Salah satu persoalan utama yang tetap ramai diperbincangkan kendati
telah lama memicu polemik dan kontroversi dalam kancah studi hadis adalah
problem kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis. Problem ini boleh jadi
akan terus berkembang menjadi agenda perdebatan yang cukup hangat dan menyita
banyak energi di kalangan para sarjana keislaman, khususnya mereka yang menaruh
minat pada studi hadis.
Karena proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis masih
banyak diselimuti “misteri” dan kontroversi, maka dalam perspektif kritik
historis, posisi kitab hadis tidak dapat disejajarkan dengan kitab suci
al-Qur’an. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, sejarah
kompilasi dan kodifikasi hadis sejak periode pewahyuan hingga tercapai
dokumentasi yang dianggap final telah melewati rentang waktu yang panjang. Kedua.
proses historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis kendati secara
khusus telah berlangsung sejak periode Nabi saw., pada kenyataannya belum
menjangkau seluruh hadis yang beredar saat itu. Ketiga, kegiatan
kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis, terutama yang bersifat resmi
dan publik, baru terjadi setelah gelombang besar pemalsuan hadis. Keempat,
selama proses transisi dari tradisi lisan menuju dokumentasi tertulis,
periwayatan hadis umumnya berlangsung secara ahad dan hanya sedikit yang
berlangsung secara mutawatir.
Pada zaman Rasulullah, hadis tidaklah dibukukan, bahkan dilarang,
hadis cukuplah dihafal oleh para sahabat karena faktor-faktor tertentu. Pada zaman
Khulafaur Rasyidinpun sama, hadis belumlah dapat dibukukan, hal itu dikarenakan
sikap kehati-hatian dari para Khulafaur Rasyidin dalam mengumpulkan hadis,
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dikeluarkan oleh Khulafaur rasyidin
terhadap hadis ini dimaksudkan untuk memelihara al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar
dan Umar menyerukan kepada umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis, serta meminta kepada para sahabat untuk menyelidiki
riwayat. Pada masa Khalifah Utsman dan Ali, keadaannya tidak terlalu berbeda
dengan keadaan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, tentang sikapnya terhadap
periwayatan dan pendewanan hadis.
Setelah agama Islam mulai meluas tersebar ke berbagai wilayah jaziah
Arab, para sahabatpun mulai berpencar ke beberapa wilayah. Banyak yang meninggal
dunia dan para ulama merasa khawatir dan merasa perlu untuk membukukan hadis,
hal inilah yang mendorong khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah untuk
membukukan hadis. Pada masa khalifah Umar bin Abdul aziz hadis dapat dibukukan,
masa ini disebut juga sebagai masa penulisan atau masa pembukuan hadis. Di mulai
pada masa pemerintahan Amawiyah. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu untuk
membukukan hadis. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan
lenyapnya hadis-hadis bersama para penghafalnya yang kian lama makin banyak
yang meninggal atau karena ia khawatir akan tercampur baurnya hadis-hadis asli
dengan hadis-hadis batil.
A.
Pengertian
Tadwin Hadits
Kata tadwin
merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dawwana, “menulis” atau “mendaftar”.
Secara literal, kata “tadwin” mengandung arti “penghimpunan”, seperti
disebutkan dalam kamus Tajal-‘Arus:dawwanahu tadwinan jama’ahu.
Al-Zahraniy, dengan mengutip kamus Arab, mengartikan kata tadwin dengan “kumpulan
shuhuf”, sehingga dalam makna ini tadwin identik dengan diwan. Selain itu,
kata tadwin dapat berarti “mengikat sesuat yang terpisah-pisah atau
tercerai-berai dan menghimpunnya dalam sebuah diwan atau kitab yang memuat di
dalamnyalembaran-lembaran.”[1]
Secara
terminologis, sejumlah sarjana telah mendefinisikan tadwin hadis secara
beragam. Muhammad Darwisy, misalnya, mengartikan tadwin hadis dengan “penulisan
(kitabah) hadis-hadis yang berasal dari Nabi saw. dan penghimpunannya (‘jam)
dalam satu atau beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang
tertib dan teratu, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya
sebagai dalil.” Manna al-Qaththan mendefinisikan tadwin hadis dengan “usaha
pengumlpulan hadis yangsudah dituliskan dalam bentuk shuhuf atau yang masih
terpelihara dalam bentuk hafalan, dan kemudian menyusunnya hingga menjadi
sebuah kitab.”[2]
Pembukuan hadis
(tadwin al-Hadis) merupakan konsep yang tetap penting dipahami engan
benar dalam studi hadis, karena ia berkaitan dengan eksistensi periwayatan
hadis-hadis Nabi saw yang telah terjadi
di dalam sejarah, yang kemudian dibukukan dalam kitab-kitab hadis yang diwarisi
oleh umat apad masa kemudian. Setiap muslim yang benar pemahaman agamanya akan
peduli dengan persoalan ini, karena di dalamnya dimuat persoalan esensial yang
dijadikan hujjah dalam beribadah dan kehidupan.[3]
B.
Hadits Sebelum
Dibukukan
1.
Hadits pada
masa Nabi
Nabi dalam
melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai rasul berdakwah, menyampaikan dan
mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi
figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau
seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan
disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh
sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan tidak seluruhya selalu menemani beliau
bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadis dari beliau berkewajiban
menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah baik
ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis dari Rasulullah.[4]
Perhatian
sahabat terhadap hadis sangat tinggi terutama di berbagai majlis Nabi atau
tempat untuk menyampaikan risalah Islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu,
dan diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Mereka berkewajiban
menghadiri tempat-tempat itu untuk menerima petunjuk dan pelajaran dari hadis
beliau.
Pada masa Nabi
saw, kepandaian tulis baca di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya
saja terbatas sekali. kepandaian tulis baca tersebut, misalnya yang dibawa ke
Mekkah dan daerah Hirah, dibawa antara lain oleh harb Ibnu Umayyah, seorang
yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya.[5]
Oleh karena itu
kecakapan tulis baca di kalangan para sahabat masih kurang, maka Nabi
menekankan untuk menghafal hadis, memahami, memelihara, mematerikan/memantapkan
dalam amalan sehari-hari serta mentabligkan kepada orang lain.[6]
2.
Hadits pada
masa sahabat dan tabi’in
Masa ini sering
diistilahkan dengan “masa pertumbuhan” (daur al-Nusyu’). Masa ini berjalan
selama kurang lebih satu abad, mulai dari awal hingga penghujung abad pertama.
Pada masa sahabat hadis terjaga dengan sempurna. Menurut Nuruddin al-‘Ithir,
ada beberapa faktor yang berperan dalam menjaga keotentikan hadis, di
antaranya:
a.
Kecerdasan para
sahabat dan kejernihan fikiran mereka
Lingkungan masyarakat Arab pada saat itu cukup kondusif dalam
menjaga kejernihan pemikiran mereka. Kondisi lingkungan saat itu masih belum
terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran luar. Di samping itu, budaya luar
jazirah Arabiyah juga belum banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka.[7]
Di sisi lain, masyarakat Arab saat itu dikenal sebagai masyarakat
yang tidak pandai baca tulis. Masyarakat ang buta huruf lebih banyak
mengandalkan hafalan dalam menyampaikan informasi. Hafalan mereka terasa begitu
tajam, mampu untuk menghafal segala informasi yang didengar maupun yang
dilihat.[8]
Keberadaan Nabi di sekitar mereka juga menjadi alasan mengapa hadis
cukup dihafal dan belum begitu perlu untuk ditulis. Mereka berpendapat bahwa
jika terjadi sesuatu yang perlu ditanyakan, mereka masih bisa datang dan
bertanya pada Nabi saw.[9]
b.
Motivasi agama
Kesadaran bahwa kebahagiaan dunia maupun akhirat terdapat dalam
kepatuhan manusia terhadap perintah dan ajaran agama. Komitmen dengan apa yang
telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjadikan al-Qur’an dan hadis
sebagai pegangan hidup adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki.
Kesadaran tersebut mendorong para sahabat untuk berusaha semaksimal mungkin
menjaga keotentikan hadis dan menyebarkannya.[10]
c.
Kedudukan hadis
Hadis sebagai sumber hukum kedua menuntut para sahabat untuk selalu
berpegang teguh dengan hadis dan mengamalkannya. Keyakinan bahwa Islam tidak
dapat dipahami dengan sempurna tanpa intervensi hadis mendorong mereka untuk
selalu menjaga dan mengambil hadis.[11]
d.
Metode
penyampaian hadis
Nabi saw adalah seorang pendidik. Dalam menyampaikan hadis kepada
para sahabat, beliau memiliki cara yang bijak dan perlu untuk diteladani agar
materi tersebut dapat diserap dengan baik dan maksimal oleh para sahabat.
Berikut cara Nabi saw menyampaikan hadis:
1)
Materi tidak
disampaikan dengan tergesa-gesa ataupun cepat, akan tetapi disampaikan dengan
berlahan, bahkan tidak ucapan beliau diulang hingga tiga kali agar pendengar
benar-benar paham akan makna ucapan tersebut.
2)
Bila berbicara
beliau tidak menyampaikannya dengan panjang lebar, akan tetapi cukup seperlunya
namun bermakna.
3)
Materi
disampaikan dengan uslub yang bervariasi dan tidak monoton.
4)
Kondisi audien
sangat dipertimbangkan. Beliau tidak menyampaikan hadis saat sahabat tidak siap
menerima hadis.
e.
Penulisan hadis.[12]
Faktor
terpenting dalam menjaga hadis adalah pencatatan. Pada zaman Nabi sebagian
hadis sudah ditulis oleh beberapa sahabat. Namun pada masa ini penulisan hadis
bersifat pribadi, dan tidak untuk dijadikan sebagai rujukan umum. Hal ini
disebabkan adanya larangan penulisan hadis.
C.
Perselisihan Pendapat
tentang Larangan Pembukuan Hadits
Pro
dan kontra menulis hadis, sudah barang tentu percaturan seru sebelum datang
perintah resmi khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menulis atau membukukan hadis.
Secara esktrem, perdebatan hukum menulis hadis terpilah menjadi dua kelompok,
satu kelompok yang melarang dan satu kelompok yang membolehkan.
1.
Hadis dilarang
untuk ditulis
Ada
dua alasan mendasar telah dijadikan hujjah atau alasan bagi kelompok yang tidak
membolehkan menulis hadis, yaitu:
a.
Alasan Nash
Hadis Abu Sa’id al-Khudzriy
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, jelas dengan tegas melarang untuk menulis
hadis. Secara tekstual hadis tersebut berbunyi:
“Dari Abu Sa’id al-Khudzriy sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,
“Jangan kalian menulis (sesuatu), barangsiapa yang menulis dariku selain
al-Qur’an, maka hapuslah. Ceritakan apa yang dariku (kepada orang lain), dan
tidak menjadi masalah. Barangsiapa berdusta atasku, berkata Hamam, aku kira
beliau akan bersabda, “dengan sengaja,” maka siapkanlah dirinya untuk menempati
tempat duduknya di api neraka”.[13]
b.
Alasan
penalaran
Adanya rasa kekhawatiran kalau-kalau
menjadi bercampur dengan al-Qur’an, apalagi saat itu – ketika Nabi masih hidup
– al-Qur’an masih dalam proses nuzul. Di antara orang-orang yang tidak membolehkan
menulis hadis ialah Abu Sa;id al-Khudzriy, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Musa
al-Asy’ariy, Ibnu ‘Abbas, dan Zaid bin Tsabit dari generasi sahabat. Al-Sya’by,
al-Nakha’iy, al-Auza’iy, dan Ibnu Sirin dari generasi tabi’in.[14]
2.
Hadis boleh
ditulis
Di antara yang berpendapat demikian
ialah Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, al-Husain bin Ali, Anas bin
Malik, Jabi bin Abdillah, dan Abdullah bin Amer bin al Ash dari kelompok
Sahabat, dan ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, dan Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dari kelompok
tabi’in.[15]
a.
Alasan dari
Hadis
1)
Hadis Abdullah
bin ‘Amer perihal kebolehan menulis apa yang datang dari Nabi saw:
Dari Abdullah bin ‘Amer dia berkata, “Aku selalu menulis sesuatu
yang aku pernah dengar dari Rasulullah saw (karena) aku ingin menghafalnya.”Orang-orang
Quraisy mencegahku. Mereka berkata, “Anda tulis apa-apa yang kau dengar dari
Rasulullah saw, padahal Rasul saw adalah manusia biasa, (kadang) bicara dalam
keadaan marah dan kadang dalam keadaan senang.” Akupun berhenti menulisnya.
Kemudian aku laporkan hal itu kepada rasulullah saw. kemudian Rasulullah
mematuk matukkan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Demi Dzat yang
jiwaku pada kekuasaannya, tidak akan
keluar dari mulut (ini) kecuali yang haq.”[16]
2)
Hadist Abu Hurairah
perihal perintah Nabi untuk menuliskan hadis buat Abu Syah, pada saat fathul
Makkah, riwayat Abu Dawud.
Dari Abu Hurairah ra. dia
berkata “Ketika kota Mekkah dibuka, Nabi saw berdiri, lalu dia menyebut
(teringat) khutbah (pidato) Nabi. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dari
negeri Yaman, yang dipanggil dengan sebutan Abu Syah. Dia lalu berkata, “Wahai
Rasululah, tuliskanlah (semua) itu untukku!” Lalu Nabi bersabda, “Tulislah buat
Abu Syah”.[17]
3)
Hadis Abu
Hurairah, perihal pernyataannya bahwa Abdullah bin ‘Amer telah menulis hadis
sejak Nabi masih hidup. Riwayat al-Burhariy bahwa Abu Hurarah berkata:
Tak seorang dari sahabat Nabi yang
banyak hadisnya ketimbang saya. Kecuali Abdullah bin ‘Amer, (karena) dia
menulis dan saya tidak menulis.[18]
b.
Alasan
penalaran
1)
Hadis Abu Sa’id
al-Khudzriy yang dijadikan hujjah bagi kelompok yang tidak membolehkan, adalah
hadis mauquf adanya, dengan demikian daya hujjahnya adalah lemah.[19]
2)
Laranagn
menulis hadis, adalah larangan pada awal-awal Islam, karena adanya rasa
khawatir kalau akan tercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimengerti, tetapi
setelah al-Qur’an terkodifikasi, tambahan lagi bahwa umat Islam telah sanggup
membedakan mana al-Qur’an dan mana hadis, kekhawatiran berkepanjangan tidak
berasalan lagi. Apalagi jika hadis Abu Sa’id al-Khudzriy kita lihat dari aspek
wurudnya. Hadis Abu Sa’id jauh terdahulu jika dibanding dengan hadis Abu
Hurairah, perihal perintah Nabi untuk menuliskan hadis buat Abu Syah yang
disampaikan pada fathul Mekkah, tiga tahun sebelum Nabi wafat.[20]
3)
Larangan
menulis hadis, dapat dipahami jika hal itu dilakukan atau ditulis bersama-sama
al-Qur’an dalam satu lembaran atau shahifah, yang ini menjadi hal yang tidak
mustahil jika terjadi percampuran antara keduanya.[21]
4)
Larangan
menulis hadis sangat boleh jadi diarahkan kepada orang yang kuat hafalan, yang
kecil kemungkinan menjadi lupa. Akan halnya terhadap yang lemah daya hafalnya,
larangan menulis menjadi hal yang tak berlaku baginya.[22]
D.
Periodesasi
Pembukuan Hadits
Selama proses
historis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis, para ulama
hadis juga berusaha merumuskan perangkat metodologis yang penting artinya bagi kegiatan tadwȋn hadis.
Semula perangkat metodologis itu masih dalam bentuk yang sederhana dan kemudian
mengalami perkembangan hingga mencapai wujud yang lebih matang. Ketika telah mencapai
kematangan metodologis, proses tadwîn hadis umumnya melewati tiga langkah
kegiatan yang satu dengan lainnya berjalan secara beriringan, mulai langkah
pengumpulan sumber (hadis), kritik sumber (hadis), sampai penyusunan kitab
hadis.
Penelusuran terhadap kerangka metodologis
kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis secara lintas aliran (inter-sektarian) memperlihatkan
bahwa selama proses tadwîn hadis ulama Sunni ataupun Syi„ah pada dasarnya telah
menempuh ketiga langkah di atas. Namun, secara lebih spesifik terdapat
kesejalanan, di samping juga perbedaan antara keduanya. Menyangkut langkah
pengumpulan sumber (hadis), baik ulama hadis Sunni ataupun Syi„ah sama-sama
berupaya mengumpulkan hadis dari para nara sumber. Untuk tujuan itu mereka
melakukan pengembaran ke berbagai kota atau negeri yang lebih dikenal dengan
“al-rihlat fî thalab al-hadîts” (perjalanan ilmiah mencari hadis). Hal itu sesungguhnya
telah dilakukan oleh sebagian sahabat, kemudian dilanjutkan oleh para tabiin,
dan akhirnya menjadi fenomena yang sangat umum bagi para ahli hadis pada abad
II H dan III H, atau setelahnya.[23]
1.
Masa sahabat
Dalam dataran
praktik banyak bukti yang menunjukkan bahwa para khalifah memiliki perhatian
yang sangat besar terhadap hads Nabi saw, antara lain:
a.
Abu Bakar
Abu Bakar secara pribadi sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah,
putrinya memiliki catatatn 500 buah hadis, walaupun kemudian catatan tersebut
dibakarnya. Secara kelembagaan, ketika menjadi khalifah, Abu Bakar memutuskan perkara
dengan merujuk hadis sebagai sumber hukum, selagi al-Qur’an tidak
membicarakannya.[24]
b.
Umar bin
Khattab
Umar ibn al-Khattab secara pribadi mau mencium Hajar al-Aswad hanya
semata-mata mengikuti apa yang pernah dilakukan Rasul Allah.[25]
c.
Utsman bin
Affan
Betapapun sibuknya dengan mega proyeknya, yakni perluasan wilayah
di satu pihak dan pembukuan al-Qur’an pada pihak lain, masih juga sempat
mengajarkan bagaimana cara berwudhu menurut Rasulullah.[26]
d.
Ali bin Abi
Thalib
Beliau secara pribadi memiliki catatan hadis yang berhubungan
dengan pembayaran diyat dan pembebasan tawanan perang.
Secara resmi khalifah Rasyidin tidak memerintahkan untuk membukukan
atau menulis hadis. Adapun alasan mendasarnya ialah kesibukan dalam mengurusi
Negara yang baru tumbuh dengan perluasan wilayah, dan adanya kekhawatiran bahwa
umat justru menjadi berpaling dari kitab Allah, lantaran sibuknya menulis dan
atau membukukan hadis.[27]
Sehubungan dengan tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa khalifah
rasyidin , Isma’il bin Ibrahim bin ‘Ulaiyah al-Bashriy (w. 200 H), berkata:
“Sesungguhnya
para sahabat tidak menyukai membukukan sunnah, dikarenakan orang-orang sebelum
mereka yang sama menulisnya, lalu terkagum-kagumlah mereka atas hasil kerja
mereka. Maka, mereka menjadi tercegah kesibukannya dari al-Qur’an”.
Tanpa adanya perintah resmi dari khalifah rasyidin untuk membukukan
hadis, tidak berarti sahabat tidak menulis/membukukan hadis, sebab ternyata
sejak zaman Nabi masih hidup, ada sahabat yang telah menulisnya dan hal serupa
diteruskan pada zaman-zaman khalifah rasyidin.
Selama periode
sahabat telah banyak ditemukan dokumen-dokumen tertulis hadis. Dokumen-dokumen
itu sebagian ada yang ditulis sejak nabi saw., tetapi ada juga yang baru
ditulis setelah beliau wafat. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas
menyangkut dokumen-dokumen hadis yang ditulis oleh atau berasal dari kalangan
sahabat, berikut ini diuraikan sebagian dari dokumen-dokumenn tersebut.
a.
Al-Shahifat
al-Shadiqah
Shahifah ini
ditulis oleh Abdullan ibn ‘Amr (w. 63 H). Ia bernama lengkap Abu Muhammad
Abdullah ibn “Amr ibn al-‘Ash ibn Wa’il ibn Hasyim ibn Su’aid ibn Sahm ibn ‘Amr
ibn Hushaish ibn Ka’ab ibn Lu’ayy ibn Ghalib al-Quraisyiy al-Sahmiy. Beliau
telah menuliskan al-Shahifat al- Shadiqah sejak masa hidup Nabi saw. Berdasarkan
pengakuannya sendiri sahifah itu menghimpun hadis-hadis yang didengar langsung
dari Nabi saw. di dalamnya, menurut Ibn al-Atsir, berisi 1.000 hadis.
Dikabarkan bahwa ia hafal 1.000 hadis. Akan tetapi dalam riwayat lain
menyebutkan bahwa shahifah itu memuat tidak lebih dari 500 hadis.[28]
Naskah asli
dari shahifah itu sudah tidak ditemukan lagi, tetapi hadis-hadisnya banyak yang
diriwayatkan oleh Ibn Hambal dalam kitab musnad-nya.[29]
b.
Shahifat Ali
bin Abi Thalib dan al-Shahifat al Jami’ah
Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H) adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
pemuda. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Thalib ‘Abdi Manaf ibn
Abul Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abdi Manaf al Quraisyiy al- Hasyimi. Ia dikenal
sebagai seorang sahabat yang berilmu tinggi dan saleh. Ali termasuk sekretaris
Nabi saw. yang sangat diandalkan. Perhatiannya terhadap hadis cukup besar. Dia
adalah seorang sahabat yang sangat menyetujui penulisan hadis.
Sejumlah sumber
yang ditulis oleh kelompok Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah maupun Syiah tampaknya sepakat untuk menyatakan bahwa Ali
bin Abi Thalib mempunyai shahifah hadis dari Rasulullah.
Riwayat versi
Sunni mengatakan bahwa Abu Juhaifah – orang dekat Ali – pernah bertanya kepada
Ali apakah ia mempunyai sesuatu dari wahyu, selain apa yang tedapat dalam
kitabullah. Alipun menjawab bahwa ia tidak mempunyai sesuatu kecuali apa yang
ada dalam al-Qur’an serta apa yang ada dalam sahifahnya. Dalam sahifah tersebut
berisi ketentuan tentang diyat, tebusan tawanan, dan larangan menjatuhkan
hukuman aisas pada orang Islam yang membunuh orang kafir. Lebih jauh dari
jawaban-jawaban Ali itu sendiri terkandung berbagai kemungkinan tafsir, yakni:
(1) tidak ada pada kami suatu kitabpun yang kami baca selain Kitabullah,
kecuali sahifah ini; (2) kami tida menuliskan sesuatupun dari Nabi saw.,
kecuali Kitabullah dan shaifah ini; (3) asumsi sebagian orang bahwa adapada
kami sesuatu yang kami baca selain Kitabullah dan sahifah ini. Asumsi seperti
ini jelas tidak betul; (4) Rasulullah saw. tidaklah secara khusus memberikan
sesuatu kepada kami yang tidak pernah diberikan kepada orang lain, kcuali apa
yang ada dalam sarung pedangku ini; (5) Rasulullah saw. tidaklah mengikat janji
secara khusus dengan kami yang tidak pernah dilakukan dengan yang lainnya,
kecuali sesuatu yang kami dengar dari beliau dan hal itu tidak lain adalah
sahifah yang berada dalam srung pedangku ini.[30]
c.
Kitab
al-Farai’idl
Kitab ini ditulis oleh Zaid ibn Tsabit (w. 45 H). ia bernama
lengkap Zaid ibn Tsabit ibn Dhahhak ibn Zaid ibn Laudzan ibn ‘Amr ibn ‘Abdi
Manafibn Ganam ibn Malik ibn al-Najjaral-Anshariy al-Khazrajiy. Zaid termasuk
salah seorang sahabat yang ditunjuk sebagai sekretaris Nabi saw. dan penulis
wahyu. Ia menguasai dengan baik tulis menulis, bahasa Arab dan syairnya, serta
bahasa asing seperti bahasa Suryani dan Persi. Selain itu ia juga menguasai
bahasa Ibrani, Yunani, Habsyi, dan Qibthi. Iapun bertindak sebagai penerjemah
nabi saw. dalam berbagai bahasa itu.[31]
Zaid ibn Tsabit tercatat sebagai orang pertama yang memberi nama
koleksi hadis seputa hokum waris dengan sebutan kitab al-Fara’idl. Dia telah
menulis kitab mengenai hokum waris itu atas permintaan Umar ibn al-Khattab.[32]
d.
Shahifat Hasan
ibn Ali
Hasan ibn Ali (w. 50 H) termasuk salah seorang cucu kesayangan Rasulullah
saw. nama lengkapnya adalah al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib ibn Abd
al-Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abdi Manaf. Sebagaimana bapaknya ia memounyai
perhatian besar terhadap hadis. Hasan pernah berpesan kepada orang-orang yang
tidak kuat hafalannya agar mencatat hadis. Muhammad ibn ‘Aban meriwayatkan
bahwa Hasan ibn asan berkata kepada anak dan kemenakan-kemenakannya”Belajarlah
selagi masih muda, dan nanti kalian akan menjadipemimpin. Bagi yang tidak kuat
hafalannya hendaklah mau mencatat.”[33]
Dikabarkan bahwa Hasan ibn Ali memiliki sebuah sahifah yang
menghimpun fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib. Namun, tidak diketahui secara pasti
apakah dalam sahifah itu juga terdapat hadis-hadis Nabi saw. atau hanya berisi
fatwa-fatwa Ali saja.[34]
e.
Shahifat Jabir ibn
Abdillah
Jabi ibn ‘Abdillah (w. 78 H) termasuk salah seorang sahabat Nabi
saw. nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah jabir ibn ‘Abdillah in ‘Amr ibn Haram
ibn ‘Tsa’labah ibn Haram ibn Ka’ab ibn Ghanm ibn Ka’ab ibn Salamah al-Anshariy
al-Khazrajiy al-Salamiy al-Madaniy. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hadis-hadis
yang diriwayatkan melalui Jabir ibn ‘Abdillah ini mencapai 1.450 hadis, 58
hadis diantaranya disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 26 hadis lainnya
diriwayatkan oleh Bukhari, dan 126 hadis lagi diriwayatkan oleh Muslim.[35]
Diberitakan bahwa Jabir ibn
‘Abdillah memiliki sebuah sahifah hadis yang dikenal dengan nama sahifat Jabir
ibn ‘Abdillah. Sebenarnya Jabir tidak pernah secara khusus mencatat kumpulan
hadisnya, tetapi dia selalu mempersiapkan catatan hadis yang akan didektekan
kepada murid-muridnya pada pengajian hadis yang diadakan secara teratur di
masjid Madinah. Kumpulan hadis yang dimilikinya mencapai lebih dai seribu
hadis. Oleh berbagai sumber kumpulan hadis itu disebut dengan sahifah.[36]
f.
Nuskhat Samurah
ibn Jundub
Samurah ibn Jundub (w. 58 H) termasuk salah seorang ulama dari
generasi sahabat. Ia bernama lengkap Samurah ibn Jundub ibn Hilal al-Fazariy.
Sejumlah orang telah meriwayatkan hadis darinya, di antaranya adalah Sulaiman,
Abu Qilabah, ‘Abdullah ibn Buraidah, Abu Raja’ al-Utharidy, Abu nalrah
al-Abdiy, al-Hasan al-Bashriy, dan Ibn Sirin. Iapun dilaporkan telah menghimpun
hadis-hadis nabi saw. dalam bentuk buku. buku itu dinamakan dengan nuskhah,
tetapi adakalanya juga dinamakan dengan
nama sahifah, rialah dan kitab. [37]
2.
Pembukuan hadis
pada abad ke 2 H
Sudah dapat
dipahami bahwa dalam abad pertama Hijrah, mulai dari zaman Rasul, masa Khulafa
Rasyidin dan sebagian besarzaman Amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama
Hijrah, hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kekuatan hafalannya. Padamasa itu mereka belum
terdorong untuk membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat. Kekuatan hafalan
sahabatdan tabi’in diakui sejarah.[38]
Proses historis tadwȋn hadis masih terus berlanjut hingga
memasuki periode tabiin. Selama periode ini pula, atau tepatnya pada era Umar
ibn Abd al- Azîz (w. 101 H), berlangsung kegiatan tadwîn hadis secara resmi dan
publik. Khalifah Umar ibn Abd al-Azîz pernah mengeluarkan surat perintah resmi
kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah untuk menghimpun hadis.[39]
Hal itu telah umum diakui oleh ulama Sunni. Namun sebaliknya, karena
alasan-alasan tertentu, sebagian ulama Syiah masih meragukan adanya kegiatan
tadwîn hadis tersebut.[40]
Ketika
kekhalifahan dipegang kembali oleh Umar ibn Abd Aziz yang dinobatkan pada tahun
99 H. seorang khalifah dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga
beliau dipandang sebagai “Khalifah rasyidin kelima”, tergeraklah hatinya untuk
membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadis
dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila
tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadis dari
para perawinya, mungkinlah hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi di
bawa oleh para penghafalnya kea lam barzah.[41]
Untuk
mewujudkan maksud mulia tersebut, pada tahun 100 H. Khalifah mengirim surat kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Amr ibn Hazmin (120H.) yang menjadi guru Ma’mar, al-Laits,
al-Auza’y, Malik, ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin.[42]
Mencermati surat Khalifah Umar bin Abd Aziz agar dapat membukukan hadis, dapat
kita temukan berbagai alasan mendasar dikeluarkannya instruksi penulisan atau
pembukuan hadis. Dalam surat perintah Umar bin Abd Aziz menulis:
“Periksalah apa
yang Anda dapati dari hadis Rasul, lalu tulislah! Sesungguhnya saya khawatir
kalau ilmu akan hilang bersama meninggalnya para ualam. Jangan Anda terima
sekiranya bukan hadis Rasul. Kembangkanilmu, dirikan majlis ta’lim agar orang
bisa mengajarkan ilmu kepada orang yang belum mengetahuinya. Seungguhnya ilmu
itu bisa hilang selagi pengembangannya secara rahasia atau sembunyi-sembunyi.”[43]
Instruksi
singkat tersebut mengandung beberapa muatan, yaitu[44]:
a.
Perintah untuk:
1)
Meneliti hadis
dan menulisnya
2)
Mengembangkan
ilmu
3)
Mendirikan
majlis ta’lim
b.
Larangan untuk
menerima atau menulis sekiranya yang diterima bukan hadis.
c.
Motif terpokok
dari perintah penulisan ialah, adalah kekhawatiran kalau ilmu akan hilang
bersama meninggalnya para ulama.
d.
Sinyalemen
khalifah, bahwa ilmu tidak mustahil bisa hilang selagi penularannya secara
rahasia atau sembunyi-sembunyi atau illegal.
e.
Perlunya
pengembangan ilmu, dengan mendirikan majlis-majlis ta’lim, serta melegalisir
usaha-usaha pengembangan ilmu yang selama ini terjadi secara rahasia.
Dari instruksi tersebut,dapat ditemukan alasan mendasar
dikeluarkannya instruksi pembukuan hadis, yaitu[45]:
a.
Pemurnian hadis
Sangat boleh jadi, berangkatdari
pengalamannya sebagai rawi hadis, yang tidak mudah bagi seorang rawi untuk
membedakan mana yang hadis dan mana yang bukan telah mengilhami khalifah dalam
membuat instruksi penulisan.
b.
Kekhawatiran
ilmu akan hilang bersama dengan meninggalnya ulama
Kekhawatiran seperti ini barangkali
bukanlah kekhawatiran yang mengada-ada. Bukankah Nabi sendiri dalam
pernyatannya, mengatakan bahwa ilmu itu akan hilang bersama dengan hilang atau
meninggalnya ulama.
c.
Pengembangan
ilmu
Dengan adanya penulisan hadis,
selain dapat memurnikan hadis, dapat juga dijadikan rujukan resmi bagi siapapun
yang beratensi terhadap hadis. Waktu tidak akan banyak terbuang, hanya untuk
mendapatkan sebuah hadis. Di lain pihak majlis ta’lim atau medrasah hadis yang
waktu itu seakan bersifat illegal, dengan dikeluarkannya instruksi menjadi
sesuatu yang legal formal, pada gilirannya menjadikan rasa aman dan terlindung
bagi siapapun yang terlibat pada proses pembelajaran hadis.
d.
Mengakhiri
polemik hadis tentang boleh tidaknya menulis hadis
Sebagai rawi hadis, Umar ibn bd Aziz
merasakan betul dampak dari perbedaan pendapat boleh tidaknya hadis untuk
ditulis. Benar, diantara ulama ada yang berpendapat hadis dilarang untuk
ditulis, tetapipraktik di lapangan tidak demikian adanya. Banyak tulisan hadis
yang dengan mudah didapatkan.
Muhammad bin
‘Alwiy al-Malikiy al-Hasaniy mengatakan bahwa setelah datangnya instruksi
penulisan atau pembukuan dari khalifah, ulama lalu banyak yang menulis dan
membukukan hadis, seperti Muhammad bin Syihab al-Zuhriy, setelah itu Ibnu
Juraij (w.150 H.) dan Ibnu Ishaq (w.151 H) di Mekkah, Malik bin Anas (w.179 H.)
di Madinah, al-Rabi’ bin Shabih (w. 106 H.), Sa’id bin Abi Arubah (w. 156 H)
dan hammad bin Salamah (w. 176 H) di bashrah, Sufyan at-Tsauriy (w. 177 H) di
Kufah, al-Auza’iy (w. 156 H) di Syam, dan Husyaim bin Basyir (w. 161 H) serta
Ibnu al-Mubarak (w. 181 H)di Kurasan. Hanya saja mereka adalah ulama yang hidup
sezaman sehingga sulit untuk menentukan siapa yang terdahulu di antara mereka.[46]
Al-Suyuthiy dalam
kitab Tadrib al-Rawiy Fi Syarh Taqrib al-nawawiy, yang kemudian kitab ini
dijadikan rujukan penulis-penulis Ilmu Hadis modern, mengatakan:
“Orang pertama yang membukukan hadis
ialah Ibnu Juraij di Mekkah, Ibnu Ishaq atau malik bin Anas di Madinah,
al-Rabi’ bin Shabigh atau Sa’id bin Abi ‘Arubah atau Hammad bin Salamah di
Bashrah, Sufyan al-Tsauriy di Kufah, al-Auza’iy di Syam, Husyaim di wasith,
Ma’mar di Yaman, Jarir bin ‘Abd al-Humaid di Ray, Ibnu al-Mubarak di Khurasan.
Telah berkata al-‘Iraqiy dan Ibnu Hajar, “Mereka semua hidup dalam satu masa,
kami tidak tahu siapa di antara mereka yang terdahulu.”[47]
Dalam pernyataan
tersebut tidak disebut-sebut nama Muhammad bin Syihab al-Zuhriy, barangkali
yang dimaksud pertama kalidalam ungkapan tersebut adalah pertama kali setelah
al-Zuhriy. Sebab Ibnu Hajar dalam fath al-Bari meyetakan dengan tegas bahwa
orang yang pertama mendewankan hadis atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz
ialah Ibnu Syihab al-Zuhriy.[48]
Dalam redaksi yang asli Ibnu Hajar berkata:
“Orang pertama yang mendewankan
hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz ialah Ibnu Syihab al-Zuhriy, pada akhir
100 H.”[49]
Dengan melihat
kenyataan sebagaimana tersebut di atas, dan kenyataan yang ada pada kitab hadis
produk kala itu dan masa-masa berikutnya, dapat disimpulkan bahwa penulisan
hadis telah melampaui berbagai tahap, yakni[50]:
Tahap
pertama, menulis hadis sebatas apa yang
diketahui dan dihafal oleh si penulis saja
Tahap kedua, menulis apa
yang dketahui dan dihafal oleh si penulis dan ulama setempat.
Tahap
ketiga, menulis yang ada pada
berbagai ulama yang berada di berbagai wilayah negeri, dalam bentuk kitab atau
buku besar.
Ciri-ciri
pembukuan hadis pada abad ke 2 H[51]:
a.
Hadis-hadis
yang dibukukan adalah hadis yang ada pada ulama setempat, hal ini mengakibatkan
munculnya penulis-penulis lokal, seperti Ibnu Juarij di Mekkah, Ibnu Ishaq dan
Malik bin Anas di Madinah, al-Rabi’ bin Shabigh, Sa’id bin Abi Arubah, dan
Hammad bin Salamah di Bashrah, Sufyan al-Tsauriy di Kufah, al-Auza’iy di Syam,
Husyaim di wasith, Ma’mar di Yaman, dan Ibnu al-Mubarak di Khurasan
b.
Betatapun
instruksi khalifah menyebutkan untuktidak menulis sekiranya bukan hadis, namun
kenyataan menunjukkan bahwa yang ditulis kala itu bukan saja hadis Nabi, tetapi
juga meliputi uacapan atau ketetapan sahabat dan tabi’in.
c.
Konsekuensi
logis dari tindakan tersebut ialah segala macam hadis atau yang dianggap hadis
dalam karya mereka, baik yang shahih, hasan, dhaif, atau malah yang mungkar
sekalipun.
d.
Penulisan hadis
telah tersusun sedemikian rupa dalam bentuk kitab yang tersistematik, dengan
cara mengumpulkan berbagai hadis yang ada kaitannya dengan persoalan tertentu
dalam bab-bab tertentu, kemudian dihimpun bab-bab tersebut dalam suatu mushannaf
atau karangan.
Kitab-kitab hasil produk abad ke 2 H[52]:
a.
Kitab
al-muwaththa’ karya Malik bin Anas (179 H)
b.
Kitab Musnad
karya Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (w. 204 H)
c.
Kitab al-Atsar
karya Muhammad bin Hasan al-Sayibaniy (w. 189 H).
3.
Pembukuan hadis
pada abad ke 3 H
a.
Abad keemasan
dalam sejarah penulisan hadis
Abad ketiga ini sering disebut abad keemasan dalam sejarah
penulisan hadis, mengingat pada abad ini telah banyak ditulis dan dibukukan
banyak kitab hadis, dan lebih-lebih pada abad ini pula telah berhasil disusun
kitab-kitab hadis yang kemudian disebut kutub al-Sab’ah. Dimaksud kutub
al-Sab’ah (7 kitab hadis) ialah[53]:
1)
Musnad Ahmad,
susunan Ahmad bin Hanbal (164-241 H).
2)
Shahih
al-Bukhariy, susunan Abu Abdillah bin Isma’il al-Bukhariy (194-256 H).
3)
Shahih Muslim, susunan
Muslim bin al-Hajaj (204-261 H).
4)
Sunan Abu
Dawud, susunan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats (202-275 H).
5)
Sunan
al-Turmudziy, sering juga disebut Jami’ al-Turmudziy, susunan Abu Isa Muhammad
bin Isa bin Saurah al-Turmudziy (200-279 H).
6)
Sunan
al-Nasa’iy, susunan Abu ‘Abd al-Rahnan Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’iy (215-303
H).
7)
Sunan Ibnu
Majah, susunan Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Abdillah bin Majah
al-Qazwiniy (207-275 H).
Jika kitab al-Sab’ah tersebut dikurangi Musnad Ahmad, disebut kutub
al-Sittah (6 kitab hadis).
b.
Ragam kitab
hadis abad ke 3 dilihat dari kualitas hadisnya
Sebagai abad keemasan dalam era penulisan hadis, abad ke 3 H
merupakan masa tabiin kecil dan atba’ al-tabi’in mengambil peran dalam
memelihara hadis. Abad ini ditengarai dengan berbagai gerakan untuk
mengembangkan dan memurnikan hadis, seperti[54]:
1)
Gerakan rihlah
ke berbagai Negara untuk mengumpul dan mencari hadis.
2)
Gerakan
meng-isnad-kan hadis.
3)
Gerakan
meneliti rawi hadis sampai dikatakan ibarat meneliti uang palsu.
4)
Gerakan
mengkritik rawi sehingga muncul kriteria atau batasan-batasan kaidah-kaidah
orang yang dapat diambil hadisnya dan sebagainya. Dengan demikian, secara tidak
disadarai telah tersusun kaidah-kaidah tentang hadis.
Pendek kata, muncullah berbagai gerakan untuk mendiskusikan hadis,
ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam mendiskusikan hadis muncul berbagai
kritik, kemudian melahirkan kaidah.
c.
Sistem
penyusunan hadis dalam kitab abad ke 3 H
Mencermati kitab hadis karya ulama hadis abad ke 3 H, akan dapat
ditemukan dua model system penyusunan, yaitu[55]:
1)
Hadis disusun
sedemikian rupa berdasarkan kesamaan topic pembicaraan, dalam bab demi bab, sebagaimana bab demi bab yang ada
pada kitab fiqih dewasa ini.
2)
Hadis disusun
berdasarkan dari sahabat siapa hadis itu diterima, atau kepada sahabat siapa
hadis tersebut disandarkan.
d.
Kitab hadis
yang menonjol produk ulama hadis abad ke 3 H
Dari sekian banyak kitab hadis yang ditulis ulama hadis pada abad
ke 3 H, yang paling popular di tengah masyarakat muslim ialah kitab hadis yang
kemudian disebut kutub as-Sittah (kitab hadis yang enam), yaitu[56]:
1)
Kitab shahih
Bukhariy
2)
Kitab Sahih
Muslim
3)
Kitab Sunan Abu
Dawud
4)
Kitab Sunan
Turmudzi
5)
Kitab Sunan
Nasa’i
6)
Kitab Sunan
Ibnu Majah
Setelah munculnya Kutub al-Sittah dan al-Muwattha’ Malik serta
Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun
kitab-kitab Jamawi’, kitab syarah mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Athraf,
dan Jawa’id serta penyusunan kitab hadis untuk topic-topik tertentu.[57]
Penulisan karya-karya kompilasi hadis sendiri
pada dasarnya tidaklah mengikuti urutan waktu (kronologis). Sehingga metode penulisan
karya-karya kompilasi hadis itu tidak banyak memberikan pengaruh terhadap
penulisan sejarah Islam secara kronologis (hauliyyât). Tonggak bagi munculnya
metode kronologis di kalangan ahli hadis justru dijumpai dalam karya-karya
biografis (asma’ al-rijâl), utamanya yang disusun berdasarkan thabaqât.
Penyusunan karya-karya ini telah dimulai sejak abad II H dan terus meningkat
pada abad-abad berikutnya. Bahkan pada abad III H, bukan hanya para spesialis
di bidang ini, tetapi juga hampir seluruh ahli hadis, menyusun beberapa
biografi para periwayat hadis. Para penyusun al-Kutub al-Sittah juga memiliki
satu atau lebih karya penting tentang biografi para periwayat hadis. Sepanjang
abad IV H dan seterusnya, penyusunan biografi periwayat hadis telah menjadi kecenderungan
umum di wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang lebih luas. Arabia, Syria,
Mesopotamia, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol, dan India, semua melahirkan
penulis-penulis biografi para periwayat hadis.[58]
E.
Pengaruh
Pembukuan Hadis terhadap Perkembangan Fiqh
Seluruh umat
Islam sepakat bahwa hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah
al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan
mengikuti al-Qur’an.
Al-Qur’an dan
hadis merupakan dua sumber hukum Islam syariat Islam yang tetap, yang orang
Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan
tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang
alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari
keduanya.
Kontribusi literatur hadis dalam arus perkembangan
historiografi Islam tidak dapat dinafikan. Faruqi mengakui bahwa literatur hadis
merupakan sumber yang sangat penting bagi historiografi Islam awal.[59]
Pada masa sahabat,
para sahabat selalu kembali dan mengacu pada as-Sunnah dalam meng-istinbathkan
hukum manakala tidak menemukan nash dalam kitab Alah, karena as-Sunnah adalah
sumber yang kedua bagi perundang-undangan Islam setelah al-Qur’an.
Mengingat
as-Sunnah pada saat itu belum dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka
adalah hafalan para sahabat. Namun para sahabat juga memiliki tingkat kekuatan
hafalan, pemahaman, dan keadilan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka
sangat berhati-hati dalam periwayatan as-Sunnah karena takut manusia
meninggalkan al-Qur’an dan takut terjatuh dalam dusta kepada Rasulullah saw.
mereka tidak menerima suatu hadis kecuali jika ada yang bersaksi selain yang
meriwayatkannya.[60]
Para sahabat
menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagi sumber-sumber syariat, walaupun hadis
pada saat itu belum dibukukan kecuali hanya sedikit. hal tersebut karena mereka
menjaganya di dalam dada dan minimnya masalah yang muncul untuk dimintai
fatwanya pada zaman itu, sedikit dan banyak yang mirip.[61]
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M)
wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah
Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah
baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan
pemecahannya. Meski para shahabat tempat tinggalnya mulai
tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan
berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para shahabat makin
saling bertemu bertukar Al Hadits.
Kondisi dan
dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in sedikit banyak berbeda dengan kondisi pada
masa sahabat dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan hadis yang
semakin menguat pada masa tabi’in. hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut[62]:
1.
Luasnya wilayah
kekuasaan Negara Islam setelah terjadi banyak penaklukan sehingga menimbulkan
banyak masalah yang perlu dibenrikan fatwa. Di samping itu, parafiqaha
menghadapi kondisi social yang beragam dengan adanya orang Persia dan Romawi
serta Kristen Ortodoks.
2.
Jarak antara
satu negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit berkomunikasi sesama
mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis terpaksa meriwayatkan apa
dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadag mereka pergi ke Madinah untuk
mengumpulkan hadis dan menghafalnya.
3.
Setelah
al-Qur’an mendapat perhatian besar, baik dihafal dan dikaji pada zaman sahabat
sehingga membuat generasi setelahnya tidak berbeda pendapat.
Di kota
Madinah, Islam mendapat sambutan yang hangat dan pikiran yang terbuka serta
jiwa yang siap menjaga risalah. Dikarenakan mereka begitumencintai pembawanya
dan ridha dengan Rasulullah saw, hati mereka dipenuhi iman sehingga syariat
Islam bisa melekat pada diri mereka, menjadi orang-orang yang sangat tahu
dengan sunnah Nabi saw dan sangat paham dengan atsar (periwayatan) para
sahabat di zaman khulafa’ ar-rasyidin. Dan dengan cara inilah kemudian kota
Madinah kemudian menjadi sumber cahaya dan pusat kemajuan untuk semua
negeri-negeri Islam yang berhubungan dengan sunnah yang suci, terkait dengan
peninggalan para sahabat dan inilah faktor utama bagi lahirnya madrasah ahli
hadis.[63]
Manhaj ini ternyata menarik minat sebagian ulama tabi’in
yang kemudian dikenal dengan nama fuqaha Sembilan atau tujuh berdasarkan
tingkat popularitasnya, yaitu Sa’id bin al-Musayyib, Kharijah bin Zaid bin
Tsabit, Urwah bin az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, ‘Ubaidillah bin Utbah bin
Mas’ud, al-Qasim bin Muhammad, dan abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.[64]
Di Kufah
Irak, muncul madrasah ahli Ra’yi, sebuah
Negara yang tidak kalah hebatnya dengan Madinah dalam aspek perkembangan
keilmuan karena termasuk Negara yang paling banyak disinggahi para pembesar
sahabat. Di sana ada Abdullah bin Mas’ud sebagai hakim dan guru, Abu Musa
al-Asy’ari, Sa’d bin Abi waqqas, Ammar bin Yasir, al-Mughirah bin Syu’bah,
Huzdaifah bin al-Yaman, Imran bin Hushain, dan Anas bin Malik.[65]
Para penduduk Irak
menyambut para sahabat yang datang dengan penuh antusias, meminta fatwa, mereka
mempelajari hadis dan fiqh, apalagi penduduk Irak memiliki tingkat
intelektualitas yang tinggi. Oleh karena itu, mudah bagi mereka untuk memahami
semua yang disampaikan oleh para sahabat, dan hasilnya mereka mampu
mengeluarkan hukum-hukum fiqh yang kemudian memberi corak tersendiri bagi perkembangan
fiqh.
Dalam bukunya,
Khallaf mengungkapkan bahwa pada periode pengkodifikasian hadis telah
berkembangnya hukum Islam dan geraka Ijtihad yang cukup banyak. Selain itu,
pada periode ini ulama dalam menetapkan perundang-undangan dan memberi fatwa telah
menguasai metode Tasyri secara luas dan mudah. Para imam mujahid benar-benar
menjadi sentral himpunan harapan umat, mulai dari masyarakat kalangan bawah,
para hakim, dan sampai pada pejabat petinggi Negara.[66]
Sampai sekarang pengaruh pembukuan
hadits Nabi sangat kita rasakan, bayangkan jika tidak ada usaha pembukuan
hadits, tidak menutup kemungkinan penafsiran Al-Qur’an dan hadits banyak yang
diselewengkan dari makna yang sesunguhnya. Dengan ini jerih payah para penyusun
kitab hadits tetap kita hargai dan kita do’akan agar pahala tetap mengalir
kepada mereka, sembari kita kembangannya sesuai dengan kompetensi ilmiyah.
[1] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 35-36.
[2] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin…, hlm. 36.
[3] Erfan
Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah,(Jakarta: Prenada Media,
2003), hlm. 156.
[4] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 41.
[5] Endang
Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar
Pustaka, 2008), hlm. 34.
[6] Endang
Soetari, Ilmu Hadits, hlm. 34.
[7] Zeid B. Smeer,
Ulumul Hadis; Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press,
2008), hlm. 19.
[8]Zeid B. Smeer, Ulumul
Hadis… , hlm. 20.
[9]Zeid B. Smeer, Ulumul
Hadis… , hlm. 20.
[10]Zeid B. Smeer, Ulumul
Hadis.. , hlm. 20
[11] Zeid B. Smeer,
Ulumul Hadis…, hlm 21.
[12] Zeid B. Smeer,
Ulumul Hadis.. , hlm. 22-23.
[13] Dailamy, Hadis;
Semenjak Disabdakan Sampai Dibukuka,n (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2010),
hlm. 290.
[14] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 290.
[15]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm 291.
[16]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 291
[17] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 292.
[18] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 292.
[19] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 293.
[20] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 293.
[21]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 293.
[22]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm 293.
[23] Muhammad Mustafa Azami, Studies in
Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: Islamic
Teaching Center, 1977), hlm. 50.
[24] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 264.
[25] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 266.
[26]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 268.
[27] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 269.
[28] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin… , hlm. 128.
[29] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin…, hlm. 129.
[30] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin…, hlm. 130-131.
[31] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin… ,hlm. 133.
[32] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin… , hlm. 133.
[33] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin…, hlm. 133-134.
[34] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm.
134.
[35] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm.
134.
[36] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin… , hlm. 135.
[37] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin…, hlm. 135.
[38] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 52.
[39] Abû Abdillâh
Muhammad ibn Ismâîl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah
al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1420 H/2000 M),
juz I, hlm. 71
[40] Muhammad
Shâdiq Najmiy, Ta’ammulât fî al-Shahîhain, (Beirut: Dâr al-Ulûm, 1408
H/1988 M), hlm. 46-47
[41] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar…, hlm. 52.
[42] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar…, hlm. 52.
[43] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 285.
[44] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 285
[45]Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 286-287.
[46] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 287.
[47] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 288.
[48] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 288.
[49] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 288.
[50]Dailamy, Hadis;
Semenjak… , hlm. 296.
[51] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 296.
[52] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 297.
[53] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 306.
[54] Dailamy, Hadis;
Semenjak…, hlm. 308.
[55]Dailamy, Hadis;
Semenjak… , hlm. 309-310.
[56]Dailamy, Hadis;
Semenjak… , hlm. 310.
[57] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[58] Muhammad
Zubayr Shiddiqi, “The Science and Critique of Hadith (Ulûm
al- Hadîth)”, dalam P. K. Koya (ed.), Hadith and Sunnah, hlm.
77.
[59] Nizar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, (Delhi: Idarah-i
Adabiyat-i Delli, 1979), hlm. 185.
[60] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 65.
[61] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 86.
[62]Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 87.
[63] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 92,
[64]Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’… , hlm. 93.
[65] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’…, hllm, 95.
Sosok Ibrahimovic Dimata Chiellini Baca Berinya Disini!!!
BalasHapus