HADITS TEMATIK TENTANG DAKWAH DAN CINTA
Dakwah adalah komunikasi verbal dan
aksi sosial.dakwah adalah kegiatan membawa masyarakat dari satu kondisi ke
kondisi yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan bahwa dakwah bertujuan ke arah
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dakwah dapat meliputi segala kegiatan,
termasuk kegiatan pendidikan masyarakat dan pembangunan. Dakwah merupakan
sesuatu yang menjadi kemestian bagi setiap umat Islam. sebab dengan dakwah Islam akan dapat berkembang dengan pesat dan baik. Dengan dakwah pula
tatanan sosial masyarakat dapat tertera
dengan baik dan rapi. Kewajiban dakwah ini sudah dilakukan oleh setiap orang,
tokoh, ulama Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Cinta adalah kekuatan manusia yang
paling tinggi. Cinta adalah sumber segalanya, kita tidak akan dapat mewujudkan
setiap impian kita tanpa cinta. Pada dasarnya kasih sayang adalah fitrah yang
dianugerahkan Allah SWT kepada mahluknya, misalnya hewan, kita perhasikan
begitu kasihnya kepada anaknya, sehingga rela berkorban jika anaknya diganggu.
Naluri inipun ada pada manusia, dimulai dari kasih sayang orang tua kepada
anaknya, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi naluri kasih sayang ini dapat
tertutup jika terdapat hambatan – hambatan misalnya pertengkaran, permusuhan, kerasukan,
kedengkian dan lain – lain. Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S.
Poerwadarminta cinta adalah rasa sangat suka, sayang, ataupun sangat tertarik
hatinya. Pengertian cinta menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya
manajemen cinta, Cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong
seseorang untuk mencintai kekasihnya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih
sayang.
Dahwah dan cinta merupakan sebuah
hal yang dapat membangun kualitas keagamaan seseorang bahkan masyarakat luas.
Oleh karena itu tulisan ini berupaya untuk memaparkan hadis-hadis yang
berkaitan dengan dakwah dan cinta.
A.
Hadits Tematik
tentang Dakwah
1.
Pengertian
dakwah
Dilihat dari
segi bahasa kata dakwah berasal dari kata Arab dakwah, merupakan bentuk
masdar dari kata kerja da’a, yad’u, da’wah, berarti
seruan, ajakan, atau panggilan. Kata dakwah juga berarti do’a (al-du’a),
yakni harapan, permohonan kepada Allah Swt atau seruan (al-nida). Do’a
atau seruan pada sesuatu berarti dorongan atau ajakan untuk mencapai sesuatu
itu (al-du’a ila al-syai’ al-hasts ‘ala qasdihi). [1]
Istilah lain
yang identik dengan da’wah adalah tabligh penyampaian suatu pesan. Jadi, dakwah
adalah penyampaian ajaran Islam yang tujuannya agar orang tersebut melaksanakan
ajaran agama Islam dengan sepenuh hati.
Kata da’wah
mempunyai arti mengajak, mengundang, dan menyengaja, menyondongkan sesuatu
dengan ucapan dan kata-kata. Kata ini dapat dibaca da’wah, di’wah.sedangkan
tabligh secara bahasa adalah sampai pada tujuan. Selain dari itu, ada kata yang
sepadan lagi dengan dakwah; al-wa’zhu, tadzkir dan al-irsyad. Secara garis
besar al-wa’zhu adalah nasihat, tadzkir mengingatkan untuk berbuat baik dan
dapat mempengaruhi hati,dan irsyad mengajak kepada kebaikan dan memberi
peringatan kepada yang buruk dengan cara memberi kabar gembira dan kabar
ancaman.[2]
Allah Swt
berfiman dalam surat Ali Imran ayat 103:
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا۟
ۚ
وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ
عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم
مِّنْهَا ۗ
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ
لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan hendaklah
di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 103).
Dakwah
merupakan sesuatu yang menjadi kemestian bagi setiap umat Islam. sebab dengan
dakwah islam akan dapat berkembang dengan pesat dan baik. Dengan dakwah pula
tatanan sosial masyarakat dapat tertera
dengan baik dan rapi. Kewajiban dakwah ini sudah dilakukan oleh setiap orang,
tokoh, ulama Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
2.
Hadits tentang
dakwah
حَدِيْثُ أَبِيْ سَعِيْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ أَوَّلَ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيْدِ
قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ
الْخِطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ أَمَّا
هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمْ يَقُوْلُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْلإِيْمَانِ.
Diriwayatkan
dari Abu Sa’id r.a., dari Thariq bin Shihab, dia telah berkata:”Orang yang
pertama kali berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirkan adalah
Marwan. Kemudian ada seorang lelaki berdiri, lalu berkata kepadanya: “Shalat
Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah.” Marwan kemudian
menjawab: “Sesungguhnya kamu telah meninggalkan apa yang telah diajarkan
Rasulullah.” Kemudian Abu Sa’id berkata: “Orang ini benar-benar telah
menyimpang dari apa yang telah menjadi ketentuan baginya, sedangkan dia pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat
kemungkaran itu dengan tangan atau kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah
dicegah dengan lidahnya. Kemudian kalau tidak mampu juga, maka hendaklah cegah
dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah iman.”[3]
Kosa kata hadis
منكم: Dari orang-orang muslim
yang mukallaf. Perintah ini ditujukan kepada semua umat Islam.
منكرا : Kemungkaran yaitu meninggalkan kewajiban dan melakukan
perbuatan haram meskipun kecil.
فليغيره :Hendaklah ia menghilangkan atau menjadi ketaatan.
بيده : Mengubah kemungkaran
dengan tangan seperti mencegah orang yang berbuat maksiat, zalim dan
sebagainya.[4]
Hadis di atas
menerangkan tentang mencegah kemungkaran adalah bagian dari cabang iman. Sedang
iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam
melaksanakan perintah syariat. Semakin banyak melakukan kebajikan, maka imanpun
semakin kuat. Sebaliknya, semakin banyak melakukan maksiat, maka imanpun
semakin rapuh. Karena itu, setiap muslim diperintahkan agar selalu melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar. Mengajar kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk
kemungkaran.[5]
A’mar ma’ruf
Nahi Mungkar harus dilakukan dengan cara hikmah, sebagaimana Allah swt berfirma
dalam surat an-Nahl ayat 125.
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ deبِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Adapun hikmah
dalam hal ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi orang yang diperintah dan
dilarang, sesuatu yang diperintahkan dan dilarang, dan metode yang lebih
bermanfaat dan lebih mengena. Terkadang menggunakan metode yang lemah lembut
dalam berbicara dan berdebat. Terkadang pula lebih tepat dengan menggunakan
metode yang keras dan tegas.[6]
Oleh karena
itu, orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus memiliki sifat-sifat
berikut: lemah lembut, pemaaf, adil, dan berilmu.
Sufyan
ats-Tsauri berkata, “Tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kecuali
orang yang memiliki tiga sifat, yaitu lemah lembut, adil, dan berilmu”.
حَدِيْثُ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوُا النَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنِ الْقَوْمُ أَوْ مَنِ الْوَفْد؟ قَالُوْا: رَبِيْعَةَ.
قَالَ: مَرْجَبًا بِالْقَوْمِ أَوْ بِالْوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى فَقالُوا:
يَارَسُوْلُ اللهِ إِنَّا لَا نَسْتَطِعُ أَنْ نَأْتِيَكَ إِلَّا فِيْ الشَّهْرِ
الْحَرَامِ، وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ كُفَّرِ مُضَرَ، فَمُرْنَا
بِأَمْرٍ فَصْلٍ نُخْبِرْ بِهِ مَنْ وَّرَاءَنَاوَنَدْخُلْ بِهِ الْجَنَّةَ. وَسَأَلُوْهُ
عَنِ اْلأَشْرِبَةِ، فَأَمَرَهُمْ بِأَرْبَعٍ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ: أَمَرَهُمْ
بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ، قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَه؟
قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلَهُ أَعْلَمُ، قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةَ، وَإْيتَاءُ الزَّكَاةِ،
وَصِيَامُ رَمَضَانَ، وَأَنْ تُعْطُوْا مِنَ الْمَغْنَمِ الْخُمُسُ وَنَهَاهُمْ عَنْ
أَرْبَعٍ: عَنِ الْحَنْتَمِ وَالدُّبَّاءِ وِالنَّقِيْرَ وَالْمُزَفَّتِ وَرُبَّمَا
قَالَ: المُقَيَّرِ. وَقَالَ: احْفَظُوْ هُنَّ وَأَخْبِرُوْا بِهِنَّ مَنْ وَرَاءَكُمْ.
Ibnu
Abbas mengisahkan, “Ketika utusan dari Abdul Qais datang kepada Nabi saw.,
beliau bertanya, ‘Utusan siapakah kalian?’. ‘Utusan Rabi’ah’. Jawab mereka.
Beliau lantas bersabda, ‘Selamat datang rombongan uusan yang tidak berduka
(secara suka rela masuk Islam) dan tidak akan menyesal.’Lalu mereka berkata,
‘Wahai Rasulullah, kami hanya bisa mendatangi Anda ketika bulan-bulan Haram
saja (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram) karena di antara kami dan
tempat Anda ada suku kafir Mudhar. Maka, perinahkanlah kepada kami perkara yang
sederhana danjelas untuk kami beritakan kepada orang-orang yang berad di
belakang kami, yang dengan begitu kami bisa masuk surga.’ Mereka juga
menanyakan perihal minuman, lalu Beliau memerintahkan empat hal kepada mereka.
Beliau memerintahkan untuk beruman kepada Allah semata, kemudian bertanya,
‘Tahukan kalian apa makna beriman kepada Allah semata?’ mereka menjawab, ‘Allah
dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Nabi saw., bersabda, ‘Bersaksi bahwa tiada Ilah
(yang berhak dibadahi) selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan memberikan seperlima dari
hasil ghanimah.’ Beliau melarang empat hal, yaitu membuat arak dalam guci
(al-hantam), dalam buah labu – yang dikeringkan (ad-duba), bejana dari akar
pohon kurma yang dilubangi (an-naqir), atau bejana yang dicat dengan ter
(al-muzaffat). Sepertinya beliau juga menyebutkan dengan muqayyar. Kemudian
beliau bersabda, ‘Ingatlah semua pesan itu dan beritakan kepada orang-orang
yang berada di belakang kalian.’”[7]
حَدِيْثُ
ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رسول الله صلى الله عليه و سلم لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رضي
الله عنه على الْيَمَنِ قَالَ: إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ،
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ، فَإِذَا عَرَفُوْا
اللهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ
فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوََاتٍ فِيْ يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ، فَإِذَا
فَعَلُوْا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهُمْ زَكَاةً –
تُؤْخَذُ – مِنْ
أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِذَا أَطَاعُوْا بِهَا فَخُذْ
مِنْهُمْ، وَتَوَقَّ كَرَائِهِمْ أَمْوَالِ النَّاسِ.
Ibnu
Abbas menuturkan, “Ketika Rasulullah saw., mengutus Muadz r.a., ke Yaman,
beliau berpesan: “Engkau akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab. Karea itu,
perkara pertama yang harus kamu dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada
Allah. Jika mereka sudah mengetahui Allah maka ajarkanlah kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka sudah
melaksanakannya maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat
(yang diambil) dari harta-harta mereka akan diberikan kepada orang-orang fakir
di antara mereka. Jika mereka taat maka ambillah zakat dari mereka dan
berhati-hatilah terhadap harta manusia yang paling mereka sayangi.”[8]
Hadis
di atas menerangkan tentang perintah memerangi umat manusia, hingga mereka
mengucapkan dua kaliamh syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, serta
mempercayai apa yang dibawa Rasulullah saw. barangsiapa melakukan semua
tuntutan tersebut niscaya jiwa dan hartanya terpelihara serta mendapatkan
perlindungan,kecuali apabila melakukan hal-hal yang dibenarkan syara’ untuk
diambil tindakan. Bila itu terjadi, maka hendaklah dia senantiasa berserah diri
kepada Allah swt. di sisi lain hadis di atas juga menerangkan tentang keharusan
memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, atau tidak mau menunaikan
tuntutan syariat Islam yang lain. karena itu seorang penguasa harus berani
mengambil tindakan terhadap mereka dalam rangka menegakkan syariat Islam.[9]
B.
Hadist Tematik
tentang Cinta
1.
Pengertian
cinta
Banyak sekali
definisi atau pandangan bahkan ungkapan-ungkapan kita tentang cinta yang tidak
jelas bahkan justru sangat keliru. Memang, boleh jadi ia puitis, indah
terdengar, tetapi sulit kita tangkap maknanya sehingga akan sulit kita tangkap
maknya sehingga tidak pula mudah untuk dilupakan kehadirannya. Namun agaknya
tidak jauh dari kebenaran pandangan yang menyatakan bahwa cinta adalah “Dialog
dan pertemuan dua ‘aku’ serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggung
jawab kedua ‘aku’ itu.”[10]
Imam Nawawi mengatakan, cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang
diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat
diindera, seperti bentuk, atau dapat juga perbuatan seperti kesempurnaan,
keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan disini bersifat
ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan.[11]
Cintapun
bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, ada juga kepada manusia, bahkan ada
cinta kepada tanah air, binatang, dan benda-benda tak bernyawa, tergantung dari
makna kata cinta yang dimaksud. Cinta kepada manusia berbeda-beda. Ada kepada
lawan jenis, pasangan suami istri atau tunangan, kepada anak, ibu, ayah,
saudara, dan manusia yang lain. cinta yang beraneka ragam itu bermacam-macam
pula. Ada yang cepat mekarnya cepat pula layunya, ada yang sebaliknya lambat
merak dan lambat pula layunya atau bahkan tidak layu, ada juga yang cepat tapi
lambat layunya, inipun ada yang sebaliknya. Kekuatan cinta seseorangpun
bermacam-macam, demikian pula masa berlangsungnya. Ada yang tertancap di dalam
sanubari, ada yang bagaikan pohon, yang akarnya terhunjam ke bawah dan di
pucuknya banyak buah. Cinta semacm ini dapat menjadikan si pencinta terpaku dan
terpukau bahkan tidak lagi menyadari kedaan sekelilingnya karena yang
dirasaakan serta terlihat olehnya hanya sang kekasih. Ada juga yang hanya
bertengger di permukaan hati; seumu mawar, sekejap saja bertahan lalu layu, tidak
mampu menahan rayuan pihak lain atau tidak sabar menahan deritanya.[12]
Keimanan
memiliki pengaruh besar bagi jiwa dan hati. Ia lebih berharga dari air sejuk
bagi orang yang kehausan. Ia bahkan lebih manis dari pada madu yang diminum
setelah merasakan kepahitan dalam waktu yang lama. Keimanan yang kokoh akan
tertanam dalam jiwa seseorang jika ia mampu menempatkan cintanya sesuai dengan
apa yang Allah cintai. Yaitu sebuah cinta yang menjadikan ia senang dan gemar
melakukan amalan-amalan sunnah. Selain itu juga semestinya ia mampu menempatkan
bencinya sesuai dengan apa yang dibenci Allah. Yaitu sebuah kebencian yang
menjadikannya mampu menahan diri dari perkara yang haram dan mengerjakan yang
dihalalkan.[13]
Ini merupakan
bentuk nyata dari mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang
dibenci Allah. Dua hal ini hanya akan terwujud bila seseorang mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada
siapapun dan apapun di muka bumi ini sebab cinta sejati menuntut seseorang
untuk mengikuti yang dicintainya. Menyepakati apa yang disukai dan dibenci,
baik secara ucapan, perbuatan maupun keyakinan dalam hati. Cinta dan kebaikan
ini tidak akan bisa dirasakan dan dinikmati kelezatannya kecuali oleh orang
yang menyempurnakan keimanan dan cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan
demikian, cinta itu akan menghiasi jiwanya. Sehingga ia tidak akan mencintai
dan membenci sesuatu ataupun memberi dan menolak sesuatu kecuali atas dasar meraih ridha Allah semata.
2.
Hadis tentang
cinta
Rasulullah saw.,
bersabda:
حَدِيْثُ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: ثَلَاثٌ مَنْ
كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبُّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ
إِلَا الِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَّعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ كَمَا يَكْرُهُ
أَنْ يُّقْذَفَ فِيْ النَّارِ.
Anas
meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “tiga hal yang bila terdapat pada diri
seseorang ia akan merasakan manisnya iman. Menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih
ia cintai daripada selain keduanya,mencintai seseorang karena Allah, dan benci
kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api
neraka.”[14]
Sesungguhnya manis adalah buah dari pada iman. Untuk itu ketika disebutkan
bahwa mencintai Rasulullah adalah sebagian dari pada iman, maka jelaslah
setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis.[15]
( حَلَاوَةَ
الْإِيْمَانِ)
dalam ilmu balaghah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah, yang menyamakan
rasa cinta seorang mukmin terhadap keimanan dengan sesuatu yang manis. Hadis
ini mengisyaratkan tentang orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang yang
sehat akan merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita sakit kuning
misalnya, rasa tersebut akan berubah menjadi pahit.[16]
(أَحَبَّ إِلَيْهِ) Imam Baidhawi mengatakan, bahwa
maksud cinta disini adalah cinta yang menggunakan akal. Artinya kecintaan
tersebut lebih menguatamakan akal sehat, walaupun harus bertentangan dengan
hawa nafsu. Seperti orang yang menderita sakit, pada dasarnya enggan untuk
minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah alat yang dapat
menyembuhkan penyakit, akhirnya akal memilih untuk minum obat. Pilihan akal
inilah yang membuat nafsu – orang sakit tersebut – untuk minum obat. Apabila
manusia menganggap bahwa larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan
manfaat, dan akalpun cenderung membenarkan hal tersebut, maka orang tersebut
akan membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan
demikian dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti
kemauan akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang
sempurna dan baik.[17]
Makna hadis ini telah mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu melaksanakan
keutamaan dan meninggalkan kehinaan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa cinta
kepada Allah mencakup dua hal:
a. Fardhu
Kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam
perintah-Nya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya.
Barangsiapa yang terjerumus ke dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan
dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa
nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Orang yang lalai terkadang lebih
menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Perilaku ini akan
melahirkan ketidakpedulian, sehingga orang tersebut akan dengan mudah
terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan penyesalan.[18]
b. Sunnah
Membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha meninggalkan
hal0hal yang syubhat. Perilaku orang yang demikian ini masih sangat jarang kita
temukan.
Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak melaksanakan
perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang dari Beliau,
dengan demikian orang tersebut akan selalu berjala di atas jalan yang sudah
digariskan. Orang yang mencintai rasul pasti akan mencintai Rasul pasti akan
meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti akhlaknya, seperti
dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebab itu orang yang beruapaya
untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan manisnya
iman.[19]
Rasulullah
saw., bersabda:
حَدِيْثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ وَفِيْ
حَدِيْثِ عَبْدِ الْوَارِثِ الرَّجُلُ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Diriwayatkan
dari Anas r.a., dia telah berkata: Rasulullah saw telah bersabda: “Seseorang di
antara kamu tidak bisa dikatakan beriman sempurna sehingga dia mencintai aku
melebihi kecintaannya terhadap keluarga dan umat manusia seluruhnya.”[20]
Islam bertujuan
menciptakan masyarakat yang hidup rukun saling mencintai, oleh karena itu
Rasulullah saw juga bersabda:
حَدِيْثُ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمْ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ أَوْ قَالَ
لِخَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik r.a. dia telah berkata: Nabi saw telah bersabda: “Tidak
sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai saudaranya sesama muslim
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Atau Rasulullah saw bersabda:
“Sebelum dia mencintai tetangga sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[21]
( حَتَّى
يُحِبُّ)
(sampai mencintai) hal ini bukan berarti bahwa tidak adanya keimanan
menyebabkan adanya rasa cinta.[22]
( مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ)
sebagaimana mencintai diri sendiri) dari kebaikan. Kata khair (kebaikan) yang
mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan akhirat,
sedangkan hal-hal yang dilarang oleh agama tidak termasuk dalam kategori al
khair. Adapaun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai sesuatu
kebaikan.[23]
Cinta disini adalah cinta dan senang jika saudaranya mendapatkan seperti
apa yang dia dapatkan, baik dalam hal-hal yang bersifat indrawi atau maknawi.”
Abu Zinad bin Siraj mengatakan, “secara zahir hadis ini menuntut kesamaan,
sedang pada realitasnya menuntut pengutamaan, karena setiap orang senang jika
ia lebih dari yang lainnya. Maka apabila dia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri, berarti ia termasuk orang-orang yang utama.”[24]
Cinta sejati
antara manusia terjalin bila ada siifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta
melekat pada sosok yang dicintainya dan yang terasa olehnya. Rasa inilah yang
mendorong dan menguatkan kecenderungan itu. semakin banyak dan kuat siat-sifat
yang dimaksud, dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan
dalam pula jalinan hubungan mereka. Demikian kurang lebih uraian ulama besar
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang hidup pada pertengahan abad ke 8 H.[25]
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ انَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قاَلَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ
اللهُ فِيْ ظِلَّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّهِ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌ نَشَأَ
فِيْ عِبَادَةِاللهِ غز و جل، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمّسْاجِدِ، وَرَجُلَانِ
تَحَابًّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ
امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
بِصَدَقَةٍ، فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ،
وَرَجُلٌ ذَكَرَاللهَ خَالِيًا فَقَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu
Hurairah r.a., meriwayatkan dari Nabi saw., yang bersabda, “Ada tujuh macam
orang yang diberi naungan oleh Allah dalam naung-Nya pada hari tiada naungan
melainkan naungan Allah, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam
beribadah kepada Allah swt., seseorang yang hatinya selalu terhubung kepada
masjid, dua orang yang salng mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dalam
keadaan yang sedemikian serta berpisahpun demikian pula, seseorang lelaki yang
diajak (untuk berzina) oleh seseorang perempuan yang mempunyai pangkat serta
kecantikan, lalu lelaki tersebut berkata, ‘Sungguh, saya takut kepada Allah,’
seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikan
sedekahnya itu, sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada
Allah dalam keadaan sepi, hingga kedua matanya bercucuran air mata.”[26]
Hadis ini
sebagai motivasi untuk melakukan hal-hal tersebut serta berbudi pekerti
dengannya. Oleh karena itu agar cinta senantiasa hadir dalam hidup kita,
berikut adalah hadis yang berhubungan dengan beberapa hal-hal yang dapat
mendatangkan cinta.
وَ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسول الله صلّى الله عليه وسلم: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ، لَا تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا، وَلَا تُؤْمِنُوْا
حَتَّى تُحَابُّوْا، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ
تَحَابَيْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ.
“Dari Abu Hurairah r.a.,
berkata, “Rasulullah saw., bersabda, “Demi Zat yang jwaku berada di tangan-Nya,
kalian tidak akan dapat masuk surga sebelum kalian beriman dan kalian saling
mencintai. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan yang apabila kalian
melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara
kalian.”[27]
Hadis ini
sebagai motivasi untuk meyebarkan salam dan mengucapkannya kepada setiap muslim
yang dikenal dan belum dikenal. karena dengan menyebarkan salam aka nada
kedekatan antara sebagian kaum muslimin dengan sebagian yang lain, serta
menampkakkan syiar kaum muslimin serta sebagai bentuk kerendahan hati.
وَ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم: أَنَّ رَجُلًا زَارً أَخًالَهُ فِيْ قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ
اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا.... وَذَكَرَ الحَدِيْثِ إِلَى قَوْلِهِ:
إَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيْهِ.
“Dari Abu
Hurairah r.a, meriwayatkan dari nabi saw., bahwa ada seorang lelaki mengunjungi
saudaranya di desa lain, kemudian Allah memerintah seorang malaikat untuk
melindunginya di sepanjang jalan…” perawi menuturkan hadis ini sampai kepada
sabdanya: “Sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai
saudaramu karena Allah.”[28]
Hal yang dapat
dipetik dari hadis tersebut adalah: pertama, keutamaan cinta kepada Allah lantaran
cinta Allah kepada hamba-Nya. Barangsiapa dicintai oleh Allah, maka sungguh ia
dalam keuntungan yang sangat besar. Kedua, doa yang diajarkan Nabi disebutkan,
“Ya Allah berikanlah aku rezeki berua cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang
cinta kepada-Mu, dan amal perbuatan yang dapat mendekatkanku kepada cinta-Mu.”[29]
وَ
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
أَنَّهُ قَالَ فِيْ اْلأَنْصَارِ: لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ، مَنْ
أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ.
Dari Bara’ bin
Azibr r.a., meriwayatkan dai nabi saw bahwa beliau bersabda mengenaisahabata
Anshar, “Tidaklah mencintai kaum Anshar melainkan orang Mukmin dan tidak
membenci mereka melainkan orang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, maka ia
dicintai oleh Allah dan barangsiapa membenci mereka, maka mereka dibenci oleh
Allah.”[30]
Kebilah Aus dan
Khazraj disebut sebagai Anshar karena menolong Islam dan memberi tempat kepada
orang-orang Islam.
وعن
معاذ رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذ بيده، وقال: يا معاذ،
والله، إني لأحبك، ثم أوصيك يا معاذ لا تد عن في دبر كل صلاة تقول: اللهم أعني على
ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتكز.
Dari Anas r.a,
meriwayatkan bahwa ada seorang ellaki berada di sisi Nabi saw., lalu ada
seorang lelaki lain berjalan melewatinya, lalu lelaki di sisi nabi
berkata,”Wahai Rasulullah sungguh saya mencintai orang ini.” Lalu Nabi saw.,
bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah mengungkapkannya kepada orang
tersebut?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi saw., bersabda, “Beritahukanlah
kepadanya.” Kontan iapun menyusul orang yang melewatinya tadi, lalu ia berkata,
“Sungguh, saya mencintaimu karena Allah.” Orang itupun menjawab, “Semoga engkau
juga dicintai oleh Zat yang mana engkau mencintai aku karena-Nya.”[31]
Hadis ini
sebagai dalil sunnah menampakkan rasa cintai karena Allah dan mendo’akan orang
yang melakukan kebaikan sebagaimana amal perbuatannya.
Dari Abu
Hurairah r.a., berkata, “Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Alla swt
berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku akan mengumumkan
perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih aku cintai dari pada melakukan apa yang telah aku wajibkan
kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan
amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah
mencintainya, maka Akulah telinganya yang ia pakai untuk mendenfarkan, Akulah
matanya yang ia pakai untuk melihat, Akulah tangannya yang ia pakai untuk memukul
dan Aku pulalah kakinya yang ia pakai untuk berjalan, jika ia meminta sesuatu
kepada-Ku, pasti aku berikan dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku pasti Aku
beri perlindungan’.”[32]
Hadis ini
mengandung beberapa faedah yaitu:
a.
Ancaman yang
keras terhadap orang yang memusuhi satu di antara wali-wali Allah.
b.
Amal perbuatan
yang paling dicintai oleh Allah ialah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
sesungguhnya memperbanyak amalan sunnah dapat menyebabkan Allah cinta terhadap
seorang hamba dan mendekatkannya, sehingga ia meningkat sampai ke tingkatan
ihsan. Maka, hatinya penuh terisi dengan ma’rifat kepada Allah, keagungan-Nya,
dan harapan kepada-Nya. Sehingga, apabila ia berbicara dengan Allah, apabila ia
mendengar, maka ia mendengar dengan-Nya, apabila ia melihat, maka ia melihat
dengan-Nya, apabila ia memukul, maka ia memukul dengan-Nya.[33]
·
Da’wah adalah
tabligh penyampaian suatu pesan. Jadi, dakwah adalah penyampaian ajaran Islam
yang tujuannya agar orang tersebut melaksanakan ajaran agama Islam dengan
sepenuh hati. Adapun salah satu hadis yang berkenaan dengan dakwah yaitu hadis
tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar.
·
Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu
yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat
diindera, seperti bentuk, atau dapat juga perbuatan seperti kesempurnaan,
keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan disini bersifat
ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan. Adapaun salah satu hadis yang berkaitan dengan cinta yaitu hadis
tentang manisnya iman.
[1]
Samsul Ma’arif, Mutiara-mutiara dakwah K.H. Hasyim Asy’Ari, (Bogor:
Kanza Publishing, 2011), hlm. 17.
[2]
Samsul Ma’arif, Mutiara-mutiara…, hlm. 17.
[3] Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Muttafaq
‘Alaih; Bagian Ibadat, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 53.
[4]
Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis Arba’in Imam An Nawawi,
(Jakarta: Qisthi Press, 2014), hlm. 279.
[5]Ahmad
Mudjab Mahalli, Hadis-hadis… , hlm. 54.
[6]Musthafa
Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis… , hlm. 288.
[7] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal
Marjan; Mutiara Hadis Shahih Bukari dan Muslim, (Jakarta: Ummul Qura,
2013), hlm. 75.
[8]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan…, hlm. 77.
[9]Ahmad
Mudjab Mahalli, Hadis-hadis… , hlm. 40.
[10]
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
hlm. 26.
[11] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al Bukhari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 96.
[12]
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an…, hlm, 25.
[13]
Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi; Syarah Hadis…, hlm. 385.
[14]Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan… , hlm. 87.
[15] Ibnu Hajar as-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al
Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 99.
[20]
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis…, hlm. 51
[21]Ahmad
Mudjab Mahalli, Hadis-hadis… ,
hlm. 51.
[25]
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an…., hlm 25.
[26]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin & Penjelasannya, (Jakarta: Ummul
Qura, 2014), hlm. 289.
[27]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 290.
[28]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin , hlm. 290.
[29]Imam
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin… , hlm. 290-291.
[30]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 291.
[31]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 293.
[32]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin… , hlm. 294.
[33]
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin…, hlm. 295.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar