Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, sedangkan agama-agama lain, seperti hindu, budha, kristen dan sebagainya jauh
lebih sedikit pemeluknya dibandingkan dengan agama Islam. Namun, Islam sendiri
di Indonesia terbagi-bagi menjadi beberapa golongan atau organisasi, yang
masing-masing punya banyak perbedaan-perbedaan. Seperti tiga organisasi Islam
terbesar di Indonesia, yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Ketiga organisasi Islam ini sangat berperan penuh terhadap
perkembangan Indonesia, baik aspek sosial, ekonomi, agama, budaya dan
sebagainya. Hal yang menarik di sini adalah, walaupun ketiga organisasi Islam
ini bersama-sama ikut andil dalam pengembangan Indonesia, sebenarnya ketiga
organisasi Islam ini mempunyai perbedaan-perbedaan, salah satunya adalah metode
istinbat yang digunakan dalam menetapkan suatu hukum.
A.
Muhammadiyah,
NU, dan MUI
1.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga
masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat,
sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya
tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad
Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal
mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan
kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan
diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal
sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek
School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin _khusus
laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat
Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad,
karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan
secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan
tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang
berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama,
faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an
dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif di mana dapat dilihat secara internal dan
eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak
dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab
besar umat Islam Indonesia.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar
ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi
Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan
meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu
kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun
kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan
atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam
kehidupan di muka bumi ini.
Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa
istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di
segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan
dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
yang diridhai Allah swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:
(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran
Allah swt yang dibawa oleh Rasulullah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh hingga
Nabi Muhammad saw.
(2) Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan
jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kehidupan yang bersifat duniawi.
(3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an
sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
(4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat. Lihat Tanfidz Keputusan Musyawarah Wilayah ke-39
Muhammadiyah Sumatera Barat tahun 2005 di Kota Sawahlunto.
2.
Nahdlatul
Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama merupakan fenomena yang unik dalam dunia muslim. NU
adalah sebuah organisasi ulama tradisionalis yang memiliki pengikut dalam
jumlah besar dan merupakan organisasi non pemerintah yang masih bertahan dan
mengakar di kalangan bawah. Sekitar dua puluh juta muslim merasa terikat
kepadanya melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial. Kemandirian kiai-kiai
lokal NU sebagai penyangga moral organisasi ini menyebabkan NU menjadi
organisasi yang sangat terdesentralisasi.[1]
Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 januari 1926 di
Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara.
Sebagian besar warga jami’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura.
Basis masa yang yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok
marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia.
Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan
kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di
tengah masyarakat yang mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi
akselerasi nilai-nilai universal Islam.[2]
3.
Majlis
Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) merupakan suatu wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim yang mempunyai tugas sebagai pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia
untuk menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan
dihadapi oleh masyarakat.[3]
MUI berdiri sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam
orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan
Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah
sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama.
zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya
MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI
bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali,
setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam
perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan
rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim
berusaha untuk:
- memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah
Subhanahu wa Ta’ala;
- memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan
bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
- menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah
timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan
nasional;
- meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.
Lima Peran MUI
Dalam khittah
pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama
MUI yaitu:
- Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
- Sebagai pemberi fatwa (mufti)
- Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
- Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
- Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar
B.
Metode
Muhammadiyah, NU, dan MUI
1.
Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah
Metode yang digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
melakukan ijtihad adalah sebagai berikut :
1. Ijtihad Bayani
Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan
al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima
macam, yaitu :
a) Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu
makna dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud,
baik makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata
dalam surat Shad ayat 73:
Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”
Kata “malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat”
yaitu ditegaskan dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b) Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata,
sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan
kata-kata yang mujmal menjadi mufshal, kata-kata khafi yang tersembunyi makna
dan maksudnya, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga
lafazh-lafazh musykil, yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang
dapat dicari makna yang dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah
mencari penjelasan lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga
dapat ditentukan makna yang dapat diambil untuk menentukan hukum suatu nash.
Bayan Tafsir juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasi
dallat-u ‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap
makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan.
Maka sabda Nabi SAW:
“Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat”
Maka kata-kata itu dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.
c) Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang
zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung
pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari
mukhashshish dari makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam
thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.
a.
Bi
‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri
sendiri dan bersambung, yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu
muttashil. Artinya, kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung,
seperti:
1) Istitsna’, contohnya
ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah, kecuali
kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2) Badal ba’ad min al-kull,
contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan setiap orang untuk
menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang mempunyai kemampuan.
3) Sifat, contohnya ayat 25
surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita yang beriman, bukan
semua budak beriman.
4) Kata-kata syarat,
contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang telah mencerainya, dimasa
iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud baik.
5) Ghayah, contohnya ayat
15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang berbuat bertentangan dengan
agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat dakwah ajakan Rasul.
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal
seperti ini, perlu ijtihad dengan bayan taghyir, seperti dalam surat al-Nur
ayat 4, bahwa orang yang menuduh orang lain tanpa bukti dicambuk 80 kali. Dalam
ayat 6-9, suami istri yang dituduh menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa
cambuk dengan sistem hukum “li’an”
b.
Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata.
Itu bisa berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang
kata-kata yang mutlaq menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid
dari lafazh mutlag, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2
surat al-Maidah, bahwa allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat
al-an’am, Allah menyebutkanyang di haramkan itu darah yang mengalir (dam
masfuhan), yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh
iyu muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir
Dari segi mencari hukum yang lebih mashlahah untuk dilakukan, makna
bayan taghyir, atau dengan menerapakan prinsip sadd-u ‘l-dzari’ah.
d) Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh.
Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam hukum masalah yang dicari
oleh seoranh mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan dalam
dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat
yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang
terdapat pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Nasikh-mansukh dalam al-Qur’an
bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat yang
bermaksud umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang
jelas, ada nasikh mansukh pada sunnah/al-Hadits. Seperti contoh nabi SAW
dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudian membolehkannya, yang terkenal dalam
sabdanya yang berbunyi:”Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk ziarah
kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR. Ibnu Majah)
e) Bayan Dlarurah
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi
tidak boleh tidak harus diungkapkan. Bayan
ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. Bayan
Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
a.
Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus
diucapkan. Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11:
Artinya :”Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,
jika yang meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga”
Dalam ayat itu tidak disebutkan ketentuan sisa yang diambil
dari sepertiga untuk ibunya. Padahal
dalam ayat tersebut disebutkan pewarisnya adlah ayah dan ibunya. Tidak
menyebutkan yang mendapat sisa bagian sesudah diiambil ibu sepertiga mengandung
pengertian bahwa disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan setelah diambil
sepertiga oleh ibu, maka sisanya yaitu dua pertiga menjadi bagian ayah.
Ø Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi
penjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW waaktu
menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi
terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya
seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya
anak itu dianggap setuju.
b.
Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap
untuk menghindari adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak
yang diampunya melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang
lain, didasarkan sabda Nabi SAW.
c.
Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak
disebutkan, tetapi mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan
orang arab menghitungnya.
2. Ijtihad Qiyasi
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang
tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash
al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti
keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya,menghisap
ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman
adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja
dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum
berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi
3. Ijtihad Istishlahi
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung
yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan
dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa
metode yaitu:
a) Metode Istihsan
·
Mengecualikan
dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi
·
Mengecualikan
dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahatan
yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari kesempitan.
b) Metode Sadd-u
‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan sesuatu itu.
Tetapi kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan
membawa mafsadah (kerusakan) maka patut dilarang, dengan dasar sad-u
‘l-dzari’ah. Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju
kerusakan.
c) Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan
hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh),
dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu
disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam halini adalah melakukan penelitian
sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan mafsadah yang akan terdapat, apabila
ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang
menyebutkan untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.
d) Menetapakan hukum
sesuatu, didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada, berlaku mendatangkan
manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang
lebih besar
e) Ijtihad dalam menafsirkan
ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang mengandung ketentuan
sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah ini dapat dilakukan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperti dalam memahami ayat 12 Saba’, yang menyebutkan bahwa Nabi
Sulaiman as diberi kemampuan (oleh Allah) mengendalikan angin. Itu merupakan
mukjizat yang diberikan Allah kepada nabi Sulaiman as. Kita bukan berfikir,
bagaimana cara untuk mendapatkan kemampuan mengendalikan angin yang bersifat
mukjizat itu. Tetapi hendaknya kita berfikir dan meneliti, apakah angin itu?
Bagaimana dapat terjadinya angin? Apa yang dapat diketahui tentang sebab
musabab terjadinya angin? Apa mudlarat dan manfaat yang ditimbulkan oleh adanya
angin?
Dengan melihat pada ayat-ayat yang menyebutkan tentang pada surat
ar-Rum aytat 48, bahwa hakikat terjadinya angin adlah kehendak Allah, yang
fenomenanya angin itu menyebabkan awan yang merata sesuai dengan kehendakNya
dan membawa hujan, yang hujan itu dapat menyuburkan tanah/bumi, yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia.
Dalam ayat selanjutnya, Allah memerintahkan kita agar berfikir
tentang rahmat Allah yang ditimbulkan oleh angin yang meratakan awan,
meratakan/menurunkan hujan dan menyuburkan tanah. Sebaliknya angin juga dapat
membuat bencana fenomena lain, angin dapaat menjadi perkawinan bunga, sehingga
menjadi buah, seperti tersebut dalam surat al-Hijr ayat 22
Memahami ayat-ayat tersebut tidaklah berarti kita berfikir secara
tekstual, bahwa untuk mengkawinkan bunga-bunga agar menghasilkan buah hanya
yang ditimbulkan oleh angin belaka, tetapi juga menggunakan nalar berdasarkan
tajribiyah (percobaan-percobaan), sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW
tatkala menjumpai orang-orang Madinah melakukan memindahkan sari bunga, dengan
cara yang telah dilakukan sejak lama dan berhasil yang kemudian Nabi pun
menyerahkan kepada ummat dan sekaligus membolehkan cara-cara tersebut
(cara-cara itu merupakan embrio teknologi tepat guna dalam Islam), dengan
sabdanya:”Kamu lebih mengetahui urusan-urusan dunia mu”.
Adapun tajdid Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti
“mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab,
sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih
erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya
untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan
yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan
manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan
agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya
menguatkan kekuasaan agama.
Contoh tajdid:
Kalau dalam perkembangan pertama sampai pertengahan abad 20
Muhammadiyah berhadapan dengan persoalan khilafiyah dan pemurnian aqidah, maka
pada akhir abad 20 menjelang awal abad 21 organisasi ini sudah berhadapan
dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan umat Islam, baik dalam
skala nasional maun internasional. Kecenderungan itu didasarkan asumsi bahwa
Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, difahami oleh umat Islam
dengan pemahaman dan cara pandang yang berbeda. Secara garis besar,
kecenderungan untuk memehami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua
kelompok besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok
pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis,
sedangkan Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam
Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman
mengklasifikasikan aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga
kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.
2.
Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama
Sistem pengambilan keputusan hukum[4]:
a.
Prosedur
penjawaban masalah
1)
Dalam
kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya
satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam
ibarat tersebut
2)
Dalam
kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih
dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu
qaul/wajah
3)
Dalam
kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka
dilakukan prosedur ihlaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para
ahlinya
4)
Dalam
kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq,
maka bisa dilakukan instinbath, jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji
oleh para ahlinya.
b.
Hirarki
dan Sifat keputusan bahtsul masail
1)
Seluruh
keputusan bahtsul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang
telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur
organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederaat dan tidak saling
membatalkan.
2)
Suatu
hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih
tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu
Munas Alim Ulama maupun muktamar
3)
Sifat
keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a)
Mengesahkan
rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau
b)
Diperuntukkan
bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala
bidang.
c.
Kerangka
analisis masalah
1)
Analisa
masalah
a)
Faktor
ekonomi
b)
Faktor
budaya
c)
Faktor
politik
d)
Faktor
sosial dan lainnya
2)
Analisa
dampak
a)
Secara
sosial ekonomi
b)
Secara
sosial budaya
c)
Secara
sosial politik
d)
Dan
lain-lain
3)
Analisa
hukum
a)
Standar
hukum(sah/batal)
b)
Dasar
dari ahlussunnah wal jama’ah
c)
Hukum
positif
4)
Analisa
tindakan
a)
Jalur
politik
b)
Jalur
budaya
c)
Jalur
ekonomi
d)
Jalur
sosial dan lainnya
Petunjuk pelaksanaan[5]:
a.
Prosedur
pemilihan qaul/wajah
1)
Ketika
dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama maka dilakukan usaha
memilih salah satu pendapat
2)
Pemilihan
salah satu pendapat dilakukan:
a)
Dengan
mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat
b)
Sedapat
mungkin dengan melaksanakan ketentuan Mukatamr NU ke 1, bahwa pendapat
diselesaikan dengan memilih:
Ø Pendapat yang disepakati oleh Asy-Sayikani (al-nawawi dan rafi’i)
Ø Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi saja.
Ø Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i saja
Ø Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
Ø Pendapat ulama yang terpandai
Ø Pendapat ulama yang paling wara’
b.
Prosedur
Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kass belum dipecahkan dalam kitab,
maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-masailbi
naza]h’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih,
mulhaq ilahi oleh para mulhiq yang ahli.
c.
Prosedur
instinbath
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya
mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan
instinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id al ushuliyyah dan
qawa’id fiqhiyyah oleh para ahlinya.
3.
Fatwa
MUI
Dalam ilmu ushul fiqh,
fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahidatau faqih atasjawaban
yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang
meminta fatwa, dan fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.[6] Hal ini
disebabkan, fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda
dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis
karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi
masyarakat peminta fatwa. isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi
minimal responsif.[7]
Fatwa muncul karena
adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan akibat dari perkembangansosial
yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa mensyaratkan adanya orang yang
meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan fatwa.[8] Pada
dasarnya fatwa memberikan suatu reaksi terhadap isu-isu dalam mereflesikan
intelektualisme dan politik pada masa itu.[9]
Tindakan memberi fatwa
disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang merujuk pada profesi
pemberi nasehat. Pihak yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan pihak
yang meminta disebut al-Mustfti. Peminta Fatwa bisa berupa perorangan,
lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.[10]
Mayoritas ulama ushul
mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih
hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan
pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut.
Sejak berdirinya tahun
1975 sampai saat ini, MUI telah banyak mengeluarkan fatwa yang mencangkup
bidang kehidupan, yaitu ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan,
soal hubungan antar agama, ilmu kedokteran, keluarga berencana, gerakan Islam
dan lain sebagainya.
Adapun metode yang
digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya, seperti yang tercantum dalam
dasar-dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:[11]
a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan
kemashlahatan umat.
b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana
ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan
dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain,
seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd az-Zari’ah.
c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat
para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda
pendapat.
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan
fatwanya dipertimbangkan.
Dari dasar-dasar umum
penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, dapat diambil kesimpulan bahwa yang
digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya adalah pertama dengan merujuk
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan,
mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para
imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan
mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan
fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang
berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil
pandangan tenaga ahlidalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.
Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari
semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya
ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan
kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.
C.
Contoh
Masalah
1.
Perkawinan
Beda Agama
a.
Tarjih
Muhammadiyah
Berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah yang ke 22 di Jawa
Timur maka hukum nikah beda agama menurut Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1) Hukum nikah beda agama
para ulama sepakat
bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim.
Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah
(seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya).
Dalilnya firman Allah
artinya "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran."( Al-Baqarah {2]: 221).
Yang diperselisihkan
para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab
(yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada yang mengatakan boleh,
dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Ada pula
yang mengatakan tidak boleh, Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan
pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
a) Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada
waktu zaman Nabi saw. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas
musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan babwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa
itu anak Allah (menurut Nasrani).
b) Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga
sakinah sebagal tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c) Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya
jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.
d) Sebagai upaya syadz-adz-dzari'ah
(mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suamilistri dan
anak-anak yang akan dilahirkan.Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boieh
menikahi wanita Ahlui Kitab menurut sebagian ulama, sebagaimana kami katakan,
namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak menganjurkan
perkawinan tersebut karena syarat wanitaAhlul Kitab yang disebut dalam surat
Al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan
tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan, yang artinya wanita Ahlul
Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:Artinya: Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapusfah amalannya dan la di
hari kiamat termasuk orang-orang merugi."( Al-Maidah [5j:
e) Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama,
karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1
menyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu." ini artinya, negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama
(meskipun pengantin laki-laki beragama
Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkawinan
tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di
KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di
Catatan Sipil sebagaimana penduduk non
muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka
disana. Perlu ditekankan di sini, pihak laki-laki Muslim tersebut
seharusnya tidak merasa terpojokkan
sehingga "HARUS" menikahi
wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu bisa
saja terjadi karena atas dasar suka sama
suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian,
upaya agar menikahkan mereka berdua
dengan cara Islami, yaitu masuk Islam
dahulu lalu menikah di KUA, harus terus
dilakukan semaksimal mungkin.
2)
Status anak
Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami jelaskan
sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.
Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah.
Dan perzinaan itu tidak menimbulkan dampak menetapan nasab anak tersebut
(kepada laki-laki yang berzina dengan
ibunya), menurut kesepakatan jumhur
(mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan
oleh Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi,
mendidik,menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu
adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang
diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah
hadits berikut:
hadits berikut:
Artinya "Rasulullah saw bersabda: "Anak itu dinasabkan kepada
yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang
melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)"."(al-Bukhari
dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan
sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya,
yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab
menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam. Pendapat
yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi
Hukum Islam (KHl) pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk Islam, maka jika anak
tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut
dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan
itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah
itu, laki-laki Muslim tersebut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang
berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian,
pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang Sah. Namun
jika anak hasil zina tersebut lahir sebelum
enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan
laki-laki Muslim tersebut tetap bretanggung jawab terhadap nafkah, pendidikan
dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. TApi daris egi perwalian dan
pewarisan, laki-laki musluim tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak
waris mewarisi dengannya. Ini menurut ulama fiqih.
Namun perlu diketengahkan disini bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang
lahir sebelum enam bulan tersebut dapat dinasabkan kepada si laki-laki muslim
di atas karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: (a) Anak dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil perbuatan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI
menetapkan demikian demi kemaslahatan tersebut
3) Mengenai tindakan orang tua laki-laki Muslim di atas sebaiknya tetap
berusaha untuk menikahkan keduanya secara Islam, yaitu KUA
4) Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkawinan jika
proses perkawinan seperti yang dikehenadaki keluarga katolik itu terjadi,
saudara boleh menghadiri bila diundang.
b.
Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama
Berdasarkan keputusan Muktamar NU ke 28 di Jogjakarta maka adapun
hukum Nikah beda agama menurut Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:
Nikahnya dihukumi sah sejak awal bila pada saat mengucapkan sahadat
tidak ada sesuatu yang menafikan sahadatnya. (yang bersifat ucapan atau
perbuatan). Namun setelah adanya pengakuan dari bule, nikahnya rusak (faskh)
dengan sendirinya.
اسعاد الرفيق الجزء الأول ص: 16-17
إتحاد سادة المتقين الجزء الثانى ص:246-
الدرجة السادسة: أن يقول بلسانه لآإله إلا الله محمد الرسول الله ولكن
لم يصدق بقلبه فلا نشك فى أن هذا فى حكم
الآخرة من الكفار وأنه مخلد بالنار ولا نشك فى أنه فى حكم الدنيا الذى يتعلق
بالأئمة والولاة من المسلمين لأن قلبه لا يطلع عليه وعلينا أن نظن به أنه ما قاله
بلسانه إلا وهو منطو عليه فى قلبه وإنما نشك فى أمر ثالث وهو الحكم الدنيوى فيما
بينه وبين الله تعالى وذلك بان يموت له فى الحال قريب مسلم ثم يصدق بعد ذلك بقلبه
ثم يستفتى ويقول كنت غير مصدق حالة الموت والميراث الآن فى يدى وهل يحل لى بينى
وبين الله تعالى او نكح مسلمة ثم صدق بقلبه هل تلزمه إعادة النكاح هذا محل نظر
فيحتمل ان يقال أحكام الدنيا منوطة بالقول الظاهر ظاهرا وباطنا ويحتمل ان يقال
تناظ بالظاهر فى حق غيره لأن باطنه غير ظاهر لغيره وباطنه ظاهر له فى نفسه بينه
وبين الله تعالى والأظهر والعلم عند الله تعالى إنه لا يحل له ذلك الميراث ويلزمه
إعادة النكاح.
3. نهاية الزين ص: 307
و لو اقر الزوج بما يمنع صحة النكاح فسخ مؤاخذة له بقوله هذة الفرقة
لا تنقص عدد الطلاق وعليه المهر ان دخل بها والا فنصفه ولا يرثها و ورثته لكن بعد
حلفها وجوبا انه عقد بعدلين . إهـ
4. جمل على المنهج الجزء الرابع ص:143
( فإن
أقر الزوج ) دون الزوجته ( به فسخ ) النكاح لإعترافه بما يتبين به بطلان نكاحه (
وعليه المهر إن دخل ) بها ( وإلا فنصفه ) إذ لا يقبل قوله عليها فى المهر وقولى فسخ
هو المراد بقوله فرق بينهما فهى فرقة فسخ لا طلاق ولا تنقص عدد الطلاق كما لو اقر
بالرضاع وتعبيرى بما يمنع صحته أعم من تعبيره بالفسخ (قوله فإن أقر الزوج إلخ )
هذا مفهوم الزوجين اى أما الزوج فقط او الزوجة فقط فكذا إهـ ( قوله فسخ النكاح )
اى يتبين بطلانه لا أنه بفسخ فاسخ إهـ ( وهو المراد بقوله فرق بينهما ) أوله
السبكى بالحكم بالبطلان وظاهر أنه لابد من الحكم بالبطلان ولا يكفى قوله فرقت
بينكما لكن تعبيره هنا بفسخ يقتضى أنه لابد من فاسخ وأن العقد الأول صحيح وليس
كذلك إهـ ح ل بل ينفسخ العقد من غير فاسخ بمجرد الإقرار فلو قال انفسخ النكاح لكان
أولى إهـ برماوى.
Tafshil
: Bila batal dari awal maka :
·
Jika
belum pernah di wathi maka wajib mengembalikan mahar.
·
Jika
sudah pernah di wathi dan mahar yang diterima sesuai dengan mahar mistilnya
maka tidak wajib mengembalikan, namun bila lebih dari mahar mistil maka harus
dikembalikan.
Bila batal akibat iqror suami akan kekufurannya maka istri tidak
wajib mengembalikan mahar bila sudah pernah di wathi dan wajib mengembalikan
separuh dari mahar musamma bila belum pernah di wathi
المحلى الجزء الثالث ص : 263 –
264
لو انفسخ النكاح بردة بعد وطء بان لم يجمعهما الإسلام فى المدة
فالمسمى لتقرره بالوطء ولا يرجع الزوج بعد الفسخ بالمهر الذى غرمه بالدخول على من
عزه فى الجديد والقديم يرجع به للتدليس عليه بإخفاء العيب المقارن للعقد اما الحادث
بعد اذا فسخ به فلا يرجع بالمهر فيه قطعا لانتفاء التدليس وسواء على القديم كان
المغروم مهر المثل ام المسمى واغارم الولي ام الزوجة بان سكت عن العيب وكانت اظهرت
له ان الوج عرفه .إهـ
Tidak sah
perkawinan seorang Islam dengan perempuan kristen yang tidak diketahui masuknya
orang tua dalam agama sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, jika perempuan itu
masuk islam dalam aqad nikah pertama, maka menjadi murtad dengan aqad nikah
kedua sebelum dukhul (bersetubuh) sehingga aqad nikah pertama menjadi batal.
Adapun anaknya tidak bisa ilhaq kepada lelaki tersebut.
Dasar pengambilan :
1)
I’anatu
Al Tholibin III / 296
Terjemah :
(peringatan)
Perlu diketahui menjadi syarat pula bagi perempuan yang dinikahi adalah islam,
atau kafir kitabi yang mencerai, baik
dari kafir dzimy maupun kafir harby. Maka halal dan makruh menikahi perempuan
isroiliyah denga syarat tidak diketahui masuknya bapak-bapaknya pada agama
tersebut setelah ada perubahan. Dan halal nikah selain isroiliyah dengan
syarat, diketahuinya masuknya orang tua pada agamanya sebelum diutusnya Nabi
Isa AS. Meskipun setelah dirubah jika dia mengetahui perubahan tersebut.
Apabila orang
kafir kitabi masuk islam dan ia punya istri yang berstatus kafir kitabi, maka
nikahnya masih tetap (sah dan tidak putus), meskipun masuknya Islam dia sebelum
dukhul (bersetubuh), atau apabila ada orang kafir wasani masuk Islam, dan
istrinya masih kafir wasani, dan perpisahan itu sebelum dukhul (bersetubuh)
maka perceraian itu terjadi (denga perbedaan agama), atau pisahnya setelah
dukhul namun si istri masuk Islam dalam masa iddah maka masih tetap sah
nikahnya, kalau tidak masuk Islam, maka batal nikahnya (cerai) itu sejaksuami
masuk Islam.
2)
Al
Muhadzab II / 44
Terjemah :
Barang siapa masuk agama yahudi dan nasrani setelah kitabnya
diganti, maka bagi orang Islam tidak boleh menikahi mereka (mesikpun sudah
dimerdekakan)
3)
Fathu
Al Wahab II / 64
Terjemah :
Dan murtad dari
kedua suami istri, atau salah satunya sebelum dukhul (bersetubuh) dan dengan
pengertian dukhul yaitu , memasukkan
mani sang suami pada vagina istri. Maka hal itu akan terjadi erat antara
keduanya. Karena nikah tidak dapat dikuatkan dengan dukhul (bersetubuh) atau
sesamanya.
Seansainya
dalam masa iddah keduanya kumpul bersama dalam Islam (sama-sama masuk Islam)
maka menjadi kekal pernikahan keduanya (tidak terjadi perceraian) karena
kekuatan nikah ada pada kesamaan agama. Kalau tidak bisa kumpul dalam satu
agama, maka perceraian terjadi sejak dia murtad keduanyan atau salah satunya.
4)
Bujairomi
IV / 202
Terjemah :
(far’un) orang
murtad jika kejadiannya sebelumnya murtad ada pada waktu murtad dan salah satu
orang tuanya Islam maka ia dihukumi Islam, karena mengikuti orang tuanya. Dan
Islam adalah tinggi (di Atas). Atau salah satu antara orang tuanya murtad, maka
ia dihukumi murtad karena mengikuti oarang tuanya. Bukan Islam dan bukan kafir.
a.
Fatwa
MUI
Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H,
bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan
beda agama atau kawin campur, hukumnya haram!
Hal ini, jelas MU, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai
berikut: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS
Al-Baqarah: 221).
Kemudian firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab
(Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk
orang-orang merugi.” (QS Al-Maidah: 5).
Dan firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS
Al-Mumtahanah:10).
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga
mendasarkan fatwanya pada hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa
telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu,
hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)
Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin
Sura’i: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan
oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama)
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Oleh sebab itu, kata MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan
laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki
Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim."
MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan
wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan
bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan
perkawinan tersebut hukumnya haram!"
2.
Bayi
Tabung
a.
Tarjih
Muhammadiyah
Sistem
bayi tabung adalah salah satu cara yang dilakukan oleh dokter ahli kandungan
untuk memenuhi keinginan suami isteri untuk memperoleh anak, karena dalam
persetubuhan mereka tidak dapat mempertemukan sperma suami dengan ovum isteri
dalam rahim isteri, padahal sperma suami dan ovum isteri dalam keadaan sehat
dengan arti keduanya dapat menghasilkan buah jika dapat bertemu. Oleh karena
itu dokter ahli kandungan melakukan sistem bayi tabung ini.
Caranya
ialah; dokter mengambil sperma suami dan ovum isteri, kemudian dipertemukan
dalam sebuah kapsul (tabung), lalu dimasukkan ke dalam rahim isteri. Terjadilah
pembuahan, lalu isteri hamil dan kemudian melahirkan. Proses yang demikian
dapat dibenarkan oleh agama Islam, karena sperma suami diletakkan dalam rahim
isteri yang dikawini dengan aqad yang sah, berdasarkan hadits:
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ اْلأَنْصَارِى
قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُ افْتَتَحَ
حُنَيْنًا فَقَامَ فَيْنَا خَاطِبًا فَقَالَ لاَ يَحِلُّ ِلاِمْرِءٍ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ.
[رواه أحمد].
Artinya:
“Diriwayatkan
dari Ruwaifi‘ bin Tsabit al-Anshari, ia berkata: Aku pernah beserta Nabi saw
waktu perang Hunain, beliau berdiri berkhutbah di antara kami, (antara lain)
beliau berkata: Tidak boleh bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir menyiramkan air (mani)nya ke ladang orang lain.” [HR. Ahmad].
Dari
hadits di atas dapat difahami bahwa air mani seorang laki-laki hanyalah boleh
diletakkan atau ditumpahkan ke faraj isterinya, dilarang
diletakkan atau ditumpahkan ke faraj yang bukan isterinya yang
tidak melakukan aqad nikah yang sah dengannya. Allah SWT berfirman:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ
إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا. [النسآء: 21].
Artinya:
“Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [QS. an-Nisaa, (4): 21].
Dari
ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa air mani suami hanya boleh
diletakkan pada faraj isteri yang memiliki ovum,
tidak boleh diletakkan pada faraj isterinya yang lain.
Pada
ayat yang lain ditegaskan bahwa isteri itu adalah seperti kebun tempat
menyemaikan benih, yang akan menjadi keturunan dari suami dan isteri. Allah SWT
berfirman:
نِسَائُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ
أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّكُمْ مُلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ. [البقرة: 223].
Artinya:
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
[QS. al-Baqarah (2): 223].
Dan
hadits:
عَنْ أًبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ
وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ.
[متفق عليه].
Artinya:
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Nabi saw bersabda: Anak itu milik tikar, bagi
pezina hukuman rajam.” [Muttafaq Alaih].
Yang
dimaksud dengan tikar (firasy) ialah suami isteri yang
telah terikat dengan aqad nikah yang sah. Anak yang lahir dari suami isteri
yang telah terikat dengan perkawinan yang sah ini diharapkan menjadi anak yang
shalih yang akan menjadi sumber pahala bagi orang tuanya, walaupun keduanya
telah meninggal dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
عَنْ أًبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أَوْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ. [رواه مسلم].
Artinya:
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Apabila seorang manusia
telah meninggal dunia putuslah semua amalnya, kecuali tiga hal; dari anak yang
shalih yang mendoakannya, dari shadaqah jariyah yang diberikan sebelum ia
meninggal, dan dari ilmu(nya) yang bermanfaat.” [HR. Muslim].
Timbul
persoalan; bagaimana jika kapsul itu diletakkan dalam rahim isteri kedua atau
isteri yang lain? Berdasarkan ayat dan hadits di atas, perbuatan yang demikian
dilarang karena ovum itu bukan milik isteri kedua atau isteri yang lain. Sperma
dan ovum yang ada dalam tabung itu hanya boleh diletakkan dalam rahim isteri
yang memiliki ovum. Jika kapsul itu diletakkan pada wanita yang lain atau
isteri yang tidak memiliki ovum, maka berdasarkan hadits di atas perbuatan itu
tidak dibenarkan.
b.
Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama
Berdasrakan keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU wilayah Jawa Timur
maka hukum bayi tabung adalah sebagai berikut:
1)
Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita
tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
2)
Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri,
tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.
3)
Bila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara
mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka
hukumnya boleh.
Keterangan:
1)
Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang
diperbolehkan oleh syara’
2)
Tentang anak yang dihasilkan dari sperma, tersebut dapat ilhaq atau
tidak kepada pemilik mani terdapat perbedaan pendapat antara imam ibnu hajar
dan imam romli
3)
Menurut
imam ibnu hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq ( baik
muhtarom atau tidak ) sedang menurut imam romli anak tersebut dapat ilhaq
kepada pemilik mani dengan syarat keluarnya mani tersebut harus muhtarom.
Dasar pengambilan Dalil:
1)
Al-jami’ul Shoghir hadis no. 8030
مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له.
رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير 8030
Terjemah:
Tidak
ada dosa yang lebih besar setelah syirik (mensekutukan Allah ) disisi Allah dari
pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal
baginya. ( HR. ibnu
abiddunya dari hasyim bin malik al-thoi).
2)
Hikmatu Tasyri’wal Safatuhu, II : 48
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه
Terjemah:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
jangan sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang
lain.
3)
Al-Qolyubi, IV : 32
ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ
نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ
حَرَامٌ.
Terjemah:
Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan
diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari
suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui),
karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang
tidak haram (suaminya).
( وَلَوْ أَتَتْ بِوَلَدٍ عَلِمَ أَنَّهُ
لَيْسَ مِنْهُ ) مَعَ إمْكَانِ كَوْنِهِ مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ
النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَهُ ، وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ
حَرَامٌ وَطَرِيقُ نَفْيِهِ اللِّعَانُ الْمَسْبُوقُ بِالْقَذْفِ فَيَلْزَمَانِ
أَيْضًا وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ قَذْفُهَا إذَا عَلِمَ زِنَاهَا ، أَوْ ظَنَّهُ
كَمَا تَقَدَّمَ فِي جَوَازِهِ ، وَإِلَّا فَلَا يَقْذِفُهَا لِجَوَازِ أَنْ
يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ قَالَهُ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ (
وَإِنَّمَا يَعْلَمُ ) أَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْهُ ( إذَا لَمْ يَطَأْ ) ( أَوْ
) وَطِئَ وَ ( وَلَدَتْهُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ الْوَطْءِ ) الَّتِي هِيَ
أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( أَوْ فَوْقَ أَرْبَعِ سِنِينَ ) الَّتِي هِيَ
أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( فَلَوْ وَلَدَتْهُ لِمَا بَيْنَهُمَا ).[12][5]
4)
Bujairimi Iqna’ IV : 36
( الحاصل ) المراد بالمنى المحترام حال خروجه
فقط على ما اعتمده مر وان كان غير محترم حال الدخول، كما اذا احتلم الزوج وأخذت
الزوجة منيه فى فرجها ظانة أنه من منىّ اجنبى فإن هذا محترم حال الخروج وغير محترم
حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر
لأنه يعتبر أن يكون محترما فى الحالين كماقرره شيخنا.
Terjemah:
(kesimpulan) yang dimaksud mani muhtarom (mulya) adalah pada
waktu keluarnya saja, seperti yang dikuatkan imam romli, meskipun tidak
muhtarom padawaktu masuk. Contoh : suami bermimpi keluar mani, dan istrinya
mengambilnya ( air mani tersebut) lalu dimasukan kefarjinya dengan persangkaan,
bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan suaminya) maka hal ini
dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom waktu masuknya kefarji,
dan dia wajib punya iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum
disetubui. Menurut yang mu’tamad, berbeda dengan pendatnya imam ibnu hajar yang
mengatakan, kreterianya harus muhtarom keduanya (waktu masuk dan keluar)
seperti ketetapan dari syaikuna ( Rofi’I Nawawi).
5)
Kifayatu Al-akhyar, II : 113
لو إستمنى الرجل منية بيد امرأته او امته جاز لأنها محل استمتاعها
Terjemah:
Jika seorang suami sengaja mengeluarkan air
maninya dengan perantara tangan istrinya, atau tangan perempuan amatnya, maka
boleh, karena perempuan tersebut tempat istima’ (senang-senang) bagi seorang
suami.
6)
Tuhfa, VI : 431 ( belum ketemu )
7)
Al-bajuri, II : 172
8)
Al-bughya : 238
c.
Fatwa
MUI
1)
Bayi
tabung dengan sperma clean ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya
adalah mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah
agama.
2)
Bayi
tabung dari pasangan suami istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya
dari istri kedua dititipkan di istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah
Sadd Adz-Dzariyah sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit kaitannya
dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkan dan sebaliknya).
3)
Bayi
tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram. Berdasarkan Sadd Adz-Dzariyah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dengan hal
pewarisan.
4)
Bayi
tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang
sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar
lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd
Adz-Dzariyah yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Fatwa
MUI Didasarkan Pada Firman Allah
Dan Sesungguhnya telah kam muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan [862], kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.[862] Maksudnya : Allah memudahkan
bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk
memperoleh penghidupan.
Berdasarkan ayat di atas, manusia diciptakan oleh Allah sebagai
makhluk mulia. Allah SWT telah berkenan memuliakan manusia, maka seharusnya manusia
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia dalam
hal ini, inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan
harkat manusia.
Hadits Nabi SAW yang artinya :
“Dari Ruwaifi Ibnu Tsabit Al-Ansyari ra ia berkata : saya pernah
bersama Rasulullah SAW telah perang Hunain, kemudian beliau bersabda : “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain)”.
Majelis
Mujamma’ Fiqih Islami
Menetapkan
:
1)
Lima
perkara di bawah ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat
mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta
perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
a)
Sperma
yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang
bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b)
Indung
telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari
pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokakan ke dalam rahim si
wanita.
c)
Sperma
dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung
persemaian benih mereka tersebut.
d)
Sperma
dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e)
Sperma
dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
2)
Dua
perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah
memastikan keamanan dan keselamatan.
a)
Sperma
tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya. Sperma si suami
diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke
dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
b)
Aurat
vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan
kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu
diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya
pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang
dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut
berhasil demi mendapatkan materi dunia.
KESIMPULAN
·
Dalam
beristinbat, Muhammadiyah melaluii alqur’an dan hadis. Jika tidak ditemukan
jawabannya secara langsung dari alqur’an dan sunah, maka Muhammadiyah
menggunakan ijtihad dengan istinbat dari nash yang ada melalui persamaan ilat
(alasan hukum). Secara umum, Muhammadiyah dalam beristinbat menggunakan metode
ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istishlahi.
·
Dalam
beristinbat, Nahdlatul Ulama mengambil teks atau nash asal yang ada
dalam alqur’an atau sunah dan menggunakan qiyas dan memberlakukan
secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya. Dan kebanyakan fatwa NU bersumber dari Imam Syafi’i. NU juga
mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada para mujtahid, bila
terjadi perbedaan pendapat, maka diambil keputusan dengan yang paling kuat.
·
MUI dalam menggali hukum menggunakan alqur’an
dan sunah sebagai sumber utama. Ayat alqur’an dan hadis difahami dan
ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran alqur’an. Ayat dan hadis
ditafsirkan dengan memperhatikan konteks masa kini, di samping memperhatikan
konteks ketika ayat itu diturunkan atau ketika hadis dinyatakan. Kemudian
dianalisis dengan mempertimbangkan hasil pengembangan iptek. Dalam berbagai
pertimbangan, yang dijadikan ukuran untuk menetapkan hukum adalah konsep
kemaslahatan. Dan pendapat mazhab ahli ushul klasik diletakkan sebagai contoh
sejarah, yang telahpun pernah ada dalam penyelesaian persoalan perpadanan
[1] Kholid
Mawardi, Mahzab Sosial Keagamaan NU (Yogyakarta; STAIN Purwokerto
Press), hlm. 1.
[2] Imam Yahya, Dinamika
Ijtihad NU (Semarang; waliongo Press, 2009), hlm. 1
[3] Bagian Bidang POM dan IPTEK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Emir, 2015), h. xxix
[4] Sahal Mahfudh,
Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Mukatamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M) (Surabaya; Khalista,
2007) hlm. 446-448.
[5] Sahal Mahfudh,
Ahkamul Fuqaha..., hlm. 448-449.
[6] Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet
III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 326.
[7] Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV,
(Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 16.
[8] M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
[10] Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, jilid II cet. IV,
(Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 16.
[11] Bagian Bidang POM dan IPTEK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Emir, 2015), hlm. xlv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar