Jumat, 16 Februari 2018

KUTTAB DAN INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM PRA-LAHIRNYA SISTEM MADRASAH



Keberadaan lembaga pendidikan merupakan jawaban terhadap zaman, muncul, tumbuh, mengakar dari dalam masyarakat. Salah satunya adalah lembaga pendidikan Islam. muncul setelah Allah memberikan amanah kerasulan kepada Muhammad saw, di gua hira, ditandai dengan turunnya surat al-Alaq ayat 1-5. Tuntutan wahyu pertama ini menghendaki manusia pada waktu itu harus melakukan proses pendidikan dan pembelajaran.
Instruksi Allah tersebut dilaksanakan oleh Muhammad Rasulullah dengan mengumpulkan para sahabatnya di rumah al-Arqam bin Arqam sekaligus langsung bertindak sebagai mudaris (guru). Maka berlangsunglah institusi lembaga pendidikan Islam pertama dalam Islam, kemudian dikembangkan dalam bentuk kuttab, masjid, saloon sastra, dan madrasah. Perkembangan tersebut berjalan sesuai dengan peran aktif masyarakat dan pemerintah serta tokoh-tokoh ulama pada waktu itu, sehingga perjalanan sejarah institusi lembaga pendidikan Islam tersebut tempat mutakhir tinta emas dalam perkembangan ilmu dengan melahirkan tokoh-tokoh intelektual Islam yang mengagumkan dunia. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan beberapa institusi pendidikan Islam pra lahirnya sistem madrasah

A.      Kuttab
Dalam Ensiklopedia Islam dijelaskan bahwa: kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak.[1]
Kuttab merupakan lembaga pendidikan Islam yang terlama. Menurut Asma Hasan Fahmi dalam bukunya Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Kuttab didirikan oleh orang Arab padamasa Abu Bakar dan Umar, yaitu sesudah mereka melakukan penaklukan-penaklukan dan sesudah mereka mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Pada waktu itu mereka telah merasa pentingnya perluasan penyiaran agama Islam., dan melengkapi keturunan-keturunan mereka dengan kebudayaan dan pengetahuan agar sejalan dengan masa transisi yang bercorak isolasi dan badui kepada suatu keadaan yang mempunyai hubungan dan kerjasama dengan bangsa-bangsa yang lebih berperadaban. Akan tetapi walaupun bagaimana kuttab itu pada umumnya, merupakan tempat yang utama untuk mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak.[2]
Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru. Sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk Islam. ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil tempat di rumah seorang guru mulai dirasakan tidak memadai untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin besar. Kondiisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua mencari tempat lain yang lebih lapang, yaitu sudut-sudut masjid (bilik-bilik yang berhubungan dengan masjid). Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan di dalam masjid terdapat pula kuttab-kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid. Pada akhir abad pertama hijriah mulai timbul jenis kuttab yang di samping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama, juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.[3]
Kuttab memegang peranan penting dalam kehidupan Islam karena mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak dianggap satu hal yang amat perlu. Sehingga kebanyakan para ulama berpendapat mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak semacam fardhu kifayah, di samping itu Nabi sendiri menyatakan bahwa belajar itu sangat perlu, sehingga beliau mewajibkan bahwa tiap-tiap tawanan perang Badar untuk mengajarkan dua belas orang anak orang-orang Islam sebagai ganti tebusan perang.[4]
Kuttab telah tersebar luas dengan tersebar luasnya agama Islam di seluruh pelososk negeri, dan pembentukkan Kuttab untuk mengajarkan al-Qur’an, membaca, menulis dan agama dianggap sebagai pekerjaan yang paling mulia dan terhormat di sisi Tuhan, sehingga kebanyakan berlomba-lomba untuk mendirikannya.[5]
Pendidikan pada Kuttab adalah untuk semua orang, di sana belajar anak-anak orang kaya dan miskin. Para guru yang mengajar pada Kuttab dilarang membeda-bedakan di antara anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin, dalam belajar. Ini tidak lain hanya karena sistem pendidikan Islam adalah menganut sistem demokrasi, di sana tidak ada perbedaan golongan dalam belajar, maka oleh karena itu di sana tidak ada sekolah-sekolah khusus untuk anak miskin dan sekolah khusus untuk anak-anak orang kaya, atau golongan tertentu dari anak-anak warga Negara tetapi yang ada di sana adalah satu anggapan bahwa pendidikan itu harus dilakukan sehingga semua orang dapat memperolehnya.[6] Pada masa awal Islam sampai pada era khulafaurrasidin, pendidikan di kuttab secara umum dilakukan tanpa ada bayaran.[7]
B.  Sistem Pendidikan Kuttab
1.      Kurikulum Pendidikan
Phill K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan di Kuttab ini dipusatkan pada al-Qur’an sebagai bacaan utama para siswa. Mereka juga diajari keterampilan baca-tulis. Ketika mengunjungi Damaskus pada 1184, Ibn al-Jubayr mendapati bahwa anak-anak mendapatkan kecakapan menulis dengan rujukan dari puisi-puisi Arab tempo dulu. Bersamaan dengan pelajaran baca-tulis, anak-anak itu juga mempelajarai tata bahasa Arab, kisah-kisah para Nabi Muhammad – dasar-dasar Aritmatika, dan mereka juga mempelajari puisi, dengan syarat tidak bersifat erotis.[8]
Pengajaran pada tingkat kuttab meliputi[9]:
a.       Membaca al-Qur’an dan menghafalnya
b.      Pokok-pokok agama Islam
c.       Manulis
d.      Kisah (riwayat) orang-orang besar
e.       Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa)
f.       Berhitung, dan
g.      Pokok-pokok ilmu nahwu dan ilmu sharaf ala kadarnya.



2.      Metode pendidikan/pengajaran
Untuk pencapaian tujuan kurikulum, metode mempunyai peranan yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan dan kebudayaan  dari seorang guru kepada muridnya. Pada masa awal dinasti Abbasiyah metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Metode Lisan, berupa dikte (imla), ceramah (al-sama) , qiraat, dan diskusi. Metode dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ceramah di sebuh dengan metode al-sama’, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Metode qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas saat ini.[10]
b.      Metode menghafal, merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Hanafi seorang murid hanya harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.[11]
c.       Metode menulis, dianggap metode yang paling penting pada masa ini metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualiasasi sehingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.[12]
Sejak abad ke-8 M, Kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di samping ilmu agama Islam. hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme[13] sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. bahkan dalam perkembangan berikutnya Kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religious learning).[14]
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa Kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum termasuk filsafat.[15]
3.      Waktu belajar pada pendidikan dasar Kuttab
Pembagian waktu bagi mata pelajaran tiap-tiap hari, biasanya dibagi tiga[16]:
a.       Pelajaran al-Qur’an dari pagi sampai dengan waktu Dhuha;
b.      Pelajaran menulis dai waktu Dhuha sampai dengan waktu Zuhur, setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing untuk makan siang; dan
c.       Pelajaran ilmu yang lain (nahwu, bahasa Arab, sya’ir, berhitung, riwayat, atau tarikh) di mulai setelah zuhur sampai akhir siang (ashar)

C.  Institusi Pendidikan Islam Pra-Lahirnya Sistem Madrasah
1.      Masjid dan Jami’
Kata masjid berasal dari bahasa Arab, sajada (fiil madi) yusaajidu (mudhari’) masaajid/sajdan (masdar), artinya tempat sujud.  Dalam pengertian yang lebih luas berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah Sang pencipta Khalid dan tempat merenung dan menata masa depan (zikir). Dari perenungan terhadap penciptaan Allah masjid berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Sejarah pendidikan Islam erat pertaliannya dengan masjid.[17]
Proses yang mengantarkan masjid sebagai pusat dan pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal mula mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum dan tujuan-tujuannya. Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi saw hijrah ke Madinah. Seluruh kegiatan umat difokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang dilakukan Rasulullah bersama para sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqah[18]. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai  sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.[19]
Semenjak berdirinya masjid di zaman Nabi saw. masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian, di kalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilm dan memotivasi mereka mengantar anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di masjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab.[20]
Masjid telah didirikan oleh perorangan-perorangan yang hartawan, baik ia sebagai raja atau rakyat biasa. Masjid tetap merupakan tempat yang utama untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu lainnya, dan pendidikan biasanya diberikan dengan cuma-cuma di sekolah-sekolah, dan di samping itu disertai pula dengan hadiah-hadiah dan pemberian-pemberian. Di antara masjid-masjid yang terkenal sebagai tempat belajar adalah[21]:
a.       Jami’ Umar bin ‘Ash
b.      Jami’ Ahmad bin Thulun
c.       Masjid al-Azhar.
Pada zaman Kerajaan Umawiyah, para sahabat dan tabi’in telah membuka banyak pusat pengajian Islam di masjid-masjid di seluruh Negara Islam. di antara pelajaran-pelajaran yang diajarkan adalah ilmu Tafsir, hadits, Fiqh, baahasa, kesusastraan Arab, dan lain-lain. pengajaran disampaikan dalam bentuk syarahan. Pada zaman ini muncullah beberapa aliran pengetahuan, yaitu ilmu kalam, undang-undang, tasawuf, dan filsafat.[22]
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasaha para pengusaha pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.[23]
Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan perkembangannya yang luar biasa, tradisi masjid sebagai pusat peribadatan juga menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu (Abbasiyah) sedikit demi sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tetapi juga sebagai pusat pengajaran bagi kaum muda. Sedemikian banyaknya dan sedemikian tersebarnya masjid-masjid ummat Islam sehingga al-Yaqubi melaporkan bahwa di Baghdad saja terdapat 3.000 masjid pada abad ketiga Hijriah.[24]
Masjid dapat dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan tertua dalam Islam, pembangunnaya dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan ia tersebar di seluruh negeri Arab. Di samping tugasnya yang utama sebagai tempat menunaikan shalat dan beribadah, di dalam masjid ini pula mulai mengajarkan al-Qur’an dan ajaran-ajaran agama Islam. Pada masa Rasulullah masjid dan Jami’ berfungsi sebagai sekolah menengah dan Perguruan Tinggi dalam waktu yang sama. Sebelumnya masjid pada pertama kalinya merupakan tempat untuk pendidikan dasar, akan tetapi orang-orang Islam berpendapat lebih baik memisahkan pendidikan anak-anak pada tempat yang tertentu demi menjaga kehormatan masjid dari keributan anak-anak dan arena mereka belum mampu menjaga kebersihan.

2.      Rumah
a.       Rumah al-Arqam
Lahirnya pendidikan Islam ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam. katika wahyu diturunkan Allah kepada Nabi Muahmmad saw, maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempatnya, di samping menyampaikan ceramah di berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lemabaga pendidikan pertama dalam Islam. hal ini berlangsung kurang lebih 13 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih bebentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi-materi pendidikan disampaikan dan diserahkan sepenuhnya kepada nabi saw.[25]
b.      Manazil Ulama’ (Rumah Kediaman Para Ulama)
Di antara rumah ulama yang dipakai untuk tempat belajar ialah:
1)      Rumah Rais Ibnu Sina
Berkata Jurjani: pada tiap-tiap malam berkumpul pelajar-pelajar di rumah Ibnu sina. Aku membaca di hadapannya kitab Syifa, yang lain membaca kitab Qanun menurut gilirannya. Pelajaran itu dilakukan malam hari, karena tidak ada kesempatan pada siang hari.[26]
2)      Rumah Imam Ghazali
3)      Rumah Ya’qub bin Killis
4)      Rumah Wazir khalifah al-Aziz billah al-Fatimi
5)      Rumah Muhammad Ibnu Hattim al Razi al-Hafiz
6)      Rumah Sulaiman al-Sajastani.
Rumah-rumah para ulama’ di atas dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu dengan pertimbangan bahwa (a) rumah sebenarnya dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus (b) Situasi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain (c) Anggapan bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru mendatang muridnya untuk mengajar.
Dari proses pembelajaran rumah ini kita dapat mengambil hikmah, yaitu sangat ideal pembinaan anak-anak untuk menjadi shalih dan shalihah adalah dimulai dari lingkungan rumah. Artinya orang tua berperan utama dalam pembentukan karakter, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka. Untuk itu tidak bisa kalau kemudian orang tua melepaskan anak keturunan mereka untuk dididik dan dibinah melalui lembaga  masyarakat dan sekolah tanpa diawali pendidikan keluarga, anak-anak bersangkutan diharapkan menjadi sempurnah. Karena apapun alasannya pendidikan rumah tetap menjadi lembaga utama dan ideal dalam tumbuh kembang kepribadian anak-anak.

3.      Qushar (Pendidikan Rendah di Istana)
Timbulnya pendidikan rendah di istana untu anak-anak para pejabat didasarkan atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah dewasa. Untuk itu, khalifah dan keluarganya serta pembesar istana lainnya berusaha mempersiapkan anak-anaknya agar sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang akan diembannya nanti.[27]
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di Kuttab pada umumnya, di istana orang tua murid (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya.[28]
Di samping memberikan kurikulum sebagaimana yang diajarkan di maktab, juga diajarkan ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan yan diperlukan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi, untuk memaski pergaulan di masyarakat, dan untuk bekerja di pemerintahan khalifah. Sesungguhnya, para pengajar di sekolah-sekolah istana disebut mu’addib dari kata adab, atau tingkah laku yang baik, dan seseorang yang bertingkah laku dengan baik disebut mu’addab. Seni pidato dan percakapan yang baik, etika formal, sejarah dan tradisi juga terdapat dalam kurikulum tersebut.[29]
Muaddib mendapat hak istimewa dari khalifah atau pembesar dengan menganugrahi bilik khusus di istana untuk tempat tinggalnya, suapa ia mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan sempurna.[30]
Rencana pembelajaran di Istana[31]:
a.       Al-Qur’an (Kitabullah)
b.      Hadis-hadis yang termulia
c.       Syair-syair yang terhormat
d.      Riwayat Hukama (ahli ilmu pengetahuan)
e.       Dan lain-lain seperti menulis, membaca, dan sebagainya.

4.      Hawanit al-Waraqain (Toko-Toko Buku)
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan  Islam sudah tumbuh  dan berkembang serta diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.[32] Di sana berkumpul ahli sastra dan alim ulama membahas ilmu pengetahuan dan bertukar pikiran dalam soal-soal ilmiah.[33]
Selama periode Abbasiyah, ilmu pengetahuan Muslim berada di tempat yang sangat tinggi sehingga mengilhami tumbuhnya toko-toko buku, penyalur buku, dan para penyalin naskah di semua kota-kota penting Islam, terutama di Baghd ad, Cordova , Kairo, Mashhad (Meshed) dan Damaskus. Tidak saja jumlah toko buku selalu bertambah di luar dugaan di Islam Timur selama periode Abbasiyah dan Islam Barat selama periode Umayyah II (Spanyol), tetapi dengan bertambahnya toko-toko buku ini menyebabkan bermunculannya toko-toko buku di tempat lainnya di dunia Islam. banyak para cendekiawan yang menghabiskan waktunya berjam-jam di toko buku tersebut. Mereka dengan bebas meneliti, membaca, dan mempelajari buku-buku yang ada, atau membeli buku-buku yang menarik untuk dikoleksi di perpustakaan pribadinya.[34]
Beberapa di antara naskah-naskah itu pada akhirnya dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan pribadi para cendekiawan Muslim atau para penguasa yang menjadi pendukung dan penyebar ilmu pengetahuan, dan disediakan kepada siapa saja yang berminat untuk mempelajarinya. Di perpustakaan seperti itulah, Ibnu Sina menghabiskan masa penelitiannya, yang menurut pengakuannya sendiri terdapat naskah-naskah tentang kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sehingga seakan-akan  perpustakaan tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang melimpah, yang kemudian digabungkan dengan karya-karyanya yang monumental yakni ilmu kedokteran. Demikian pula beberapa cendekiawan Muslim besar seperti al-Ghazali, al-Farabi dan Avicenna, serta beberapa nama lainnya – yang pernah mengajar di Madrasah – juga memiliki perpustakaan pribadi dan melakukan studi, serta menjadikan rumahnya sebagi pusat bagi orang-orang yang mencari ilmu. Banyak yang orang-orang beruntung di undang mengunjungi perpustakaan mereka.[35]
Dengan demikian toko-toko buku tersebut berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.[36] Pemilik buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah dan kadang-kadang berfungsi sebagai pemimpin studi tersebut. Ini semua menunjukkan bahwa betapa antusias umat Islam masa itu dalam menuntut ilmu.

5.      Salunat al-Adabiyah (Majlis Sastra)/Saloon Sastra
Saloon dalam bahasa Arab berarti sanggar seni. Manurut Hasan ‘Abd. Al-‘Al seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thanta, menyatakan saloon ini telah berdiri masa Abbasiyah dengan nama al-Salunat al-Adabiyah, yaitu sanggar seni dan sastra. Beda dengan Harun Nasution bahwa saloon-saloon yang timbul dalam bentuknya yang bersahaja sudah mulai pada zaman bani Umayyah, dan kemudian hidup dengan megahnya di zaman bani Abbas, adalah suatu perkembangan dari majelis-majelis khulafaur rasyidin, karena seorang khalifah dalam Islam adalah berfungsi mengatur urusan duniawi, dan berfatwa dalam urusan agama. Karena itu, maka salah satu syarat-syarat terpenting ialah seorang khalifah haruslah berilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang memberi kemampuan kepadanya untuk berijtihad.[37]
Salon-salon sastra, yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. “Di salon-salon sastra itu,” kata Syalaby, “Adat kebiasaan dan peradaban asing berkembang dengan sendirinya;salon-salon dipersiapkan dengan sunguh-sungguh, hanya orang-orang dari kelas-kelas tertentu saja yang diijinkan masuk. Anggota-anggotanya harus datang tepat waktu dan meninggalkan saloon menurut tanda-tanda khusus yang telah diterapkan oleh khalifah. Hanya khalifah sajalah dan tidak ada orang lain yang dapat membuka diskusi.[38]
Orang-orang yang mengunjungi saloon-saloon sastra tidak hanya dipilih secara khusus tetapi juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian tertentu yang harus mereka kenakan dan harus mengikuti aturan yang ketat dalam menjaga sikap dan martabatnya. Setiap orang telah ditentukan terlebih dahulu tempat duduknya, menurut kelasnya. Ketika khalifah membuka pidato pembukaan, semunya harus diam serta mendengarkan dengan sunggh-sungguh dan penuh rasa hormat. Peserta diskusi harus berbicara dengan bahasa yang baik dan benar, tenang. dengan suara yang ditata.[39]
Dengan semua formalitas tersebut, perkumpulan sastra tersebut merupakan pusat pendidikan yang sangat penting. Pertemuan tersebut menarik para cendekiawan besar untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan berkomunikasi tentang bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas serta tentang topic-topik yang sedang actual, sehingga menjadi pusat-pusat penggalian ilmu pengetahuan yang sangat orisinil. Saloon-saloon tersebut mecapai puncaknya selama periode Abbasiyah, di bawah khalifah seperti Harun ar-Rasyid. Mereka menggunakan saloon-saloon tersebut untuk mengadakan tukar pikiran tentang persoalan-persoalan yang luas dan beragam di antara para cendekiawan ternama, teruatama di bidang agama, ilmu kalam, filsafat retorika, tata bahasa dan puisi (syair). Al- ma’mun khalifah yang berwawasan ilmu lainnya, medorong dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan tukar pikiran dan dialog di antara para cendekiawan yang berbeda pendapat dalam filsafat dan ilmu kalam. [40]

6.      Maktabah (Perpustakaan)
Mehdi Nakosteen mengatakan bahwa semua Muslim, baik kaya ataupun miskin, penguasa atau rakyat biasa, Persia atau Arab dan tua atau muda, telah menunjukkan penghormatan yang besar kepada cendekiawan. Namun tetap lebih besar penghormatan mereka terhadap karya-karya ilmu pengetahuan atau masterpieces yang berkenaan dengan kesusastraan. Kepadanya sekaligus, ketika buku-buku disalin dengan tulisan tangan  oleh para penyalin khusus, kesetiaan kepada buku-buku terkenal, nyaris sama dengan kesetiaannya terhadap religiusitas, hal-hal yang bersifat mistik. Cintanya Muhyiddin ibnul Arabi menyatakan dalam Mahadurat al-Abrar, bahwa sebuah buku terkenal tentang sejarah atau bersifat ilmiah, mengungkapkn kebijakan pemikiran yang sangat bagus, ditopang oleh tradisi masa lalu dan menunjukkan hasil-hasil pikiran yang logis dari banyak negeri yang jauh, adalah sungguh sesuatu yang berharga, namun dengan mudah dan dengan murah dapat diperoleh jika dibandingkan dengan barang-barang berharga lainnya. Dalam penggambaran hubungan manusia dengan sebuah buku, ia bertanya: “Siapa yang dapat memiliki tamu lain seperti itu yang boleh jadi singgah sebentar atau tinggal dengan Anda sebagaimana bayangan Anda sendiri atau bahkan sebagai anggota badan Anda?” al Jahiz Menunjukkan bahwa, “Buku akan diam selama Anda membutuhkan kesunyian (keheningan), akan fasih berbicara kapanpun Anda menginginkan wacana. Ia tidak pernah menyela Anda jika Anda sedang berbicara, tetapi jika Anda merasa kesepian maka ia akan menjadi sekutu yang baik. Ia adalah teman yang tidak pernah mencurangi atau memuji Anda dan ia adalah teman (saudara) yang tidak pernah membosankan Anda”.[41]
pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.[42]
Perpustakaan menurut sistem ulama Islam dahulu, bukan saja tempat membaca, membahas dan menyelidik, bahkan juga tempat belajar berhalaqah, seperti di masjid. Perpustakaan adalah sebagai institusi ilmu pengetahuan masa sekarang, di samping usahanya memberi kesempatan kepada umum untuk membaca buku-buku dalam perpustakaan itu.[43]
Perpustakan itu ada tiga macam:
a.       Perpustakaan Umum
Perpustakaan umum diadakan di masjid, untuk dibaca oleh umum yang datang ke masjid. Begitu juga perpustakaan itu diadakan di madrasah-madrsah untuk tempat pembacaan bagi pelajar-pelajar dan pencinta ilmu pengetahuan. Perpustakaan umum itu sangat banyak, hampir tiap-tiap masjid dan madrasah mempunyai perpustakaan sendiri.[44]
Di antar perpustakaan yang termasyhur sebagai berikut:
1)      Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad, didirikan oleh khalifah Harun ar-Rasyid.
2)      Perpustakaan al-Haidariyah, di Najaf (Irak).
3)      Perpustakaan Ibnu Suwar di Bashrah, didirikan oleh Abu Ali bin Suwar.
4)      Perpustakaan Sabur, didirikan oleh Abu Nasr sabur bin Ardasyir.
5)      Darul Hikmah di Kairo, didirikan oleh al-Hakim Biamrillah al-Fatimy.
b.      Perputakaan Khusus
Perpustakaan khusus diadakan oleh alim ulama dan ahli sastra di rumahnya masing-masing untuk dipakainya sendiri. Perpustakaan seperti ini  banyak juga, hampir tiap-tiap orang alim dan ahli sastra mempunyai perpustakaan sendiri, seperti[45]:
1)      Perpustakaan al-Fath bin Khagan Wazir al-Mutawakkil al-Abbasy.
2)      Perpustkaan Hunain bin Ishaq.
3)      Perpustakaan Ibnu al-Khassayh
c.       Perpustakaan antara umum dan khusus
Perpustakaan seperti ini didirikan oleh khalifah-khalifah dan raja untuk memuliakan dan menghargaiilmu pengetahuan. Perpustakaan itu tidak terbuka untuk umum, hanya dapat dimasuki oleh orang-orang besar dan golongan tertentu dengan mendapat izin yang khusus.[46] Di antaranya adalah:
1)      Perpustakaan an-Nashir Ladinillah
2)      Perpustakaan al-Mu’tashim Billah
3)      Perpustakaan khalifah-khalifah Fatimiyah di Kairo.
Salah satu ciri penting pada masa Dinasti Abbasiyah adalah tumbuh dan berkembangnya dengan pesat perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan yang sifatnya umum didirikan oleh pemerintah, maupun perpustakaan yang sifatnya khusus didirikan oleh para ulama atau para sarjana. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun, merupakan salah satu contoh dari perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang berisi ilmu agama dan bahasa arab. Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu serta berbagai buku terjemahan dari bahasa yunani, Persia, India, Qibti dan Aramy.[47]  Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.

7.      Bimaristan dan Mustasyfa (Klinik dan Rumah Sakit)
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-oabatn atau farmasi.[48]
Rumah sakit ini, juga merupakan tempatpraktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. dengan demikian, rumah sakit dalm dnia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
8.      Badiah (Dusun Badwi)
Di kota-kota, bangsa Arab bergaul dengan bangsa-bangsa asing yang bermacam-macam bahasa dan bangsanya terutama bangsa Persia.
Mereka memeluk agama Islam dan bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Pada masa itu bangsa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh Negara Islam yang luas itu. Bahkan bahasa Arab itulah bahasa percakapan di rumah-rumah, di kampong-kampung dan di kota-kota. Orang-orang yang bukan bangsa Arab tidak dapat menguasai bahasa itu menurut qaedah-qaedahnya dan tak sanggup mengucapkannya dengan fasih dan tepat seperti orang Arab. Dengan demikian rusaklah bahas Arab yang asli dan lahirlah bahasa pasar. Kesalahan-kesalahan itu bukan saja pada bangsa yang bukan bangsa Arab, bahkan juga pada orang bangsa Arab sendiri.[49]
Singkat kata, di kota-kota yang banyak bergaul bangsa Arab dengan bangsa asing banyak terdapat kesalahan-kesalahan bahasa Arab. Hanya di Badiah (dusun badwi), di padang sahara bahasa arab tetap fasih dan murni. Orangorang badwi tetap mengucapkan bahasa Arab itu dengan fasih. Dengan demikian badiah menjadi sumber bahasa Arab yang asli.[50]
Oleh sebab itu khalifah-khalifah mengirimkan anak-anaknya ke badiah untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni, serta mempelajari syair-syair dan sastra Arab dari sumbernya yang asli. Bahkan ulama-ulama juga banyak yang pergi ke badiah untuk tujuan tersebut itu di antaranya[51]:
a.       Al-Khalil bin Ahmad
b.      Bajar bin Burd
c.       Al-Kasai
d.      Imam Syafi’i
e.       Dan lain-lain.

9.      Majlis
Majlis adalah isim makan – kata yang menunjukkan arti tempat – dari kata kerja (fi’il) jalasa artinya duduk, sinonim dengan kata qa’ada. Pada perkembangan berikutnya – di saat dunia pendidikan mencapai zaman keemasan – majlis berarti sessi dimana aktivitas pelajaran ata diskusi berlangsung dan belakangan majlis diartikan sejumlah aktivitas. Majlis yang di-idhafah-kan pada nama orang berarti milik, misalnya majlis al-Nabi, artinya majlis yang diselenggarakan oleh Nabi. Namun demikan, tidak semuanya berarti milik. Misalnya, majlis al-Syafi’i bukan berarti majlis yang diselenggarakan  di rumah Syafi’i, tetapi menunjukkan kegiatan kelas belajar-mengajar yang diselenggarakan oleh al-Syafi’i. yang disebut terakhir lebih menunjuk kepada kelas yang mengajarkan fikih Imam Syafi’i.[52]
Rasulullah ketika menyampaikan dakwahnya kepada para sahabatnya sering membenuk majelis-majelis. Majelis tersebut biasanya memang bisa  bertempat dimana saja, terkadang Rasulullah melakukannya setelah selesai melaksanakan shalat, atau di tempat yang berbeda. Terkadang majelis tersebut terbentuk secara spontanitas, contohnya ketika Rasulullah sedang duduk kemudian ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau tentang suatu hal, lalu rasulullah menerangkan maslah tersebut, kemudian dari penerangan tersebut munculah pertanyaan baru dari para sahabat. Proses tersebut bisa dikatakan sebuah majelis. Karena terjadi proses transfer ilmu antara Rasulullah dengan para Sahabat.
            Selain itu ada factor yang memotivasi para sahabat untuk membentuk dan menghadiri majelis   ilmu. Yaitu dimana disuatu tempat ada majelis ilmu, maka para Malaikat akan mendoakan orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut untuk memohonkan ampun  kepada Allah. Sehingga timbullah semangat para shahabat untuk selalu berada di majelis dan berusaha untuk melestarikannya. Hal ini terbukti dengan keberadaannya majelis ilmu hingga zaman sekarang. 
            Istilah Manjelis dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama  Islam. Pada perkembangan berikutnya, disaat dunia Islam mencapai macam keemasan, majelis di artikan sebagai aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan seiring perkembangan pengetahuan Islam, majelis menjadi banyak ragamnya. Munirudin Ahmed, Majelis dibedakan menjadi 7 macam[53]:
a.       Majelis Hadits, dalam majelis ini terdapat dua macam, yaitu majelis  permanen dan majelis yang diselenggarakan sewaktu-waktu. Majelis permanen biasanya dilakukan oleh seorang ulama ahli hadits dalam jangka waktu yang sudah jelas atau sudah rutin dilaksanakan. Sedangkan majelis yang bersifat semi permanen diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua kali dalam waktu setahun oleh ulama yang bukan ahli dalam bidang hadits..
b.      Majelis Tadris, yaitu majelis yang mengajarkan tentang tadris.
c.       Majelis Al-Munazharah, merupakan sebuah majelis pertemuan perdebatan, bukan semacam lembaga pendidikan. Majelis ini dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya:
·         Majelis Al Munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah. Majelis Al Munazharah yang bersifat educarif, yang dilakukan secara kontiyu, dan biasanya dilaksanakan setelah proses belajar mengajar dan lebih mirip dengan metode tanya jawab atau diskusi. Majelis Al Munazharah yang bersifat spontan atau diselenggarakan secara tidak sengaja. Semisal bertemuanya dua orang ulama di tengah jalan, kemudian terjadi tukar pendapat, sehingga tanpa disengaja terjadi majelis ini.
·         Majelis Al Munazharah yang bersifat forum terbuka antara beberapa ulama. Majelis ini biasanya terdiri dari perkumpulan beberapa ulama. Yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan menentukan siapa yang dapat menjatuhkan lawannya dengan mengemukakan argument yang luas.
d.      Majelis Al-Muzakarah, majelis ini bisa dikatakan sebagai majelis yang dihasilkan sebagai sebuah inovasi dari para murid. Awalnya, ulama-ulama hadits mendiskusikan hadits  di tempat terbuka. Para ulama mengizinkan para murid untuk bertanya atau member saran mengenai topic yang ingin dibahas. Kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah lembaga. Inti materi yang dibahas dari majelis ini adalah  tentang hadits, seperti membahas sanad hadits, membahas hadits dalam bidang yang lebih spesifik, pembahasan pengelompokan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi ataupun hadits yang diriwayatkan oleh para ulama. Kemudian ada juga yang membahas tentang hadits yang dhaif, rangkaian perawai hadits, dan yang terakhir membahas segi musnad.
e.       Majelis Asy-Syu’ara, sesuai dengan namanya Syu’ara yang berarti syair. Majelis ini adalah majelis yang mengkhususkan untuk belajar syair yang bertujuan untuk belajar bahasa. Memang  menurut pendapat saya (penyusun) tiada yang dapat dibanggakan pada syair-syair yang dibuat, tetapi  di mata orang-orang Arab, syair memiliki nilai tersendiri.
f.        Majelis Adab, bagi bangsa Arab adab mencangkup tiga  pembahasan, yaitu puisi, silsilah dan laporan bersejarah bagi orang-orang terkenal. Majelis ini membahas tentang  ketiga hal di atas, walaupun terkesan seperti perbincangan daripada tempat belajar.
g.      Majelis Al-Fatwa, majelis ini bisa dikatakan sebagai majelis fiqih, karena di dalamnya mengajarkan ilmu fiqih. Majelis ini bertujuan untuk mencari kesepakatan dari beberapa masalah yang dibahas, kemudian kesepakatan tersebut difatwakan yang diperkuat dengan syariat atau hukum.
           
10.  Ribath (Tempat Kegiatan Para Sufi)
Arti Ribath pada asalnya ialah kamp, tempat tentara yang dibangunkan di perbatasan negeri untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh. Tetapi kemudian arti ribath itu, bukan tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara, melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan malam petang dan pagi. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal orang-orang Sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka juga belajar agama di sana dari pada Syekh kepada ribath itu. dengan demikian maka ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dan lain-lain. bukan ribath-ribath itu untuk kaum laki-laki, bahkan ada juga untuk kaum wanita.[54]
Di antara ribath yang termasyhur mengadakan halaqah untuk mengajarkan membaca. Menulis, agama, dan tasawuf ialah ribath al-Athar yang dibangun oleh Shahib Fakhruddin Muhammad.[55]


KESIMPULAN
Ø Al-Kuttab merupakan lembaga pendidikan Islam yang terlama. Menurut Asma Hasan Fahmi dalam bukunya, Kuttab didirikan oleh orang Arab padamasa Abu Bakar dan Umar, yaitu sesudah mereka melakukan penaklukan-penaklukan dan sesudah mereka mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Pada waktu itu mereka telah merasa pentingnya perluasan penyiaran agama Islam., dan melengkapi keturunan-keturunan mereka dengan kebudayaan dan pengetahuan agar sejalan dengan masa transisi yang bercorak isolasi dan badui kepada suatu keadaan yang mempunyai hubungan dan kerjasama dengan bangsa-bangsa yang lebih berperadaban.
Ø Sistem pendidikan Kuttab meliputi materi yang diajarkan berupa Membaca al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, menulis, kisah (riwayat) orang-orang besar, membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa), berhitung, dan pokok-pokok imu nahwu dan ilmu sharaf ala kadarnya dengan metode mengajar secara lisan, menghafal, dan tulisan.
Ø Instutis pendidikan Islam sebelum lahirnya madrasah adalah: kuttab, masjid, rumah, toko-toko buku, perpusatakaan, istana, saloon sastra, majlis, badiah, ribath, dan rumah sakit.



[1] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 12.
[2] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 30.
[3] Suwito, Sejarah Sosial…., hlm, 12.
[4] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, hlm. 30
[5] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, hlm. 31.
[6]  Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat…., hlm.  32.
[7]  Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 113.
[8] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2014), hlm. 512.
[9] Suwito, Sejarah Sosial…., hlm. 16.
[10] Suwito, Sejarah Sosial…., hlm. 14.
[11] Suwito, Sejarah Sosial…. , hlm. 14.
[12] Suwito, Sejarah Sosial…., hlm. 14.
[13] Hellenisme diambil dari bahasa Yunani kuno Hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seprti orang Yunani”. Hellenisme klasik: yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-6 dan ke-5 SM. Hellenisme secara umum: istilah yang menunjukkan kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Metopotamia, dan mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (masa Alexander Agung atau meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM. Hellenisme ditandai dengan fakta bahwa perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan menjadi hilang. Kebudayaan yang berbeda yang ada di jaman ini melebur menjadi satu yang menumpang
gagasan-gagasan agama, politik dan ilmu pengetahuan. Lihat http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/hellenisme-tokoh-filsafat.html
[14] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49
[15] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan…, hlm. 115.
[16] Suwito, Sejarah Sosial…. , hlm. 19.
[17] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan… , hlm. 116
[18] Halaqah artinya lingkaran, seorang guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai, yang melingkari gurunya. Lihat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49.
[19] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan…, hlm. 116.
[20] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan…, hlm. 116.
[21] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat… , hlm. 34-35.
[22] Hasan langgulung, Pendidikan Islam Menghadapai Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1988),  hlm. 15.
[23] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 98.
[24] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) , hlm 63.
[25] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan…, hlm. 111.
[26] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hlm. 85.
[27] Suwito, Sejarah Sosial…., hlm. 102.
[28] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…, hlm. 91.
[29] Mehdi Nakosteen, , Konstribusi Islam…, hlm 63
[30] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 81.
[31] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…., hlm.  82.
[32] Zuhairini,  Sejarah Pendidikan…, hlm. 91.
[33] Mahmud  Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm.   84
[34] Mehdi Nakosteen, , Konstribusi Islam…, hlm, 64.
[35]  Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam…,  hlm. 64-65.
[36] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…, hlm. 92.
[37] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan…, hlm. 118.
[38] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam …,hlm. 65.
[39] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam… , hlm  65.
[40] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam… , hlm 65.
[41] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam… , 87.
[42] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…., hlm. 95.
[43] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 90.
[44] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 91.
[45] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 93.
[46] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 93.
[47] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…, hlm. 98.
[48] Zuhairini, Sejarah Pendidikan…, hlm. 95.
[49] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 89.
[50] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 89.
[51] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, 90.
[52] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan…, hlm. 50-51.
[53] Riyadh Maliki, Beberapa Lembaga Pendidikan Sebelum Kebangkitan Madrasah, (online) diakses melalui http://riyadhmaliki.blogspot.com/2011/07/beberapa-lembaga-pendidikan-sebelum.html, tanggal akses 11 April 2015.
[54] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 96.
[55] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hlm. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar