Keanekaan Indonesia dikenali, diakui, dan dikukuhkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara
menyeluruh yang berlaku hingga saat ini. Dengan gagasan multikulturalisme akan segera
ditemukan bahwa kenyataan sebenarnya diri seseorang, diri suatu komunitas
kebudayaan maupun agama, sebenarnya terbangun dari aneka budaya, bahwa di dalam
diri kita hidup orang, di dalam orang lain hidup diri kita, bahwa kita dan
orang lain tak pernah terpisahkan, telah menjadi satu kesatuan.[1]
Indonesia adalah negara dengan kemajemukan masyarakatnya, dari
beragam budaya, etnis dan agama. Keragaman ini pada satu sisi merupakan
kekuatan bangsa, namun di sisi lain berpotensi terjadinya konflik. Suatu konflik
yang dapat terjadi dalam proses interaksi sosial yang masih rapuh dalam
kesadaran tentang kesadaran pluralisme dan mutikultural. Dalam hubungan intra
dan antar umat beragama, suatu konflik dapat terjadi karena belum adanya
kesadarn pluralisme pada satu sisi dan fanatisme ajaran agama pada sisi lain.
Secara ideal, konflik itu seharusnya dapat berakhir pada doktrin
agama, karena dalam ajaran masing-masing agama terdapat nilai-nilai ajaran
tentang perdamaian, kasih sayang persaudaraan, kesetaraan, penghargaan atas
keyakinan, kebersamaan, hak asasi, saling menghormati dan saling bekerja sama
dalam memecahkan persoalan bersama. Dalam konteks itulah pendidikan agama
diharapkan dapat berperan aktif dalam membangun karakter dan kepribadian bangsa. Dalam konteks
kemajemukan Indonesia, pendidikan agama di sekolah-sekolah sudah selayaknya
memegang prinsip menghormati kepercayaan kemajemukan masyarakat.
A.
Pengertian
Pendidikan Multikultural
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya.”
Sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut – baik keberagaman
agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda – yaitu pluralitas (plurality),
keberagaman (diversity), dan multikultural (multicultural).[2]
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari
dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Kata “pendidikan”, diartikan
sebagai pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan malalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan
cara-cara yang mendidik. Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata
sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu “multi” dan
“culture”. Secara umum, kata “multi” berarti banyak ragam, dan atau aneka.
Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu
kebudayaan, kesopanan, dan atau pemeliharaan. Atas dasar ini, kata
multikultural diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman
latar belakang seseorang. Dengan demikian secara etimologis pendidikan
multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman
budaya para peserta didik.[3]
Adapun secara terminologis, definisi pendidikan multikultural
sangat beragam rumusannya. Dari sekian banyak rumusan para pakar tentang
definisi pendidikan multikultural dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori,
yaitu[4]:
1.
Definisi
yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.
2.
Definisi
yang dibangun berdasarkan sikap sosial, yaitu: pengakuan, penerimaan, dan
penghargaan.
Kategori pertama adalah definisi yang dikemukakan oleh James A.
Banks. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai “konsep
pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik –
tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dankarakteristik
kultural mereka – untuk belajar di dalam kelas.[5]
Kategori yang kedua dikemukakan oleh Ruriko Okada. Menurut Okada,
pendidikan multikultural merupakan “pendidikan yang membantu para peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan
keragaman kultural.[6]
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘ hal-hal yang lebih dari
satu” (many); keberagaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari
satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan
dua konsep terdahulu,multikulturalisme sebenarnya relatif baru.[7]
Multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics
of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat
yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya.[8]
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk
perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang
dikontruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal –
salah satu atau lebih dari tiga hal -, yaitu pertama perbedaan subkultur
(subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang
hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar
dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.[9]
Kedua, perbedaan
dalam perspektif (perspektival diversity), yaitu individu atau kelompok
dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang
dianut oleh mayoritas masyarakat disekitarnya. Ketiga, perbedaan komunitas
(communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan
gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indegeneous
people way of life).[10]
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bikhu Parekh, baru sekitar 1970-an
multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu diskursus
multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Multikulturalisme mengalami
dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan
pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs
of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.[11]
Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi
keberagaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: ‘kebutuhan
atau pengakuan, melibatkan berbagai disipln akademik lain, pembebasan melawan
imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan
masyarakat asli/ masyarakat adat (indegeneous people), post-kolonialisme,
globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang
mendekontruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.[12]
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada
gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus
diwaspadai, yaitu, pertama adanya hegemoni barat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara
berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-bidang
tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat
sejajar dengan dunia barat.
Kedua, esensialisasi
budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa
harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme.
Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit pada akhirnya
merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga, proses
globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu
budaya. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang
multikulturalisme, Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi mendasar yang
harus diperhatikan dalam kajian ini, pada dasarnya manusia akan terikat dengan
struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.
Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap
sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan
selalu melihat segala sesuatu berdasakan budayanya tersebut.
Ketiga, perbedaan
kebudayaan merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang
kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu
entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk
memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun
yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Keempat,
pada dasarnya budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang
merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. [13]
Tuntutan tentang pentingnya pendidikan multikultural disampaikan
oleh para pemikir pendidikan dan para guru di sekolah-sekolah Amerika secara
individual. Beberapa contoh dari mereka adalah James A. Banks, Joel Spring,
Peter McLaren, Henry Giroux, Carl Grant, Cristine Sleeter, Geneva Gay, dan
Sonia Nito. Menurut Paul C. Gorski, pada 1980-an mereka mendorong pentingnya
pendidikan multikultural dan menolak terhadap sekolah-sekolah yang hanya memberikan perhatian utama kepada kelompok
tertentu, misalnya kelompok ras, warna
kulit, gender dan kelas sosial tertentu.[14]
B.
Karakteristik Pendidikan Multikultural
Pendidikan mulikultural terdiri dari tiga karakteristik,
diantaranya ialah:
1.
Berprinsip
pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang
mendasari pendidikan multikultural, baik pada level ide, proses, maupun
gerakan. Ketiga prinsip ini menggaris bawahi bahwa semua anak memiliki hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan.
Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip
pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan
doktrin-doktrin Islam dan pengalaman historis sejarah. Adapun doktrin Islam
yang mengandung prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, antara lain ditemukan
keberadaannya dalam al-Qur’an surat al-Syura [49]: 38, al hadif [57]: 25, dan
al-A’raf [7]: 181.[15]
2.
Berorientasi
kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian
Orientasi pertama bagi pendidikan multikultural adalah orientasi
kemanusiaan. Kamanusiaan (humanity)
yang dijadikan titik orientasi oleh pendidikan multikultural dapat
dipahami sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan manusia,
keberadaannya, dan martabatnya, sebagai pemikiran dan tindakan manusia yang
tertinggi. Sebagai manusia bermartabat, Nimtod Aloni menyebut adanya 3 (tiga)
prinsip dalam kemanusiaan, yaitu[16]:
a.
Otonomi,
rasional, dan penghargaan untuk semua orang.
b.
Kesetaraan
dan kebersamaan.
c.
Komitmen
untuk membantu semua orang dalam pengembangan potensinya.
Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan multikultural ini relevan
dengan konsep hablun min al-nas. Konsep ini, menurut Abdul aziz
Schedina, menempatkan manusia pada dua posisi. Posisi pertama adalah bahwa
manusia merupakan makhluk terbaik (ahsanu taqwim) di antara
makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini. Adapun posisi kedua adalah bahwa
manusia harus tunduk kepada hukum Allah yang dikenal dengan kesatuan
kemanusiaan (the unity of humankind).[17]
Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan. Kebersamaan
disini dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau sikap
seseorang terhadap kelompok dan komunitas.[18]
Dalam perspektif Islam, nilai kebersamaan yang menjadi titik
orientasi pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep saling mengenal (ta’aruf)
dan saling menolong (ta’awun).[19]
Orientasi ketiga pendidikan multikultural adalah kedamaian (peace).
Pendidikan multikultural bertugas untuk membentuk mindset peserta didik
akan pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan,
konflik, kekerasan, dan sikap mementingkan diri sendiri.
Dalam perspektif Islam, orientasi kedamaian pendidikan
multikultural ini kompatibel dengan doktrin Islam tentang al-salam.
Doktrin ini, menurut Maulana Wahiduddin Khan, mengandung pengertian bahwa Islam
menawarkan visi hidup yang harmonis dan damai di tengah-tengah kelompok
masyarakat yang beragam.[20]
3.
Mengembangkan
sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman budaya
Jika nilai-nilai filsafat Barat bersumber dari filsafat yang
bertumpu pada hak-hak asasi manusia, maka nilai-nilai multikultural dalam
perspektif Islam bersumber dari wahyu. Berikut karakteristik pendidikan
multikultural[21]:
Karakteristik
|
Nilai multikultural perspektif Barat
|
Nilai multikultural perspektif Islam
|
Berprinsip pada
demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.
|
Demokrasi,
kesetaraan, dan keadilan. Lawannya: diskriminasi, hegemoni, dan dominasi.
|
Al-musyawarah,
al-musawah, dan al-adl.
|
Berorientasi
kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian.
|
Kemanusiaan,
kebersamaan, dan kedamaian. Lawannya: Permusuhan, konflik, kekerasan, dan mau
menang sendiri.
|
Hablun min
al-nas, al-ta’ruf, al ta’awun, dan al-salam.
|
Mengembangkan
sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman
|
Toleransi,
empati, simpati, dan solidaritas, sosial.. lawannya: Rasial, stereotip, dan
prejudis.
|
Al-ta
addudiyat, al-tanawwu, at-tasamuh, al-rahmah, al-‘afw dan al-ihsan.
|
C.
Konsep
Dasar Pendidikan Multikultural
Untuk merekontruksikan pendidikan multikultural, Tilaar menegaskan
tiga lapis diskursus yang berkaitan, yaitu[22]:
1. Masalah kebudayaan. Dalam
hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok
masyarakat atau suku.
2. Kebiasaan-kebiasaan,
tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3. Kegiataan atau kemajuan
tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok dalam masyarakat yang
merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Tilaar lebih lanjut menguraikan persoalan-persoalan dasar dalam
upaya membangun konsep pendidikan multikultural, yaitu yang menyangkut[23]:
1. Konsep yang jelas mengenai
kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2. Peranan pendidikan dalam
membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
3. Hakikat pluralisme yang
berarti pengakuan terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4. Hak orang tua dalam
menentukan pendidikan bagi anaknya.
5. Nilai-nilai yang akan
dipertimbangkan (shared values).
Dalam menegaskan konsep dasar pendidikan multikultural. Tilaar
mengacu kepada konsep C. I. Bennet yang menunjukkan dua aspek mendasar, yaitu
nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural. Nilai-nilai inti tersebut
mencakup: (1) Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat; (2) Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; (3)
Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan (4) pengembangan tanggung
jawab manusia terhadap planet bumi.[24]
Berdasarkan nilai inti tersebut maka dirumuskan enam tujuan, yaitu:
(1) mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat;
(2) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat; (3) memperkuat
kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat; (4)
membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka; (5) mengembangkan
kesadaran atas kepemilikan planet bumi; dan (6) mengembangkan ketrampilan asksi
sosial.[25]
Sebagai sebuah konsep yang baru, konsep pendidikan multikultural
memerlukan proses perumusan, refleksi, dan tindakan di lapangan sesuai dengan
perkembangan konsepnya. Pendidikan multikultural juga merupakan suatu konsep multifacet,
oleh karena itu membutuhkan pendekatakan lintas disiplin (border crossing)
yang melibatkan para pakar dan praktisi sebagai upaya untuk mematangkan dan
mempertajam konsepnya. Malikhah menguraikan lima dimensi pendidikan
multikultural menurut Tilaar, yang juga merujuk pada konsep James E. Banks,
yaitu[26]:
1. Integrasi pendidikan dalam Kurikulum (Content
Integration)
Integrasi materi pembelajaran mencakup keluasan bagi guru dalam
memberikan contoh-contoh, data, dan informasi dari berbagai kebudayaam dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci, prinsip-prinsip,
generalisasi, dan teori-teori dalam bidang atau disiplin ilmunya. Sumber
rujukan untuk content integration mencakup pada ‘apa’ yang seharusnya
dimasukkan ke dalam kurikulum dan harus di tempatkan ‘di mana’ dalam kurikulum
tersebut.[27]
2. Konstruksi Ilmu Pengetahuan (Knowledge
Contruction)
Proses kontruksi pengetahuan menggambarkan prosedur seorang ahli
dalam membangun pengetahuan dan bagaimana ia menyajikan asumsi-asumsi
kebudayaan yang implisit, kerangka rujukan, perspektif, dan bias-bias dalam
suatu disiplin ilmu yang memengaruhi cara ilmu pengetahuan dikontruksi. Ketika
proses kontruksi pengetahuan tersebut diimplementasikan di kelas, guru membantu
siswa agar mengerti bagaimana pengetahuan itu diciptakan dan bagaimana ia
dipengaruhi oleh posisi ras, etnik, dan kelas sosial individu dan kelompok.[28]
3. Pengurangan Prasangka (Prejudice
Reduction)
Dimensi reduksi prasangka dalam pendidikan multikultural menggambarkan
karakteristik sikap rasial anak-anak dan menawarkan strategi yang bisa
digunakan untuk membantu siswa mengembangkan sikap dan nilai-nilai serta
perilaku yang lebih demokratis.[29]
4. Pedagogik Kesetaraan antar Manusia (Equity
Pedagogy)
Pedagogi kesetaraan muncul tatkala guru menggunakan teknik dan
metode-metode yang memfasilitasi pencapaian akademik siswa atau mahasiswa dari
kelompok ras, etnik, dan kelas sosial yang berbeda.[30]
5. Pemberdayaan BudayaSekolah (Empowering
School Culture)
Sekolah merupakan pintu gerbang untuk melaksanakan tugas
pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah
harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif dengan
memperhatikan falsafah masyarakat yang menghargai pluralitas. Penghargaan
terhadap falsafah yang menghargai pluralitas berimplikasi kepada perumusan
strategi pendidikan yang berorientasi multikultural.[31]
D.
Landasan
Normatif Pendidikan Islam Multikultral
Ada 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam
multikultral, khususnya di bidang keagamaan, yaitu[32]:
1.
Kesatuan
dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu)
2.
Kesatuan
kenabian
3.
Tidak
ada paksaan dalam beragama
4.
Pengakuan
terhadap eksistensi agama lain.
Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan
ketetapan Tuhan.
Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan
pandangannya dari al-Qur’an surat Ali Imram [3]: 64:
“Katakanlah (Muhammad) Wahai ahlul Kitab! Marilah kita menuju kepada
satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak
menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun,
dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika
mereka berpalig maka katakanlah (kepada mereka) ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang muslim.” (QS. Ali Imran [3]: 64).
Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam
surat an-Nisa [4]: 163.
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana
Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah
mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya Isa,
Ayyub, Yunus, harun, Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur kepada
Dawud.” (QS. An-Nisa’ [4]:163).
Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya
dari al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 73:
“Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar
berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada
Kami mereka menyembah”. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 73).
Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama
didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 256:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang
siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah
berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha
Mendengar, Maka Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Terakhir adalah mengenai pengakuan al-Qur’an surat al-Maidah ayat
69 akan eksistensi agama-agama lain:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Sabiin, dan orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka
tidak bersedih hati.” (QS. Al-Maidah [5]: 69).
E.
Tujuan
Pendidikan Multikultural
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat
ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik,
tekstual dan skriptual, karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para
pemuka agama (termasuk guru agama) yang bersifat doktriner, rigd (kaku) dan
mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan
sosip-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran
dan agam dapat berperan sebagai faktor disintegratif (pemecah)[33]
Pendidikan multikultural memegang prinsip-prinsip pemahaman (understanding), kesetaraan
(equality), dan keadilan (justice). Pendidikan multikultural harus
terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Tujuan pendidikan multikultural harus mencakup[34]:
1.
Upaya
perubahan terhadap lingkungan pendidikan untuk mengembangkan wawasan keragaman
budaya yang dapat mendukung kesetaraan kesempatan pendidikan bagi semua
kelompok.
2.
Pengembangan
kompetensi antara budaya termasuk kemampuan, sikap dan pengetahuan yang
diperlukan untuk dapat hidup dalam kebudayaan etnik setiap individu dan kultur
universal, baik di dalam maupun lintas kebudayaan-kebudayaan etnik.
3.
Upaya
untuk mengenal, memahami, dan menghormati perbedaan dan kesamaan antar
kebudayaan dan kelompok.
4.
Pengembangan
pemahaman tentang dampak dan implikasi positif dan negatif dari sikap rasisme.
5.
Pengembangan
sikap positif terhadap potensi etniknya dan menggunakannya sebagai pendorong
agar dapat memberikan kontribusinya bagi masyarakat.
6.
Upaya
membantu anak agar dapat mengembangkan identitas kultural, gender, ras, kelas,
dan ientitas individualnya, bersikap terbuka dan mempunyai perhatian sehinga ia
dapat menerima dan bekerja sama dengan, dan kehadirannya dapat diterima oleh,
kelompok-kelompok yang berbeda.
7.
Dukungan
terhadap anak agar mandiri dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.
8.
Pengembangan
hubungan resiprokal yang efektif antara sekolah dan keluarga.
Banks memberi catatan penting dalam melakukan upaya perubahan
lingkungan pendidikan yang mencakup restrukturisasi kultur dan organisasi
sekolah sehingga siswa dan latar budaya yang beragam merasakan kesetaraan dalam
pelayanan pendidikan dan penguatan secara kultural. Menurut Banks, aspek-aspek
yang perlu digarap meliputi[35]:
1.
Perubahan
dalam kurikulum
2.
Materi
pembelajaran
3.
Gaya
mengajar dan belajar
4.
Sikap,
persepsi, dan perilaku guru dan staf administrasi
5.
Tujuan,
norma, dan budaya sekolah.
F.
Pengembangan
PAI Berbasis Multikultural
1.
Tujuan
pendidikan
Tujuan pendidikan multikultural yaitu membentuk manusia budaya dan
mewujudkan masyarakat yang berbudaya. Dalam konteks tujuan ini, seorang guru
harus mampu menanamkan sikap kepada siswa bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya adalah akalnya. Akal yang dianugrahkan Allah kepada manusia akan mampu
menghasilkan budaya. Perlu diingat bahwa budaya itu dapat dibuat, artinya
setiap orang mampu melahirkan suatu budaya. Hal yang harus diperhatikan bahwa
terbentuknya suatu masyarakat yang berbudaya diawali oleh individu-individu
yang berbudaya.[36]
Sebagai bahan pelajaran untuk memahami tujuan ini, guru PAI dapat
mengambil hikmah dari peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah.
Sesampainya di Yastrib, tindakan pertama Nabi adalah meletakkan dasar-dasar
masyarakat yang hendak dibangun mengikuti ajaran Islam. Semangat dan corak
masyarakat tercermin dalam keputusnnya mengganti nama Yastrib dengan al-Madinah
yaitu kota par excellence, tempat madaniyah atau tamaddun, peradaban. Di
tempat barunya itu, Nabi ingin membangun sebuah masyarakat berperadaban, yang
kelak menjadi model bagi masyarakat politik yang dibangun umat Islam. Saat di
madinah itu nabi menegakkan tsaqafah dan hadlarah yang berarti
pola kehidupan menetap yang berbudaya dan berperadaban (sebagai lawan badawah,
pola kehidupan yang namad dan kasar). Inilah rahmat Allah yang dibawa Nabi
untuk seluruh umat manusia, melalui pelaksanaan tugasnya sebagia Rasul pembawa
dan penyampai risalah suci dari Allah swt.[37]
Sebagai awal kerasulan Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam
yang kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar
dan Jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu
proses panjang dan rumit, yaitu asimilasi budaya setempat dengan nilai-nilai
Islam itu sendiri, kemudian menghasilkan kebudayaan Islam, kemudian berkembang
menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.[38]
2.
Materi
pembelajaran
Materi pembelajaran multikultural adalah yang mengajarkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok
etnis. Pada aspek materi ini guru harus mampu mereduksi atau mengikis sikap
negatif yang mungkin dimiliki siswa terhadap pluralisme sosial, keagamaan dan
etnis. Materi pembelajaran dipilih yang relevan dan sekaligus menarik. Guru
disarankan mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama, suku,
kehidupan ekonomi, kemampuan mental serta fisik. Selanjutnya siswa menganalisis
situasi tersebut agar menemukan kondisi ideal yang seharusnya.[39]
Pengembangan materi pembelajaran belajar berdasarkan satu semangat
untuk menanamkan nilai pluralis sebagai suatu sunnatullah. Realitas bahwa
berbagai kelompok umat manusia berbeda dari satu dan yang lainnya adalah
kenyataan. Seringkali, perbedaan-perbedaan ini digunakan sebagai dasar untuk
menolak persamaan terhadap kelompok-kelompok dan individu-individu yang ada.
Untuk alasan inilah penting kiranya Guru Pedidikan Agama Islam (GPAI) mendesain
materi apa yang perlu dipelajari siswa untuk mempelajari perbedaan-perbedaan
kelompok atau individu tersebut.[40]
Sebagai bahan acuan guru dapat mengembangkan materi pembelajaran
dengan melihat firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13. Untuk selanjutnya
sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam materi pembelajaran PAI berbasis
multikultural ini, guru dapat melihat bagaimana para lama terdahulu merumuskan
suatu hukum yang berbasis budaya lokal.[41]
Hal ini dapat dilihat dari pendapat Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:
“Oleh karena itulah para ulama mengatakan bahwa al-Adah syari’ah
muhakkamah (adat adalah syari’at yang dihukumkah). Adat kebiasaan (‘urf)
itu dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak
hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk. Imam Malik membangun banyak
hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para
pendukungnya beranekaragam dalam hukum-hukum berdasarkan aneka ragamnya adat
kebiasaan mereka. Imam Syafi’i setelah berdiam di Mesir mengubah sebagian
hukum-hukumnya sesuai adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Karena itu ia
mempunyai dua pandangan hukum, yang lama dan yang baru (qaul qadim dan qaul
jadid). Hanafi dalam fiqhnya banyak mendasarkan hukum pada adat kebiasaan.
Karena itu ada ungkapan-ungkapan terkenal seperti yang baik menurut adat
kebiasaan adalah sama nilainya dengan syariat yang harus dipenuhi, dan yang
mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantap benar
dalam nash”.[42]
Atas dasar ini maka pendidikan multikultural sangat menekankan
orientasi proses pendidikan pada siswa atau komunias tertentu, yang
memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio budaya siswa dalam
konteks kebudayan masyarakat ketika merancang model pembelajarannya.
3.
Metode
Pembelajaran
Proses pendidikan multikultural disarankan menggunakan
metode-metode yang bersifat anthropologis untuk mengidentifikasi kelompok
sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya yang mempengaruhi proses
berkarya-nya. Pendekatan itu juga menyarankan pentingnya mengidentifikasi
penggunaan pendidikan yang tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat
menunjukkan perbedaan etnik dan sosio-budaya di kelas, masyarakat dan nasional.[43]
Strategi pembelajaran yang digunakan guru adalah strategi
pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam
pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragama
serta mampu menciptakan suasana belajar yang sangat menyenangkan.[44]
Sebuah proses pembelajaran dikatakan menggunakan cooperative
learning jika bercirikan lima unsur yaitu, pertama, adanya saling
ketergantungan positif (positive interdependence). Anggota kelompok
menjalankan peran sebagai pembahas sebuah topik diskusi, penanggap dan
pendukung hingga mencapai konsensus. Kedua, adanya interaksi tatap muka
yang membangun (face to face promotive interaction). Para siswa
berdiskusi, mengajar dan menjelaskan kepada siswa lain dengan cara membangun,
seperti memberikan dorongan dan saling membantu dalam belajar. Ketiga,
adanya pertanggungjawaban secara individual
(individual accountability). Keempat, keterampilan sosial
(social skills). Para siswa harus bekerja sama dengan yang lain, seperti
kepemimpinan, mengambil keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi dan
keterampilan memanajemenkan konflik. Kelima, masing-masing kelompok
mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikan masukan, sehingga masing-masing
mampu meningkatkan diri (groups process their effectiveness).[45]
Berdasarkan unsur-unsur belajar kooperatif ini, maka proses
pembelajaran akan lebih efisien dan mendorong iklim belajar yang aktif,
kreatif, demokratis yang terlihat dari kondisi antara lain: (1) siswa aktif di
kelas baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan
pelajaran yang mendukung apa yang sedang dipelajari, (2) siswa dapat bekerja
sama dengan membuat kelompok-kelompok
belajar, (3) siswa bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan,
mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain,
(4) selain mampu bekerja sama, siswa memiliki kepercayaan diri yang besar.[46]
Selanjutnya diharapkan terjadinya perubahan cara berpikir dari
sebelumnya yang memiliki cara pandang dan interpretasi sosial budaya yang
sempit dan fanatis terhadap budaya mereka sendiri berubah menjadi cara pandang
dan interpretasi demokratis pluralis dan mampu menghargai budaya orang lain.[47]
Menurut Garcia, gaya pengajaran pendidik merupakan gaya
kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan pendidik dalam proses
pembelajaran, gaya kepemimpinan pendidik sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya
peluang peserta didik untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Dalam
pendidikan multikultural, gaya pembelajaran demokratis sangat cocok.[48]
Untuk menggunakan pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran,
pendidik dituntut memiliki kompetensi multikultural. Farid Ealshmwi dan Philip
P. Harris menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural pendidik, yaitu[49]:
a.
Memiliki
nilai dan hubungan sosial yang luas.
b.
Terbuka
dan fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik.
c.
Sikap
menerima perbedaan displin ilmu, latar belakang, ras, dan gender.
d.
Memfasilitasi
pendatang baru dan peserta didik yang minoritas.
e.
Mau
berkolaborasi dan koalisi dengan pihak manapun.
f.
Berorientasi
pada program dan masa depan.
Selain itu, James A. Banks menambahkan kompetensi multikultural
lain yang harus dimiliki oleh pendidik, yaitu[50]:
a.
Sensitif
terhadap perilaku etnik dan peserta didik.
b.
Sensitif
terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar.
c.
Menggunakan
teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dan
pembelajaran.
4.
Hasil
belajar
Hasil belajar pendidikan agama berwawasan multikultural[51]:
a.
Peserta
didik memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang agamis dan menghormati
keragaman dalam pengamalan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari.
b.
Peserta
didik memiliki rasa tanggung jawab sosial, saling menghargai, kesetaraan,
kebersamaan dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama.
5.
Evaluasi
pembelajaran
Evaluasi pembelajaran dalam pendidikan multikultural bersifat
mengevaluasi tingkah laku siswa yang meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan
siswa terhadap budaya lainnya. Dalam mengevaluasi siswa, guru mendasarkan pada
pengalaman belajar siswa yang berarti keberhasilan pendidikan diukur dari hasil
empat pilar pengalaman belajar siswa yaitu[52]:
a.
Belajar
mengetahui (learning to know)
b.
Belajar
berbuat (learning to do)
c.
Belajar
hidup bersama (learnng to live together)
d.
Belajar
menjadi seseorang (learning to be).
Penilaian keberhasilan pendidikan multikultural ini lebih
menekankan pada aspek proses bukan pada aspek hasil. Hal ini berarti
tercapainya tujuan pembelajaran yaitu ketika siswa dalam proses belajarnya
mampu memperoleh pengetahuan dan pengalaman. Dalam konteks PAI keberhasilan
pendidikan multikultural ini dapat
dilihat ketika siswa mampu memahami perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam
itu sendiri, seperti perbedaan mazhab, aliran bahkan teologinya.[53]
Evaluasi kurikulum pendidikan multikultural dilakukan untuk menguji
keberhasilan pencapain kompetensi pendidikan multikultural. Tes prestasi yang
ditawarkan digunakan untuk menguji prestasi akademik peserta didik dan prestasi
non-akademiknya. Penggunaan tes prestasi tersebut diorientasikan pada
penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dengan memperhatikan tiga
domain pembelajaran yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Teknik yang
dapat digunakan untuk tes prestasi ini terdiri atas: teknik studi kasus,
pemecahan masalah, kinerja, pengamatan, dan bermain peran. Pengamatan dapat
dilakukan oleh pendidik di sekolah dan oleh orang tua di rumah.
Aspek
|
Multikultural
|
Tujuan
|
membentuk
manusia budaya dan mewujudkan masyarakat yang berbudaya.
|
Materi
|
mengajarkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok
etnis.
|
Metode
|
disarankan
menggunakan metode-metode yang bersifat anthropologis untuk mengidentifikasi
kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya
|
Hasil Beajar
|
a.
Peserta
didik memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang agamis dan menghormati
keragaman dalam pengamalan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari
b.
Peserta
didik memiliki rasa tanggung jawab sosial, saling menghargai, kesetaraan,
kebersamaan dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama
|
Evaluasi
pembelajaran
|
pendidikan
multikultural bersifat mengevaluasi tingkah laku siswa yang meliputi
persepsi, apresiasi dan tindakan siswa terhadap budaya lainnya.
|
[1] Sumartana, Pluralisme,
Konflik Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 17.
[2] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010 , hlm. 134
[3] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hlm.
104.
[4] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 105.
[5] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 105.
[6] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 108.
[7] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 134.
[8] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 135.
[9] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 135.
[10] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 136.
[11] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 136
[12] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 137.
[13] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 138.
[14] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 92.
[15] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 111.
[16] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 114
[17] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 114
[18] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 115
[19] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 116
[20] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm . 117
[21] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm. 124.
[22] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama Islam berwawasan Multikulturalisme (Kementerian Agama
RI, 2010), hlm. 106.
[23] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 107.
[24] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 107.
[25] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 108.
[26] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 110.
[27] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 110.
[28] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 111.
[29] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 111.
[30] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 112.
[31] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 112.
[32] Anshori LAL, Transformasi
Pendidikan..., hlm. 156.
[33] Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam; Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga
Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003). Hlm. 59.
[34] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 115.
[35] Dody S. Truna,
Pendidikan Agama..., hlm. 116
[36] Suherman, Pendidikan
Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme; Pengembangan PAI Berbasis
Multikultural (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2006), hlm. 205.
[37] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 205.
[38] Wahyudin et.
Al, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo,
2009), 120.
[39] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 206
[40] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 209.
[41] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 209.
[42] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 209.
[43] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 210.
[44] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 211.
[45] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 211.
[46] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 211.
[47] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 212.
[48] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm . 139.
[49]Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm . 141.
[50] Abdullah Aly, Pendidikan
Islam..., hlm . 141..
[51] Choirul Fuad
Yusuf, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan (Departemen Agama RI,
2006), hlm. 489.
[52] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 212.
[53] Suherman, Pendidikan
Agama..., hlm. 213.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar