Jumat, 16 Februari 2018

DAKWAH DAN CINTA: HaditsTematik


HADITS TEMATIK TENTANG DAKWAH DAN CINTA

Dakwah adalah komunikasi verbal dan aksi sosial.dakwah adalah kegiatan membawa masyarakat dari satu kondisi ke kondisi yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan bahwa dakwah bertujuan ke arah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dakwah dapat meliputi segala kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan masyarakat dan pembangunan. Dakwah merupakan sesuatu yang menjadi kemestian bagi setiap umat Islam. sebab dengan dakwah Islam akan dapat berkembang dengan pesat dan baik. Dengan dakwah pula tatanan  sosial masyarakat dapat tertera dengan baik dan rapi. Kewajiban dakwah ini sudah dilakukan oleh setiap orang, tokoh, ulama Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Cinta adalah kekuatan manusia yang paling tinggi. Cinta adalah sumber segalanya, kita tidak akan dapat mewujudkan setiap impian kita tanpa cinta. Pada dasarnya kasih sayang adalah fitrah yang dianugerahkan Allah SWT kepada mahluknya, misalnya hewan, kita perhasikan begitu kasihnya kepada anaknya, sehingga rela berkorban jika anaknya diganggu. Naluri inipun ada pada manusia, dimulai dari kasih sayang orang tua kepada anaknya, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi naluri kasih sayang ini dapat tertutup jika terdapat hambatan – hambatan misalnya pertengkaran, permusuhan, kerasukan, kedengkian dan lain – lain. Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta cinta adalah rasa sangat suka, sayang, ataupun sangat tertarik hatinya. Pengertian cinta menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya manajemen cinta, Cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih sayang.
Dahwah dan cinta merupakan sebuah hal yang dapat membangun kualitas keagamaan seseorang bahkan masyarakat luas. Oleh karena itu tulisan ini berupaya untuk memaparkan hadis-hadis yang berkaitan dengan dakwah dan cinta.


A.  Hadits Tematik tentang Dakwah
1.      Pengertian dakwah
Dilihat dari segi bahasa kata dakwah berasal dari kata Arab dakwah, merupakan bentuk masdar dari kata kerja da’a, yad’u, da’wah, berarti seruan, ajakan, atau panggilan. Kata dakwah juga berarti do’a (al-du’a), yakni harapan, permohonan kepada Allah Swt atau seruan (al-nida). Do’a atau seruan pada sesuatu berarti dorongan atau ajakan untuk mencapai sesuatu itu (al-du’a ila al-syai’ al-hasts ‘ala qasdihi). [1]
Istilah lain yang identik dengan da’wah adalah tabligh penyampaian suatu pesan. Jadi, dakwah adalah penyampaian ajaran Islam yang tujuannya agar orang tersebut melaksanakan ajaran agama Islam dengan sepenuh hati.
Kata da’wah mempunyai arti mengajak, mengundang, dan menyengaja, menyondongkan sesuatu dengan ucapan dan kata-kata. Kata ini dapat dibaca da’wah, di’wah.sedangkan tabligh secara bahasa adalah sampai pada tujuan. Selain dari itu, ada kata yang sepadan lagi dengan dakwah; al-wa’zhu, tadzkir dan al-irsyad. Secara garis besar al-wa’zhu adalah nasihat, tadzkir mengingatkan untuk berbuat baik dan dapat mempengaruhi hati,dan irsyad mengajak kepada kebaikan dan memberi peringatan kepada yang buruk dengan cara memberi kabar gembira dan kabar ancaman.[2]
Allah Swt berfiman dalam surat Ali Imran ayat 103:
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 103).
Dakwah merupakan sesuatu yang menjadi kemestian bagi setiap umat Islam. sebab dengan dakwah islam akan dapat berkembang dengan pesat dan baik. Dengan dakwah pula tatanan  sosial masyarakat dapat tertera dengan baik dan rapi. Kewajiban dakwah ini sudah dilakukan oleh setiap orang, tokoh, ulama Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

2.      Hadits tentang dakwah
حَدِيْثُ أَبِيْ سَعِيْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ أَوَّلَ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخِطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَقُوْلُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْلإِيْمَانِ.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id r.a., dari Thariq bin Shihab, dia telah berkata:”Orang yang pertama kali berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirkan adalah Marwan. Kemudian ada seorang lelaki berdiri, lalu berkata kepadanya: “Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah.” Marwan kemudian menjawab: “Sesungguhnya kamu telah meninggalkan apa yang telah diajarkan Rasulullah.” Kemudian Abu Sa’id berkata: “Orang ini benar-benar telah menyimpang dari apa yang telah menjadi ketentuan baginya, sedangkan dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran itu dengan tangan atau kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah dicegah dengan lidahnya. Kemudian kalau tidak mampu juga, maka hendaklah cegah dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah iman.”[3]
Kosa kata hadis
 منكم: Dari orang-orang muslim yang mukallaf. Perintah ini ditujukan kepada semua umat Islam.
 منكرا : Kemungkaran yaitu meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram meskipun kecil.
 فليغيره :Hendaklah ia menghilangkan atau menjadi ketaatan.
بيده : Mengubah kemungkaran dengan tangan seperti mencegah orang yang berbuat maksiat, zalim dan sebagainya.[4]
Hadis di atas menerangkan tentang mencegah kemungkaran adalah bagian dari cabang iman. Sedang iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam melaksanakan perintah syariat. Semakin banyak melakukan kebajikan, maka imanpun semakin kuat. Sebaliknya, semakin banyak melakukan maksiat, maka imanpun semakin rapuh. Karena itu, setiap muslim diperintahkan agar selalu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Mengajar kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran.[5]
A’mar ma’ruf Nahi Mungkar harus dilakukan dengan cara hikmah, sebagaimana Allah swt berfirma dalam surat an-Nahl ayat 125.
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ deبِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Adapun hikmah dalam hal ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi orang yang diperintah dan dilarang, sesuatu yang diperintahkan dan dilarang, dan metode yang lebih bermanfaat dan lebih mengena. Terkadang menggunakan metode yang lemah lembut dalam berbicara dan berdebat. Terkadang pula lebih tepat dengan menggunakan metode yang keras dan tegas.[6]
Oleh karena itu, orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus memiliki sifat-sifat berikut: lemah lembut, pemaaf, adil, dan berilmu.
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat, yaitu lemah lembut, adil, dan berilmu”.
حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوُا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنِ الْقَوْمُ أَوْ مَنِ الْوَفْد؟ قَالُوْا: رَبِيْعَةَ. قَالَ: مَرْجَبًا بِالْقَوْمِ أَوْ بِالْوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى فَقالُوا: يَارَسُوْلُ اللهِ إِنَّا لَا نَسْتَطِعُ أَنْ نَأْتِيَكَ إِلَّا فِيْ الشَّهْرِ الْحَرَامِ، وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ كُفَّرِ مُضَرَ، فَمُرْنَا بِأَمْرٍ فَصْلٍ نُخْبِرْ بِهِ مَنْ وَّرَاءَنَاوَنَدْخُلْ بِهِ الْجَنَّةَ. وَسَأَلُوْهُ عَنِ اْلأَشْرِبَةِ، فَأَمَرَهُمْ بِأَرْبَعٍ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ: أَمَرَهُمْ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ، قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَه؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلَهُ أَعْلَمُ، قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةَ، وَإْيتَاءُ الزَّكَاةِ، وَصِيَامُ رَمَضَانَ، وَأَنْ تُعْطُوْا مِنَ الْمَغْنَمِ الْخُمُسُ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنِ الْحَنْتَمِ وَالدُّبَّاءِ وِالنَّقِيْرَ وَالْمُزَفَّتِ وَرُبَّمَا قَالَ: المُقَيَّرِ. وَقَالَ: احْفَظُوْ هُنَّ وَأَخْبِرُوْا بِهِنَّ مَنْ وَرَاءَكُمْ.
Ibnu Abbas mengisahkan, “Ketika utusan dari Abdul Qais datang kepada Nabi saw., beliau bertanya, ‘Utusan siapakah kalian?’. ‘Utusan Rabi’ah’. Jawab mereka. Beliau lantas bersabda, ‘Selamat datang rombongan uusan yang tidak berduka (secara suka rela masuk Islam) dan tidak akan menyesal.’Lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami hanya bisa mendatangi Anda ketika bulan-bulan Haram saja (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram) karena di antara kami dan tempat Anda ada suku kafir Mudhar. Maka, perinahkanlah kepada kami perkara yang sederhana danjelas untuk kami beritakan kepada orang-orang yang berad di belakang kami, yang dengan begitu kami bisa masuk surga.’ Mereka juga menanyakan perihal minuman, lalu Beliau memerintahkan empat hal kepada mereka. Beliau memerintahkan untuk beruman kepada Allah semata, kemudian bertanya, ‘Tahukan kalian apa makna beriman kepada Allah semata?’ mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Nabi saw., bersabda, ‘Bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak dibadahi) selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan memberikan seperlima dari hasil ghanimah.’ Beliau melarang empat hal, yaitu membuat arak dalam guci (al-hantam), dalam buah labu – yang dikeringkan (ad-duba), bejana dari akar pohon kurma yang dilubangi (an-naqir), atau bejana yang dicat dengan ter (al-muzaffat). Sepertinya beliau juga menyebutkan dengan muqayyar. Kemudian beliau bersabda, ‘Ingatlah semua pesan itu dan beritakan kepada orang-orang yang berada di belakang kalian.’”[7]
حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رسول الله صلى الله عليه و سلم لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه على الْيَمَنِ قَالَ: إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ، فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ  فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوََاتٍ فِيْ يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ، فَإِذَا فَعَلُوْا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهُمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِذَا أَطَاعُوْا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ، وَتَوَقَّ كَرَائِهِمْ أَمْوَالِ النَّاسِ.
Ibnu Abbas menuturkan, “Ketika Rasulullah saw., mengutus Muadz r.a., ke Yaman, beliau berpesan: “Engkau akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab. Karea itu, perkara pertama yang harus kamu dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah. Jika mereka sudah mengetahui Allah maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka sudah melaksanakannya maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat (yang diambil) dari harta-harta mereka akan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka taat maka ambillah zakat dari mereka dan berhati-hatilah terhadap harta manusia yang paling mereka sayangi.”[8]
Hadis di atas menerangkan tentang perintah memerangi umat manusia, hingga mereka mengucapkan dua kaliamh syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, serta mempercayai apa yang dibawa Rasulullah saw. barangsiapa melakukan semua tuntutan tersebut niscaya jiwa dan hartanya terpelihara serta mendapatkan perlindungan,kecuali apabila melakukan hal-hal yang dibenarkan syara’ untuk diambil tindakan. Bila itu terjadi, maka hendaklah dia senantiasa berserah diri kepada Allah swt. di sisi lain hadis di atas juga menerangkan tentang keharusan memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, atau tidak mau menunaikan tuntutan syariat Islam yang lain. karena itu seorang penguasa harus berani mengambil tindakan terhadap mereka dalam rangka menegakkan syariat Islam.[9]
B.     Hadist Tematik tentang Cinta
1.      Pengertian cinta
Banyak sekali definisi atau pandangan bahkan ungkapan-ungkapan kita tentang cinta yang tidak jelas bahkan justru sangat keliru. Memang, boleh jadi ia puitis, indah terdengar, tetapi sulit kita tangkap maknanya sehingga akan sulit kita tangkap maknya sehingga tidak pula mudah untuk dilupakan kehadirannya. Namun agaknya tidak jauh dari kebenaran pandangan yang menyatakan bahwa cinta adalah “Dialog dan pertemuan dua ‘aku’ serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggung jawab kedua ‘aku’ itu.”[10]
Imam Nawawi mengatakan, cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan disini bersifat ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan.[11]
Cintapun bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, ada juga kepada manusia, bahkan ada cinta kepada tanah air, binatang, dan benda-benda tak bernyawa, tergantung dari makna kata cinta yang dimaksud. Cinta kepada manusia berbeda-beda. Ada kepada lawan jenis, pasangan suami istri atau tunangan, kepada anak, ibu, ayah, saudara, dan manusia yang lain. cinta yang beraneka ragam itu bermacam-macam pula. Ada yang cepat mekarnya cepat pula layunya, ada yang sebaliknya lambat merak dan lambat pula layunya atau bahkan tidak layu, ada juga yang cepat tapi lambat layunya, inipun ada yang sebaliknya. Kekuatan cinta seseorangpun bermacam-macam, demikian pula masa berlangsungnya. Ada yang tertancap di dalam sanubari, ada yang bagaikan pohon, yang akarnya terhunjam ke bawah dan di pucuknya banyak buah. Cinta semacm ini dapat menjadikan si pencinta terpaku dan terpukau bahkan tidak lagi menyadari kedaan sekelilingnya karena yang dirasaakan serta terlihat olehnya hanya sang kekasih. Ada juga yang hanya bertengger di permukaan hati; seumu mawar, sekejap saja bertahan lalu layu, tidak mampu menahan rayuan pihak lain atau tidak sabar menahan deritanya.[12]
Keimanan memiliki pengaruh besar bagi jiwa dan hati. Ia lebih berharga dari air sejuk bagi orang yang kehausan. Ia bahkan lebih manis dari pada madu yang diminum setelah merasakan kepahitan dalam waktu yang lama. Keimanan yang kokoh akan tertanam dalam jiwa seseorang jika ia mampu menempatkan cintanya sesuai dengan apa yang Allah cintai. Yaitu sebuah cinta yang menjadikan ia senang dan gemar melakukan amalan-amalan sunnah. Selain itu juga semestinya ia mampu menempatkan bencinya sesuai dengan apa yang dibenci Allah. Yaitu sebuah kebencian yang menjadikannya mampu menahan diri dari perkara yang haram dan mengerjakan yang dihalalkan.[13]
Ini merupakan bentuk nyata dari mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Dua hal ini hanya akan terwujud bila seseorang mencintai  Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada siapapun dan apapun di muka bumi ini sebab cinta sejati menuntut seseorang untuk mengikuti yang dicintainya. Menyepakati apa yang disukai dan dibenci, baik secara ucapan, perbuatan maupun keyakinan dalam hati. Cinta dan kebaikan ini tidak akan bisa dirasakan dan dinikmati kelezatannya kecuali oleh orang yang menyempurnakan keimanan dan cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, cinta itu akan menghiasi jiwanya. Sehingga ia tidak akan mencintai dan membenci sesuatu ataupun memberi dan menolak sesuatu kecuali  atas dasar meraih ridha Allah semata.
2.      Hadis tentang cinta
Rasulullah saw., bersabda:
حَدِيْثُ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبُّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَا الِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَّعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ كَمَا يَكْرُهُ أَنْ يُّقْذَفَ فِيْ النَّارِ.

            Anas meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: tiga hal yang bila terdapat pada diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman. Menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,mencintai seseorang karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.”[14]
Sesungguhnya manis adalah buah dari pada iman. Untuk itu ketika disebutkan bahwa mencintai Rasulullah adalah sebagian dari pada iman, maka jelaslah setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis.[15]
( حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ) dalam ilmu balaghah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah, yang menyamakan rasa cinta seorang mukmin terhadap keimanan dengan sesuatu yang manis. Hadis ini mengisyaratkan tentang orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang yang sehat akan merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita sakit kuning misalnya, rasa tersebut akan berubah menjadi pahit.[16]
(أَحَبَّ إِلَيْهِ) Imam Baidhawi mengatakan, bahwa maksud cinta disini adalah cinta yang menggunakan akal. Artinya kecintaan tersebut lebih menguatamakan akal sehat, walaupun harus bertentangan dengan hawa nafsu. Seperti orang yang menderita sakit, pada dasarnya enggan untuk minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah alat yang dapat menyembuhkan penyakit, akhirnya akal memilih untuk minum obat. Pilihan akal inilah yang membuat nafsu – orang sakit tersebut – untuk minum obat. Apabila manusia menganggap bahwa larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaat, dan akalpun cenderung membenarkan hal tersebut, maka orang tersebut akan membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan demikian dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti kemauan akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang sempurna dan baik.[17]
Makna hadis ini telah mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu melaksanakan keutamaan dan meninggalkan kehinaan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa cinta kepada Allah mencakup dua hal:
a.       Fardhu
Kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam perintah-Nya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Orang yang lalai terkadang lebih menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Perilaku ini akan melahirkan ketidakpedulian, sehingga orang tersebut akan dengan mudah terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan penyesalan.[18]
b.      Sunnah
Membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha meninggalkan hal0hal yang syubhat. Perilaku orang yang demikian ini masih sangat jarang kita temukan.
Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak melaksanakan perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang dari Beliau, dengan demikian orang tersebut akan selalu berjala di atas jalan yang sudah digariskan. Orang yang mencintai rasul pasti akan mencintai Rasul pasti akan meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti akhlaknya, seperti dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebab itu orang yang beruapaya untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan manisnya iman.[19]
Rasulullah saw., bersabda:
حَدِيْثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ وَفِيْ حَدِيْثِ عَبْدِ الْوَارِثِ الرَّجُلُ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Diriwayatkan dari Anas r.a., dia telah berkata: Rasulullah saw telah bersabda: “Seseorang di antara kamu tidak bisa dikatakan beriman sempurna sehingga dia mencintai aku melebihi kecintaannya terhadap keluarga dan umat manusia seluruhnya.”[20]
Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang hidup rukun saling mencintai, oleh karena itu Rasulullah saw juga bersabda:
حَدِيْثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ أَوْ قَالَ لِخَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. dia telah berkata: Nabi saw telah bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Atau Rasulullah saw bersabda: “Sebelum dia mencintai tetangga sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[21]
( حَتَّى يُحِبُّ) (sampai mencintai) hal ini bukan berarti bahwa tidak adanya keimanan menyebabkan adanya rasa cinta.[22]
( مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) sebagaimana mencintai diri sendiri) dari kebaikan. Kata khair (kebaikan) yang mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan akhirat, sedangkan hal-hal yang dilarang oleh agama tidak termasuk dalam kategori al khair. Adapaun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai sesuatu kebaikan.[23]
Cinta disini adalah cinta dan senang jika saudaranya mendapatkan seperti apa yang dia dapatkan, baik dalam hal-hal yang bersifat indrawi atau maknawi.” Abu Zinad bin Siraj mengatakan, “secara zahir hadis ini menuntut kesamaan, sedang pada realitasnya menuntut pengutamaan, karena setiap orang senang jika ia lebih dari yang lainnya. Maka apabila dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, berarti ia termasuk orang-orang yang utama.”[24]
Cinta sejati antara manusia terjalin bila ada siifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta melekat pada sosok yang dicintainya dan yang terasa olehnya. Rasa inilah yang mendorong dan menguatkan kecenderungan itu. semakin banyak dan kuat siat-sifat yang dimaksud, dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam pula jalinan hubungan mereka. Demikian kurang lebih uraian ulama besar Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang hidup pada pertengahan abad ke 8 H.[25]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ انَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قاَلَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلَّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّهِ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌ نَشَأَ فِيْ عِبَادَةِاللهِ غز و جل، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمّسْاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابًّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ، فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَاللهَ خَالِيًا فَقَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah r.a., meriwayatkan dari Nabi saw., yang bersabda, “Ada tujuh macam orang yang diberi naungan oleh Allah dalam naung-Nya pada hari tiada naungan melainkan naungan Allah, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah swt., seseorang yang hatinya selalu terhubung kepada masjid, dua orang yang salng mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dalam keadaan yang sedemikian serta berpisahpun demikian pula, seseorang lelaki yang diajak (untuk berzina) oleh seseorang perempuan yang mempunyai pangkat serta kecantikan, lalu lelaki tersebut berkata, ‘Sungguh, saya takut kepada Allah,’ seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya itu, sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, hingga kedua matanya bercucuran air mata.”[26]
Hadis ini sebagai motivasi untuk melakukan hal-hal tersebut serta berbudi pekerti dengannya. Oleh karena itu agar cinta senantiasa hadir dalam hidup kita, berikut adalah hadis yang berhubungan dengan beberapa hal-hal yang dapat mendatangkan cinta.
وَ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسول الله صلّى الله عليه وسلم: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَا تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تُحَابُّوْا، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَيْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ.
“Dari Abu Hurairah r.a., berkata, “Rasulullah saw., bersabda, “Demi Zat yang jwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak akan dapat masuk surga sebelum kalian beriman dan kalian saling mencintai. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan yang apabila kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[27]
Hadis ini sebagai motivasi untuk meyebarkan salam dan mengucapkannya kepada setiap muslim yang dikenal dan belum dikenal. karena dengan menyebarkan salam aka nada kedekatan antara sebagian kaum muslimin dengan sebagian yang lain, serta menampkakkan syiar kaum muslimin serta sebagai bentuk kerendahan hati.
وَ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه  وسلم: أَنَّ رَجُلًا زَارً أَخًالَهُ فِيْ قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا.... وَذَكَرَ الحَدِيْثِ إِلَى قَوْلِهِ: إَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيْهِ.
“Dari Abu Hurairah r.a, meriwayatkan dari nabi saw., bahwa ada seorang lelaki mengunjungi saudaranya di desa lain, kemudian Allah memerintah seorang malaikat untuk melindunginya di sepanjang jalan…” perawi menuturkan hadis ini sampai kepada sabdanya: “Sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena Allah.”[28]
Hal yang dapat dipetik dari hadis tersebut adalah: pertama, keutamaan cinta kepada Allah lantaran cinta Allah kepada hamba-Nya. Barangsiapa dicintai oleh Allah, maka sungguh ia dalam keuntungan yang sangat besar. Kedua, doa yang diajarkan Nabi disebutkan, “Ya Allah berikanlah aku rezeki berua cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang cinta kepada-Mu, dan amal perbuatan yang dapat mendekatkanku kepada cinta-Mu.”[29]
وَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ فِيْ اْلأَنْصَارِ: لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ، مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ.
Dari Bara’ bin Azibr r.a., meriwayatkan dai nabi saw bahwa beliau bersabda mengenaisahabata Anshar, “Tidaklah mencintai kaum Anshar melainkan orang Mukmin dan tidak membenci mereka melainkan orang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, maka ia dicintai oleh Allah dan barangsiapa membenci mereka, maka mereka dibenci oleh Allah.”[30]
Kebilah Aus dan Khazraj disebut sebagai Anshar karena menolong Islam dan memberi tempat kepada orang-orang Islam.
وعن معاذ رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذ بيده، وقال: يا معاذ، والله، إني لأحبك، ثم أوصيك يا معاذ لا تد عن في دبر كل صلاة تقول: اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتكز.
Dari Anas r.a, meriwayatkan bahwa ada seorang ellaki berada di sisi Nabi saw., lalu ada seorang lelaki lain berjalan melewatinya, lalu lelaki di sisi nabi berkata,”Wahai Rasulullah sungguh saya mencintai orang ini.” Lalu Nabi saw., bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah mengungkapkannya kepada orang tersebut?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi saw., bersabda, “Beritahukanlah kepadanya.” Kontan iapun menyusul orang yang melewatinya tadi, lalu ia berkata, “Sungguh, saya mencintaimu karena Allah.” Orang itupun menjawab, “Semoga engkau juga dicintai oleh Zat yang mana engkau mencintai aku karena-Nya.”[31]
Hadis ini sebagai dalil sunnah menampakkan rasa cintai karena Allah dan mendo’akan orang yang melakukan kebaikan sebagaimana amal perbuatannya.
Dari Abu Hurairah r.a., berkata, “Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Alla swt berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku akan mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai dari pada melakukan apa yang telah aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, maka Akulah telinganya yang ia pakai untuk mendenfarkan, Akulah matanya yang ia pakai untuk melihat, Akulah tangannya yang ia pakai untuk memukul dan Aku pulalah kakinya yang ia pakai untuk berjalan, jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti aku berikan dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku pasti Aku beri perlindungan’.”[32]
Hadis ini mengandung beberapa faedah yaitu:
a.       Ancaman yang keras terhadap orang yang memusuhi satu di antara wali-wali Allah.
b.      Amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah ialah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan sesungguhnya memperbanyak amalan sunnah dapat menyebabkan Allah cinta terhadap seorang hamba dan mendekatkannya, sehingga ia meningkat sampai ke tingkatan ihsan. Maka, hatinya penuh terisi dengan ma’rifat kepada Allah, keagungan-Nya, dan harapan kepada-Nya. Sehingga, apabila ia berbicara dengan Allah, apabila ia mendengar, maka ia mendengar dengan-Nya, apabila ia melihat, maka ia melihat dengan-Nya, apabila ia memukul, maka ia memukul dengan-Nya.[33]
·         Da’wah adalah tabligh penyampaian suatu pesan. Jadi, dakwah adalah penyampaian ajaran Islam yang tujuannya agar orang tersebut melaksanakan ajaran agama Islam dengan sepenuh hati. Adapun salah satu hadis yang berkenaan dengan dakwah yaitu hadis tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar.
·         Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan disini bersifat ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan. Adapaun salah satu hadis yang berkaitan dengan cinta yaitu hadis tentang manisnya iman.



[1] Samsul Ma’arif, Mutiara-mutiara dakwah K.H. Hasyim Asy’Ari, (Bogor: Kanza Publishing, 2011), hlm. 17.
[2] Samsul Ma’arif, Mutiara-mutiara…, hlm. 17.
[3]  Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih; Bagian Ibadat, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 53.
[4] Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis Arba’in Imam An Nawawi, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), hlm. 279.
[5]Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis… , hlm. 54.
[6]Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis… , hlm. 288.
[7]  Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan; Mutiara Hadis Shahih Bukari dan Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hlm. 75.
[8] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan…, hlm. 77.
[9]Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis… , hlm. 40.
[10] M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 26.
[11] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 96.
[12] M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an…, hlm, 25.
[13] Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis…, hlm. 385.
[14]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan… , hlm. 87.
[15] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 99.
[16] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm. 99-100.
[17] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm.  100.
[18] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm. 101.
[19] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm. 101.
[20] Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis…, hlm. 51
[21]Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis…  , hlm. 51.
[22] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm. 96.
[23]  Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm. 96.
[24] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari..., hlm, 96.
[25] M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an…., hlm 25.
[26] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin & Penjelasannya, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hlm. 289.
[27] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 290.
[28] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin , hlm. 290.
[29]Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin… , hlm. 290-291.
[30] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 291.
[31] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 293.
[32] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin… , hlm. 294.
[33] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 295.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar