Kamis, 15 Februari 2018

KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (Oleh Ria Astika)



Korupsi sejatinya merupakan manifestasi sikap ingkar dan kufurnya seorang koruptor dari titah fitrahnya. Perilaku kumuh dan tuna keadaban itu telah mendestruksi kemanusiaan, tatanan sosial, dan politik kemasyarakatan.korupsi merupakan laku dan sistem yang memiskinkan ekonomi rakyat dan bangkrutnya ketahanan berkepanjangan. Tidak ada yang tersisa maruahnya jika siapapun telah menjalin kontrak amoral dengan koruptor dan jejaringnya yang sistemik itu. Ikatan diantara mereka terbangun di atas puing-puing bangunan amoral.
korupsi dinobatkan sebagai virus moral yang ganas buah modernitas tanpa akhlak sebagai sumber peradaban. Ia muncul sebagai ritual baru menjadi pilihan bagi pemenuhan syahwat materialisme oleh kelas pemberhala hedonisme. Harta harus dijaga dengan sangat baik terlebih ketika diamanahi untuk menjaganya. Tidak boleh saling memakan harta di antara manusia dengan cara yang batil, tidak boleh menzalimi hak-hak anak-anak yatim, melakukan penyuapan kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud khusus kepada seorang pejabat, meng-ghasab, mencuri, merampok, atau mengorupsi.
Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk mengkaji bahaya korupsi melalui tulisan ini dengan memaparkan berbagai dalil yang berhubungan dengan bahaya korupsi. 

A.  Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahsa latin yaitu “corruptie” atau “corruptus”, selanjutnya kata corruptio berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin yang tua). Dari bahasa latin inilah kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; Belanda Ccrorruptie (korruptie). Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari latin corruption = penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan Negara menyelahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.[1]
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:
1.      Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
2.      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
3.      Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran; - sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat; -pengaruh-pengaruh yang korup.[2]
Istilah “korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia international dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara yang bersangkutan. Tranparency International memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.
Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu:
1.      Menyalahgunakan kekuasaan;
2.      Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik mapun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
3.      Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk  pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dengan teman-temannya).[3]
Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa “dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentinngan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”.[4]
Korupsi dalam kamus ilmiah popular mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri; pemalsuan. [5]

B.  Dalil Tentang Korupsi
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan masyarakat. Allah memberi peringatan agar manusia menghindari kecurangan dan penipuan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an.
Berikut akan dijelaskan beberapa jenis tindak pidana (jarimah) dalam fiqh jinayah dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati terminologi korupsi di masa sekarang, beberapa jarimah tersebut adalah ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), dan hirabah (perampokan).

1.      Ghulul
Q.S Ali-Imran ayat 161



“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” ( Ali Imran : 161 ).

Secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “ غَلَلَ-يَغْلِلُ masdar, invinitive atau verbal nounnya ada beberapa pola “الغِلُّ-الغُلَّةُ-الغَلَلُ-وَالغَلِيْلُ“semuanya diartikan oleh Ibnu al-Manzhur dengan “شِدَّةٌ العَطْشِ وَ حَرَارَتُهُ“ sanat kehausan dan kepanasan.[6]
Lebih spesifik dikemukakan dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul dari kata kerja “  غَلَّ-يَغُلُّ“ yang berarti “ خَانَ فِى المَغْنَمِ وَ غَيْرِه“ berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.[7]
Diantara faktor yang menyebabkan pasukan pemanah meninggalkan posnya di gunung, ialah kekhawatiran mereka bahwa Rasulullah saw. tidak memberikan bagian harta rampasan kepada mereka. Karena, sebagian kaum munafik memperbincangkan bahwa sebagian dari harta rampasan Perang Badar sebelumnya telah digelapkan, dan mereka tidak malu-malu menyebut-nyebut nama Nabi saw, dalam masalah ini.[8]
Karena ini, turulah ayat ini yang menetapkan hukum umum yang menolak kemungkinan para nabi melakukan korupsi. Yakni, menyembunyikan sebagian harta rampasan untuk dirinya, atau membagikannya kepada sebagian tentara tanpa sebagian yang lain, atau berkhianat terhadap sesuatu secara umum,
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat
            Tidak mungkin Nabi berkhianat, tidak mungkin Nabi korup, dan korup itu sama sekali bukan tabiat dan akhlak Nabi. Maka, penafian (peniadaan) disini adalah penafian terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan itu pada Nabi, bukan penafian kehalalannya atau kebolehannya. Karena tabiat Nabi yang amanah, adil, dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak pantas itu, tidak memungkinkan terjadinya kecurangan dan korup dari beliau. [9]
            Kemudian diancamlah orang-orang yang korup dan menyembunyikan harta umum atau harta rampasan dengan ancaman yang sangat menakutkan,

            “… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentanga apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dikhianati.[10]
            Imam Ahmad meriwayatkan bahwa telah diinformasikan kepadanya oleh Sufyan, dari az-Zuhri, dari Urwah, dari abu Huamid as-Sa’di, dia berkata, “Rasulullah saw. menugaskan seorang laki-laki dari suku al-Azd yang bernama Ibnu Lutaibah untuk memungut sedekah. Maka, setelah datang (dari menjalankan tugasnya) ia berkata (kepada Rasulullah saw.), “Ini untukmu dan ini dihadiahkan untukku. “Lalu Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda,

مَا بَالُ الْعَامِلِ، نَبْعَثُهُ عَلَى عَمَلٍ فَيَقُوْلُ: هَذَا لَكُمْ وَ هَذَا أُهْدِيَ اِلَيَّ. أَفَلَا جَلَسَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَ أُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَأْ تِيْ أَحَدُكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ، وَإِنَّ بَعِيْرًالَهُ رُغَاءٌ، أَوْبَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَأْةً تَيْعَرُ.
Bagaimana urusan petugas itu? Kami tugaskan dia untuk melakukan suatu tugas, tetapi kemudian dia berkata, ‘Ini untukmu dan ini dihadiahkan untukku.’Mengapa dia tidak duduk saja dirumah ayah ibunya, lantas menunggu apakah ada orang yang memberi hadiah kepadanya ataukah tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidakkah seseorang megambilnya melainkan ia akan membawanya pada hari kiamat di atas pundaknya dan barang korupsiannya itu berupa unta yang berteriak-teriak, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”[11]
Al-ghulul mencakup tindakan pengambilan, penggelapan, berlaku curang atau berkhianat dalam pengelolaan pajak, pendapatan asli daerah, penyusunan dan pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penyusunan dan pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta penyusunan dan pengalokasian dana non budgeting lembaga pemerintah yang bukan departemen; termasuk juga Badan Usaha Milik Negara, Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), dan keseluruhan penggelapan dana lembaga pemerintah dan lembaga swasta, yayasan social atau bahkan dalam mengelola dana perorangan.[12]
Sanksi hukuman pada tindakan al-ghulul sangat berat, tetapi sanksi yang disebutkan dalam al-Qur’an lebih bersifat ukhrawi. Sanksi hukum yang bersifat duniawi dikembalikan kepada pemerintah, lembaga pembuat undang-undang, dan aparat penegak hukum dengan memperhatikan penegasan sanksi pada Q.S. ali Imran ayat 161.
2.      Ghasab
Q.S Al-Baqarah ayat 188


.


"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
Ibnu Katsir meriwayatkan di dalam menafsirkan ayat ini sebagai berikut. Ali bin Thalhah dan ibnu abbas berkata, “hal ini berkenaan dengan seseorang yang menanggung suatu harta, tetapi tidak ada alat bukti, lalu dia berusaha mengelak dan membawanya kepada hakim, padahal dia tahu bahwa dia yang harus bertanggung jawab dan dia tahu pula bahwa dialah yang berdosa karena memakan harta yang haram (karena bukan  haknya).” Demikianlah pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Sudi Muqatil bin Hayyan, dan Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam. Mereka berkata, “Janganlah kamu berperkara (ke pengadilan) padahal kamu tahu bahwa kamulah yang zalim (salah).”[13]
Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu salamah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّمَا يَأْتِيْنِى الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُوْنَ الْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنَ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ نَارِ، فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ لِيَذَرْ هَا
Sesungguhnya aku hanya sorang manusia biasa. Maka, boleh jadi sebagian kamu lebih pandai mengemukakan argumentasinya daripada sebagian yang lain, sehingga aku menenangkannya. Maka, barangsiapa yang aku putuskan untuknya untuk mendapatkan hak orang muslim lainnya (sesuai argumentasinya yang dikemukakannya), itu adalah sepotong api neraka, maka biarlah ia membawanya atau meninggalkannya.”[14]
Demikianlah Nabi saw. menyerahkan kepada mereka karena merekalah yang mengetahui hakikat gugatan yang sebenarnya. Maka, keputusan hakim tidak menjadikan halalnya sesuatu yang haram dan tidak menjadikan haramnya sesuatu yang halal. Keputusan hakim itu hanya kelaziman lahiriah, sedang dosanya tetap ditanggung oleh orang yang curang.

Allah juga berfirman dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 79    

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun kapal adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku akan merusaknya karena di belakang mereka seorang raja yang selalu mengambil hak mereka dengan jalan ghosob”.
Secara etimologis ghasab berasal dari kata kerja “        غَصَبَ-يَغْصِبُ-غَصْبًا“ yang berarti “            أَخَذَهُ قَهْرًا وَ ظُلْمًا“ (mengambil sesuatu secara paksa dan zalim). Muhammad al-Khatib al-syarbini menjelaskan definisi ghasab secara etimologis lebih lengkap dari definisi di atas, yaitu “              هُوَ لُغَةً أَخْذُ الشَيْءِ ظُلْمًا وَ قَبْلَ أَخْذِ ظُلْمًا جِهَارًا“ (ghasab secarra bahasa berarti mengambil sesuatu secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim (ia melakukannya juga) secara terang-terangan). Sedangkan al-Jurjanimendefinisikan ghasab secara etimologis dengan “          أَخْذُ الشَيْءِ ظُلْمًا مَالًا كَانَ أَوْ غَيْرِهِ“ (mengambil sesuatu secara zalim, baik yang diambil itu harta atau yang lain).[15]
Menurut M. Nurul Irfan dalam bukunya, ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan secara terang-terangan.

3.      Khianat
Q.S Al-Anfal Ayat 27

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." 
Kata khianat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk verbal noun atau masdar dari kata kerja “خَانَ - يَخُوْنُ“. Selain “خِيَانَةً“ bentuk masdarnya bisa berupa “خَوْنًا خَانَةً - مُخَانَةً“ yang semuanya berarti “أَنْ يُؤْتَمَنَ الإِنْسَانَ فَلَا يَنْصَحُ“ (sikap tidak becusnya sesorang pada saat diberikan keprcayaan).[16]
Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu (tindakan/upaya yang bersifat) melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan di dalamnyaatau telah berlaku menurut adat kebiasaan, seperti tindakan pembantaian terhadap kaum muslim atau sikap menampakkan permusuhan terhadap kaum muslim.
Sanksi ta’zir bagi para pelaku khianat dalam dari kasusu Abu Lubabah bin Abdul Munzir al-Anshari. Kasus ini diantara lain dikemukakan oleh al-Wahidi an diyakini oleh ulama ahli sejarah dan pakar-pakar tafsir sebagai sebab turunnya suart al-Anfal (8) ayat 27.
Dari riwayat sejarah turun atau latar belakang diturunkannya surah al-Anfal (8) ayat 27, bisa diketahui bahwa sikap dan perbuatan Abu Lubabah yang telah membocorkan keputusan tegas yang akan ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’az terhadap komunitas Yahudi Bani Quraidah yang mampu bertahan selama 21 hari, betul-betul disesali oleh Abu Lubabah. Ia merasa sangat menyesal dan sadar telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.[17]
Hukuman (sanksi) bagi pelaku korupsi menurut hukum Islam adalah ta’zir, yaitu suatu hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana yang diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan berat dan ringannya semua hukuman (sanksi) atas pelaku tindak pidana yang belum ditentukan dalam al-qur’an dan hadis. Tindak pidana korupsi belum disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Oleh sebab itu, hukuman (sanksi) pelaku korupsi adalah ta’zir, yang mana sekarang ini telah ada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah untuk penanggulangannya.

4.      Hirabah
Q.S. Al-Maidah Ayat 33

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya balasan orang-orang yang berbuat hirobah (perampokan) dengan maksud memerangi Allah dan Rasulnya dan berbuat kerusakan di muka bumi dibunuh, atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berbeda, atau dihilangkan dari bumi (dibunuh), itulah balasan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka akan mendapat azab yang besar
Secara etimologis hirabah adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata kerja “    حَارَبَ يُحَارِبُ مُحَارَبَةٌ وَ حَرَابَةُ “ yang berarti  قَاتَلَهُ“ yakni memerangi atau dalam kalimat “   حَارَبَ اللهُ“ berarti seseorang bermaksiat kepada Allah.[18]
Adapun secara terminologis, muharib atau qutta’u al-tariq adalah mereka yang melakukan penyerangan dengan membawa senjata kepada komunitas orang sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara terang-terangan.[19]
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa sebetulnya yang disebut pelaku hirabah? Imam Malik berkata: Pelaku hirabah menurut kami adalah orang-orang yang menyengsarakan orang lain, baik di tempat yang ramai maupun di tempat yang sunyi. Para pelaku menyerang korban,melenyapkan jiwa dan merampas harta mereka. Tindakan ini dilakukan bukan karena ada unsur permusuhan dan bukan karena dendam kesumat.[20]
Pemerintah, menurut Imam Nawawi, wajib segera menindak tegas para pelaku hirabah, karena tindakan hirabah menggangu ketertiban umum, menghilangkan rasa aman, menghambat kegiatan masyarakat, serta merenggut nyawa yang tidak berdosa. Selengkapnya, Imam Nawawi menjelaskan, “Terhadap orang-orang yang menghunus pedang dan meneror orang di jalan-jalan, di tempat ramai maupun di tempat sunyi, maka pemerintah wajib menindaknya. Sebab kalau pelaku hirabah ini dibiarkan pasti akan semakin kuat pergerakan terror tersebut dan korban jiwa serta harta akibat tindakan hirabah itu akan bertambah banyak. Jika para pelaku hirabah sudah bisa ditangkap sebelum berhasil merampas harta dan membunuh jiwa, maka sanksi hukumannya adalah ta’zir dan penahanan atas kebijakan pemerintah; sebab tindakan ini sudah masuk dalam kategori sebuah dosa besar. Sebaliknya, jika para pelaku hirabah sudah mengambil sejumlah harta yang jumlahnya telah mencapai hisab pencurian, maka pemerintah wajib menghukum para pelaku hirabah itu dengan memotong tangan kanan dan memotong kaki kiri secara silang.[21]

Uraian para ulama salaf tersebut menyadarkan kita bahwa tindakan hirabah merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Sebab tindakan hirabah ini berakibat menghilangkan harta, yang merupakan dua dari lima hal yang dilindungi syariat Islam. Asy-Syatibi menamakan lima hal yang menjadi tujuan syariat Islam ini dengan al-kulliyat al-khams (five universals), yaitu: himayatud-din (memelihara agama), himayatun-nafs (memelihara jiwa),himayatul-‘aql (memelihara akal/kecerdasan/intelek), himayatun-nasl (memelihara keturunan), dan himayatul-amwal (melindungi hak/milik/harta/property).[22] Kelima tujuan agama ini merupakan prinsip yang harus ditegakkan oleh seluruh komponen umat muslim, baik umara maupun ulama. Oleh karena itu, berkenaan dengan harta seorang muslim wajib menjauhi cara-cara mendapatkan harta, baik uang maupun barang, dengan cara hirabah degan segala bentuk dan kemasannya di zaman modern ini, seperti membobol data perbankan yang dikenal dengan istilah kejatahan “kerahputih”.

5.      Sariqah (Pencurian)
Q.S. Al-Maidah 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya, sebagai balasan bagi pekerjaan keduanya, sebagai balasan dari Allah dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.
Secara etimologis sariqah adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata “ سَرَقَ يَسْرِقُ - سَرْقًا“ yang berarti”أَخَذَ مَالَهُ خُفْيَةً وَحِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. [23]
Dalam menafsirkan ayat tersebut secara garis besar Ahmad Mustafa al-Maraghi  menjelaskan, “Setelah Allah swt – pada ayat sebelumnya menjelaskan hukuman terhadap al-muharibin – orang-orang yang melakukan tindak pidana hirabah, perampokan dan pembajakan, yang berarti berbuat fasad, kekacauan di muka bumi dengan memakan (menggunakan) harta orang lain (yang bukan miliknya), dengan cara yang batil secara terang-terangan. Kemudian Allah memerintahkan kaum muslim agar bertakwa kepada Allah, berupaya mencacari jalan (al-wasilah) untuk meningkatkan kualitas hidup dengan berjihad pada jalan-Nya, yaitu dengan melakukan pekerjaan (karya-karya) yang dapat menyempurnakan iman dan mendidik jiwa agar terhindar dari perbuatan haram dan jauh dari perbuatan maksiat. Maka pada ayat ini, Allah swt menjelaskan hukuman terhadap tindakan pencurian, yakni mengambil, memakan, dan menggunakan harta yang bukan miliknya dengan sembunyi-sembunyi, yaitu dengan hukuman potong tangan.[24]
Sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.dalam hal ini, Abdul qadir Audah menjelaskan secara detail tentang perbedaanpencurian kecil dan pencurian besar. Pada pencurian kecil, proses pengambilan harta kekayaan tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa seizinnya sebab dalam perncurian kecil harus memenuhi dua unsur ini secara bersamaan, (yaitu korban tidak mengetahui dan tidak mengizinkan). Bila salah satu dari dua unsur ini tidak ada maka tidak bisa disebut dengan pencurian kecil.[25]
Ada beberapa pendapat tentang hukuman yang harus diberikan kepada para pelaku pencurian, baik dalam bentuk hukuman ta’zir mapun dalam bentuk al-hudud, namun ada intinya ada dua hal yang perlu digarisbawahi: pertama, bahwa hukuman itu bertujuan untuk mendidik dan menyadarkan pelaku pencurian agar memperbaiki tingkah lakunya. Kedua, bahwa hukuman itu tidak memberikan efek jera pada diri pelaku pencurian tersebut. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang paling efektif guna menca[ai tujuan kedua hukuman tersebut, yakni mendidik dan menyadarkan pelaku pencurian dan memberikan efek jera pada diri mereka. Kedua tujuan hukuman tersebut akan tercapai dengan efektif, apabila aparat pengak hukum bersikap adil dan istiqamah dalam menerapkan hukum sesuai dengan ketentuan syariah.[26]

6.      Risywah (penyuapan)
Para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat atau terkutuk, hal ini menjadikan risywah dikategorikan ke dalam dosa-dosa besar. Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka risywah dimasukkan dalam kelumpok tindak pidana takzir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan maka sanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir.[27]
Adapun dalil mengenai risywah ini adalah
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَ الْمُرْتَشِي
   “Allah mengutuk penyuap dan yang disuap”
Para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah dinyatakan erlaknat atau terkutuk, hal ini menjadikan risywah di kategorikan ke dalam daftar dosa-dosa besar. Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka risywah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana takzir.

C.  Bahaya Korupsi
Praktik-praktik penggelapan atau korupsi di zaman Rasulullah saw beru terbatas pada benda-benda dan harta-harta Negara yang nilai nominalnya masih relative kecil. Terhadap semua kasus-kasus di atas, Rasulullah saw. tetap memberikan sanksi berupa sanksi takzir dengan cara dipublikasikan kepada masyarakat luas, dihukum dengan sikap beliau yang tidak berkenan menyalatkan jenazahnya, dan diancam akan dipermalukan di depan Allah kelak di akhirat.
Melalui dalil-dalil di atas dapat kita ketahui bahwa bahaya dari korupsi diantaranya adalah:
1.      Setiap orang akan diberi balasan terhadap apa-apa yang telah diperbuatnya.
2.      Tidak dicintai Allah dan rasul-Nya.
3.      Akan dilaknat oleh Allah
4.      Akan mendapatkan dosa
5.      Masuk dan diazab di dalam neraka.
6.      Orang yang mencuri dipotong tangannya.
7.      Orang yang membuat kerusakan dapat dibunuh, disalib, serta di potong tangan dan kakinya.
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi di Indonesia maka sanksi bagi pelakunya telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bahwa sanksinya penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, sanksi denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau perekonomian Negara. Bahkan pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.[28]
Pada rumusan pasal-pasal Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini terdapat tiga macam hukuman ta’zir, yaitu sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, dan sanksi pidana mati.





[1] IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Tegaknya Keadadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14
[2] IGM Nurdjana, Sistem Hukum… ,hlm 14-15.
[3]IGM Nurdjana, Sistem Hukum… , hlm. 15.
[4] IGM Nurdjana, Sistem Hukum… , hlm. 16.
[5]IGM Nurdjana, Sistem Hukum…, hlm. 16.
[6] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 79.
[7] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 79.
[8]  Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid 2, (Jakarta Gema Insani Press, 2001), hlm. 197.
[9] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm. 197.
[10] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an… , hlm. 197.
[11] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm. 197.
[12] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 87-88.
[13] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) , hlm. 210.
[14] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm 210.
[15] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 105.
[16] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 111.
[17] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 114.
[18] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 122.
[19] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 122.
[20] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 82-83.
[21] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 83.
[22] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 83-84.
[23] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum… , hlm. 117.
[24] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Darul-Fikr, 2001), cet. 1, jilid 2, hlm. 297.
[25] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 118.
[26] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 96-97.
[27] M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 103.
[28] Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 137-138. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar