Kamis, 15 Februari 2018

MUHAMMADIYAH, NU, DAN MUI



Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan agama-agama lain, seperti hindu, budha, kristen dan sebagainya jauh lebih sedikit pemeluknya dibandingkan dengan agama Islam. Namun, Islam sendiri di Indonesia terbagi-bagi menjadi beberapa golongan atau organisasi, yang masing-masing punya banyak perbedaan-perbedaan. Seperti tiga organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiga organisasi Islam ini sangat berperan penuh terhadap perkembangan Indonesia, baik aspek sosial, ekonomi, agama, budaya dan sebagainya. Hal yang menarik di sini adalah, walaupun ketiga organisasi Islam ini bersama-sama ikut andil dalam pengembangan Indonesia, sebenarnya ketiga organisasi Islam ini mempunyai perbedaan-perbedaan, salah satunya adalah metode istinbat yang digunakan dalam menetapkan suatu hukum.


A.  Muhammadiyah, NU, dan MUI
1.      Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah  yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama, faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif  di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam Indonesia.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhai Allah swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:

(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah swt yang dibawa oleh Rasulullah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad saw.
(2) Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
(3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
(4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Lihat Tanfidz Keputusan Musyawarah Wilayah ke-39 Muhammadiyah Sumatera Barat tahun 2005 di Kota Sawahlunto.

2.      Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama merupakan fenomena yang unik dalam dunia muslim. NU adalah sebuah organisasi ulama tradisionalis yang memiliki pengikut dalam jumlah besar dan merupakan organisasi non pemerintah yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah. Sekitar dua puluh juta muslim merasa terikat kepadanya melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial. Kemandirian kiai-kiai lokal NU sebagai penyangga moral organisasi ini menyebabkan NU menjadi organisasi yang sangat terdesentralisasi.[1]
Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 januari 1926 di Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga jami’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis masa yang yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat yang mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal Islam.[2]

3.      Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan suatu wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh masyarakat.[3]
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
  • memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
  • memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
  • menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
  • meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Lima Peran MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
  • Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
  • Sebagai pemberi fatwa (mufti)
  • Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
  • Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
  • Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar

B.  Metode Muhammadiyah, NU, dan MUI
1.      Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Metode yang digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut :
1.   Ijtihad Bayani
Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam, yaitu :
a)   Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata dalam surat Shad ayat 73:
Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya
Kata “malaikat” mengandung kata umumseluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b)   Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang mujmal menjadi mufshal, kata-kata khafi yang tersembunyi makna dan maksudnya, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil, yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan makna yang dapat diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW:
Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat
Maka kata-kata itu dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.
c)   Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.
a.       Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendiri dan bersambung, yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil. Artinya, kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung, seperti:
1)   Istitsna’, contohnya ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2)   Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang mempunyai kemampuan.
3)   Sifat, contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita yang beriman, bukan semua budak beriman.
4)   Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang telah mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud baik.
5)   Ghayah, contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang berbuat bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat dakwah ajakan Rasul.
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal seperti ini, perlu ijtihad dengan bayan taghyir, seperti dalam surat al-Nur ayat 4, bahwa orang yang menuduh orang lain tanpa bukti dicambuk 80 kali. Dalam ayat 6-9, suami istri yang dituduh menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk dengan sistem hukum “li’an”
b.       Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang mutlaq menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid dari lafazh mutlag, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat al-Maidah, bahwa allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am, Allah menyebutkanyang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan), yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh iyu muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir
Dari segi mencari hukum yang lebih mashlahah untuk dilakukan, makna bayan taghyir, atau dengan menerapakan prinsip sadd-u ‘l-dzari’ah.
d)   Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seoranh mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan dalam dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Nasikh-mansukh dalam al-Qur’an bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat yang bermaksud umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang  jelas, ada nasikh mansukh pada sunnah/al-Hadits. Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudian membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya yang berbunyi:”Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk ziarah kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR. Ibnu Majah)
e)   Bayan Dlarurah
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan. Bayan  ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. Bayan Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
a.        Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11:
Artinya :”Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”
Dalam ayat itu tidak disebutkan ketentuan sisa yang diambil dari  sepertiga untuk ibunya. Padahal dalam ayat tersebut disebutkan pewarisnya adlah ayah dan ibunya. Tidak menyebutkan yang mendapat sisa bagian sesudah diiambil ibu sepertiga mengandung pengertian bahwa disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan setelah diambil sepertiga oleh ibu, maka sisanya yaitu dua pertiga menjadi bagian ayah.
Ø Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi penjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW waaktu menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya anak itu dianggap setuju.
b.       Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang diampunya melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang lain, didasarkan sabda Nabi SAW.
c.        Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab menghitungnya.
2.   Ijtihad Qiyasi
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya,menghisap ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi
3.   Ijtihad Istishlahi
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
a)   Metode Istihsan
·         Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi
·         Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari kesempitan.
b)   Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan) maka patut dilarang, dengan dasar sad-u ‘l-dzari’ah. Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
c)   Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh), dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam halini adalah melakukan penelitian sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan mafsadah yang akan terdapat, apabila ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.
d)  Menetapakan hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada, berlaku mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang lebih besar
e) Ijtihad  dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperti dalam memahami ayat 12 Saba’, yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman as diberi kemampuan (oleh Allah) mengendalikan angin. Itu merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada nabi Sulaiman as. Kita bukan berfikir, bagaimana cara untuk mendapatkan kemampuan mengendalikan angin yang bersifat mukjizat itu. Tetapi hendaknya kita berfikir dan meneliti, apakah angin itu? Bagaimana dapat terjadinya angin? Apa yang dapat diketahui tentang sebab musabab terjadinya angin? Apa mudlarat dan manfaat yang ditimbulkan oleh adanya angin?
Dengan melihat pada ayat-ayat yang menyebutkan tentang pada surat ar-Rum aytat 48, bahwa hakikat terjadinya angin adlah kehendak Allah, yang fenomenanya angin itu menyebabkan awan yang merata sesuai dengan kehendakNya dan membawa hujan, yang hujan itu dapat menyuburkan tanah/bumi, yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Dalam ayat selanjutnya, Allah memerintahkan kita agar berfikir tentang rahmat Allah yang ditimbulkan oleh angin yang meratakan awan, meratakan/menurunkan hujan dan menyuburkan tanah. Sebaliknya angin juga dapat membuat bencana fenomena lain, angin dapaat menjadi perkawinan bunga, sehingga menjadi buah, seperti tersebut dalam surat al-Hijr ayat 22
Memahami ayat-ayat tersebut tidaklah berarti kita berfikir secara tekstual, bahwa untuk mengkawinkan bunga-bunga agar menghasilkan buah hanya yang ditimbulkan oleh angin belaka, tetapi juga menggunakan nalar berdasarkan tajribiyah (percobaan-percobaan), sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW tatkala menjumpai orang-orang Madinah melakukan memindahkan sari bunga, dengan cara yang telah dilakukan sejak lama dan berhasil yang kemudian Nabi pun menyerahkan kepada ummat dan sekaligus membolehkan cara-cara tersebut (cara-cara itu merupakan embrio teknologi tepat guna dalam Islam), dengan sabdanya:”Kamu lebih mengetahui urusan-urusan dunia mu”.
Adapun tajdid Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Contoh tajdid:
Kalau dalam perkembangan pertama sampai pertengahan abad 20 Muhammadiyah berhadapan dengan persoalan khilafiyah dan pemurnian aqidah, maka pada akhir abad 20 menjelang awal abad 21 organisasi ini sudah berhadapan dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan umat Islam, baik dalam skala nasional maun internasional. Kecenderungan itu didasarkan asumsi bahwa Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, difahami oleh umat Islam dengan pemahaman dan cara pandang yang berbeda. Secara garis besar, kecenderungan untuk memehami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.

2.      Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Sistem pengambilan keputusan hukum[4]:
a.       Prosedur penjawaban masalah
1)      Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut
2)      Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah
3)      Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ihlaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya
4)      Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan instinbath, jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
b.      Hirarki dan Sifat keputusan bahtsul masail
1)      Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederaat dan tidak saling membatalkan.
2)      Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun muktamar
3)      Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a)      Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau
b)      Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
c.       Kerangka analisis masalah
1)      Analisa masalah
a)      Faktor ekonomi
b)      Faktor budaya
c)      Faktor politik
d)     Faktor sosial dan lainnya
2)      Analisa dampak
a)      Secara sosial ekonomi
b)      Secara sosial budaya
c)      Secara sosial politik
d)     Dan lain-lain
3)      Analisa hukum
a)      Standar hukum(sah/batal)
b)      Dasar dari ahlussunnah wal jama’ah
c)      Hukum positif
4)      Analisa tindakan
a)      Jalur politik
b)      Jalur budaya
c)      Jalur ekonomi
d)     Jalur sosial dan lainnya
Petunjuk pelaksanaan[5]:
a.       Prosedur pemilihan qaul/wajah
1)      Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat
2)      Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:
a)      Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat
b)      Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Mukatamr NU ke 1, bahwa pendapat diselesaikan dengan memilih:
Ø  Pendapat yang disepakati oleh Asy-Sayikani (al-nawawi dan rafi’i)
Ø  Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi saja.
Ø  Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i saja
Ø  Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
Ø  Pendapat ulama yang terpandai
Ø  Pendapat ulama yang paling wara’
b.      Prosedur Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kass belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-masailbi naza]h’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilahi oleh para mulhiq yang ahli.
c.       Prosedur instinbath
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id al ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah oleh para ahlinya.

3.      Fatwa MUI
Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahidatau faqih atasjawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.[6] Hal ini disebabkan, fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal responsif.[7]
Fatwa muncul karena adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan akibat dari perkembangansosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan fatwa.[8] Pada dasarnya fatwa memberikan suatu reaksi terhadap isu-isu dalam mereflesikan intelektualisme dan politik pada masa itu.[9]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasehat. Pihak yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta disebut al-Mustfti. Peminta Fatwa bisa berupa perorangan, lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.[10]
Mayoritas ulama ushul mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut.
Sejak berdirinya tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah banyak mengeluarkan fatwa yang mencangkup bidang kehidupan, yaitu ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, ilmu kedokteran, keluarga berencana, gerakan Islam dan lain sebagainya.
Adapun metode yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya, seperti yang tercantum dalam dasar-dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:[11]
a.     Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan kemashlahatan umat.
b.    Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd az-Zari’ah.
c.     Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
d.    Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Dari dasar-dasar umum penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, dapat diambil kesimpulan bahwa yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya adalah pertama dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahlidalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.

C.  Contoh Masalah
1.      Perkawinan Beda Agama
a.    Tarjih  Muhammadiyah
Berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah yang ke 22 di Jawa Timur maka hukum nikah beda agama menurut Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1)   Hukum nikah beda agama
para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya).
Dalilnya firman Allah artinya "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."( Al-Baqarah {2]: 221).
Yang diperselisihkan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh, Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
a)    Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi saw. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan babwa  Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
b)   Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c)    Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.
d)   Sebagai upaya syadz-adz-dzari'ah  (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suamilistri dan anak-anak yang akan dilahirkan.Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boieh menikahi wanita Ahlui Kitab menurut sebagian ulama, sebagaimana kami katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak menganjurkan perkawinan tersebut karena syarat wanitaAhlul Kitab yang disebut dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan, yang artinya wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak  (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman  (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapusfah amalannya dan la di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."( Al-Maidah [5j:
e)    Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama, karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya  itu." ini artinya, negara kita tidak mewadahi  dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki  beragama Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara,  perkawinan  tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan Sipil  sebagaimana penduduk non muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka  disana. Perlu ditekankan di sini, pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa  terpojokkan sehingga "HARUS" menikahi  wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu bisa saja terjadi  karena atas dasar suka sama suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar  menikahkan mereka berdua dengan cara  Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus  dilakukan semaksimal mungkin.
2)             Status anak
Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami jelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah  maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah. Dan perzinaan itu tidak menimbulkan dampak menetapan nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang berzina dengan  ibunya), menurut kesepakatan jumhur  (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik,menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah
hadits berikut: 
Artinya "Rasulullah saw bersabda: "Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)"."(al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam. Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHl) pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk Islam, maka jika anak tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki-laki Muslim tersebut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang Sah. Namun jika anak hasil zina tersebut  lahir sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan laki-laki Muslim tersebut tetap bretanggung jawab terhadap nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. TApi daris egi perwalian dan pewarisan, laki-laki musluim tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris mewarisi dengannya. Ini menurut ulama fiqih.
Namun perlu diketengahkan disini bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat dinasabkan kepada si laki-laki muslim di atas karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: (a) Anak dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan demikian demi kemaslahatan tersebut 
3)   Mengenai tindakan orang tua laki-laki Muslim di atas sebaiknya tetap berusaha untuk menikahkan keduanya secara Islam, yaitu KUA
4)   Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkawinan jika proses perkawinan seperti yang dikehenadaki keluarga katolik itu terjadi, saudara boleh menghadiri bila diundang.

b.   Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Berdasarkan keputusan Muktamar NU ke 28 di Jogjakarta maka adapun hukum Nikah beda agama menurut Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:
Nikahnya dihukumi sah sejak awal bila pada saat mengucapkan sahadat tidak ada sesuatu yang menafikan sahadatnya. (yang bersifat ucapan atau perbuatan). Namun setelah adanya pengakuan dari bule, nikahnya rusak (faskh) dengan sendirinya.

اسعاد الرفيق الجزء الأول ص: 16-17

إتحاد سادة المتقين الجزء الثانى ص:246-
الدرجة السادسة: أن يقول بلسانه لآإله إلا الله محمد الرسول الله ولكن لم يصدق بقلبه فلا نشك  فى أن هذا فى حكم الآخرة من الكفار وأنه مخلد بالنار ولا نشك فى أنه فى حكم الدنيا الذى يتعلق بالأئمة والولاة من المسلمين لأن قلبه لا يطلع عليه وعلينا أن نظن به أنه ما قاله بلسانه إلا وهو منطو عليه فى قلبه وإنما نشك فى أمر ثالث وهو الحكم الدنيوى فيما بينه وبين الله تعالى وذلك بان يموت له فى الحال قريب مسلم ثم يصدق بعد ذلك بقلبه ثم يستفتى ويقول كنت غير مصدق حالة الموت والميراث الآن فى يدى وهل يحل لى بينى وبين الله تعالى او نكح مسلمة ثم صدق بقلبه هل تلزمه إعادة النكاح هذا محل نظر فيحتمل ان يقال أحكام الدنيا منوطة بالقول الظاهر ظاهرا وباطنا ويحتمل ان يقال تناظ بالظاهر فى حق غيره لأن باطنه غير ظاهر لغيره وباطنه ظاهر له فى نفسه بينه وبين الله تعالى والأظهر والعلم عند الله تعالى إنه لا يحل له ذلك الميراث ويلزمه إعادة النكاح.

3.    نهاية الزين ص: 307
و لو اقر الزوج بما يمنع صحة النكاح فسخ مؤاخذة له بقوله هذة الفرقة لا تنقص عدد الطلاق وعليه المهر ان دخل بها والا فنصفه ولا يرثها و ورثته لكن بعد حلفها وجوبا انه عقد بعدلين . إهـ

4.    جمل على المنهج الجزء الرابع ص:143
( فإن أقر الزوج ) دون الزوجته ( به فسخ ) النكاح لإعترافه بما يتبين به بطلان نكاحه ( وعليه المهر إن دخل ) بها ( وإلا فنصفه ) إذ لا يقبل قوله عليها فى المهر وقولى فسخ هو المراد بقوله فرق بينهما فهى فرقة فسخ لا طلاق ولا تنقص عدد الطلاق كما لو اقر بالرضاع وتعبيرى بما يمنع صحته أعم من تعبيره بالفسخ (قوله فإن أقر الزوج إلخ ) هذا مفهوم الزوجين اى أما الزوج فقط او الزوجة فقط فكذا إهـ ( قوله فسخ النكاح ) اى يتبين بطلانه لا أنه بفسخ فاسخ إهـ ( وهو المراد بقوله فرق بينهما ) أوله السبكى بالحكم بالبطلان وظاهر أنه لابد من الحكم بالبطلان ولا يكفى قوله فرقت بينكما لكن تعبيره هنا بفسخ يقتضى أنه لابد من فاسخ وأن العقد الأول صحيح وليس كذلك إهـ ح ل بل ينفسخ العقد من غير فاسخ بمجرد الإقرار فلو قال انفسخ النكاح لكان أولى إهـ برماوى.

Tafshil : Bila batal dari awal maka :
·         Jika belum pernah di wathi maka wajib mengembalikan mahar.
·         Jika sudah pernah di wathi dan mahar yang diterima sesuai dengan mahar mistilnya maka tidak wajib mengembalikan, namun bila lebih dari mahar mistil maka harus dikembalikan.

Bila batal akibat iqror suami akan kekufurannya maka istri tidak wajib mengembalikan mahar bila sudah pernah di wathi dan wajib mengembalikan separuh dari mahar musamma bila belum pernah di wathi

المحلى الجزء الثالث ص : 263 –  264
لو انفسخ النكاح بردة بعد وطء بان لم يجمعهما الإسلام فى المدة فالمسمى لتقرره بالوطء ولا يرجع الزوج بعد الفسخ بالمهر الذى غرمه بالدخول على من عزه فى الجديد والقديم يرجع به للتدليس عليه بإخفاء العيب المقارن للعقد اما الحادث بعد اذا فسخ به فلا يرجع بالمهر فيه قطعا لانتفاء التدليس وسواء على القديم كان المغروم مهر المثل ام المسمى واغارم الولي ام الزوجة بان سكت عن العيب وكانت اظهرت له ان الوج عرفه .إهـ 
Tidak sah perkawinan seorang Islam dengan perempuan kristen yang tidak diketahui masuknya orang tua dalam agama sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, jika perempuan itu masuk islam dalam aqad nikah pertama, maka menjadi murtad dengan aqad nikah kedua sebelum dukhul (bersetubuh) sehingga aqad nikah pertama menjadi batal. Adapun anaknya tidak bisa ilhaq kepada lelaki tersebut.
Dasar pengambilan :
1)   I’anatu Al Tholibin III / 296
Terjemah :
(peringatan) Perlu diketahui menjadi syarat pula bagi perempuan yang dinikahi adalah islam, atau kafir kitabi  yang mencerai, baik dari kafir dzimy maupun kafir harby. Maka halal dan makruh menikahi perempuan isroiliyah denga syarat tidak diketahui masuknya bapak-bapaknya pada agama tersebut setelah ada perubahan. Dan halal nikah selain isroiliyah dengan syarat, diketahuinya masuknya orang tua pada agamanya sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Meskipun setelah dirubah jika dia mengetahui perubahan tersebut.
Apabila orang kafir kitabi masuk islam dan ia punya istri yang berstatus kafir kitabi, maka nikahnya masih tetap (sah dan tidak putus), meskipun masuknya Islam dia sebelum dukhul (bersetubuh), atau apabila ada orang kafir wasani masuk Islam, dan istrinya masih kafir wasani, dan perpisahan itu sebelum dukhul (bersetubuh) maka perceraian itu terjadi (denga perbedaan agama), atau pisahnya setelah dukhul namun si istri masuk Islam dalam masa iddah maka masih tetap sah nikahnya, kalau tidak masuk Islam, maka batal nikahnya (cerai) itu sejaksuami masuk Islam.
2)   Al Muhadzab II / 44
Terjemah :
Barang siapa masuk agama yahudi dan nasrani setelah kitabnya diganti, maka bagi orang Islam tidak boleh menikahi mereka (mesikpun sudah dimerdekakan)
3)   Fathu Al Wahab II / 64
Terjemah :
Dan murtad dari kedua suami istri, atau salah satunya sebelum dukhul (bersetubuh) dan dengan pengertian dukhul  yaitu , memasukkan mani sang suami pada vagina istri. Maka hal itu akan terjadi erat antara keduanya. Karena nikah tidak dapat dikuatkan dengan dukhul (bersetubuh) atau sesamanya.
Seansainya dalam masa iddah keduanya kumpul bersama dalam Islam (sama-sama masuk Islam) maka menjadi kekal pernikahan keduanya (tidak terjadi perceraian) karena kekuatan nikah ada pada kesamaan agama. Kalau tidak bisa kumpul dalam satu agama, maka perceraian terjadi sejak dia murtad keduanyan atau salah satunya.
4)   Bujairomi IV / 202
Terjemah :
(far’un) orang murtad jika kejadiannya sebelumnya murtad ada pada waktu murtad dan salah satu orang tuanya Islam maka ia dihukumi Islam, karena mengikuti orang tuanya. Dan Islam adalah tinggi (di Atas). Atau salah satu antara orang tuanya murtad, maka ia dihukumi murtad karena mengikuti oarang tuanya. Bukan Islam dan bukan kafir.

a.      Fatwa MUI
Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram!
Hal ini, jelas MU, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia  supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).
Kemudian firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maidah: 5).
Dan firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS Al-Mumtahanah:10).
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)
Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Oleh sebab itu, kata MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim."
MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!"

2.      Bayi Tabung
a.      Tarjih Muhammadiyah
Sistem bayi tabung adalah salah satu cara yang dilakukan oleh dokter ahli kandungan untuk memenuhi keinginan suami isteri untuk memperoleh anak, karena dalam persetubuhan mereka tidak dapat mempertemukan sperma suami dengan ovum isteri dalam rahim isteri, padahal sperma suami dan ovum isteri dalam keadaan sehat dengan arti keduanya dapat menghasilkan buah jika dapat bertemu. Oleh karena itu dokter ahli kandungan melakukan sistem bayi tabung ini.
Caranya ialah; dokter mengambil sperma suami dan ovum isteri, kemudian dipertemukan dalam sebuah kapsul (tabung), lalu dimasukkan ke dalam rahim isteri. Terjadilah pembuahan, lalu isteri hamil dan kemudian melahirkan. Proses yang demikian dapat dibenarkan oleh agama Islam, karena sperma suami diletakkan dalam rahim isteri yang dikawini dengan aqad yang sah, berdasarkan hadits:
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ اْلأَنْصَارِى قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُ افْتَتَحَ حُنَيْنًا فَقَامَ فَيْنَا خَاطِبًا فَقَالَ لاَ يَحِلُّ  ِلاِمْرِءٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ. [رواه أحمد].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ruwaifi‘ bin Tsabit al-Anshari, ia berkata: Aku pernah beserta Nabi saw waktu perang Hunain, beliau berdiri berkhutbah di antara kami, (antara lain) beliau berkata: Tidak boleh bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan air (mani)nya ke ladang orang lain.” [HR. Ahmad].
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa air mani seorang laki-laki hanyalah boleh diletakkan atau ditumpahkan ke faraj isterinya, dilarang diletakkan atau ditumpahkan ke faraj yang bukan isterinya yang tidak melakukan aqad nikah yang sah dengannya. Allah SWT berfirman:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا. [النسآء: 21].
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [QS. an-Nisaa, (4): 21].
Dari ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa air mani suami hanya boleh diletakkan pada faraj isteri yang memiliki ovum, tidak boleh diletakkan pada faraj isterinya yang lain.
Pada ayat yang lain ditegaskan bahwa isteri itu adalah seperti kebun tempat menyemaikan benih, yang akan menjadi keturunan dari suami dan isteri. Allah SWT berfirman:
نِسَائُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ. [البقرة: 223].
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” [QS. al-Baqarah (2): 223].
Dan hadits:
عَنْ أًبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ.
 [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Nabi saw bersabda: Anak itu milik tikar, bagi pezina hukuman rajam.” [Muttafaq Alaih].
Yang dimaksud dengan tikar (firasy) ialah suami isteri yang telah terikat dengan aqad nikah yang sah. Anak yang lahir dari suami isteri yang telah terikat dengan perkawinan yang sah ini diharapkan menjadi anak yang shalih yang akan menjadi sumber pahala bagi orang tuanya, walaupun keduanya telah meninggal dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
عَنْ أًبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Apabila seorang manusia telah meninggal dunia putuslah semua amalnya, kecuali tiga hal; dari anak yang shalih yang mendoakannya, dari shadaqah jariyah yang diberikan sebelum ia meninggal, dan dari ilmu(nya) yang bermanfaat.” [HR. Muslim].
Timbul persoalan; bagaimana jika kapsul itu diletakkan dalam rahim isteri kedua atau isteri yang lain? Berdasarkan ayat dan hadits di atas, perbuatan yang demikian dilarang karena ovum itu bukan milik isteri kedua atau isteri yang lain. Sperma dan ovum yang ada dalam tabung itu hanya boleh diletakkan dalam rahim isteri yang memiliki ovum. Jika kapsul itu diletakkan pada wanita yang lain atau isteri yang tidak memiliki ovum, maka berdasarkan hadits di atas perbuatan itu tidak dibenarkan.

b.      Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Berdasrakan keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU wilayah Jawa Timur maka hukum bayi tabung adalah sebagai berikut:
1)   Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
2)   Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.
3)   Bila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.

Keterangan:
1)   Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’
2)   Tentang anak yang dihasilkan dari sperma, tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani terdapat perbedaan pendapat antara imam ibnu hajar dan imam romli
3)   Menurut imam ibnu hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq ( baik muhtarom atau tidak ) sedang menurut imam romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik mani dengan syarat keluarnya mani tersebut harus muhtarom.

Dasar pengambilan Dalil:
1)      Al-jami’ul Shoghir hadis no. 8030

مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير 8030
Terjemah:
Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (mensekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. ( HR. ibnu abiddunya dari hasyim bin malik al-thoi).

2)      Hikmatu Tasyri’wal Safatuhu, II : 48

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه
Terjemah:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang lain.
3)      Al-Qolyubi, IV : 32

ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ.
Terjemah:
Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang tidak haram (suaminya).
( وَلَوْ أَتَتْ بِوَلَدٍ عَلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ ) مَعَ إمْكَانِ كَوْنِهِ مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَهُ ، وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ وَطَرِيقُ نَفْيِهِ اللِّعَانُ الْمَسْبُوقُ بِالْقَذْفِ فَيَلْزَمَانِ أَيْضًا وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ قَذْفُهَا إذَا عَلِمَ زِنَاهَا ، أَوْ ظَنَّهُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي جَوَازِهِ ، وَإِلَّا فَلَا يَقْذِفُهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ قَالَهُ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ ( وَإِنَّمَا يَعْلَمُ ) أَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْهُ ( إذَا لَمْ يَطَأْ ) ( أَوْ ) وَطِئَ وَ ( وَلَدَتْهُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ الْوَطْءِ ) الَّتِي هِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( أَوْ فَوْقَ أَرْبَعِ سِنِينَ ) الَّتِي هِيَ أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( فَلَوْ وَلَدَتْهُ لِمَا بَيْنَهُمَا ).[12][5]

4)   Bujairimi Iqna’ IV : 36

( الحاصل ) المراد بالمنى المحترام حال خروجه فقط على ما اعتمده مر وان كان غير محترم حال الدخول، كما اذا احتلم الزوج وأخذت الزوجة منيه فى فرجها ظانة أنه من منىّ اجنبى فإن هذا محترم حال الخروج وغير محترم حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر أن يكون محترما فى الحالين كماقرره شيخنا.
Terjemah:
(kesimpulan) yang dimaksud mani muhtarom (mulya) adalah pada waktu keluarnya saja, seperti yang dikuatkan imam romli, meskipun tidak muhtarom padawaktu masuk. Contoh : suami bermimpi keluar mani, dan istrinya mengambilnya ( air mani tersebut) lalu dimasukan kefarjinya dengan persangkaan, bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan suaminya) maka hal ini dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom waktu masuknya kefarji, dan dia wajib punya iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum disetubui. Menurut yang mu’tamad, berbeda dengan pendatnya imam ibnu hajar yang mengatakan, kreterianya harus muhtarom keduanya (waktu masuk dan keluar) seperti ketetapan dari syaikuna ( Rofi’I Nawawi).
5)   Kifayatu Al-akhyar, II : 113

لو إستمنى الرجل منية بيد امرأته او امته جاز لأنها محل استمتاعها
Terjemah:
Jika seorang suami sengaja mengeluarkan air maninya dengan perantara tangan istrinya, atau tangan perempuan amatnya, maka boleh, karena perempuan tersebut tempat istima’ (senang-senang) bagi seorang suami.
6)   Tuhfa, VI : 431 ( belum ketemu )
7)   Al-bajuri, II : 172
8)   Al-bughya : 238

c.       Fatwa MUI
1)   Bayi tabung dengan sperma clean ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya adalah mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2)   Bayi tabung dari pasangan suami istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya dari istri kedua dititipkan di istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd Adz-Dzariyah sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkan dan sebaliknya).
3)   Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Berdasarkan Sadd Adz-Dzariyah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dengan hal pewarisan.
4)   Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd Adz-Dzariyah yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Fatwa MUI Didasarkan Pada Firman Allah
Dan Sesungguhnya telah kam muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan [862], kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.[862] Maksudnya : Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Berdasarkan ayat di atas, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk mulia. Allah SWT telah berkenan memuliakan manusia, maka seharusnya manusia menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia dalam hal ini, inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia.
Hadits Nabi SAW yang artinya :
Dari Ruwaifi Ibnu Tsabit Al-Ansyari ra ia berkata : saya pernah bersama Rasulullah SAW telah perang Hunain, kemudian beliau bersabda : “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain)”.
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami
Menetapkan :
1)   Lima perkara di bawah ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
a)      Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b)      Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokakan ke dalam rahim si wanita.
c)      Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d)     Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e)      Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
2)   Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan.
a)    Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
b)   Aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia.




KESIMPULAN
·         Dalam beristinbat, Muhammadiyah melaluii alqur’an dan hadis. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dari  alqur’an dan sunah, maka Muhammadiyah menggunakan ijtihad dengan istinbat dari nash yang ada melalui persamaan ilat (alasan hukum). Secara umum, Muhammadiyah dalam beristinbat menggunakan metode ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istishlahi.
·         Dalam beristinbat, Nahdlatul Ulama mengambil teks atau nash asal yang ada   dalam alqur’an atau sunah dan menggunakan qiyas dan memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Dan kebanyakan fatwa NU bersumber dari Imam Syafi’i. NU juga mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada para mujtahid, bila terjadi perbedaan pendapat, maka diambil keputusan dengan yang paling kuat.
·          MUI dalam menggali hukum menggunakan alqur’an dan sunah sebagai sumber utama. Ayat alqur’an dan hadis difahami dan ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran alqur’an. Ayat dan hadis ditafsirkan dengan memperhatikan konteks masa kini, di samping memperhatikan konteks ketika ayat itu diturunkan atau ketika hadis dinyatakan. Kemudian dianalisis dengan mempertimbangkan hasil pengembangan iptek. Dalam berbagai pertimbangan, yang dijadikan ukuran untuk menetapkan hukum adalah konsep kemaslahatan. Dan pendapat mazhab ahli ushul  klasik diletakkan sebagai contoh sejarah, yang telahpun pernah ada dalam penyelesaian persoalan perpadanan



[1] Kholid Mawardi, Mahzab Sosial Keagamaan NU (Yogyakarta; STAIN Purwokerto Press), hlm. 1.
[2] Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU (Semarang; waliongo Press, 2009), hlm. 1
[3] Bagian Bidang POM dan IPTEK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Emir, 2015), h. xxix
[4] Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Mukatamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M) (Surabaya; Khalista, 2007) hlm. 446-448.
[5] Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha..., hlm. 448-449.
[6] Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 326.
[7] Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 16.
[8] M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
[9] M. B. Hooker, Islam Mazhab...., hlm 21.
[10] Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 16.
[11] Bagian Bidang POM dan IPTEK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Emir, 2015), hlm. xlv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar