Keberadaan lembaga pendidikan merupakan jawaban terhadap zaman,
muncul, tumbuh, mengakar dari dalam masyarakat. Salah satunya adalah lembaga
pendidikan Islam. muncul setelah Allah memberikan amanah kerasulan kepada Muhammad
saw, di gua hira, ditandai dengan turunnya surat al-Alaq ayat 1-5. Tuntutan
wahyu pertama ini menghendaki manusia pada waktu itu harus melakukan proses
pendidikan dan pembelajaran.
Instruksi Allah tersebut dilaksanakan oleh Muhammad Rasulullah dengan
mengumpulkan para sahabatnya di rumah al-Arqam bin Arqam sekaligus langsung
bertindak sebagai mudaris (guru). Maka berlangsunglah institusi lembaga
pendidikan Islam pertama dalam Islam, kemudian dikembangkan dalam bentuk
kuttab, masjid, saloon sastra, dan madrasah. Perkembangan tersebut berjalan
sesuai dengan peran aktif masyarakat dan pemerintah serta tokoh-tokoh ulama
pada waktu itu, sehingga perjalanan sejarah institusi lembaga pendidikan Islam
tersebut tempat mutakhir tinta emas dalam perkembangan ilmu dengan melahirkan
tokoh-tokoh intelektual Islam yang mengagumkan dunia. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan beberapa institusi pendidikan Islam pra lahirnya sistem
madrasah
A.
Kuttab
Dalam Ensiklopedia Islam dijelaskan bahwa: kuttab adalah
sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab
berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi
anak-anak.[1]
Kuttab merupakan lembaga pendidikan Islam yang terlama. Menurut
Asma Hasan Fahmi dalam bukunya Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Kuttab
didirikan oleh orang Arab padamasa Abu Bakar dan Umar, yaitu sesudah mereka
melakukan penaklukan-penaklukan dan sesudah mereka mempunyai hubungan dengan
bangsa-bangsa yang telah maju. Pada waktu itu mereka telah merasa pentingnya
perluasan penyiaran agama Islam., dan melengkapi keturunan-keturunan mereka
dengan kebudayaan dan pengetahuan agar sejalan dengan masa transisi yang
bercorak isolasi dan badui kepada suatu keadaan yang mempunyai hubungan dan
kerjasama dengan bangsa-bangsa yang lebih berperadaban. Akan tetapi walaupun
bagaimana kuttab itu pada umumnya, merupakan tempat yang utama untuk
mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak.[2]
Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang
guru. Sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah
pulalah jumlah penduduk yang memeluk Islam. ketika itu kuttab-kuttab yang hanya
mengambil tempat di rumah seorang guru mulai dirasakan tidak memadai untuk
menampung anak-anak yang jumlahnya semakin besar. Kondiisi yang demikian ini
mendorong para guru dan orang tua mencari tempat lain yang lebih lapang, yaitu
sudut-sudut masjid (bilik-bilik yang berhubungan dengan masjid). Selain dari
kuttab-kuttab yang diadakan di dalam masjid terdapat pula kuttab-kuttab umum
dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan
murid. Pada akhir abad pertama hijriah mulai timbul jenis kuttab yang di
samping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca
al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama, juga pengetahuan-pengetahuan dasar
lainnya. Dengan demikian kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan
dasar yang bersifat formal.[3]
Kuttab memegang peranan penting dalam kehidupan Islam karena
mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak dianggap satu hal yang amat perlu.
Sehingga kebanyakan para ulama berpendapat mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak
semacam fardhu kifayah, di samping itu Nabi sendiri menyatakan bahwa belajar
itu sangat perlu, sehingga beliau mewajibkan bahwa tiap-tiap tawanan perang
Badar untuk mengajarkan dua belas orang anak orang-orang Islam sebagai ganti
tebusan perang.[4]
Kuttab telah tersebar luas dengan tersebar luasnya agama Islam di
seluruh pelososk negeri, dan pembentukkan Kuttab untuk mengajarkan al-Qur’an,
membaca, menulis dan agama dianggap sebagai pekerjaan yang paling mulia dan
terhormat di sisi Tuhan, sehingga kebanyakan berlomba-lomba untuk
mendirikannya.[5]
Pendidikan pada Kuttab adalah untuk semua orang, di sana belajar
anak-anak orang kaya dan miskin. Para guru yang mengajar pada Kuttab dilarang
membeda-bedakan di antara anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin,
dalam belajar. Ini tidak lain hanya karena sistem pendidikan Islam adalah
menganut sistem demokrasi, di sana tidak ada perbedaan golongan dalam belajar,
maka oleh karena itu di sana tidak ada sekolah-sekolah khusus untuk anak miskin
dan sekolah khusus untuk anak-anak orang kaya, atau golongan tertentu dari
anak-anak warga Negara tetapi yang ada di sana adalah satu anggapan bahwa
pendidikan itu harus dilakukan sehingga semua orang dapat memperolehnya.[6] Pada
masa awal Islam sampai pada era khulafaurrasidin, pendidikan di kuttab secara
umum dilakukan tanpa ada bayaran.[7]
B.
Sistem
Pendidikan Kuttab
1.
Kurikulum
Pendidikan
Phill K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan di Kuttab ini
dipusatkan pada al-Qur’an sebagai bacaan utama para siswa. Mereka juga diajari
keterampilan baca-tulis. Ketika mengunjungi Damaskus pada 1184, Ibn al-Jubayr
mendapati bahwa anak-anak mendapatkan kecakapan menulis dengan rujukan dari puisi-puisi
Arab tempo dulu. Bersamaan dengan pelajaran baca-tulis, anak-anak itu juga
mempelajarai tata bahasa Arab, kisah-kisah para Nabi Muhammad – dasar-dasar
Aritmatika, dan mereka juga mempelajari puisi, dengan syarat tidak bersifat
erotis.[8]
Pengajaran pada tingkat kuttab meliputi[9]:
a.
Membaca al-Qur’an
dan menghafalnya
b.
Pokok-pokok
agama Islam
c.
Manulis
d.
Kisah (riwayat)
orang-orang besar
e.
Membaca dan
menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa)
f.
Berhitung, dan
g.
Pokok-pokok ilmu
nahwu dan ilmu sharaf ala kadarnya.
2.
Metode
pendidikan/pengajaran
Untuk pencapaian tujuan kurikulum, metode mempunyai peranan yang
sangat penting guna mentransfer pengetahuan dan kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Pada masa
awal dinasti Abbasiyah metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Metode Lisan,
berupa dikte (imla), ceramah (al-sama) , qiraat, dan
diskusi. Metode dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang
dianggap baik dan aman karena dengan imla ini murid mempunyai catatan yang akan
dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ceramah di sebuh dengan metode
al-sama’, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan,
sedangkan murid mendengarkannya. Metode qira’ah biasanya digunakan untuk
belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas saat ini.[10]
b.
Metode
menghafal, merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat
pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Hanafi seorang murid
hanya harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.[11]
c.
Metode menulis,
dianggap metode yang paling penting pada masa ini metode tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualiasasi
sehingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.[12]
Sejak abad ke-8 M, Kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di
samping ilmu agama Islam. hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara
Islam dengan warisan budaya helenisme[13]
sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam.
bahkan dalam perkembangan berikutnya Kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab
yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan kuttab yang
mengajarkan ilmu agama (religious learning).[14]
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa Kuttab
pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah
adanya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan
yang terbuka terhadap pengetahuan umum termasuk filsafat.[15]
3.
Waktu belajar
pada pendidikan dasar Kuttab
Pembagian waktu bagi mata pelajaran tiap-tiap hari, biasanya dibagi
tiga[16]:
a.
Pelajaran
al-Qur’an dari pagi sampai dengan waktu Dhuha;
b.
Pelajaran
menulis dai waktu Dhuha sampai dengan waktu Zuhur, setelah itu anak-anak
diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing untuk makan siang; dan
c.
Pelajaran ilmu
yang lain (nahwu, bahasa Arab, sya’ir, berhitung, riwayat,
atau tarikh) di mulai setelah zuhur sampai akhir siang (ashar)
C.
Institusi
Pendidikan Islam Pra-Lahirnya Sistem Madrasah
1.
Masjid dan
Jami’
Kata masjid berasal dari bahasa Arab, sajada (fiil madi)
yusaajidu (mudhari’) masaajid/sajdan (masdar),
artinya tempat sujud. Dalam pengertian
yang lebih luas berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah Sang pencipta
Khalid dan tempat merenung dan menata masa depan (zikir). Dari
perenungan terhadap penciptaan Allah masjid berkembang menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Sejarah pendidikan Islam erat pertaliannya dengan masjid.[17]
Proses yang mengantarkan masjid sebagai pusat dan pengetahuan
adalah karena di masjid tempat awal mula mempelajari ilmu agama yang baru lahir
dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum dan tujuan-tujuannya. Masjid yang pertama
kali dibangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi saw hijrah ke Madinah.
Seluruh kegiatan umat difokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis
pendidikan yang dilakukan Rasulullah bersama para sahabat di masjid dilakukan
dengan sistem halaqah[18].
Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai
sebagai sarana informasi dan penyampaian
doktrin ajaran Islam.[19]
Semenjak berdirinya masjid di zaman Nabi saw. masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang
menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah
sebagai lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian, di kalangan umat
Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilm dan memotivasi mereka mengantar
anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di masjid sebagai lembaga pendidikan
menengah setelah kuttab.[20]
Masjid telah didirikan oleh perorangan-perorangan yang hartawan,
baik ia sebagai raja atau rakyat biasa. Masjid tetap merupakan tempat yang
utama untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu lainnya, dan pendidikan biasanya
diberikan dengan cuma-cuma di sekolah-sekolah, dan di samping itu disertai pula
dengan hadiah-hadiah dan pemberian-pemberian. Di antara masjid-masjid yang
terkenal sebagai tempat belajar adalah[21]:
a.
Jami’ Umar bin
‘Ash
b.
Jami’ Ahmad bin
Thulun
c.
Masjid
al-Azhar.
Pada zaman Kerajaan Umawiyah, para sahabat dan tabi’in telah
membuka banyak pusat pengajian Islam di masjid-masjid di seluruh Negara Islam.
di antara pelajaran-pelajaran yang diajarkan adalah ilmu Tafsir, hadits, Fiqh,
baahasa, kesusastraan Arab, dan lain-lain. pengajaran disampaikan dalam bentuk syarahan.
Pada zaman ini muncullah beberapa aliran pengetahuan, yaitu ilmu kalam,
undang-undang, tasawuf, dan filsafat.[22]
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam,
masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasaha para pengusaha pada umumnya
diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.[23]
Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan
perkembangannya yang luar biasa, tradisi masjid sebagai pusat peribadatan juga
menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu (Abbasiyah)
sedikit demi sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan,
tetapi juga sebagai pusat pengajaran bagi kaum muda. Sedemikian banyaknya dan
sedemikian tersebarnya masjid-masjid ummat Islam sehingga al-Yaqubi melaporkan
bahwa di Baghdad saja terdapat 3.000 masjid pada abad ketiga Hijriah.[24]
Masjid dapat dianggap
sebagai lembaga ilmu pengetahuan tertua dalam Islam, pembangunnaya dimulai
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan ia tersebar di seluruh negeri Arab. Di
samping tugasnya yang utama sebagai tempat menunaikan shalat dan beribadah, di
dalam masjid ini pula mulai mengajarkan al-Qur’an dan ajaran-ajaran agama
Islam. Pada masa Rasulullah masjid dan Jami’ berfungsi sebagai sekolah menengah
dan Perguruan Tinggi dalam waktu yang sama. Sebelumnya masjid pada pertama
kalinya merupakan tempat untuk pendidikan dasar, akan tetapi orang-orang Islam
berpendapat lebih baik memisahkan pendidikan anak-anak pada tempat yang
tertentu demi menjaga kehormatan masjid dari keributan anak-anak dan arena
mereka belum mampu menjaga kebersihan.
2.
Rumah
a.
Rumah al-Arqam
Lahirnya pendidikan Islam ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam. katika wahyu diturunkan Allah kepada Nabi Muahmmad saw, maka
untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah
al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempatnya, di samping menyampaikan ceramah di
berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lemabaga
pendidikan pertama dalam Islam. hal ini berlangsung kurang lebih 13 tahun.
Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih bebentuk halaqah dan
belum memiliki kurikulum dan silabus seperti dikenal sekarang. Sedangkan sistem
dan materi-materi pendidikan disampaikan dan diserahkan sepenuhnya kepada nabi
saw.[25]
b.
Manazil Ulama’ (Rumah Kediaman Para Ulama)
Di antara rumah ulama yang dipakai untuk tempat belajar ialah:
1)
Rumah Rais Ibnu
Sina
Berkata Jurjani: pada tiap-tiap malam berkumpul pelajar-pelajar di
rumah Ibnu sina. Aku membaca di hadapannya kitab Syifa, yang lain
membaca kitab Qanun menurut gilirannya. Pelajaran itu dilakukan malam
hari, karena tidak ada kesempatan pada siang hari.[26]
2)
Rumah Imam
Ghazali
3)
Rumah Ya’qub
bin Killis
4)
Rumah Wazir
khalifah al-Aziz billah al-Fatimi
5)
Rumah Muhammad
Ibnu Hattim al Razi al-Hafiz
6)
Rumah Sulaiman
al-Sajastani.
Rumah-rumah
para ulama’ di atas dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu
dengan pertimbangan bahwa (a) rumah sebenarnya dapat digunakan untuk
membicarakan hal-hal yang bersifat khusus (b) Situasi guru yang mengajar agak
terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain (c)
Anggapan bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru
mendatang muridnya untuk mengajar.
Dari proses
pembelajaran rumah ini kita
dapat mengambil
hikmah, yaitu sangat ideal
pembinaan anak-anak untuk menjadi shalih dan shalihah adalah dimulai dari
lingkungan rumah. Artinya orang tua berperan utama dalam pembentukan karakter,
baik pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka. Untuk itu tidak bisa kalau
kemudian orang tua melepaskan anak keturunan mereka untuk dididik dan dibinah
melalui lembaga masyarakat dan sekolah
tanpa diawali pendidikan keluarga, anak-anak bersangkutan diharapkan menjadi
sempurnah. Karena apapun alasannya pendidikan rumah tetap menjadi lembaga utama
dan ideal dalam tumbuh kembang kepribadian anak-anak.
3.
Qushar (Pendidikan Rendah di Istana)
Timbulnya pendidikan rendah di istana untu anak-anak para pejabat
didasarkan atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak
didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa. Untuk itu,
khalifah dan keluarganya serta pembesar istana lainnya berusaha mempersiapkan
anak-anaknya agar sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan
tugas-tugas yang akan diembannya nanti.[27]
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di Kuttab
pada umumnya, di istana orang tua murid (para pembesar istana) adalah yang
membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang
dikehendaki oleh orang tuanya.[28]
Di samping memberikan kurikulum sebagaimana yang diajarkan di
maktab, juga diajarkan ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan yan diperlukan untuk
memasuki pendidikan yang lebih tinggi, untuk memaski pergaulan di masyarakat,
dan untuk bekerja di pemerintahan khalifah. Sesungguhnya, para pengajar di
sekolah-sekolah istana disebut mu’addib dari kata adab, atau
tingkah laku yang baik, dan seseorang yang bertingkah laku dengan baik disebut
mu’addab. Seni pidato dan percakapan yang baik, etika formal, sejarah dan
tradisi juga terdapat dalam kurikulum tersebut.[29]
Muaddib mendapat hak
istimewa dari khalifah atau pembesar dengan menganugrahi bilik khusus di istana
untuk tempat tinggalnya, suapa ia mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan
sempurna.[30]
Rencana pembelajaran di Istana[31]:
a.
Al-Qur’an (Kitabullah)
b.
Hadis-hadis
yang termulia
c.
Syair-syair
yang terhormat
d.
Riwayat Hukama (ahli ilmu pengetahuan)
e.
Dan lain-lain
seperti menulis, membaca, dan sebagainya.
4.
Hawanit
al-Waraqain (Toko-Toko
Buku)
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang serta diikuti oleh penulisan
kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa
itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang
berminat untuk mempelajarinya.[32] Di
sana berkumpul ahli sastra dan alim ulama membahas ilmu pengetahuan dan
bertukar pikiran dalam soal-soal ilmiah.[33]
Selama periode Abbasiyah, ilmu pengetahuan Muslim berada di tempat
yang sangat tinggi sehingga mengilhami tumbuhnya toko-toko buku, penyalur buku,
dan para penyalin naskah di semua kota-kota penting Islam, terutama di Baghd ad,
Cordova , Kairo, Mashhad (Meshed) dan Damaskus. Tidak saja jumlah toko
buku selalu bertambah di luar dugaan di Islam Timur selama periode Abbasiyah
dan Islam Barat selama periode Umayyah II (Spanyol), tetapi dengan bertambahnya
toko-toko buku ini menyebabkan bermunculannya toko-toko buku di tempat lainnya
di dunia Islam. banyak para cendekiawan yang menghabiskan waktunya berjam-jam
di toko buku tersebut. Mereka dengan bebas meneliti, membaca, dan mempelajari
buku-buku yang ada, atau membeli buku-buku yang menarik untuk dikoleksi di
perpustakaan pribadinya.[34]
Beberapa di antara naskah-naskah itu pada akhirnya dapat ditemui di
perpustakaan-perpustakaan pribadi para cendekiawan Muslim atau para penguasa
yang menjadi pendukung dan penyebar ilmu pengetahuan, dan disediakan kepada
siapa saja yang berminat untuk mempelajarinya. Di perpustakaan seperti itulah,
Ibnu Sina menghabiskan masa penelitiannya, yang menurut pengakuannya sendiri
terdapat naskah-naskah tentang kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya yang belum
pernah ia lihat sebelumnya. Sehingga seakan-akan perpustakaan tersebut merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang melimpah, yang kemudian digabungkan dengan karya-karyanya yang
monumental yakni ilmu kedokteran. Demikian pula beberapa cendekiawan Muslim
besar seperti al-Ghazali, al-Farabi dan Avicenna, serta beberapa nama lainnya –
yang pernah mengajar di Madrasah – juga memiliki perpustakaan pribadi dan
melakukan studi, serta menjadikan rumahnya sebagi pusat bagi orang-orang yang
mencari ilmu. Banyak yang orang-orang beruntung di undang mengunjungi
perpustakaan mereka.[35]
Dengan
demikian toko-toko buku tersebut berkembang fungsinya bukan hanya sebagai
tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumulnya
para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi
dan bertukar fikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga
sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam.[36] Pemilik
buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah dan kadang-kadang berfungsi sebagai
pemimpin studi tersebut. Ini semua menunjukkan bahwa betapa antusias umat Islam
masa itu dalam menuntut ilmu.
5.
Salunat
al-Adabiyah (Majlis
Sastra)/Saloon Sastra
Saloon dalam bahasa
Arab berarti sanggar seni. Manurut Hasan ‘Abd. Al-‘Al seorang ahli pendidikan
Islam alumni Universitas Thanta, menyatakan saloon ini telah berdiri masa
Abbasiyah dengan nama al-Salunat al-Adabiyah, yaitu sanggar seni dan
sastra. Beda dengan Harun Nasution bahwa saloon-saloon yang timbul dalam
bentuknya yang bersahaja sudah mulai pada zaman bani Umayyah, dan kemudian
hidup dengan megahnya di zaman bani Abbas, adalah suatu perkembangan dari
majelis-majelis khulafaur rasyidin, karena seorang khalifah dalam Islam adalah
berfungsi mengatur urusan duniawi, dan berfatwa dalam urusan agama. Karena itu,
maka salah satu syarat-syarat terpenting ialah seorang khalifah haruslah
berilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang memberi kemampuan kepadanya untuk
berijtihad.[37]
Salon-salon sastra, yang berkembang di sekitar para khalifah yang
berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. “Di salon-salon sastra
itu,” kata Syalaby, “Adat kebiasaan dan peradaban asing berkembang dengan
sendirinya;salon-salon dipersiapkan dengan sunguh-sungguh, hanya orang-orang
dari kelas-kelas tertentu saja yang diijinkan masuk. Anggota-anggotanya harus
datang tepat waktu dan meninggalkan saloon menurut tanda-tanda khusus yang
telah diterapkan oleh khalifah. Hanya khalifah sajalah dan tidak ada orang lain
yang dapat membuka diskusi.[38]
Orang-orang yang mengunjungi saloon-saloon sastra tidak hanya
dipilih secara khusus tetapi juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian
tertentu yang harus mereka kenakan dan harus mengikuti aturan yang ketat dalam
menjaga sikap dan martabatnya. Setiap orang telah ditentukan terlebih dahulu
tempat duduknya, menurut kelasnya. Ketika khalifah membuka pidato pembukaan,
semunya harus diam serta mendengarkan dengan sunggh-sungguh dan penuh rasa
hormat. Peserta diskusi harus berbicara dengan bahasa yang baik dan benar,
tenang. dengan suara yang ditata.[39]
Dengan semua formalitas tersebut, perkumpulan sastra tersebut
merupakan pusat pendidikan yang sangat penting. Pertemuan tersebut menarik para
cendekiawan besar untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan berkomunikasi tentang
bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas serta tentang topic-topik yang
sedang actual, sehingga menjadi pusat-pusat penggalian ilmu pengetahuan yang
sangat orisinil. Saloon-saloon tersebut mecapai puncaknya selama periode
Abbasiyah, di bawah khalifah seperti Harun ar-Rasyid. Mereka menggunakan
saloon-saloon tersebut untuk mengadakan tukar pikiran tentang
persoalan-persoalan yang luas dan beragam di antara para cendekiawan ternama, teruatama
di bidang agama, ilmu kalam, filsafat retorika, tata bahasa dan puisi (syair).
Al- ma’mun khalifah yang berwawasan ilmu lainnya, medorong dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan mengadakan tukar pikiran dan dialog di antara para
cendekiawan yang berbeda pendapat dalam filsafat dan ilmu kalam. [40]
6.
Maktabah (Perpustakaan)
Mehdi Nakosteen mengatakan bahwa semua Muslim, baik kaya ataupun
miskin, penguasa atau rakyat biasa, Persia atau Arab dan tua atau muda, telah
menunjukkan penghormatan yang besar kepada cendekiawan. Namun tetap lebih besar
penghormatan mereka terhadap karya-karya ilmu pengetahuan atau masterpieces
yang berkenaan dengan kesusastraan. Kepadanya sekaligus, ketika buku-buku
disalin dengan tulisan tangan oleh para
penyalin khusus, kesetiaan kepada buku-buku terkenal, nyaris sama dengan
kesetiaannya terhadap religiusitas, hal-hal yang bersifat mistik. Cintanya
Muhyiddin ibnul Arabi menyatakan dalam Mahadurat al-Abrar, bahwa sebuah
buku terkenal tentang sejarah atau bersifat ilmiah, mengungkapkn kebijakan
pemikiran yang sangat bagus, ditopang oleh tradisi masa lalu dan menunjukkan
hasil-hasil pikiran yang logis dari banyak negeri yang jauh, adalah sungguh
sesuatu yang berharga, namun dengan mudah dan dengan murah dapat diperoleh jika
dibandingkan dengan barang-barang berharga lainnya. Dalam penggambaran hubungan
manusia dengan sebuah buku, ia bertanya: “Siapa yang dapat memiliki tamu lain
seperti itu yang boleh jadi singgah sebentar atau tinggal dengan Anda
sebagaimana bayangan Anda sendiri atau bahkan sebagai anggota badan Anda?” al
Jahiz Menunjukkan bahwa, “Buku akan diam selama Anda membutuhkan kesunyian
(keheningan), akan fasih berbicara kapanpun Anda menginginkan wacana. Ia tidak
pernah menyela Anda jika Anda sedang berbicara, tetapi jika Anda merasa
kesepian maka ia akan menjadi sekutu yang baik. Ia adalah teman yang tidak
pernah mencurangi atau memuji Anda dan ia adalah teman (saudara) yang tidak
pernah membosankan Anda”.[41]
pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi
berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para
ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang
telah tertulis dalam buku. dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam
usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.[42]
Perpustakaan menurut sistem ulama Islam dahulu, bukan saja tempat
membaca, membahas dan menyelidik, bahkan juga tempat belajar berhalaqah,
seperti di masjid. Perpustakaan adalah sebagai institusi ilmu pengetahuan masa
sekarang, di samping usahanya memberi kesempatan kepada umum untuk membaca
buku-buku dalam perpustakaan itu.[43]
Perpustakan itu ada tiga macam:
a.
Perpustakaan
Umum
Perpustakaan umum diadakan di masjid, untuk dibaca oleh umum yang
datang ke masjid. Begitu juga perpustakaan itu diadakan di madrasah-madrsah
untuk tempat pembacaan bagi pelajar-pelajar dan pencinta ilmu pengetahuan.
Perpustakaan umum itu sangat banyak, hampir tiap-tiap masjid dan madrasah mempunyai
perpustakaan sendiri.[44]
Di antar perpustakaan yang termasyhur sebagai berikut:
1)
Perpustakaan
Baitul Hikmah di Baghdad, didirikan oleh khalifah Harun ar-Rasyid.
2)
Perpustakaan
al-Haidariyah, di Najaf (Irak).
3)
Perpustakaan
Ibnu Suwar di Bashrah, didirikan oleh Abu Ali bin Suwar.
4)
Perpustakaan
Sabur, didirikan oleh Abu Nasr sabur bin Ardasyir.
5)
Darul Hikmah di
Kairo, didirikan oleh al-Hakim Biamrillah al-Fatimy.
b.
Perputakaan
Khusus
Perpustakaan khusus diadakan oleh alim ulama dan ahli sastra di
rumahnya masing-masing untuk dipakainya sendiri. Perpustakaan seperti ini banyak juga, hampir tiap-tiap orang alim dan
ahli sastra mempunyai perpustakaan sendiri, seperti[45]:
1)
Perpustakaan
al-Fath bin Khagan Wazir al-Mutawakkil al-Abbasy.
2)
Perpustkaan
Hunain bin Ishaq.
3)
Perpustakaan
Ibnu al-Khassayh
c.
Perpustakaan
antara umum dan khusus
Perpustakaan seperti ini didirikan oleh khalifah-khalifah dan raja
untuk memuliakan dan menghargaiilmu pengetahuan. Perpustakaan itu tidak terbuka
untuk umum, hanya dapat dimasuki oleh orang-orang besar dan golongan tertentu
dengan mendapat izin yang khusus.[46]
Di antaranya adalah:
1)
Perpustakaan
an-Nashir Ladinillah
2)
Perpustakaan
al-Mu’tashim Billah
3)
Perpustakaan
khalifah-khalifah Fatimiyah di Kairo.
Salah satu ciri
penting pada masa Dinasti Abbasiyah adalah tumbuh dan berkembangnya dengan
pesat perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan yang sifatnya umum didirikan
oleh pemerintah, maupun perpustakaan yang sifatnya khusus didirikan oleh para
ulama atau para sarjana. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan
yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun,
merupakan salah satu contoh dari perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang
berisi ilmu agama dan bahasa arab. Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu serta berbagai buku terjemahan dari
bahasa yunani, Persia, India, Qibti dan Aramy.[47] Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga
pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat
mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja
yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum
pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh
ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.
7.
Bimaristan dan
Mustasyfa (Klinik dan Rumah Sakit)
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka
menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan
rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit
tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati
orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan
dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran
dan ilmu obat-oabatn atau farmasi.[48]
Rumah sakit ini, juga merupakan tempatpraktikum dari sekolah
kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula
sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit.
dengan demikian, rumah sakit dalm dnia Islam juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.
8.
Badiah (Dusun Badwi)
Di kota-kota, bangsa Arab bergaul dengan bangsa-bangsa asing yang
bermacam-macam bahasa dan bangsanya terutama bangsa Persia.
Mereka memeluk agama Islam dan bercakap-cakap dalam bahasa Arab.
Pada masa itu bangsa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh Negara Islam yang
luas itu. Bahkan bahasa Arab itulah bahasa percakapan di rumah-rumah, di
kampong-kampung dan di kota-kota. Orang-orang yang bukan bangsa Arab tidak
dapat menguasai bahasa itu menurut qaedah-qaedahnya dan tak sanggup
mengucapkannya dengan fasih dan tepat seperti orang Arab. Dengan demikian
rusaklah bahas Arab yang asli dan lahirlah bahasa pasar. Kesalahan-kesalahan
itu bukan saja pada bangsa yang bukan bangsa Arab, bahkan juga pada orang
bangsa Arab sendiri.[49]
Singkat kata, di kota-kota yang banyak bergaul bangsa Arab dengan
bangsa asing banyak terdapat kesalahan-kesalahan bahasa Arab. Hanya di Badiah
(dusun badwi), di padang sahara bahasa arab tetap fasih dan murni. Orangorang
badwi tetap mengucapkan bahasa Arab itu dengan fasih. Dengan demikian badiah
menjadi sumber bahasa Arab yang asli.[50]
Oleh sebab itu khalifah-khalifah mengirimkan anak-anaknya ke badiah
untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni, serta mempelajari
syair-syair dan sastra Arab dari sumbernya yang asli. Bahkan ulama-ulama juga
banyak yang pergi ke badiah untuk tujuan tersebut itu di antaranya[51]:
a.
Al-Khalil bin
Ahmad
b.
Bajar bin Burd
c.
Al-Kasai
d.
Imam Syafi’i
e.
Dan lain-lain.
9.
Majlis
Majlis adalah isim makan – kata yang menunjukkan arti tempat – dari
kata kerja (fi’il) jalasa artinya duduk, sinonim dengan kata qa’ada.
Pada perkembangan berikutnya – di saat dunia pendidikan mencapai zaman keemasan
– majlis berarti sessi dimana aktivitas pelajaran ata diskusi berlangsung dan
belakangan majlis diartikan sejumlah aktivitas. Majlis yang di-idhafah-kan pada
nama orang berarti milik, misalnya majlis al-Nabi, artinya majlis yang
diselenggarakan oleh Nabi. Namun demikan, tidak semuanya berarti milik.
Misalnya, majlis al-Syafi’i bukan berarti majlis yang diselenggarakan di rumah Syafi’i, tetapi menunjukkan kegiatan
kelas belajar-mengajar yang diselenggarakan oleh al-Syafi’i. yang disebut
terakhir lebih menunjuk kepada kelas yang mengajarkan fikih Imam Syafi’i.[52]
Rasulullah ketika menyampaikan dakwahnya kepada
para sahabatnya sering membenuk majelis-majelis. Majelis tersebut biasanya
memang bisa bertempat dimana saja,
terkadang Rasulullah melakukannya setelah selesai melaksanakan shalat, atau di
tempat yang berbeda. Terkadang majelis tersebut terbentuk secara spontanitas,
contohnya ketika Rasulullah sedang duduk kemudian ada seorang sahabat yang
bertanya kepada beliau tentang suatu hal, lalu rasulullah menerangkan maslah
tersebut, kemudian dari penerangan tersebut munculah pertanyaan baru dari para
sahabat. Proses tersebut bisa dikatakan sebuah majelis. Karena terjadi proses
transfer ilmu antara Rasulullah dengan para Sahabat.
Selain
itu ada factor yang memotivasi para sahabat untuk membentuk dan menghadiri
majelis ilmu. Yaitu dimana disuatu
tempat ada majelis ilmu, maka para Malaikat akan mendoakan orang-orang yang
hadir dalam majelis tersebut untuk memohonkan ampun kepada Allah. Sehingga timbullah semangat
para shahabat untuk selalu berada di majelis dan berusaha untuk
melestarikannya. Hal ini terbukti dengan keberadaannya majelis ilmu hingga
zaman sekarang.
Istilah
Manjelis dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Pada perkembangan berikutnya, disaat
dunia Islam mencapai macam keemasan, majelis di artikan sebagai aktivitas
pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan seiring perkembangan pengetahuan
Islam, majelis menjadi banyak ragamnya. Munirudin Ahmed, Majelis dibedakan
menjadi 7 macam[53]:
a.
Majelis Hadits, dalam majelis
ini terdapat dua macam, yaitu majelis
permanen dan majelis yang diselenggarakan sewaktu-waktu. Majelis
permanen biasanya dilakukan oleh seorang ulama ahli hadits dalam jangka waktu
yang sudah jelas atau sudah rutin dilaksanakan. Sedangkan majelis yang bersifat
semi permanen diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua
kali dalam waktu setahun oleh ulama yang bukan ahli dalam bidang hadits..
b.
Majelis Tadris, yaitu majelis
yang mengajarkan tentang tadris.
c.
Majelis Al-Munazharah, merupakan
sebuah majelis pertemuan perdebatan, bukan semacam lembaga pendidikan. Majelis
ini dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya:
·
Majelis Al
Munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah. Majelis Al
Munazharah yang bersifat educarif, yang dilakukan secara kontiyu, dan
biasanya dilaksanakan setelah proses belajar mengajar dan lebih mirip dengan
metode tanya jawab atau diskusi. Majelis Al Munazharah yang bersifat spontan
atau diselenggarakan secara tidak sengaja. Semisal bertemuanya dua orang ulama
di tengah jalan, kemudian terjadi tukar pendapat, sehingga tanpa disengaja
terjadi majelis ini.
·
Majelis Al
Munazharah
yang bersifat forum terbuka antara beberapa ulama. Majelis ini biasanya terdiri
dari perkumpulan beberapa ulama. Yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan
menentukan siapa yang dapat menjatuhkan lawannya dengan mengemukakan argument
yang luas.
d.
Majelis Al-Muzakarah, majelis ini
bisa dikatakan sebagai majelis yang dihasilkan sebagai sebuah inovasi dari para
murid. Awalnya, ulama-ulama hadits mendiskusikan hadits di tempat terbuka. Para ulama mengizinkan
para murid untuk bertanya atau member saran mengenai topic yang ingin dibahas.
Kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah lembaga. Inti materi yang dibahas dari
majelis ini adalah tentang hadits,
seperti membahas sanad hadits, membahas hadits dalam bidang yang lebih
spesifik, pembahasan pengelompokan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
Nabi ataupun hadits yang diriwayatkan oleh para ulama. Kemudian ada juga yang
membahas tentang hadits yang dhaif, rangkaian perawai hadits, dan yang terakhir
membahas segi musnad.
e.
Majelis Asy-Syu’ara, sesuai dengan
namanya Syu’ara yang berarti syair. Majelis ini adalah majelis yang
mengkhususkan untuk belajar syair yang bertujuan untuk belajar bahasa.
Memang menurut pendapat saya (penyusun)
tiada yang dapat dibanggakan pada syair-syair yang dibuat, tetapi di mata orang-orang Arab, syair memiliki
nilai tersendiri.
f.
Majelis Adab, bagi bangsa Arab adab mencangkup tiga pembahasan, yaitu puisi, silsilah dan laporan
bersejarah bagi orang-orang terkenal. Majelis ini membahas tentang ketiga hal di atas, walaupun terkesan seperti
perbincangan daripada tempat belajar.
g.
Majelis Al-Fatwa, majelis ini
bisa dikatakan sebagai majelis fiqih, karena di dalamnya mengajarkan ilmu
fiqih. Majelis ini bertujuan untuk mencari kesepakatan dari beberapa masalah
yang dibahas, kemudian kesepakatan tersebut difatwakan yang diperkuat dengan
syariat atau hukum.
10.
Ribath (Tempat Kegiatan Para Sufi)
Arti Ribath pada asalnya ialah kamp, tempat tentara yang
dibangunkan di perbatasan negeri untuk mempertahankan Negara dari serangan
musuh. Tetapi kemudian arti ribath itu, bukan tempat tentara yang berjuang
untuk mempertahankan Negara, melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan
hawa nafsunya, yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang
dan malam petang dan pagi. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat
tinggal orang-orang Sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka
juga belajar agama di sana dari pada Syekh kepada ribath itu. dengan demikian
maka ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dan lain-lain.
bukan ribath-ribath itu untuk kaum laki-laki, bahkan ada juga untuk kaum
wanita.[54]
Di antara ribath yang termasyhur mengadakan halaqah untuk
mengajarkan membaca. Menulis, agama, dan tasawuf ialah ribath al-Athar yang
dibangun oleh Shahib Fakhruddin Muhammad.[55]
KESIMPULAN
Ø Al-Kuttab merupakan lembaga pendidikan Islam yang terlama. Menurut
Asma Hasan Fahmi dalam bukunya, Kuttab didirikan oleh orang Arab padamasa Abu
Bakar dan Umar, yaitu sesudah mereka melakukan penaklukan-penaklukan dan
sesudah mereka mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Pada
waktu itu mereka telah merasa pentingnya perluasan penyiaran agama Islam., dan
melengkapi keturunan-keturunan mereka dengan kebudayaan dan pengetahuan agar
sejalan dengan masa transisi yang bercorak isolasi dan badui kepada suatu
keadaan yang mempunyai hubungan dan kerjasama dengan bangsa-bangsa yang lebih
berperadaban.
Ø Sistem pendidikan Kuttab meliputi materi yang diajarkan berupa
Membaca al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, menulis, kisah
(riwayat) orang-orang besar, membaca dan menghafal syair-syair atau
natsar-natsar (prosa), berhitung, dan pokok-pokok imu nahwu dan ilmu sharaf ala
kadarnya dengan metode mengajar secara lisan, menghafal, dan tulisan.
Ø Instutis pendidikan Islam sebelum lahirnya madrasah adalah: kuttab,
masjid, rumah, toko-toko buku, perpusatakaan, istana, saloon sastra, majlis,
badiah, ribath, dan rumah sakit.
[1] Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.
12.
[2] Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 30.
[3] Suwito, Sejarah
Sosial…., hlm, 12.
[4] Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, hlm. 30
[5] Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, hlm. 31.
[6] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat….,
hlm. 32.
[7] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 113.
[8] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2014), hlm. 512.
[9] Suwito, Sejarah
Sosial…., hlm. 16.
[10] Suwito, Sejarah
Sosial…., hlm. 14.
[11] Suwito, Sejarah
Sosial…. , hlm. 14.
[12] Suwito, Sejarah
Sosial…., hlm. 14.
[13] Hellenisme
diambil dari bahasa Yunani kuno Hellenizein yang berarti “berbicara atau
berkelakuan seprti orang Yunani”. Hellenisme klasik: yaitu kebudayaan
Yunani yang berkembang pada abad ke-6 dan ke-5 SM.
Hellenisme secara umum: istilah yang menunjukkan kebudayaan yang
merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya
Asia kecil, Syiria, Metopotamia, dan mesir yang
lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (masa
Alexander Agung atau meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM. Hellenisme
ditandai dengan fakta bahwa perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan
menjadi hilang. Kebudayaan yang berbeda yang ada di jaman ini melebur menjadi
satu yang menumpang
gagasan-gagasan agama, politik dan ilmu pengetahuan. Lihat
http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/hellenisme-tokoh-filsafat.html
[14] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49
[15] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 115.
[16] Suwito, Sejarah
Sosial…. , hlm. 19.
[17] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan… , hlm. 116
[18] Halaqah
artinya lingkaran, seorang guru biasanya duduk di atas lantai sambil
menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu
karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk
di atas lantai, yang melingkari gurunya. Lihat Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49.
[19] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 116.
[20] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 116.
[21] Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat… , hlm. 34-35.
[22] Hasan langgulung,
Pendidikan Islam Menghadapai Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka al Husna,
1988), hlm. 15.
[23] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 98.
[24] Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) , hlm 63.
[25] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 111.
[26] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hlm. 85.
[27] Suwito, Sejarah
Sosial…., hlm. 102.
[28] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 91.
[29] Mehdi
Nakosteen, , Konstribusi Islam…, hlm 63
[30] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 81.
[31] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…., hlm. 82.
[32] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…, hlm. 91.
[33] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 84
[34] Mehdi
Nakosteen, , Konstribusi Islam…, hlm, 64.
[35] Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam…, hlm. 64-65.
[36] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 92.
[37] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 118.
[38] Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam …,hlm. 65.
[39] Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam… , hlm
65.
[40] Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam… , hlm 65.
[41] Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam… , 87.
[42] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan…., hlm. 95.
[43] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 90.
[44] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 91.
[45] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 93.
[46] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 93.
[48] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 95.
[49] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 89.
[50] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 89.
[51] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, 90.
[52] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan…, hlm. 50-51.
[53] Riyadh Maliki,
Beberapa Lembaga Pendidikan Sebelum Kebangkitan Madrasah, (online)
diakses melalui http://riyadhmaliki.blogspot.com/2011/07/beberapa-lembaga-pendidikan-sebelum.html, tanggal akses
11 April 2015.
[54] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 96.
[55] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan…, hlm. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar