Kamis, 15 Februari 2018

TADWIN HADITS : Sejarah Pembukuan Hadits



Salah satu persoalan utama yang tetap ramai diperbincangkan kendati telah lama memicu polemik dan kontroversi dalam kancah studi hadis adalah problem kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis. Problem ini boleh jadi akan terus berkembang menjadi agenda perdebatan yang cukup hangat dan menyita banyak energi di kalangan para sarjana keislaman, khususnya mereka yang menaruh minat pada studi hadis.
Karena proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis masih banyak diselimuti “misteri” dan kontroversi, maka dalam perspektif kritik historis, posisi kitab hadis tidak dapat disejajarkan dengan kitab suci al-Qur’an. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, sejarah kompilasi dan kodifikasi hadis sejak periode pewahyuan hingga tercapai dokumentasi yang dianggap final telah melewati rentang waktu yang panjang. Kedua. proses historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis kendati secara khusus telah berlangsung sejak periode Nabi saw., pada kenyataannya belum menjangkau seluruh hadis yang beredar saat itu. Ketiga, kegiatan kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis, terutama yang bersifat resmi dan publik, baru terjadi setelah gelombang besar pemalsuan hadis. Keempat, selama proses transisi dari tradisi lisan menuju dokumentasi tertulis, periwayatan hadis umumnya berlangsung secara ahad dan hanya sedikit yang berlangsung secara mutawatir.
Pada zaman Rasulullah, hadis tidaklah dibukukan, bahkan dilarang, hadis cukuplah dihafal oleh para sahabat karena faktor-faktor tertentu. Pada zaman Khulafaur Rasyidinpun sama, hadis belumlah dapat dibukukan, hal itu dikarenakan sikap kehati-hatian dari para Khulafaur Rasyidin dalam mengumpulkan hadis, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dikeluarkan oleh Khulafaur rasyidin terhadap hadis ini dimaksudkan untuk memelihara al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar dan Umar menyerukan kepada umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, serta meminta kepada para sahabat untuk menyelidiki riwayat. Pada masa Khalifah Utsman dan Ali, keadaannya tidak terlalu berbeda dengan keadaan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, tentang sikapnya terhadap periwayatan dan pendewanan hadis.
Setelah agama Islam mulai meluas tersebar ke berbagai wilayah jaziah Arab, para sahabatpun mulai berpencar ke beberapa wilayah. Banyak yang meninggal dunia dan para ulama merasa khawatir dan merasa perlu untuk membukukan hadis, hal inilah yang mendorong khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah untuk membukukan hadis. Pada masa khalifah Umar bin Abdul aziz hadis dapat dibukukan, masa ini disebut juga sebagai masa penulisan atau masa pembukuan hadis. Di mulai pada masa pemerintahan Amawiyah. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu untuk membukukan hadis. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya hadis-hadis bersama para penghafalnya yang kian lama makin banyak yang meninggal atau karena ia khawatir akan tercampur baurnya hadis-hadis asli dengan hadis-hadis batil.

A.  Pengertian Tadwin Hadits
Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dawwana, “menulis” atau “mendaftar”. Secara literal, kata “tadwin” mengandung arti “penghimpunan”, seperti disebutkan dalam kamus Tajal-‘Arus:dawwanahu tadwinan jama’ahu. Al-Zahraniy, dengan mengutip kamus Arab, mengartikan kata tadwin dengan “kumpulan shuhuf”, sehingga dalam makna ini tadwin identik dengan diwan. Selain itu, kata tadwin dapat berarti “mengikat sesuat yang terpisah-pisah atau tercerai-berai dan menghimpunnya dalam sebuah diwan atau kitab yang memuat di dalamnyalembaran-lembaran.”[1]
Secara terminologis, sejumlah sarjana telah mendefinisikan tadwin hadis secara beragam. Muhammad Darwisy, misalnya, mengartikan tadwin hadis dengan “penulisan (kitabah) hadis-hadis yang berasal dari Nabi saw. dan penghimpunannya (‘jam) dalam satu atau beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan teratu, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya sebagai dalil.” Manna al-Qaththan mendefinisikan tadwin hadis dengan “usaha pengumlpulan hadis yangsudah dituliskan dalam bentuk shuhuf atau yang masih terpelihara dalam bentuk hafalan, dan kemudian menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab.”[2]
Pembukuan hadis (tadwin al-Hadis) merupakan konsep yang tetap penting dipahami engan benar dalam studi hadis, karena ia berkaitan dengan eksistensi periwayatan hadis-hadis Nabi saw yang telah  terjadi di dalam sejarah, yang kemudian dibukukan dalam kitab-kitab hadis yang diwarisi oleh umat apad masa kemudian. Setiap muslim yang benar pemahaman agamanya akan peduli dengan persoalan ini, karena di dalamnya dimuat persoalan esensial yang dijadikan hujjah dalam beribadah dan kehidupan.[3]

B.  Hadits Sebelum Dibukukan
1.    Hadits pada masa Nabi
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan tidak seluruhya selalu menemani beliau bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadis dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis dari Rasulullah.[4]
Perhatian sahabat terhadap hadis sangat tinggi terutama di berbagai majlis Nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah Islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Mereka berkewajiban menghadiri tempat-tempat itu untuk menerima petunjuk dan pelajaran dari hadis beliau.
Pada masa Nabi saw, kepandaian tulis baca di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. kepandaian tulis baca tersebut, misalnya yang dibawa ke Mekkah dan daerah Hirah, dibawa antara lain oleh harb Ibnu Umayyah, seorang yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya.[5]
Oleh karena itu kecakapan tulis baca di kalangan para sahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk menghafal hadis, memahami, memelihara, mematerikan/memantapkan dalam amalan sehari-hari serta mentabligkan kepada orang lain.[6]
2.    Hadits pada masa sahabat dan tabi’in
Masa ini sering diistilahkan dengan “masa pertumbuhan” (daur al-Nusyu’). Masa ini berjalan selama kurang lebih satu abad, mulai dari awal hingga penghujung abad pertama. Pada masa sahabat hadis terjaga dengan sempurna. Menurut Nuruddin al-‘Ithir, ada beberapa faktor yang berperan dalam menjaga keotentikan hadis, di antaranya:
a.       Kecerdasan para sahabat dan kejernihan fikiran mereka
Lingkungan masyarakat Arab pada saat itu cukup kondusif dalam menjaga kejernihan pemikiran mereka. Kondisi lingkungan saat itu masih belum terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran luar. Di samping itu, budaya luar jazirah Arabiyah juga belum banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka.[7]
Di sisi lain, masyarakat Arab saat itu dikenal sebagai masyarakat yang tidak pandai baca tulis. Masyarakat ang buta huruf lebih banyak mengandalkan hafalan dalam menyampaikan informasi. Hafalan mereka terasa begitu tajam, mampu untuk menghafal segala informasi yang didengar maupun yang dilihat.[8]
Keberadaan Nabi di sekitar mereka juga menjadi alasan mengapa hadis cukup dihafal dan belum begitu perlu untuk ditulis. Mereka berpendapat bahwa jika terjadi sesuatu yang perlu ditanyakan, mereka masih bisa datang dan bertanya pada Nabi saw.[9]
b.      Motivasi agama
Kesadaran bahwa kebahagiaan dunia maupun akhirat terdapat dalam kepatuhan manusia terhadap perintah dan ajaran agama. Komitmen dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai pegangan hidup adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Kesadaran tersebut mendorong para sahabat untuk berusaha semaksimal mungkin menjaga keotentikan hadis dan menyebarkannya.[10]
c.       Kedudukan hadis
Hadis sebagai sumber hukum kedua menuntut para sahabat untuk selalu berpegang teguh dengan hadis dan mengamalkannya. Keyakinan bahwa Islam tidak dapat dipahami dengan sempurna tanpa intervensi hadis mendorong mereka untuk selalu menjaga dan mengambil hadis.[11]
d.      Metode penyampaian hadis
Nabi saw adalah seorang pendidik. Dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, beliau memiliki cara yang bijak dan perlu untuk diteladani agar materi tersebut dapat diserap dengan baik dan maksimal oleh para sahabat. Berikut cara Nabi saw menyampaikan hadis:
1)      Materi tidak disampaikan dengan tergesa-gesa ataupun cepat, akan tetapi disampaikan dengan berlahan, bahkan tidak ucapan beliau diulang hingga tiga kali agar pendengar benar-benar paham akan makna ucapan tersebut.
2)      Bila berbicara beliau tidak menyampaikannya dengan panjang lebar, akan tetapi cukup seperlunya namun bermakna.
3)      Materi disampaikan dengan uslub yang bervariasi dan tidak monoton.
4)      Kondisi audien sangat dipertimbangkan. Beliau tidak menyampaikan hadis saat sahabat tidak siap menerima hadis.
e.       Penulisan hadis.[12]
Faktor terpenting dalam menjaga hadis adalah pencatatan. Pada zaman Nabi sebagian hadis sudah ditulis oleh beberapa sahabat. Namun pada masa ini penulisan hadis bersifat pribadi, dan tidak untuk dijadikan sebagai rujukan umum. Hal ini disebabkan adanya larangan penulisan hadis.

C.  Perselisihan Pendapat tentang Larangan Pembukuan Hadits
Pro dan kontra menulis hadis, sudah barang tentu percaturan seru sebelum datang perintah resmi khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menulis atau membukukan hadis. Secara esktrem, perdebatan hukum menulis hadis terpilah menjadi dua kelompok, satu kelompok yang melarang dan satu kelompok yang membolehkan.
1.    Hadis dilarang untuk ditulis
Ada dua alasan mendasar telah dijadikan hujjah atau alasan bagi kelompok yang tidak membolehkan menulis hadis, yaitu:
a.       Alasan Nash
Hadis Abu Sa’id al-Khudzriy sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, jelas dengan tegas melarang untuk menulis hadis. Secara tekstual hadis tersebut berbunyi:
“Dari Abu Sa’id al-Khudzriy sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Jangan kalian menulis (sesuatu), barangsiapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah. Ceritakan apa yang dariku (kepada orang lain), dan tidak menjadi masalah. Barangsiapa berdusta atasku, berkata Hamam, aku kira beliau akan bersabda, “dengan sengaja,” maka siapkanlah dirinya untuk menempati tempat duduknya di api neraka”.[13]

b.      Alasan penalaran
Adanya rasa kekhawatiran kalau-kalau menjadi bercampur dengan al-Qur’an, apalagi saat itu – ketika Nabi masih hidup – al-Qur’an masih dalam proses nuzul. Di antara orang-orang yang tidak membolehkan menulis hadis ialah Abu Sa;id al-Khudzriy, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ariy, Ibnu ‘Abbas, dan Zaid bin Tsabit dari generasi sahabat. Al-Sya’by, al-Nakha’iy, al-Auza’iy, dan Ibnu Sirin dari generasi tabi’in.[14]
2.    Hadis boleh ditulis
Di antara yang berpendapat demikian ialah Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, al-Husain bin Ali, Anas bin Malik, Jabi bin Abdillah, dan Abdullah bin Amer bin al Ash dari kelompok Sahabat, dan ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, dan Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dari kelompok tabi’in.[15]
a.    Alasan dari Hadis
1)   Hadis Abdullah bin ‘Amer perihal kebolehan menulis apa yang datang dari Nabi saw:
Dari Abdullah bin ‘Amer dia berkata, “Aku selalu menulis sesuatu yang aku pernah dengar dari Rasulullah saw (karena) aku ingin menghafalnya.”Orang-orang Quraisy mencegahku. Mereka berkata, “Anda tulis apa-apa yang kau dengar dari Rasulullah saw, padahal Rasul saw adalah manusia biasa, (kadang) bicara dalam keadaan marah dan kadang dalam keadaan senang.” Akupun berhenti menulisnya. Kemudian aku laporkan hal itu kepada rasulullah saw. kemudian Rasulullah mematuk matukkan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku  pada kekuasaannya, tidak akan keluar dari mulut (ini) kecuali yang haq.”[16]
2)   Hadist Abu Hurairah perihal perintah Nabi untuk menuliskan hadis buat Abu Syah, pada saat fathul Makkah, riwayat Abu Dawud.
     Dari Abu Hurairah ra. dia berkata “Ketika kota Mekkah dibuka, Nabi saw berdiri, lalu dia menyebut (teringat) khutbah (pidato) Nabi. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dari negeri Yaman, yang dipanggil dengan sebutan Abu Syah. Dia lalu berkata, “Wahai Rasululah, tuliskanlah (semua) itu untukku!” Lalu Nabi bersabda, “Tulislah buat Abu Syah”.[17]
3)   Hadis Abu Hurairah, perihal pernyataannya bahwa Abdullah bin ‘Amer telah menulis hadis sejak Nabi masih hidup. Riwayat al-Burhariy bahwa Abu Hurarah berkata:
Tak seorang dari sahabat Nabi yang banyak hadisnya ketimbang saya. Kecuali Abdullah bin ‘Amer, (karena) dia menulis dan saya tidak menulis.[18]

b.    Alasan penalaran
1)      Hadis Abu Sa’id al-Khudzriy yang dijadikan hujjah bagi kelompok yang tidak membolehkan, adalah hadis mauquf adanya, dengan demikian daya hujjahnya adalah lemah.[19]
2)      Laranagn menulis hadis, adalah larangan pada awal-awal Islam, karena adanya rasa khawatir kalau akan tercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimengerti, tetapi setelah al-Qur’an terkodifikasi, tambahan lagi bahwa umat Islam telah sanggup membedakan mana al-Qur’an dan mana hadis, kekhawatiran berkepanjangan tidak berasalan lagi. Apalagi jika hadis Abu Sa’id al-Khudzriy kita lihat dari aspek wurudnya. Hadis Abu Sa’id jauh terdahulu jika dibanding dengan hadis Abu Hurairah, perihal perintah Nabi untuk menuliskan hadis buat Abu Syah yang disampaikan pada fathul Mekkah, tiga tahun sebelum Nabi wafat.[20]
3)      Larangan menulis hadis, dapat dipahami jika hal itu dilakukan atau ditulis bersama-sama al-Qur’an dalam satu lembaran atau shahifah, yang ini menjadi hal yang tidak mustahil jika terjadi percampuran antara keduanya.[21]
4)      Larangan menulis hadis sangat boleh jadi diarahkan kepada orang yang kuat hafalan, yang kecil kemungkinan menjadi lupa. Akan halnya terhadap yang lemah daya hafalnya, larangan menulis menjadi hal yang tak berlaku baginya.[22]

D.  Periodesasi Pembukuan Hadits
Selama proses historis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis, para ulama hadis juga berusaha merumuskan perangkat metodologis yang penting artinya bagi kegiatan tadwȋn hadis. Semula perangkat metodologis itu masih dalam bentuk yang sederhana dan kemudian mengalami perkembangan hingga mencapai wujud yang lebih matang. Ketika telah mencapai kematangan metodologis, proses tadwîn hadis umumnya melewati tiga langkah kegiatan yang satu dengan lainnya berjalan secara beriringan, mulai langkah pengumpulan sumber (hadis), kritik sumber (hadis), sampai penyusunan kitab hadis.
Penelusuran terhadap kerangka metodologis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis secara lintas aliran (inter-sektarian) memperlihatkan bahwa selama proses tadwîn hadis ulama Sunni ataupun Syi„ah pada dasarnya telah menempuh ketiga langkah di atas. Namun, secara lebih spesifik terdapat kesejalanan, di samping juga perbedaan antara keduanya. Menyangkut langkah pengumpulan sumber (hadis), baik ulama hadis Sunni ataupun Syi„ah sama-sama berupaya mengumpulkan hadis dari para nara sumber. Untuk tujuan itu mereka melakukan pengembaran ke berbagai kota atau negeri yang lebih dikenal dengan “al-rihlat fî thalab al-hadîts” (perjalanan ilmiah mencari hadis). Hal itu sesungguhnya telah dilakukan oleh sebagian sahabat, kemudian dilanjutkan oleh para tabiin, dan akhirnya menjadi fenomena yang sangat umum bagi para ahli hadis pada abad II H dan III H, atau setelahnya.[23]
1.    Masa sahabat
Dalam dataran praktik banyak bukti yang menunjukkan bahwa para khalifah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hads Nabi saw, antara lain:
a.       Abu Bakar
Abu Bakar secara pribadi sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah, putrinya memiliki catatatn 500 buah hadis, walaupun kemudian catatan tersebut dibakarnya. Secara kelembagaan, ketika menjadi khalifah, Abu Bakar memutuskan perkara dengan merujuk hadis sebagai sumber hukum, selagi al-Qur’an tidak membicarakannya.[24]
b.      Umar bin Khattab
Umar ibn al-Khattab secara pribadi mau mencium Hajar al-Aswad hanya semata-mata mengikuti apa yang pernah dilakukan Rasul Allah.[25]
c.       Utsman bin Affan
Betapapun sibuknya dengan mega proyeknya, yakni perluasan wilayah di satu pihak dan pembukuan al-Qur’an pada pihak lain, masih juga sempat mengajarkan bagaimana cara berwudhu menurut Rasulullah.[26]
d.      Ali bin Abi Thalib
Beliau secara pribadi memiliki catatan hadis yang berhubungan dengan pembayaran diyat dan pembebasan tawanan perang.
Secara resmi khalifah Rasyidin tidak memerintahkan untuk membukukan atau menulis hadis. Adapun alasan mendasarnya ialah kesibukan dalam mengurusi Negara yang baru tumbuh dengan perluasan wilayah, dan adanya kekhawatiran bahwa umat justru menjadi berpaling dari kitab Allah, lantaran sibuknya menulis dan atau membukukan hadis.[27] Sehubungan dengan tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa khalifah rasyidin , Isma’il bin Ibrahim bin ‘Ulaiyah al-Bashriy (w. 200 H), berkata:
“Sesungguhnya para sahabat tidak menyukai membukukan sunnah, dikarenakan orang-orang sebelum mereka yang sama menulisnya, lalu terkagum-kagumlah mereka atas hasil kerja mereka. Maka, mereka menjadi tercegah kesibukannya dari al-Qur’an”.
Tanpa adanya perintah resmi dari khalifah rasyidin untuk membukukan hadis, tidak berarti sahabat tidak menulis/membukukan hadis, sebab ternyata sejak zaman Nabi masih hidup, ada sahabat yang telah menulisnya dan hal serupa diteruskan pada zaman-zaman khalifah rasyidin.
Selama periode sahabat telah banyak ditemukan dokumen-dokumen tertulis hadis. Dokumen-dokumen itu sebagian ada yang ditulis sejak nabi saw., tetapi ada juga yang baru ditulis setelah beliau wafat. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas menyangkut dokumen-dokumen hadis yang ditulis oleh atau berasal dari kalangan sahabat, berikut ini diuraikan sebagian dari dokumen-dokumenn tersebut.
a.       Al-Shahifat al-Shadiqah
Shahifah ini ditulis oleh Abdullan ibn ‘Amr (w. 63 H). Ia bernama lengkap Abu Muhammad Abdullah ibn “Amr ibn al-‘Ash ibn Wa’il ibn Hasyim ibn Su’aid ibn Sahm ibn ‘Amr ibn Hushaish ibn Ka’ab ibn Lu’ayy ibn Ghalib al-Quraisyiy al-Sahmiy. Beliau telah menuliskan al-Shahifat al- Shadiqah sejak masa hidup Nabi saw. Berdasarkan pengakuannya sendiri sahifah itu menghimpun hadis-hadis yang didengar langsung dari Nabi saw. di dalamnya, menurut Ibn al-Atsir, berisi 1.000 hadis. Dikabarkan bahwa ia hafal 1.000 hadis. Akan tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa shahifah itu memuat tidak lebih dari 500 hadis.[28]
Naskah asli dari shahifah itu sudah tidak ditemukan lagi, tetapi hadis-hadisnya banyak yang diriwayatkan oleh Ibn Hambal dalam kitab musnad-nya.[29]
b.      Shahifat Ali bin Abi Thalib dan al-Shahifat al Jami’ah
Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan pemuda. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Thalib ‘Abdi Manaf ibn Abul Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abdi Manaf al Quraisyiy al- Hasyimi. Ia dikenal sebagai seorang sahabat yang berilmu tinggi dan saleh. Ali termasuk sekretaris Nabi saw. yang sangat diandalkan. Perhatiannya terhadap hadis cukup besar. Dia adalah seorang sahabat yang sangat menyetujui penulisan hadis.
Sejumlah sumber yang ditulis oleh kelompok Ahl al-Sunnah  wa al-Jama’ah maupun Syiah tampaknya sepakat untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai shahifah hadis dari Rasulullah.
Riwayat versi Sunni mengatakan bahwa Abu Juhaifah – orang dekat Ali – pernah bertanya kepada Ali apakah ia mempunyai sesuatu dari wahyu, selain apa yang tedapat dalam kitabullah. Alipun menjawab bahwa ia tidak mempunyai sesuatu kecuali apa yang ada dalam al-Qur’an serta apa yang ada dalam sahifahnya. Dalam sahifah tersebut berisi ketentuan tentang diyat, tebusan tawanan, dan larangan menjatuhkan hukuman aisas pada orang Islam yang membunuh orang kafir. Lebih jauh dari jawaban-jawaban Ali itu sendiri terkandung berbagai kemungkinan tafsir, yakni: (1) tidak ada pada kami suatu kitabpun yang kami baca selain Kitabullah, kecuali sahifah ini; (2) kami tida menuliskan sesuatupun dari Nabi saw., kecuali Kitabullah dan shaifah ini; (3) asumsi sebagian orang bahwa adapada kami sesuatu yang kami baca selain Kitabullah dan sahifah ini. Asumsi seperti ini jelas tidak betul; (4) Rasulullah saw. tidaklah secara khusus memberikan sesuatu kepada kami yang tidak pernah diberikan kepada orang lain, kcuali apa yang ada dalam sarung pedangku ini; (5) Rasulullah saw. tidaklah mengikat janji secara khusus dengan kami yang tidak pernah dilakukan dengan yang lainnya, kecuali sesuatu yang kami dengar dari beliau dan hal itu tidak lain adalah sahifah yang berada dalam srung pedangku ini.[30]
c.       Kitab al-Farai’idl
Kitab ini ditulis oleh Zaid ibn Tsabit (w. 45 H). ia bernama lengkap Zaid ibn Tsabit ibn Dhahhak ibn Zaid ibn Laudzan ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Manafibn Ganam ibn Malik ibn al-Najjaral-Anshariy al-Khazrajiy. Zaid termasuk salah seorang sahabat yang ditunjuk sebagai sekretaris Nabi saw. dan penulis wahyu. Ia menguasai dengan baik tulis menulis, bahasa Arab dan syairnya, serta bahasa asing seperti bahasa Suryani dan Persi. Selain itu ia juga menguasai bahasa Ibrani, Yunani, Habsyi, dan Qibthi. Iapun bertindak sebagai penerjemah nabi saw. dalam berbagai bahasa itu.[31]
Zaid ibn Tsabit tercatat sebagai orang pertama yang memberi nama koleksi hadis seputa hokum waris dengan sebutan kitab al-Fara’idl. Dia telah menulis kitab mengenai hokum waris itu atas permintaan Umar ibn al-Khattab.[32]
d.      Shahifat Hasan ibn Ali
Hasan ibn Ali (w. 50 H) termasuk salah seorang cucu kesayangan Rasulullah saw. nama lengkapnya adalah al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib ibn Abd al-Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abdi Manaf. Sebagaimana bapaknya ia memounyai perhatian besar terhadap hadis. Hasan pernah berpesan kepada orang-orang yang tidak kuat hafalannya agar mencatat hadis. Muhammad ibn ‘Aban meriwayatkan bahwa Hasan ibn asan berkata kepada anak dan kemenakan-kemenakannya”Belajarlah selagi masih muda, dan nanti kalian akan menjadipemimpin. Bagi yang tidak kuat hafalannya hendaklah mau mencatat.”[33]
Dikabarkan bahwa Hasan ibn Ali memiliki sebuah sahifah yang menghimpun fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib. Namun, tidak diketahui secara pasti apakah dalam sahifah itu juga terdapat hadis-hadis Nabi saw. atau hanya berisi fatwa-fatwa Ali saja.[34]
e.       Shahifat Jabir ibn Abdillah
Jabi ibn ‘Abdillah (w. 78 H) termasuk salah seorang sahabat Nabi saw. nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah jabir ibn ‘Abdillah in ‘Amr ibn Haram ibn ‘Tsa’labah ibn Haram ibn Ka’ab ibn Ghanm ibn Ka’ab ibn Salamah al-Anshariy al-Khazrajiy al-Salamiy al-Madaniy. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Jabir ibn ‘Abdillah ini mencapai 1.450 hadis, 58 hadis diantaranya disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 26 hadis lainnya diriwayatkan oleh Bukhari, dan 126 hadis lagi diriwayatkan oleh Muslim.[35]
Diberitakan bahwa Jabir ibn ‘Abdillah memiliki sebuah sahifah hadis yang dikenal dengan nama sahifat Jabir ibn ‘Abdillah. Sebenarnya Jabir tidak pernah secara khusus mencatat kumpulan hadisnya, tetapi dia selalu mempersiapkan catatan hadis yang akan didektekan kepada murid-muridnya pada pengajian hadis yang diadakan secara teratur di masjid Madinah. Kumpulan hadis yang dimilikinya mencapai lebih dai seribu hadis. Oleh berbagai sumber kumpulan hadis itu disebut dengan sahifah.[36]
f.       Nuskhat Samurah ibn Jundub
Samurah ibn Jundub (w. 58 H) termasuk salah seorang ulama dari generasi sahabat. Ia bernama lengkap Samurah ibn Jundub ibn Hilal al-Fazariy. Sejumlah orang telah meriwayatkan hadis darinya, di antaranya adalah Sulaiman, Abu Qilabah, ‘Abdullah ibn Buraidah, Abu Raja’ al-Utharidy, Abu nalrah al-Abdiy, al-Hasan al-Bashriy, dan Ibn Sirin. Iapun dilaporkan telah menghimpun hadis-hadis nabi saw. dalam bentuk buku. buku itu dinamakan dengan nuskhah, tetapi adakalanya juga dinamakan dengan  nama sahifah, rialah dan kitab. [37]
2.    Pembukuan hadis pada abad ke 2 H
Sudah dapat dipahami bahwa dalam abad pertama Hijrah, mulai dari zaman Rasul, masa Khulafa Rasyidin dan sebagian besarzaman Amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kekuatan hafalannya. Padamasa itu mereka belum terdorong untuk membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat. Kekuatan hafalan sahabatdan tabi’in diakui sejarah.[38]
Proses historis tadwȋn hadis masih terus berlanjut hingga memasuki periode tabiin. Selama periode ini pula, atau tepatnya pada era Umar ibn Abd al- Azîz (w. 101 H), berlangsung kegiatan tadwîn hadis secara resmi dan publik. Khalifah Umar ibn Abd al-Azîz pernah mengeluarkan surat perintah resmi kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah untuk menghimpun hadis.[39] Hal itu telah umum diakui oleh ulama Sunni. Namun sebaliknya, karena alasan-alasan tertentu, sebagian ulama Syiah masih meragukan adanya kegiatan tadwîn hadis tersebut.[40]
Ketika kekhalifahan dipegang kembali oleh Umar ibn Abd Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H. seorang khalifah dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai “Khalifah rasyidin kelima”, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadis dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadis dari para perawinya, mungkinlah hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi di bawa oleh para penghafalnya kea lam barzah.[41]
Untuk mewujudkan maksud mulia tersebut, pada tahun 100 H.  Khalifah mengirim surat  kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazmin (120H.) yang menjadi guru Ma’mar, al-Laits, al-Auza’y, Malik, ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin.[42] Mencermati surat Khalifah Umar bin Abd Aziz agar dapat membukukan hadis, dapat kita temukan berbagai alasan mendasar dikeluarkannya instruksi penulisan atau pembukuan hadis. Dalam surat perintah Umar bin Abd Aziz menulis:
“Periksalah apa yang Anda dapati dari hadis Rasul, lalu tulislah! Sesungguhnya saya khawatir kalau ilmu akan hilang bersama meninggalnya para ualam. Jangan Anda terima sekiranya bukan hadis Rasul. Kembangkanilmu, dirikan majlis ta’lim agar orang bisa mengajarkan ilmu kepada orang yang belum mengetahuinya. Seungguhnya ilmu itu bisa hilang selagi pengembangannya secara rahasia atau sembunyi-sembunyi.”[43]

Instruksi singkat tersebut mengandung beberapa muatan, yaitu[44]:
a.       Perintah untuk:
1)      Meneliti hadis dan menulisnya
2)      Mengembangkan ilmu
3)      Mendirikan majlis ta’lim
b.      Larangan untuk menerima atau menulis sekiranya yang diterima bukan hadis.
c.       Motif terpokok dari perintah penulisan ialah, adalah kekhawatiran kalau ilmu akan hilang bersama meninggalnya para ulama.
d.      Sinyalemen khalifah, bahwa ilmu tidak mustahil bisa hilang selagi penularannya secara rahasia atau sembunyi-sembunyi atau illegal.
e.       Perlunya pengembangan ilmu, dengan mendirikan majlis-majlis ta’lim, serta melegalisir usaha-usaha pengembangan ilmu yang selama ini terjadi secara rahasia.
Dari instruksi tersebut,dapat ditemukan alasan mendasar dikeluarkannya instruksi pembukuan hadis, yaitu[45]:
a.       Pemurnian hadis
Sangat boleh jadi, berangkatdari pengalamannya sebagai rawi hadis, yang tidak mudah bagi seorang rawi untuk membedakan mana yang hadis dan mana yang bukan telah mengilhami khalifah dalam membuat instruksi penulisan.
b.      Kekhawatiran ilmu akan hilang bersama dengan meninggalnya ulama
Kekhawatiran seperti ini barangkali bukanlah kekhawatiran yang mengada-ada. Bukankah Nabi sendiri dalam pernyatannya, mengatakan bahwa ilmu itu akan hilang bersama dengan hilang atau meninggalnya ulama.
c.       Pengembangan ilmu
Dengan adanya penulisan hadis, selain dapat memurnikan hadis, dapat juga dijadikan rujukan resmi bagi siapapun yang beratensi terhadap hadis. Waktu tidak akan banyak terbuang, hanya untuk mendapatkan sebuah hadis. Di lain pihak majlis ta’lim atau medrasah hadis yang waktu itu seakan bersifat illegal, dengan dikeluarkannya instruksi menjadi sesuatu yang legal formal, pada gilirannya menjadikan rasa aman dan terlindung bagi siapapun yang terlibat pada proses pembelajaran hadis.
d.      Mengakhiri polemik hadis tentang boleh tidaknya menulis hadis
Sebagai rawi hadis, Umar ibn bd Aziz merasakan betul dampak dari perbedaan pendapat boleh tidaknya hadis untuk ditulis. Benar, diantara ulama ada yang berpendapat hadis dilarang untuk ditulis, tetapipraktik di lapangan tidak demikian adanya. Banyak tulisan hadis yang dengan mudah didapatkan.
            Muhammad bin ‘Alwiy al-Malikiy al-Hasaniy mengatakan bahwa setelah datangnya instruksi penulisan atau pembukuan dari khalifah, ulama lalu banyak yang menulis dan membukukan hadis, seperti Muhammad bin Syihab al-Zuhriy, setelah itu Ibnu Juraij (w.150 H.) dan Ibnu Ishaq (w.151 H) di Mekkah, Malik bin Anas (w.179 H.) di Madinah, al-Rabi’ bin Shabih (w. 106 H.), Sa’id bin Abi Arubah (w. 156 H) dan hammad bin Salamah (w. 176 H) di bashrah, Sufyan at-Tsauriy (w. 177 H) di Kufah, al-Auza’iy (w. 156 H) di Syam, dan Husyaim bin Basyir (w. 161 H) serta Ibnu al-Mubarak (w. 181 H)di Kurasan. Hanya saja mereka adalah ulama yang hidup sezaman sehingga sulit untuk menentukan siapa yang terdahulu di antara mereka.[46]
            Al-Suyuthiy dalam kitab Tadrib al-Rawiy Fi Syarh Taqrib al-nawawiy, yang kemudian kitab ini dijadikan rujukan penulis-penulis Ilmu Hadis modern, mengatakan:
            “Orang pertama yang membukukan hadis ialah Ibnu Juraij di Mekkah, Ibnu Ishaq atau malik bin Anas di Madinah, al-Rabi’ bin Shabigh atau Sa’id bin Abi ‘Arubah atau Hammad bin Salamah di Bashrah, Sufyan al-Tsauriy di Kufah, al-Auza’iy di Syam, Husyaim di wasith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin ‘Abd al-Humaid di Ray, Ibnu al-Mubarak di Khurasan. Telah berkata al-‘Iraqiy dan Ibnu Hajar, “Mereka semua hidup dalam satu masa, kami tidak tahu siapa di antara mereka yang terdahulu.”[47]
            Dalam pernyataan tersebut tidak disebut-sebut nama Muhammad bin Syihab al-Zuhriy, barangkali yang dimaksud pertama kalidalam ungkapan tersebut adalah pertama kali setelah al-Zuhriy. Sebab Ibnu Hajar dalam fath al-Bari meyetakan dengan tegas bahwa orang yang pertama mendewankan hadis atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz ialah Ibnu Syihab al-Zuhriy.[48] Dalam redaksi yang asli Ibnu Hajar berkata:
            “Orang pertama yang mendewankan hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz ialah Ibnu Syihab al-Zuhriy, pada akhir 100 H.”[49]
Dengan melihat kenyataan sebagaimana tersebut di atas, dan kenyataan yang ada pada kitab hadis produk kala itu dan masa-masa berikutnya, dapat disimpulkan bahwa penulisan hadis telah melampaui berbagai tahap, yakni[50]:
Tahap pertama,    menulis hadis sebatas apa yang diketahui dan dihafal oleh si penulis saja
Tahap kedua,       menulis apa yang dketahui dan dihafal oleh si penulis dan ulama setempat.
Tahap ketiga,       menulis yang ada pada berbagai ulama yang berada di berbagai wilayah negeri, dalam bentuk kitab atau buku besar.
Ciri-ciri pembukuan hadis pada abad ke 2 H[51]:
a.       Hadis-hadis yang dibukukan adalah hadis yang ada pada ulama setempat, hal ini mengakibatkan munculnya penulis-penulis lokal, seperti Ibnu Juarij di Mekkah, Ibnu Ishaq dan Malik bin Anas di Madinah, al-Rabi’ bin Shabigh, Sa’id bin Abi Arubah, dan Hammad bin Salamah di Bashrah, Sufyan al-Tsauriy di Kufah, al-Auza’iy di Syam, Husyaim di wasith, Ma’mar di Yaman, dan Ibnu al-Mubarak di Khurasan
b.      Betatapun instruksi khalifah menyebutkan untuktidak menulis sekiranya bukan hadis, namun kenyataan menunjukkan bahwa yang ditulis kala itu bukan saja hadis Nabi, tetapi juga meliputi uacapan atau ketetapan sahabat dan tabi’in.
c.       Konsekuensi logis dari tindakan tersebut ialah segala macam hadis atau yang dianggap hadis dalam karya mereka, baik yang shahih, hasan, dhaif, atau malah yang mungkar sekalipun.
d.      Penulisan hadis telah tersusun sedemikian rupa dalam bentuk kitab yang tersistematik, dengan cara mengumpulkan berbagai hadis yang ada kaitannya dengan persoalan tertentu dalam bab-bab tertentu, kemudian dihimpun bab-bab tersebut dalam suatu mushannaf atau karangan.
Kitab-kitab hasil produk abad ke 2 H[52]:
a.       Kitab al-muwaththa’ karya Malik bin Anas (179 H)
b.      Kitab Musnad karya Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (w. 204 H)
c.       Kitab al-Atsar karya Muhammad bin Hasan al-Sayibaniy (w. 189 H).
3.    Pembukuan hadis pada abad ke 3 H
a.       Abad keemasan dalam sejarah penulisan hadis
Abad ketiga ini sering disebut abad keemasan dalam sejarah penulisan hadis, mengingat pada abad ini telah banyak ditulis dan dibukukan banyak kitab hadis, dan lebih-lebih pada abad ini pula telah berhasil disusun kitab-kitab hadis yang kemudian disebut kutub al-Sab’ah. Dimaksud kutub al-Sab’ah (7 kitab hadis) ialah[53]:

1)      Musnad Ahmad, susunan Ahmad bin Hanbal (164-241 H).
2)      Shahih al-Bukhariy, susunan Abu Abdillah bin Isma’il al-Bukhariy (194-256 H).
3)      Shahih Muslim, susunan Muslim bin al-Hajaj (204-261 H).
4)      Sunan Abu Dawud, susunan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats (202-275 H).
5)      Sunan al-Turmudziy, sering juga disebut Jami’ al-Turmudziy, susunan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Turmudziy (200-279 H).
6)      Sunan al-Nasa’iy, susunan Abu ‘Abd al-Rahnan Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’iy (215-303 H).
7)      Sunan Ibnu Majah, susunan Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Abdillah bin Majah al-Qazwiniy (207-275 H).
Jika kitab al-Sab’ah tersebut dikurangi Musnad Ahmad, disebut kutub al-Sittah (6 kitab hadis).
b.      Ragam kitab hadis abad ke 3 dilihat dari kualitas hadisnya
Sebagai abad keemasan dalam era penulisan hadis, abad ke 3 H merupakan masa tabiin kecil dan atba’ al-tabi’in mengambil peran dalam memelihara hadis. Abad ini ditengarai dengan berbagai gerakan untuk mengembangkan dan memurnikan hadis, seperti[54]:
1)      Gerakan rihlah ke berbagai Negara untuk mengumpul dan mencari hadis.
2)      Gerakan meng-isnad-kan hadis.
3)      Gerakan meneliti rawi hadis sampai dikatakan ibarat meneliti uang palsu.
4)      Gerakan mengkritik rawi sehingga muncul kriteria atau batasan-batasan kaidah-kaidah orang yang dapat diambil hadisnya dan sebagainya. Dengan demikian, secara tidak disadarai telah tersusun kaidah-kaidah tentang hadis.
Pendek kata, muncullah berbagai gerakan untuk mendiskusikan hadis, ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam mendiskusikan hadis muncul berbagai kritik, kemudian melahirkan kaidah.
c.       Sistem penyusunan hadis dalam kitab abad ke 3 H
Mencermati kitab hadis karya ulama hadis abad ke 3 H, akan dapat ditemukan dua model system penyusunan, yaitu[55]:
1)      Hadis disusun sedemikian rupa berdasarkan kesamaan topic pembicaraan, dalam bab  demi bab, sebagaimana bab demi bab yang ada pada kitab fiqih dewasa ini.
2)      Hadis disusun berdasarkan dari sahabat siapa hadis itu diterima, atau kepada sahabat siapa hadis tersebut disandarkan.
d.      Kitab hadis yang menonjol produk ulama hadis abad ke 3 H
Dari sekian banyak kitab hadis yang ditulis ulama hadis pada abad ke 3 H, yang paling popular di tengah masyarakat muslim ialah kitab hadis yang kemudian disebut kutub as-Sittah (kitab hadis yang enam), yaitu[56]:
1)      Kitab shahih Bukhariy
2)      Kitab Sahih Muslim
3)      Kitab Sunan Abu Dawud
4)      Kitab Sunan Turmudzi
5)      Kitab Sunan Nasa’i
6)      Kitab Sunan Ibnu Majah
Setelah munculnya Kutub al-Sittah dan al-Muwattha’ Malik serta Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jamawi’, kitab syarah mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Athraf, dan Jawa’id serta penyusunan kitab hadis untuk topic-topik tertentu.[57]
Penulisan karya-karya kompilasi hadis sendiri pada dasarnya tidaklah mengikuti urutan waktu (kronologis). Sehingga metode penulisan karya-karya kompilasi hadis itu tidak banyak memberikan pengaruh terhadap penulisan sejarah Islam secara kronologis (hauliyyât). Tonggak bagi munculnya metode kronologis di kalangan ahli hadis justru dijumpai dalam karya-karya biografis (asma’ al-rijâl), utamanya yang disusun berdasarkan thabaqât. Penyusunan karya-karya ini telah dimulai sejak abad II H dan terus meningkat pada abad-abad berikutnya. Bahkan pada abad III H, bukan hanya para spesialis di bidang ini, tetapi juga hampir seluruh ahli hadis, menyusun beberapa biografi para periwayat hadis. Para penyusun al-Kutub al-Sittah juga memiliki satu atau lebih karya penting tentang biografi para periwayat hadis. Sepanjang abad IV H dan seterusnya, penyusunan biografi periwayat hadis telah menjadi kecenderungan umum di wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang lebih luas. Arabia, Syria, Mesopotamia, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol, dan India, semua melahirkan penulis-penulis biografi para periwayat hadis.[58]
E.  Pengaruh Pembukuan Hadis terhadap Perkembangan Fiqh
Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum Islam syariat Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Kontribusi literatur hadis dalam arus perkembangan historiografi Islam tidak dapat dinafikan. Faruqi mengakui bahwa literatur hadis merupakan sumber yang sangat penting bagi historiografi Islam awal.[59]
            Pada masa sahabat, para sahabat selalu kembali dan mengacu pada as-Sunnah dalam meng-istinbathkan hukum manakala tidak menemukan nash dalam kitab Alah, karena as-Sunnah adalah sumber yang kedua bagi perundang-undangan Islam setelah al-Qur’an.
            Mengingat as-Sunnah pada saat itu belum dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka adalah hafalan para sahabat. Namun para sahabat juga memiliki tingkat kekuatan hafalan, pemahaman, dan keadilan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam periwayatan as-Sunnah karena takut manusia meninggalkan al-Qur’an dan takut terjatuh dalam dusta kepada Rasulullah saw. mereka tidak menerima suatu hadis kecuali jika ada yang bersaksi selain yang meriwayatkannya.[60]
Para sahabat menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagi sumber-sumber syariat, walaupun hadis pada saat itu belum dibukukan kecuali hanya sedikit. hal tersebut karena mereka menjaganya di dalam dada dan minimnya masalah yang muncul untuk dimintai fatwanya pada zaman itu, sedikit dan banyak yang mirip.[61]
            Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para shahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para shahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadits.
            Kondisi dan dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in sedikit banyak berbeda dengan kondisi pada masa sahabat dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan hadis yang semakin menguat pada masa tabi’in. hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut[62]:
1.      Luasnya wilayah kekuasaan Negara Islam setelah terjadi banyak penaklukan sehingga menimbulkan banyak masalah yang perlu dibenrikan fatwa. Di samping itu, parafiqaha menghadapi kondisi social yang beragam dengan adanya orang Persia dan Romawi serta Kristen Ortodoks.
2.      Jarak antara satu negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit berkomunikasi sesama mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis terpaksa meriwayatkan apa dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadag mereka pergi ke Madinah untuk mengumpulkan hadis dan menghafalnya.
3.      Setelah al-Qur’an mendapat perhatian besar, baik dihafal dan dikaji pada zaman sahabat sehingga membuat generasi setelahnya tidak berbeda pendapat.
Di kota Madinah, Islam mendapat sambutan yang hangat dan pikiran yang terbuka serta jiwa yang siap menjaga risalah. Dikarenakan mereka begitumencintai pembawanya dan ridha dengan Rasulullah saw, hati mereka dipenuhi iman sehingga syariat Islam bisa melekat pada diri mereka, menjadi orang-orang yang sangat tahu dengan sunnah Nabi saw dan sangat paham dengan atsar (periwayatan) para sahabat di zaman khulafa’ ar-rasyidin. Dan dengan cara inilah kemudian kota Madinah kemudian menjadi sumber cahaya dan pusat kemajuan untuk semua negeri-negeri Islam yang berhubungan dengan sunnah yang suci, terkait dengan peninggalan para sahabat dan inilah faktor utama bagi lahirnya madrasah ahli hadis.[63]
Manhaj ini ternyata menarik minat sebagian ulama tabi’in yang kemudian dikenal dengan nama fuqaha Sembilan atau tujuh berdasarkan tingkat popularitasnya, yaitu Sa’id bin al-Musayyib, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Urwah bin az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, ‘Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud, al-Qasim bin Muhammad, dan abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.[64]
Di Kufah Irak,  muncul madrasah ahli Ra’yi, sebuah Negara yang tidak kalah hebatnya dengan Madinah dalam aspek perkembangan keilmuan karena termasuk Negara yang paling banyak disinggahi para pembesar sahabat. Di sana ada Abdullah bin Mas’ud sebagai hakim dan guru, Abu Musa al-Asy’ari, Sa’d bin Abi waqqas, Ammar bin Yasir, al-Mughirah bin Syu’bah, Huzdaifah bin al-Yaman, Imran bin Hushain, dan Anas bin Malik.[65]
            Para penduduk Irak menyambut para sahabat yang datang dengan penuh antusias, meminta fatwa, mereka mempelajari hadis dan fiqh, apalagi penduduk Irak memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Oleh karena itu, mudah bagi mereka untuk memahami semua yang disampaikan oleh para sahabat, dan hasilnya mereka mampu mengeluarkan hukum-hukum fiqh yang kemudian memberi corak tersendiri bagi perkembangan fiqh.
            Dalam bukunya, Khallaf mengungkapkan bahwa pada periode pengkodifikasian hadis telah berkembangnya hukum Islam dan geraka Ijtihad yang cukup banyak. Selain itu, pada periode ini ulama dalam menetapkan perundang-undangan dan memberi fatwa telah menguasai metode Tasyri secara luas dan mudah. Para imam mujahid benar-benar menjadi sentral himpunan harapan umat, mulai dari masyarakat kalangan bawah, para hakim, dan sampai pada pejabat petinggi Negara.[66]
Sampai sekarang pengaruh pembukuan hadits Nabi sangat kita rasakan, bayangkan jika tidak ada usaha pembukuan hadits, tidak menutup kemungkinan penafsiran Al-Qur’an dan hadits banyak yang diselewengkan dari makna yang sesunguhnya. Dengan ini jerih payah para penyusun kitab hadits tetap kita hargai dan kita do’akan agar pahala tetap mengalir kepada mereka, sembari kita kembangannya sesuai dengan kompetensi ilmiyah.







[1] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 35-36.
[2] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 36.
[3] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah,(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 156.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 41.
[5] Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 34.
[6] Endang Soetari, Ilmu Hadits, hlm. 34.                                                                              
[7] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis; Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 19.
[8]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis… , hlm. 20.
[9]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis… , hlm. 20.
[10]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis.. , hlm. 20
[11] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis…, hlm 21.
[12] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis.. , hlm. 22-23.
[13] Dailamy, Hadis; Semenjak Disabdakan Sampai Dibukuka,n (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2010), hlm. 290.
[14] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 290.
[15]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm 291.
[16]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 291
[17] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 292.
[18] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 292.
[19] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 293.
[20] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 293.
[21]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 293.
[22]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm 293.
[23] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: Islamic Teaching Center, 1977), hlm. 50.
[24] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 264.
[25] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 266.
[26]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 268.     
[27] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 269.
[28] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin… , hlm. 128.
[29] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 129.
[30] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 130-131.
[31] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin… ,hlm. 133.
[32] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin… , hlm. 133.
[33] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 133-134.
[34]  Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 134.
[35]  Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 134.
[36] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin… , hlm. 135.
[37] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin…, hlm. 135.
[38] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 52.
[39] Abû Abdillâh Muhammad ibn Ismâîl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1420 H/2000 M), juz I, hlm. 71
[40] Muhammad Shâdiq Najmiy, Ta’ammulât fî al-Shahîhain, (Beirut: Dâr al-Ulûm, 1408 H/1988 M), hlm. 46-47
[41] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar…, hlm. 52.
[42] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar…, hlm. 52.
[43] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 285.
[44] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm.  285
[45]Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 286-287.
[46] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 287.
[47] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 288.
[48] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 288.
[49] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 288.
[50]Dailamy, Hadis; Semenjak… , hlm. 296.
[51] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 296.
[52] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 297.
[53] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 306.
[54] Dailamy, Hadis; Semenjak…, hlm. 308.
[55]Dailamy, Hadis; Semenjak… , hlm. 309-310.
[56]Dailamy, Hadis; Semenjak… , hlm. 310.
[57] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[58] Muhammad Zubayr Shiddiqi, “The Science and Critique of Hadith (Ulûm al- Hadîth)”, dalam P. K. Koya (ed.), Hadith and Sunnah, hlm. 77.
[59] Nizar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1979), hlm. 185.
[60] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 65.
[61] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 86.    
[62]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 87.
[63] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…, hlm. 92,
[64]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’… , hlm. 93.
[65] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’…, hllm, 95.

1 komentar: