunia, kemudian ia
meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke
Khawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi tidak lama juga di sini,
karena kekacauan politik. Sesudah itu ia berpindah-pindah dari satu negeri
kenegeri lainnya, dan akirnya sampai di Hamadzan. Oleh penguasa negeri ini, ia
diangkat menjadi menterinya beberapa kali, sesudah ia dapat mengobati penyakit
yang dideritanya, meskipun dapa masa itu pula ia pernah dipenjara. Dan kemudian
ia pergi ke Isfaha.[5]
Hidup
Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh dengan kesenangan
dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah
mengakibatkan ia tertimpa penyakit dingin yang tidak bida diobati. Pada tahun
428 H(1037 M) ia meninggal dunia di Hamadzan pada usia 58 tahun.
Ibnu
Sina yang dalam autobiografinya terang-terangan mengakui berutang budi kepada
Al-Farabi. Ia telah berhasil mengembangkan tema-tema dasar Neoplatonik yang
dibayangkan pendahulunya, dengan pengecualian soal politik. Namun diksi Ibn
Sina mengungguli Al-Farabi dalam hal keindahan ataupun ketandasan. Mungkin
karena itu pula, tulisan-tulisannya memiliki pengaruh yang lebih luas di
kalangan pelajar. Nama Ibn Sina pun pada masa itu selalu dikaitkan dengan
neoplatonisme Islam meskipun pendiri yang sebenarnya adalah Al-Farabi.[6]
Ibn
Sina telah menuangkan gagasan-gagasannya secara tertulis dalam berbagai bidang
ilmu namun tampaknya Ibnu Sina tidak memiliki ketertarikan terhadap masalah
politik. Perhatian Ibnu Sina terpusat pada bidang metafisika dan logika. Menurutnya metafisika merupakan satu-satunya
bidang ilmu yang rumit.[7]
2.
Karya-karya
Ibnu Sina
a.
Al-Qanun fi
Ath-Thibb,
b.
Asy-Syifa,
c.
An-Najah,
d.
‘Uyun al-Hikmah,
e.
Danisynama-yi
Ala’I,
f.
Al Isyarat wa
at-Tanbihat.
3.
Filsafatnya
Berkaitan dengan
metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan sifat wujudiyah yang terpenting
dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun itu esensi
sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud
terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang ada dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan
bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau
existentialisasi dari filosof-filosof lain.[9]
Kalau dikombinasikan, esensi dan
wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a)
Esensi yang tak dapat mempunyai wujud,
dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud (mamnu’ul wujud/impossible being). Contohnya, adanya sekarang
ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b)
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu
sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (mumkinul
wujud/ contingent being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak
ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c)
Esensi yang tak boleh tidak mesti
mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan
wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud
dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua,
tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud (waibul wujud/ necessary being) yaitu
Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[10]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (ada)
dan pasti ada. Segala sesuatu selain Dia bergantung kepada-Nya.
Dalam pemikiran Ibnu Sina mengenai
wahyu dan Nabi, akal manusia terdiri empat macam yaitu
akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari
keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada
kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi
kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya
yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan
dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya
pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam
pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak
ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini,
dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi
menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran
yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung symbol-simbol. Namun sejauh
mana wahyu itu mendorong?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya
ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya
ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi
seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi,memang hanya nabilah
pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.[11]
A. Suhrawardi
1.
Riwayat Hidup
Suhrawardi,
nama lengkapnya Syihab al-Din Yhya Ibn Habasyi ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul,
lahir di desa Suhrawd, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur laut Iran, tahun
545 H/ 1153 M. istilah “al-maqtul” ini digunakan untuk membedakannya dengan dua
tokoh Suhrawardi yang lain yang sama-sama Suhrawardi. Dua tokoh yang dimaksud
adalah (1) ‘Abd al-Qadir AbuNajib Suhrawardi (1097-1168 M), pendiri tarekat
Suhrawardiyah. Ia adalah murid Ahmad al-Ghazali(w.1126H), adik kandung hujjah
al-Islam Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M), penulis Ihya’ Ulum al-Din,
(2) Shihab al-Din Abu Hafs’Umar Suhrawardi (1144-1234 M), keponakan sekaligus
murid Suhrawardi pertama. Ia lebih berpengaruhdibanding pamannya dan menjadi
mahaguru (syaihk al-syuyukh) ajaran sufi resmi di Baghdad pada masa
khalifah al-Nasir (1180-1225 M). tokoh ini adalah pengarang kitab Awarif
al-Ma’rif yang terkenal dalam sufisme.[12]
Suhrawardi
sangat terkenal dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru iluminasi (Syeikh
al-isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri mazhab
Peripatetik.[13]
Pendidikan
Suhrawardi al-Maqtul di mulai di Maraghah – sebuah kota yang kemudian menjadi
terkenal karena munculnya Nsir al-Din al-Tusi (1201-1274 M) yang membangun
observasiotorium Islam pertama – di bawah bimbingan Majdud al-Din al-Jili dalam
bidang Fiqh dan teologi. Al-Jili ini sendiri juga dikenal sebagai salah satu
guru dari Fakr al-Din al-Razi (1149-1209 M), seorang teologi Sunni.
Selanjutnya, Suhrawardi pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada
Zahir al-Din Qari dan Fakhr al-Din al-Mardini (w.1198 M). Guru yang disebut terakhir ini diduga merupakan
guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu ia juga belajar logika pada
Zahir al-Farisi yang mengajarkan al-Bashar al-Nashiriyah, karya ‘Umar ibn Sahlan
a-Sawi (w.1138 M). ahli logika terkenal sekaligus salah satupemikir iluminasi
awal dalam Islam.[14]
Setelah
itu Suhrawardi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi yang
hidup secara asketik. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi memasuki putaran
kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama ber-khalwat untuk mempelajari
dan memikirkannya. Perjalanannya semakin lebar sehingga mancapai Anatoli dan
Syiria. Dari Damaskus, Syiria, ia pergike Aleppo untuk berguru pada Safir
Iftikhar al-Din, dan di kota Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih
yang iri mengecamnya. Akibatnya, ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir
(1172-1216 M), gubernur Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayubbi (1138-1193
M), untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog. Namun, dalam perdebatan
ini Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat itu justru
membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara
baik.[15]
Saat
di Aleppo di usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai pengetahuan
filsafat dan tasawuf begitu mendalam serta mampu menguraikannya secara baik.
Bahkan, Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam
ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami ushul fiqih,
begitu cerdasdan begitu fasih ungkapannya. Semua itu membuat lawan-lawannya
atau pihak yang menyukainya semakin iri dan dendam. Karena itu, semakin tidak
berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat
langsung pada Sultan Shalah al-Din dalam memperingati tentang bahya kemungkinan
tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat dengan Suhrawardi.
Shalah al-Din sendiri yang terpengaruh isi surat segera memerintahkan putranya
untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini
harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usia yang relatif muda 38
tahun karena kedengkian sebagian ulama fikih.[16]
2.
Karya-karya Suhrawardi al-Maqtul
As-Suhrawardi tergolong
penulis produktif, baik dalam bentuk buku maupun risalah kecil. Karyanya dapat digolongkan
menjadi tiga bagian[17]:
pertama kitab induk filsafat iluminasinya:
a.
At-Talwihat
(Pemberitahuan),
b.
Al-Muqawamat
(Yang Tepat),
c.
Al-Masyari wa al-Mutarahat
(Jalan dan Pengayoman), dan
d.
Al-Hikmah al-Isyraq
(Filsafat Pencerahan).
Karya kedua adalah risalah ringkas
filsafat seperti:
a.
Hayakil an-Nur
(Rumah Suci Cahaya)
b.
Al-alwah al-Imadiyah
(Lembaran Imadiyah),
c.
Partaw-namah
(Uraian tentang Tajalli), dan
d.
Bustan al-Qulub
(Taman Kalbu).
Karya
ketiga berupa kisah perumpamaan:
a.
Qishshah al-Gurbah al-Garbiyyah
(Kisah pengasingan ke Barat),
b.
Risalah ath-Thair
(Risalah Burung). Buku ini mengular buku karya Ibnu Sina, Isyyarah wa
Tanbihat,
c.
Awaz-I pari-I Jibra’il
(Suara sayap Jibril)
d.
Aql-i-surkh
(Akal Merah),
e.
Ruzi ba Jama’at-I Sufiyan
(Sehari dengan para sufi),
f.
Fi Haqiqah at-‘Isyq
(Hakikat Cinta Ilahi),
g.
Fi Halah ath-Thufulliyah,
h.
Lugah al-Muran
(Bahasa Semit), dan
i.
Safir-I Simurgh
(Jerit Merdu Burung Pingai)
3.
Pemikiran dan Sumber-sumber Isyraqi
Kata
Isyraq mengandung banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar
berseri-seri, terang karena disinari san menerangi. Tegasnya isyraqi berkaitan
dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambing
kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya
adalah kegelapan yang dijadikan lambing keburukan, kesusahan, kerendahan, dan
semua yang membuat manusia menderita. Illumination, dalam bahasa Inggris yang
dijadikan padanan kata isyraq juga berarti cahaya dan penerangan.[18]
Dalam
bahasa filsafat, iluminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan
bentuk dari kehidupan emosional kepada
pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, pa yang disebut
hikmah bukan sekedar teori yang diyakini, melainkan perpindahan ruhani secara
praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan
merupakan sesuatu yang mustahil. Kepada cahaya yang bersifat akali yang di
dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena itu,
menurut mazhab isyraqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu
berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh,
cahaya adalah symbol utama dari filsafat isyraqi. Symbol cahaya digunakan untuk
menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk, dan materi, hal-hal
masuka akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat, individual, dan
tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan symbol
cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqi.[19]
Selanjutnya
tentang sumber-sumber yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut
Nasr, terdiari atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme,
khususnya karya-karya Mansur al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali(1058-1111 M).
kedua, pemikiran filsafat Islam khususnya filsafat Ibn Sina (980-1037 M).[20]
Ketiga,
pemikiran filsafat sebelum Islam yaitu aliran phytagoras (582-496 SM), dan
Hermesisme (Hermes: Nabi Idris, 4533-4188 SM) sebagaimana yang tumbuh di
Alexandria, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah
Harran, yang memandang kumpulan ajaran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-kuno. Di sini Suhrawardi mencoba
membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan memandang para pemikir
Iran-kuno sebagai pearis langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana
topan yang menimpa kaum Nabi Nuh (3993-3043 SM).[21]
Kelima,
bersandar pada ajaran Zoroaster (hidp antara 1100-550 SM), seorang nabi kuno
asal Persia , dalam menggunakan lambing-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya
dalam ilmu malaikat yang kemudian
ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri. Meski demikian, secara tegas
Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualism sebagaimana yang
diajarakan Zoroaster.[22]
Akar
pemikiran filsafat iluminasi lainnya adalah teori emanasi yang dikembangkan
oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai dasar epistemology Suhrawardi, meskipun ia
berbeda dari mereka dalam hal akal terakhir. Emanasi Ibnu Sina dan al-Farabi
berenti pada akal aktual (akal kesepuluh), sementara emanasi Suhrawardi tidak
terbatas pada akal aktual, tetap terus beremanasi pada akal yang lebih banyak
dan tidak bisa terhitung selama cahaya
dari cahaya-cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni
kepada segala sesuatu yang ada di bawahnya.[23]
4.
Filsafat Iluminasi
Suhrawardi menambahkan
kata “iluminasionis” (Isyraq) sebagai adjektif deskriptif bagi
istilah-istilah teknis tertentu sebagai sarana untuk menandai atau memaknai
pemakaian khusus istilah-istilah dalam sistemnya. Sebagai contoh, “visi
iluminasionis” (musyahadah isyraqiyyah) menetapkan prioritas
epistemology atas cara “mengetahui” secara langsung yang dibedakan dari
pemakaian lebih umum kata “visi” seperti yang diterapkan pada pengalaman
mistik. “Hubungan iluminasionis” (idhafah isyraqiyyah) menetapkan
hubungan nonpredikatif antara subjek dan objek, dan merupakan istilah teknis
baru yang menandai pandangan iluminasionis dalam soal landasan-landasan logis
epistemology. “Pengetahuan iluminasionis melalui kehadiran” (al-‘Ulum
al-hudhuri al-isyraqi) menandai kelebih utamaan modus pemahaman yang
intuitif, langsung, dan tanpa selang waktu, atas definisi-definisi esensialis
yang secara temporal diperluas yang digunakan sebagai proposisi-proposisi
predikatif; dan pengetahuan itu juga membedakan pandangan iluminasionis dan
pandangan peripatetik tentang pengetahuan perolehan” (al-‘ilm al-hushuli).
Banyak istilah teknis lainnya yang serupa juga didefinisikan dan digunakan
untuk pertama kali oleh Suhrawardi dalam pengertian filosofisiluminasionis guna
membedakan istilah-istilah itu dari istilah-istilah Peripatetik atau dari
kosakata nonfilosofis umum dalam
teks-teks mistik dan teologis.[24]
5.
Metodologi Filsafat Suhrawardi
Prinsip
metodologis yang dibangun oleh Suhrawardi ketika untuk pertama kali dalam
sejarah filsafat, ia membedakan secara gambling dua pembagian metafisika:
metafisika generalis dan metafisika spesialis. Yang pertama, sebagaimana yang
dipegang oleh pandangan filsafat baru, melibatkan diskusi-diskusi standar
tentang subjek-subjek, seperti eksistensi, kestaun, substansi, aksiden, waktu,
gerak, dan sebagainya, sedangkan yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang
baru untuk menganalisis masalah-masalah suprarasional, seperti eksistensi dan
pengetahuan Tuhan; “mimpi-mimpi yang benar”; “pengalaman visioner”;
tindakan-tindakan kreatif orang tercerahkan, “imajinasi” subjek yang
mengatahui; “pembuktian” terhadap yang riil; keberadaan objektif “alam
terpisah” yang disebut mundus imaginalis (‘alam khayal); dan banyak masalah
serupa lainnya. [25]
6.
Epistemologi Iluminasionis
Prinsip dasar
iluminasionis adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman
tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan
sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis setelah
pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya. Adakah sesuatu dalam
pengalam seorang subjek, demikian barangkali seseorang bertanya, yang menuntut
agar apa yang diperolehnya itu diungkapkan melalui bahasa simbolik yang
dikonstruksi secara khusus? Jawaban bagi pertanyaan ini harus diuji dari
berbagai sudut pandang, tetapi jelaslah, bahkan pada tahap ini, bahwa “bahasa
iluminasi” Suhrawardi dimaksudkan sebagai kosakata khusus yang melalui bahasa
itu, pengalam iluminsi mungkin dapat dilukiskan. Jelas pula bahwa interpretasi
terhadap simbolisme iluminasi serta implikasinya, sebagaimana yang dikemukakan
secara terperinci oleh Suhrawardi dalam al-Masyari’ wa al-Mutarahat adalah
aspek-aspek terpenting dalam kontroversi mengenai dasar filsafat iluminasi.[26]
Filsafat iluminasi,
seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas tiga tahap yang
menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memamparkan
pengalamann. Tahap pertama ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filsuf:
ia harus “meninggalkan dunia” agar mudah menerima “pengalaman”. Tahap kedua
adalah tahap iluminasi (pencerahan), ketika filsuf mencapai visi (melihat)
“Cahaya Ilahi” (an-nur al-ilahi). Tahap ketiga, atau tahap konruksi, yang
ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yaitu
pengetahuan iluminasionis (al-‘ilm al-Isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan
terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis
ulang. Jadi, tahap ketiga dan keempat, seperti yang didokumentasikan dalam
tulisan-tulisan Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat iluminasi,
seperti yang dipraktikkan oleh Suhrawardi dan para muridnya.
B. Ibn al-Arabi
1.
Riwayat Hidup
Ibn Arabi, lengkapnya Muhamma Ibn ‘Ali Muhammad ibn
al-‘Arabial-Thai al-Tamimi, lair di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, 17
Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Abu Ya’kub Yusuf I
(1163-1184 M) dari Dinasti MUwahhidun (1121-1269 M). Namun, tokoh ini harus
dibedakan dari tokoh Ibnu Arabi yang lain yang juga berasal dari Spanyol, yang
bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma’afiri
(1076-1148 M). Ibn Arabi yang kedua ini bukan tokoh sufi, melainkan ahli hadits
di Sevilla yang kemudian menjadi hakim di sana.[27]
Menurut Affifi, Ibnu Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab
yang saleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah tokoh sufi yang
masyhur, dan ia sendiri digelari Muhi al-Din (penghidup Agama), dan al-Syaikh
al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang luar biasa dalam
bidang tasawuf. Menurut Arberry belum ada seorang tokoh Muslim yang mencapai
posisi sebagaimana kedudukannya dalam tasawuf sehingga ia juga diberi gelar “The
greatest mystical genius of the Arab”.[28]
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Sevilla, ketika ayahnya menjabat di
istana dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu al-Qur’an, hadits, fikih,
teologi, tasawuf, dan filsafat skolastik. Saat itu, Sevilla merupakan kota ilmu
pengetahuan dan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal
di sana. Di antara guru tasawuf Ibn Arabi yang sangat dikagumi adalah dua orang
wanita, yaitu Yasmin Mursaniyah dari Murcia dan Fatimah Qurtubiyah dan Kordoba.
Keduanya berpengaruh besar dalam pembentkan (pengarahan) kehidupan
spiritualnya. Menurut Kautsar, kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif
ini mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufi yang terpelajar,
apalagi ia telah masuk tarekat sejak usia 20 tahun.[29]
Selama menetap di Sevilla Ibn Arabimuda sering melakukan kunjungan
ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para
tokoh sufi meupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling
engesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M)., saat itu Ibn
Arabi mengalahkan tokoh filsuf Aristotelian ini dengan perdebatan dan tkar
pikiran; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya
wawasan spiritual sufi muda ini. Menurut Kautsar, kenyataan tersebut juga
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tasawuf dan filsafat dalam
kesadaran matafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner tasawufnya
berhubungan dengan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi
adalah seorang sufi sekaligus filsuf yang dapat menfilsafatkan pengalaman
spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis mahabesar sebagaimana
yang dapat dilihat dalam gagasannya tentang wahdah al-wujud.[30]
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar daari
semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk
berguru pada Husein ibn Qasi (I. 1151 M), tokoh sufi yang melakukan
pemberontakan pada Dinasti Murabitun; kemudian pergi ke Fez dan tinggal di sana
selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bulgia, dan kembali ke Tunis (1202
M), setelah pulang ke Kordoba pada 1199 M guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd.
Selama pengembaraan ini, ia sempat menulis beberapa karya, seperti Mawaqi’
al-Nujum, Insya al-Dawa’ir dan lainnya. Akan tetapi, sistuasi religio-politis
tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara
sehingga pergi ke Makkah (1201 M).[31]
Di Mekkah sekitar tiga tahun, ibn arabi mempergunakan waktunya
untuk mempertajam ruhani dan menulis. Di sini ia mendapat ia mendapat ilham
untuk menulis karya monumentalnya, al-futuhat al-Makkiyah, d samping
menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke
berbagai kota: Madinah, Yerussalem, Baghdad, Mosul, Konya, damaskus, Hebron,
Kairo, dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah
perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk
menerima rahasia-rahasia Ilahiah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia
kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu
Syihabuddin Umar Suhrawardi al-Zanzani (1144-1234 M), seorang tokoh sufi
penulis kitab Awarif al-Ma’arif.[32]
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damaskus.kecuali
kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lag melakukan
pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis, dan
mengajar. Di sini ia menyelesaikan karya monumentalnya, al-Futuhat al-Makkiyah,
dan menulis kitab lain yang terkenal, Fushus al-Hikam. Ibnu Arabi meninggal di
Damaskus dan dimakamkan di sana pada 22 Rabi al-Tsani 634 H/November 1240 M
dalam usia 78 tahun.[33]
2. Sandaran
Pemikiran
Ibn Arabi menggunakan banyak sandaran teori, paradigm dan
pengetahuan sebelumnya untuk menjelaskan hasil interpretasi dan pemahaman
spiritualnya. Pertama, dari pemikiran-pemikiran tasawuf. Ada beberapa tokoh
tasawuf yang digunakan, yaitu Abu Yazid al-Busthami (804-877 M), Hakim
al-Tirmidzi (818-933 M), Husein al-hallaj (858-913 M), dan al-Ghazali (1058-1111
M).[34]
Kedua, dari pemikiran filsafat, baik filsafat Islam maupun
filsafat-filsafat sebelumnya.dari tokoh filsafat Islam adalah pemikiran Ibn
Sina (980-931 M), sedangkan dari filsafat sebelumnya adalah pemikiran
Empedocles (484-424 SM) yang dkembangkan oleh Ibn Massarah (883-931 M),
Neo-Phytagoras yang dibangun Apollonius Tyana (40-120 M) dan dikembangkan
kelompok Ikhwan al-Shafa, juga Neo-Platonisme yang dibangun oleh Plotinus
(204-270 M). Ibnu Arabi mengambil pemikiran filsafat Ibn Sina dan neo-Platonism
untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, pemikiran Empiduckles untuk
menguraikan masalah atribut-atribut ketuhanan, dan pemikiran Ikhwan al-Shafa
untuk mendiskusikan masalah jiwa dalam upayanya untuk mencapai Tuhan.[35]
Ketiga sumber-sumber lain. sumber-sumber ini, antara lain, gaya
bahasa teologi yang bersifat dialektis, pemikiran mazhab Syiah Ismailiyah yang
esiterik dan pemikiran-pemikiran lainnya yang berkaitan masala metafisika,
psikologi, epitemologi, fisika, dan logika.
3. Esensi dan
eksistensi
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah wujud dari esensi. Sesuatu
bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut
tingkatkan wujud (maratib al-wujud) yang terdiri atas empat hal, yaitu
(1) eksis dalam wujud seustau (wujud al-syafi’I fi ainihi), (2) eksis
dalam pikiran atau konsepsi (wujud al syai’ si al-‘ilm), (3) eksis dalam
ucapan (wujud al-Syai fi al-alfazh), (4) eksis dalam tulisan (wujud
al-sayi’ fi uqum). Segala sesuatu dianggap wujud jika ada dalam salah satu
empat tingkatan tersebut. Sesuatu yang tidak ada di antara salah satunya tidak
bisa dianggap sebagai wujud, dan karena
itu tidak bisa dibicarakan.[36]
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya eksistensi,
dalam perspektif ontologism Ibn Arabi, terbagi dalam dua bagan, yaitu wujud
mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalah sesuatu yang eksis dengan dirinya
sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan, Allah Swt. wujud nisbi
adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud yang lain (wujud
bi al-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian, yaitu wujud bebas
dan wujud bergantung; wujud bergantung ini berupa atribut-atribut,
fenomena-fenomena dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal.
Sementara itu, wujud nisbi bebas adalah berupa esensi-esensi, dan ia terbagi
dalam dua bagian, yaitu maerial dan spiritual.[37]
4. Wahdah
al-Wujud
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktualisasi entitas-entitas
permanen yang ada dalam ilmu Tuhan maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang
ada ini, meski tampak beragam, adalah satu adanya, yaitu Tuhan sebagai
satu-satunyarealitas dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia
tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya.[38]
Untuk menjelaskan hubungan ontologi Tuhan dan semesta tersebut, Ibn
Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, di mana alam semesta sebagai simbol
cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertema, untuk menjelaskan sebab penciptaan
alam, yaitu bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. [39]
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang satu dengan yang banyak dan
beragam dalam semesta. Yaitu bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi
gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut.
Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia sendiri, sama sekali bukan selainnya,
tetapi gambar-gambar tersebut bukan Dia yang sesungguhnya.[40]
5. Epistemologi
Ibn Arabi membedakan antara ilmu (al-ilm) dengan makrifah (al-ma’rifah).
Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh rasio lewat diskusi (discursive
reason), sedang makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh lewat pengenalan
secara langsung (knowledge by acquaintance).[41]
Menurut Ibn Arabi, pengetahuan yang dimaksudkan dalam tasawuf
adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung. Bukan pengetahuan tentang
objek eksternal; pengetahuan tentang kebenaran itu sendiri, yaitu
realitas-realitas dari segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan pemahaman
rasional tentang suatu objek. Artinya, yang dimaksud pengetahuan dalam tasawuf
adalah makrifah, bukan ilmu, karena dalam ilmu masih ada jarak antara subjek
dan objek sehingga tidakdapat menangkap hakikat yang sesuangguhnya, sedangkan
dalam makrifah persoalan subjek-subjek sudah tidak relevan karena keduanya
menyatu. Di kemudian hari, pengetahuan makrifah inilah yang oleh Barush Spinoza
(1632-1677 M) diistilahkan dengan scientia intuitive aitu pengetahuan yang
diperoleh ketika kesadaran manusia tercerap ke dalam “Amor intelectualis Die”.[42]
Ada beberapa ciri khusus tentang pengetahuan tasawuf (makrifah)
ini: (1) pengetahuan ini merupakan karunia Tuhan (al-faidh al-Ilahi)
yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan kehidupan spiritual, bukan
karena hasil usaha tertentu; (2) proses pencapainnya langsung masuk ke dalam
hati, setelah yang bersangkutan mencapai tingkatan spiritual tertentu; (3)
kebenarannya bersifat pasti atau niscaya (certain), tidak spekulatif
sebagaimana yang terjadi dalam ilmu atau filsafat; (4) tidak berkaitan dengan
penalaran (reason) dan tidak membutuhkan nalar untuk melakukan
validasinya.[43]
Agar dapat menerima limpahan pengetahuan secara intuitif dari
Tuhan, seseorang haruss menyiapkan sarana yang digunakan, yaitu hati (qalb.
Ibnu Arabi menetpakna lima tahapan dalam proses ini: (1) membersihkan hati
dengan cara menjauhi diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan di samping
semakin rajin dalam melakukan kebajikan; (2) meninggalkan seluruh pengaruh
duniawi, menghentikan pandangannya terhadap aspek fenomena dunia dan
meningkatkan kesadaran terhadap aspek metafisik yang menjadi dasar fenomenanya;
(3) menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kaulitas wujud kontingen
dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata tetapi tidak
menghilangkan kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang sehingga
hanya Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang; (5) melepaskan Tuhan
dari atribut-atribut ketuhanannya; memandang Tuhan lebih sebagai substansi
semesta daripada Sebab Pertama, Penggerak Pertama, atau lain dari realitas
semesta. Secara lebih sederhana, sebelumnya al-Ghazali menyampaikan,
proses-proses tersebut dalam tiga tahapan: takhliyah (pensucian diri), tahliyah
(menghias diri), dan tajliyah (siap menerima tajalli).[44]
[1]Sirajuddin Zar,Filsafat
Islam; Filosof dan Filsafatnya .
hlm. 91.
[2]Sirajuddin Zar,Filsafat
Islam …, hlm. 91.
[3] Ahmad hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm 168
[4] Ahmad hanafi, Pengantar
Filsafat…, hlm. 168.
[5] Ahmad hanafi, Pengantar
Filsafat…, hlm 169
[7] Majid Fakhry, sejarah
Filsafat…, hlm 55
[8] Dedi Supriyadi,
Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013) , hlm. 125.
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 69
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI-Press, 1994)
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (jakarta timur :Gaya media pratama, 1999), Hlm.
75.
[12] Khudori Soleh, Filsafat Islam; Dari Klasik
Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 178.
[15] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 179.
[18] Khudori Soleh,
Filsafat Islam... , hlm. 181,
[19] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm 182.
[20] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 182.
[21] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 183.
[24] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 183.
[25] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 185.
[26] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat…, hlm. 189.
[27] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm.198.
[29] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 198.
[33] Khudori Soleh,
Filsafat Islam… , hlm. 202.
[34] Khudori Soleh,
Filsafat Islam… , hlm. 203.
[35]Khudori Soleh, Filsafat
Islam , hlm. 203.
[38] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 207.
[40] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 209.
[41] Khudori Soleh,
Filsafat Islam…, hlm. 213.
[42] Khudori Soleh,
Filsafat Islam… , hlm. 213.
smm panel
BalasHapusSmm Panel
is ilanlari
instagram takipçi satın al
HIRDAVATÇI BURADA
HTTPS://WWW.BEYAZESYATEKNİKSERVİSİ.COM.TR/
SERVİS
Tiktok Para Hilesi
uc satın al
BalasHapuslisans satın al
minecraft premium
özel ambulans
en son çıkan perde modelleri
en son çıkan perde modelleri
nft nasıl alınır
yurtdışı kargo