Jumat, 16 Februari 2018

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL




Keanekaan Indonesia dikenali, diakui, dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh yang berlaku hingga saat ini. Dengan gagasan multikulturalisme akan segera ditemukan bahwa kenyataan sebenarnya diri seseorang, diri suatu komunitas kebudayaan maupun agama, sebenarnya terbangun dari aneka budaya, bahwa di dalam diri kita hidup orang, di dalam orang lain hidup diri kita, bahwa kita dan orang lain tak pernah terpisahkan, telah menjadi satu kesatuan.[1]
Indonesia adalah negara dengan kemajemukan masyarakatnya, dari beragam budaya, etnis dan agama. Keragaman ini pada satu sisi merupakan kekuatan bangsa, namun di sisi lain berpotensi terjadinya konflik. Suatu konflik yang dapat terjadi dalam proses interaksi sosial yang masih rapuh dalam kesadaran tentang kesadaran pluralisme dan mutikultural. Dalam hubungan intra dan antar umat beragama, suatu konflik dapat terjadi karena belum adanya kesadarn pluralisme pada satu sisi dan fanatisme ajaran agama pada sisi lain.
Secara ideal, konflik itu seharusnya dapat berakhir pada doktrin agama, karena dalam ajaran masing-masing agama terdapat nilai-nilai ajaran tentang perdamaian, kasih sayang persaudaraan, kesetaraan, penghargaan atas keyakinan, kebersamaan, hak asasi, saling menghormati dan saling bekerja sama dalam memecahkan persoalan bersama. Dalam konteks itulah pendidikan agama diharapkan dapat berperan aktif dalam membangun karakter  dan kepribadian bangsa. Dalam konteks kemajemukan Indonesia, pendidikan agama di sekolah-sekolah sudah selayaknya memegang prinsip menghormati kepercayaan kemajemukan masyarakat.


A.  Pengertian Pendidikan Multikultural
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya.” Sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut – baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda – yaitu pluralitas (plurality), keberagaman (diversity), dan multikultural (multicultural).[2]
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Kata “pendidikan”, diartikan sebagai pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan malalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik. Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu “multi” dan “culture”. Secara umum, kata “multi” berarti banyak ragam, dan atau aneka. Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan, dan atau pemeliharaan. Atas dasar ini, kata multikultural diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan demikian secara etimologis pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya para peserta didik.[3]
Adapun secara terminologis, definisi pendidikan multikultural sangat beragam rumusannya. Dari sekian banyak rumusan para pakar tentang definisi pendidikan multikultural dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu[4]:
1.      Definisi yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.
2.      Definisi yang dibangun berdasarkan sikap sosial, yaitu: pengakuan, penerimaan, dan penghargaan.
Kategori pertama adalah definisi yang dikemukakan oleh James A. Banks. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai “konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik – tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dankarakteristik kultural mereka – untuk belajar di dalam kelas.[5]
Kategori yang kedua dikemukakan oleh Ruriko Okada. Menurut Okada, pendidikan multikultural merupakan “pendidikan yang membantu para peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural.[6]
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘ hal-hal yang lebih dari satu” (many); keberagaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu,multikulturalisme sebenarnya relatif baru.[7]
Multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya.[8]
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikontruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal – salah satu atau lebih dari tiga hal -, yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.[9]
Kedua, perbedaan dalam perspektif (perspektival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat disekitarnya. Ketiga, perbedaan komunitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indegeneous people way of life).[10]
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Multikulturalisme mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.[11]
Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keberagaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: ‘kebutuhan atau pengakuan, melibatkan berbagai disipln akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat adat (indegeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekontruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.[12]
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu, pertama adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.
Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasakan budayanya tersebut.
Ketiga, perbedaan kebudayaan merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun  yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Keempat, pada dasarnya budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. [13]
Tuntutan tentang pentingnya pendidikan multikultural disampaikan oleh para pemikir pendidikan dan para guru di sekolah-sekolah Amerika secara individual. Beberapa contoh dari mereka adalah James A. Banks, Joel Spring, Peter McLaren, Henry Giroux, Carl Grant, Cristine Sleeter, Geneva Gay, dan Sonia Nito. Menurut Paul C. Gorski, pada 1980-an mereka mendorong pentingnya pendidikan multikultural dan menolak terhadap sekolah-sekolah yang hanya  memberikan perhatian utama kepada kelompok tertentu,  misalnya kelompok ras, warna kulit, gender dan kelas sosial tertentu.[14]
B.   Karakteristik Pendidikan Multikultural
Pendidikan mulikultural terdiri dari tiga karakteristik, diantaranya ialah:
1.    Berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan multikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggaris bawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan doktrin-doktrin Islam dan pengalaman historis sejarah. Adapun doktrin Islam yang mengandung prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, antara lain ditemukan keberadaannya dalam al-Qur’an surat al-Syura [49]: 38, al hadif [57]: 25, dan al-A’raf [7]: 181.[15]
2.    Berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian
Orientasi pertama bagi pendidikan multikultural adalah orientasi kemanusiaan. Kamanusiaan (humanity)  yang dijadikan titik orientasi oleh pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan manusia, keberadaannya, dan martabatnya, sebagai pemikiran dan tindakan manusia yang tertinggi. Sebagai manusia bermartabat, Nimtod Aloni menyebut adanya 3 (tiga) prinsip dalam kemanusiaan, yaitu[16]:
a.       Otonomi, rasional, dan penghargaan untuk semua orang.
b.      Kesetaraan dan kebersamaan.
c.       Komitmen untuk membantu semua orang dalam pengembangan potensinya.
Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep hablun min al-nas. Konsep ini, menurut Abdul aziz Schedina, menempatkan manusia pada dua posisi. Posisi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk terbaik (ahsanu taqwim) di antara makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini. Adapun posisi kedua adalah bahwa manusia harus tunduk kepada hukum Allah yang dikenal dengan kesatuan kemanusiaan (the unity of humankind).[17]
Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan. Kebersamaan disini dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau sikap seseorang terhadap kelompok dan komunitas.[18]
Dalam perspektif Islam, nilai kebersamaan yang menjadi titik orientasi pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep saling mengenal (ta’aruf) dan saling menolong (ta’awun).[19]
Orientasi ketiga pendidikan multikultural adalah kedamaian (peace). Pendidikan multikultural bertugas untuk membentuk mindset peserta didik akan pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan, konflik, kekerasan, dan sikap mementingkan diri sendiri.
Dalam perspektif Islam, orientasi kedamaian pendidikan multikultural ini kompatibel dengan doktrin Islam tentang al-salam. Doktrin ini, menurut Maulana Wahiduddin Khan, mengandung pengertian bahwa Islam menawarkan visi hidup yang harmonis dan damai di tengah-tengah kelompok masyarakat yang beragam.[20]
3.    Mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman budaya
Jika nilai-nilai filsafat Barat bersumber dari filsafat yang bertumpu pada hak-hak asasi manusia, maka nilai-nilai multikultural dalam perspektif Islam bersumber dari wahyu. Berikut karakteristik pendidikan multikultural[21]:
Karakteristik
Nilai multikultural perspektif Barat
Nilai multikultural perspektif Islam
Berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.
Demokrasi, kesetaraan, dan keadilan. Lawannya: diskriminasi, hegemoni, dan dominasi.
Al-musyawarah, al-musawah, dan al-adl.
Berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian.
Kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Lawannya: Permusuhan, konflik, kekerasan, dan mau menang sendiri.
Hablun min al-nas, al-ta’ruf, al ta’awun, dan al-salam.
Mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman
Toleransi, empati, simpati, dan solidaritas, sosial.. lawannya: Rasial, stereotip, dan prejudis.
Al-ta addudiyat, al-tanawwu, at-tasamuh, al-rahmah, al-‘afw dan al-ihsan.

C.  Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Untuk merekontruksikan pendidikan multikultural, Tilaar menegaskan tiga lapis diskursus yang berkaitan, yaitu[22]:
1.  Masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku.
2.  Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3.  Kegiataan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Tilaar lebih lanjut menguraikan persoalan-persoalan dasar dalam upaya membangun konsep pendidikan multikultural, yaitu yang menyangkut[23]:
1.  Konsep yang jelas mengenai kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2.  Peranan pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
3.  Hakikat pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4.  Hak orang tua dalam menentukan pendidikan bagi anaknya.
5.  Nilai-nilai yang akan dipertimbangkan (shared values).
Dalam menegaskan konsep dasar pendidikan multikultural. Tilaar mengacu kepada konsep C. I. Bennet yang menunjukkan dua aspek mendasar, yaitu nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural. Nilai-nilai inti tersebut mencakup: (1) Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; (2) Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; (3) Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan (4) pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.[24]
Berdasarkan nilai inti tersebut maka dirumuskan enam tujuan, yaitu: (1) mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat; (2) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat; (3) memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat; (4) membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka; (5) mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi; dan (6) mengembangkan ketrampilan asksi sosial.[25]
Sebagai sebuah konsep yang baru, konsep pendidikan multikultural memerlukan proses perumusan, refleksi, dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsepnya. Pendidikan multikultural juga merupakan suatu konsep multifacet, oleh karena itu membutuhkan pendekatakan lintas disiplin (border crossing) yang melibatkan para pakar dan praktisi sebagai upaya untuk mematangkan dan mempertajam konsepnya. Malikhah menguraikan lima dimensi pendidikan multikultural menurut Tilaar, yang juga merujuk pada konsep James E. Banks, yaitu[26]:
1.    Integrasi pendidikan dalam Kurikulum (Content Integration)
Integrasi materi pembelajaran mencakup keluasan bagi guru dalam memberikan contoh-contoh, data, dan informasi dari berbagai kebudayaam dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci, prinsip-prinsip, generalisasi, dan teori-teori dalam bidang atau disiplin ilmunya. Sumber rujukan untuk content integration mencakup pada ‘apa’ yang seharusnya dimasukkan ke dalam kurikulum dan harus di tempatkan ‘di mana’ dalam kurikulum tersebut.[27]
2.    Konstruksi Ilmu Pengetahuan (Knowledge Contruction)
Proses kontruksi pengetahuan menggambarkan prosedur seorang ahli dalam membangun pengetahuan dan bagaimana ia menyajikan asumsi-asumsi kebudayaan yang implisit, kerangka rujukan, perspektif, dan bias-bias dalam suatu disiplin ilmu yang memengaruhi cara ilmu pengetahuan dikontruksi. Ketika proses kontruksi pengetahuan tersebut diimplementasikan di kelas, guru membantu siswa agar mengerti bagaimana pengetahuan itu diciptakan dan bagaimana ia dipengaruhi oleh posisi ras, etnik, dan kelas sosial individu dan kelompok.[28]
3.    Pengurangan Prasangka (Prejudice Reduction)
Dimensi reduksi prasangka dalam pendidikan multikultural menggambarkan karakteristik sikap rasial anak-anak dan menawarkan strategi yang bisa digunakan untuk membantu siswa mengembangkan sikap dan nilai-nilai serta perilaku yang lebih demokratis.[29]

4.    Pedagogik Kesetaraan antar Manusia (Equity Pedagogy)
Pedagogi kesetaraan muncul tatkala guru menggunakan teknik dan metode-metode yang memfasilitasi pencapaian akademik siswa atau mahasiswa dari kelompok ras, etnik, dan kelas sosial yang berbeda.[30]
5.    Pemberdayaan BudayaSekolah (Empowering School Culture)
Sekolah merupakan pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif dengan memperhatikan falsafah masyarakat yang menghargai pluralitas. Penghargaan terhadap falsafah yang menghargai pluralitas berimplikasi kepada perumusan strategi pendidikan yang berorientasi multikultural.[31]
D.  Landasan Normatif Pendidikan Islam Multikultral
Ada 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultral, khususnya di bidang keagamaan, yaitu[32]:
1.    Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu)
2.    Kesatuan kenabian
3.    Tidak ada paksaan dalam beragama
4.    Pengakuan terhadap eksistensi agama lain.
Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan.
Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat Ali Imram [3]: 64:
Katakanlah (Muhammad) Wahai ahlul Kitab! Marilah kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpalig maka katakanlah (kepada mereka) ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. Ali Imran [3]: 64).
Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam surat an-Nisa [4]: 163.
Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya Isa, Ayyub, Yunus, harun, Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.” (QS. An-Nisa’ [4]:163).
Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 73:
Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 73).
Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 256:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maka Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Terakhir adalah mengenai pengakuan al-Qur’an surat al-Maidah ayat 69 akan eksistensi agama-agama lain:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Maidah [5]: 69).
E.  Tujuan Pendidikan Multikultural
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan skriptual, karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para pemuka agama (termasuk guru agama) yang bersifat doktriner, rigd (kaku) dan mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan sosip-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agam dapat berperan sebagai faktor disintegratif (pemecah)[33]
Pendidikan multikultural memegang prinsip-prinsip  pemahaman (understanding), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Pendidikan multikultural harus terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perubahan-perubahan yang terjadi. Tujuan pendidikan multikultural harus mencakup[34]:
1.      Upaya perubahan terhadap lingkungan pendidikan untuk mengembangkan wawasan keragaman budaya yang dapat mendukung kesetaraan kesempatan pendidikan bagi semua kelompok.
2.      Pengembangan kompetensi antara budaya termasuk kemampuan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk dapat hidup dalam kebudayaan etnik setiap individu dan kultur universal, baik di dalam maupun lintas kebudayaan-kebudayaan etnik.
3.      Upaya untuk mengenal, memahami, dan menghormati perbedaan dan kesamaan antar kebudayaan dan kelompok.
4.      Pengembangan pemahaman tentang dampak dan implikasi positif dan negatif dari sikap rasisme.
5.      Pengembangan sikap positif terhadap potensi etniknya dan menggunakannya sebagai pendorong agar dapat memberikan kontribusinya bagi masyarakat.
6.      Upaya membantu anak agar dapat mengembangkan identitas kultural, gender, ras, kelas, dan ientitas individualnya, bersikap terbuka dan mempunyai perhatian sehinga ia dapat menerima dan bekerja sama dengan, dan kehadirannya dapat diterima oleh, kelompok-kelompok yang berbeda.
7.      Dukungan terhadap anak agar mandiri dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.
8.      Pengembangan hubungan resiprokal yang efektif antara sekolah dan keluarga.
Banks memberi catatan penting dalam melakukan upaya perubahan lingkungan pendidikan yang mencakup restrukturisasi kultur dan organisasi sekolah sehingga siswa dan latar budaya yang beragam merasakan kesetaraan dalam pelayanan pendidikan dan penguatan secara kultural. Menurut Banks, aspek-aspek yang perlu digarap meliputi[35]:
1.      Perubahan dalam kurikulum
2.      Materi pembelajaran
3.      Gaya mengajar dan belajar
4.      Sikap, persepsi, dan perilaku guru dan staf administrasi
5.      Tujuan, norma, dan  budaya sekolah.

F.   Pengembangan PAI Berbasis Multikultural
1.      Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan multikultural yaitu membentuk manusia budaya dan mewujudkan masyarakat yang berbudaya. Dalam konteks tujuan ini, seorang guru harus mampu menanamkan sikap kepada siswa bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akalnya. Akal yang dianugrahkan Allah kepada manusia akan mampu menghasilkan budaya. Perlu diingat bahwa budaya itu dapat dibuat, artinya setiap orang mampu melahirkan suatu budaya. Hal yang harus diperhatikan bahwa terbentuknya suatu masyarakat yang berbudaya diawali oleh individu-individu yang berbudaya.[36]
Sebagai bahan pelajaran untuk memahami tujuan ini, guru PAI dapat mengambil hikmah dari peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah. Sesampainya di Yastrib, tindakan pertama Nabi adalah meletakkan dasar-dasar masyarakat yang hendak dibangun mengikuti ajaran Islam. Semangat dan corak masyarakat tercermin dalam keputusnnya mengganti nama Yastrib dengan al-Madinah yaitu kota par excellence, tempat madaniyah atau tamaddun, peradaban. Di tempat barunya itu, Nabi ingin membangun sebuah masyarakat berperadaban, yang kelak menjadi model bagi masyarakat politik yang dibangun umat Islam. Saat di madinah itu nabi menegakkan tsaqafah dan hadlarah yang berarti pola kehidupan menetap yang berbudaya dan berperadaban (sebagai lawan badawah, pola kehidupan yang namad dan kasar). Inilah rahmat Allah yang dibawa Nabi untuk seluruh umat manusia, melalui pelaksanaan tugasnya sebagia Rasul pembawa dan penyampai risalah suci dari Allah swt.[37]
Sebagai awal kerasulan Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar dan Jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit, yaitu asimilasi budaya setempat dengan nilai-nilai Islam itu sendiri, kemudian menghasilkan kebudayaan Islam, kemudian berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.[38]
2.      Materi pembelajaran
Materi pembelajaran multikultural adalah yang mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis. Pada aspek materi ini guru harus mampu mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin dimiliki siswa terhadap pluralisme sosial, keagamaan dan etnis. Materi pembelajaran dipilih yang relevan dan sekaligus menarik. Guru disarankan mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, kehidupan ekonomi, kemampuan mental serta fisik. Selanjutnya siswa menganalisis situasi tersebut agar menemukan kondisi ideal yang seharusnya.[39]
Pengembangan materi pembelajaran belajar berdasarkan satu semangat untuk menanamkan nilai pluralis sebagai suatu sunnatullah. Realitas bahwa berbagai kelompok umat manusia berbeda dari satu dan yang lainnya adalah kenyataan. Seringkali, perbedaan-perbedaan ini digunakan sebagai dasar untuk menolak persamaan terhadap kelompok-kelompok dan individu-individu yang ada. Untuk alasan inilah penting kiranya Guru Pedidikan Agama Islam (GPAI) mendesain materi apa yang perlu dipelajari siswa untuk mempelajari perbedaan-perbedaan kelompok atau individu tersebut.[40]
Sebagai bahan acuan guru dapat mengembangkan materi pembelajaran dengan melihat firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13. Untuk selanjutnya sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam materi pembelajaran PAI berbasis multikultural ini, guru dapat melihat bagaimana para lama terdahulu merumuskan suatu hukum yang berbasis budaya lokal.[41] Hal ini dapat dilihat dari pendapat Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:
“Oleh karena itulah para ulama mengatakan bahwa al-Adah syari’ah muhakkamah (adat adalah syari’at yang dihukumkah). Adat kebiasaan (‘urf) itu dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pendukungnya beranekaragam dalam hukum-hukum berdasarkan aneka ragamnya adat kebiasaan mereka. Imam Syafi’i setelah berdiam di Mesir mengubah sebagian hukum-hukumnya sesuai adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Karena itu ia mempunyai dua pandangan hukum, yang lama dan yang baru (qaul qadim dan qaul jadid). Hanafi dalam fiqhnya banyak mendasarkan hukum pada adat kebiasaan. Karena itu ada ungkapan-ungkapan terkenal seperti yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syariat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash”.[42]
Atas dasar ini maka pendidikan multikultural sangat menekankan orientasi proses pendidikan pada siswa atau komunias tertentu, yang memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio budaya siswa dalam konteks kebudayan masyarakat ketika merancang model pembelajarannya.
3.      Metode Pembelajaran
Proses pendidikan multikultural disarankan menggunakan metode-metode yang bersifat anthropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya yang mempengaruhi proses berkarya-nya. Pendekatan itu juga menyarankan pentingnya mengidentifikasi penggunaan pendidikan yang tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio-budaya di kelas, masyarakat dan nasional.[43]
Strategi pembelajaran yang digunakan guru adalah strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragama serta mampu menciptakan suasana belajar yang sangat menyenangkan.[44]
Sebuah proses pembelajaran dikatakan menggunakan cooperative learning jika bercirikan lima unsur yaitu, pertama, adanya saling ketergantungan positif (positive interdependence). Anggota kelompok menjalankan peran sebagai pembahas sebuah topik diskusi, penanggap dan pendukung hingga mencapai konsensus. Kedua, adanya interaksi tatap muka yang membangun (face to face promotive interaction). Para siswa berdiskusi, mengajar dan menjelaskan kepada siswa lain dengan cara membangun, seperti memberikan dorongan dan saling membantu dalam belajar. Ketiga, adanya pertanggungjawaban secara individual  (individual accountability). Keempat, keterampilan sosial (social skills). Para siswa harus bekerja sama dengan yang lain, seperti kepemimpinan, mengambil keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi dan keterampilan memanajemenkan konflik. Kelima, masing-masing kelompok mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikan masukan, sehingga masing-masing mampu meningkatkan diri (groups process their effectiveness).[45]
Berdasarkan unsur-unsur belajar kooperatif ini, maka proses pembelajaran akan lebih efisien dan mendorong iklim belajar yang aktif, kreatif, demokratis yang terlihat dari kondisi antara lain: (1) siswa aktif di kelas baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang sedang dipelajari, (2) siswa dapat bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok  belajar, (3) siswa bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, (4) selain mampu bekerja sama, siswa memiliki kepercayaan  diri yang besar.[46]
Selanjutnya diharapkan terjadinya perubahan cara berpikir dari sebelumnya yang memiliki cara pandang dan interpretasi sosial budaya yang sempit dan fanatis terhadap budaya mereka sendiri berubah menjadi cara pandang dan interpretasi demokratis pluralis dan mampu menghargai budaya orang lain.[47]
Menurut Garcia, gaya pengajaran pendidik merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan pendidik sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang peserta didik untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Dalam pendidikan multikultural, gaya pembelajaran demokratis sangat cocok.[48]
Untuk menggunakan pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran, pendidik dituntut memiliki kompetensi multikultural. Farid Ealshmwi dan Philip P. Harris menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural pendidik, yaitu[49]:
a.       Memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas.
b.      Terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik.
c.       Sikap menerima perbedaan displin ilmu, latar belakang, ras, dan gender.
d.      Memfasilitasi pendatang baru dan peserta didik yang minoritas.
e.       Mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak manapun.
f.       Berorientasi pada program dan masa depan.
Selain itu, James A. Banks menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh pendidik, yaitu[50]:
a.       Sensitif terhadap perilaku etnik dan peserta didik.
b.      Sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar.
c.       Menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dan pembelajaran.
4.    Hasil belajar
Hasil belajar pendidikan agama berwawasan multikultural[51]:
a.       Peserta didik memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang agamis dan menghormati keragaman dalam pengamalan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari.
b.      Peserta didik memiliki rasa tanggung jawab sosial, saling menghargai, kesetaraan, kebersamaan dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama.
5.      Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran dalam pendidikan multikultural bersifat mengevaluasi tingkah laku siswa yang meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan siswa terhadap budaya lainnya. Dalam mengevaluasi siswa, guru mendasarkan pada pengalaman belajar siswa yang berarti keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar siswa yaitu[52]:
a.    Belajar mengetahui (learning to know)
b.    Belajar berbuat (learning to do)
c.    Belajar hidup bersama (learnng to live together)
d.   Belajar menjadi seseorang (learning to be).
Penilaian keberhasilan pendidikan multikultural ini lebih menekankan pada aspek proses bukan pada aspek hasil. Hal ini berarti tercapainya tujuan pembelajaran yaitu ketika siswa dalam proses belajarnya mampu memperoleh pengetahuan dan pengalaman. Dalam konteks PAI keberhasilan pendidikan  multikultural ini dapat dilihat ketika siswa mampu memahami perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, seperti perbedaan mazhab, aliran bahkan teologinya.[53]
Evaluasi kurikulum pendidikan multikultural dilakukan untuk menguji keberhasilan pencapain kompetensi pendidikan multikultural. Tes prestasi yang ditawarkan digunakan untuk menguji prestasi akademik peserta didik dan prestasi non-akademiknya. Penggunaan tes prestasi tersebut diorientasikan pada penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dengan memperhatikan tiga domain pembelajaran yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Teknik yang dapat digunakan untuk tes prestasi ini terdiri atas: teknik studi kasus, pemecahan masalah, kinerja, pengamatan, dan bermain peran. Pengamatan dapat dilakukan oleh pendidik di sekolah dan oleh orang tua di rumah.
Aspek
Multikultural
Tujuan
membentuk manusia budaya dan mewujudkan masyarakat yang berbudaya.
Materi
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis.
Metode
disarankan menggunakan metode-metode yang bersifat anthropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya
Hasil Beajar
a.       Peserta didik memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang agamis dan menghormati keragaman dalam pengamalan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari
b.      Peserta didik memiliki rasa tanggung jawab sosial, saling menghargai, kesetaraan, kebersamaan dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama
Evaluasi pembelajaran
pendidikan multikultural bersifat mengevaluasi tingkah laku siswa yang meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan siswa terhadap budaya lainnya.




[1] Sumartana, Pluralisme, Konflik Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 17.
[2] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010 , hlm. 134
[3] Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hlm. 104.
[4] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 105.
[5] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 105.
[6] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 108.
[7] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 134.
[8] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 135.
[9] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 135.
[10] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 136.
[11] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 136
[12] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 137.
[13] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 138.
[14] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 92.
[15] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 111.
[16] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 114
[17] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 114
[18] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 115
[19] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 116
[20] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm . 117
[21] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm. 124.
[22] Dody S. Truna, Pendidikan Agama Islam berwawasan Multikulturalisme (Kementerian Agama RI, 2010), hlm. 106.
[23] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 107.
[24] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 107.
[25] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 108.
[26] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 110.
[27] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 110.
[28] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 111.
[29] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 111.
[30] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 112.
[31] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 112.
[32] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan..., hlm. 156.
[33] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam; Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003). Hlm. 59.
[34] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 115.
[35] Dody S. Truna, Pendidikan Agama..., hlm. 116
[36] Suherman, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme; Pengembangan PAI Berbasis Multikultural (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2006), hlm. 205.
[37] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 205.
[38] Wahyudin et. Al, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2009), 120.
[39] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 206
[40] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 209.
[41] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm.  209.
[42] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 209.
[43] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 210.
[44] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 211.
[45] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 211.
[46] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 211.
[47] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 212.
[48] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm . 139.
[49]Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm . 141.
[50] Abdullah Aly, Pendidikan Islam..., hlm .  141..
[51] Choirul Fuad Yusuf, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan (Departemen Agama RI, 2006), hlm. 489.
[52] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 212.
[53] Suherman, Pendidikan Agama..., hlm. 213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar