Korupsi sejatinya merupakan manifestasi sikap ingkar dan kufurnya
seorang koruptor dari titah fitrahnya. Perilaku kumuh dan tuna keadaban itu
telah mendestruksi kemanusiaan, tatanan sosial, dan politik kemasyarakatan.korupsi
merupakan laku dan sistem yang memiskinkan ekonomi rakyat dan bangkrutnya
ketahanan berkepanjangan. Tidak ada yang tersisa maruahnya jika siapapun telah
menjalin kontrak amoral dengan koruptor dan jejaringnya yang sistemik itu.
Ikatan diantara mereka terbangun di atas puing-puing bangunan amoral.
korupsi dinobatkan sebagai virus moral yang ganas buah modernitas
tanpa akhlak sebagai sumber peradaban. Ia muncul sebagai ritual baru menjadi
pilihan bagi pemenuhan syahwat materialisme oleh kelas pemberhala hedonisme.
Harta harus dijaga dengan sangat baik terlebih ketika diamanahi untuk
menjaganya. Tidak boleh saling memakan harta di antara manusia dengan cara yang
batil, tidak boleh menzalimi hak-hak anak-anak yatim, melakukan penyuapan
kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud
khusus kepada seorang pejabat, meng-ghasab, mencuri, merampok, atau mengorupsi.
Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk mengkaji bahaya korupsi
melalui tulisan ini dengan memaparkan berbagai dalil yang berhubungan dengan
bahaya korupsi.
A.
Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahsa latin yaitu “corruptie”
atau “corruptus”, selanjutnya kata corruptio berasal dari kata
corrumpore (suatu kata latin yang tua). Dari bahasa latin inilah kemudian
diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt;
Perancis: corruption; Belanda Ccrorruptie (korruptie).
Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari latin corruption
= penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat
badan-badan Negara menyelahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya.[1]
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:
1.
Kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
2.
Perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
3.
Perbuatan yang
kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; perilaku yang jahat dan
tercela, atau kebejatan moral; penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran; - sesuatu
yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam
suatu kalimat; -pengaruh-pengaruh yang korup.[2]
Istilah “korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi
dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan
dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak,
sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia
international dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara yang
bersangkutan. Tranparency International memberikan definisi tentang korupsi
sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk
keuntungan pribadi.
Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian
korupsi, yaitu:
1.
Menyalahgunakan
kekuasaan;
2.
Kekuasaan yang
dipercayakan (yaitu baik di sektor publik mapun di sektor swasta), memiliki
akses bisnis atau keuntungan materi;
3.
Keuntungan
pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk
pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota
keluarganya dengan teman-temannya).[3]
Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa
“dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentinngan
diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang
langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut
norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau
tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”.[4]
Korupsi dalam kamus ilmiah popular mengandung pengertian
kecurangan, penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri;
pemalsuan. [5]
B.
Dalil Tentang
Korupsi
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang
secara langsung merugikan keuangan Negara dan masyarakat. Allah memberi
peringatan agar manusia menghindari kecurangan dan penipuan sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an.
Berikut akan dijelaskan beberapa jenis tindak pidana (jarimah)
dalam fiqh jinayah dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati terminologi
korupsi di masa sekarang, beberapa jarimah tersebut adalah ghulul
(penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/
harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), dan hirabah
(perampokan).
1.
Ghulul
Q.S Ali-Imran
ayat 161
“Tidak mungkin
seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.” ( Ali Imran : 161 ).
Secara
etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “ غَلَلَ-يَغْلِلُ“ masdar, invinitive atau
verbal nounnya ada beberapa pola “الغِلُّ-الغُلَّةُ-الغَلَلُ-وَالغَلِيْلُ“semuanya
diartikan oleh Ibnu al-Manzhur dengan “شِدَّةٌ العَطْشِ وَ حَرَارَتُهُ“
sanat kehausan dan kepanasan.[6]
Lebih spesifik
dikemukakan dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul dari kata kerja “ غَلَّ-يَغُلُّ“ yang berarti “ خَانَ فِى المَغْنَمِ وَ غَيْرِه“
berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.[7]
Diantara faktor
yang menyebabkan pasukan pemanah meninggalkan posnya di gunung, ialah
kekhawatiran mereka bahwa Rasulullah saw. tidak memberikan bagian harta
rampasan kepada mereka. Karena, sebagian kaum munafik memperbincangkan bahwa
sebagian dari harta rampasan Perang Badar sebelumnya telah digelapkan, dan
mereka tidak malu-malu menyebut-nyebut nama Nabi saw, dalam masalah ini.[8]
Karena ini,
turulah ayat ini yang menetapkan hukum umum yang menolak kemungkinan para nabi
melakukan korupsi. Yakni, menyembunyikan sebagian harta rampasan untuk dirinya,
atau membagikannya kepada sebagian tentara tanpa sebagian yang lain, atau
berkhianat terhadap sesuatu secara umum,
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat”
Tidak
mungkin Nabi berkhianat, tidak mungkin Nabi korup, dan korup itu sama sekali
bukan tabiat dan akhlak Nabi. Maka, penafian (peniadaan) disini adalah penafian
terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan itu pada Nabi, bukan penafian
kehalalannya atau kebolehannya. Karena tabiat Nabi yang amanah, adil, dan
selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak pantas itu, tidak memungkinkan
terjadinya kecurangan dan korup dari beliau. [9]
Kemudian
diancamlah orang-orang yang korup dan menyembunyikan harta umum atau harta
rampasan dengan ancaman yang sangat menakutkan,
“…
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. kemudian tiap-tiap
diri akan diberi pembalasan tentanga apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dikhianati.[10]
Imam
Ahmad meriwayatkan bahwa telah diinformasikan kepadanya oleh Sufyan, dari
az-Zuhri, dari Urwah, dari abu Huamid as-Sa’di, dia berkata, “Rasulullah saw.
menugaskan seorang laki-laki dari suku al-Azd yang bernama Ibnu Lutaibah untuk
memungut sedekah. Maka, setelah datang (dari menjalankan tugasnya) ia berkata
(kepada Rasulullah saw.), “Ini untukmu dan ini dihadiahkan untukku. “Lalu
Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ، نَبْعَثُهُ عَلَى عَمَلٍ
فَيَقُوْلُ: هَذَا لَكُمْ وَ هَذَا أُهْدِيَ اِلَيَّ. أَفَلَا جَلَسَ فِيْ بَيْتِ
أَبِيْهِ وَ أُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يَأْ تِيْ أَحَدُكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ، وَإِنَّ بَعِيْرًالَهُ رُغَاءٌ، أَوْبَقَرَةٌ
لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَأْةً تَيْعَرُ.
“Bagaimana urusan petugas itu? Kami tugaskan dia untuk
melakukan suatu tugas, tetapi kemudian dia berkata, ‘Ini untukmu dan ini
dihadiahkan untukku.’Mengapa dia tidak duduk saja dirumah ayah ibunya, lantas
menunggu apakah ada orang yang memberi hadiah kepadanya ataukah tidak? Demi
Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidakkah seseorang
megambilnya melainkan ia akan membawanya pada hari kiamat di atas pundaknya dan
barang korupsiannya itu berupa unta yang berteriak-teriak, atau sapi yang
melenguh, atau kambing yang mengembik.”[11]
Al-ghulul mencakup tindakan pengambilan,
penggelapan, berlaku curang atau berkhianat dalam pengelolaan pajak, pendapatan
asli daerah, penyusunan dan pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), penyusunan dan pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), serta penyusunan dan pengalokasian dana non budgeting lembaga
pemerintah yang bukan departemen; termasuk juga Badan Usaha Milik Negara,
Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), dan keseluruhan penggelapan dana
lembaga pemerintah dan lembaga swasta, yayasan social atau bahkan dalam
mengelola dana perorangan.[12]
Sanksi hukuman pada tindakan al-ghulul sangat
berat, tetapi sanksi yang disebutkan dalam al-Qur’an lebih bersifat ukhrawi.
Sanksi hukum yang bersifat duniawi dikembalikan kepada pemerintah, lembaga
pembuat undang-undang, dan aparat penegak hukum dengan memperhatikan penegasan
sanksi pada Q.S. ali Imran ayat 161.
2.
Ghasab
Q.S Al-Baqarah
ayat 188
"Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
Ibnu Katsir meriwayatkan
di dalam menafsirkan ayat ini sebagai berikut. Ali bin Thalhah dan ibnu abbas
berkata, “hal ini berkenaan dengan seseorang yang menanggung suatu harta,
tetapi tidak ada alat bukti, lalu dia berusaha mengelak dan membawanya kepada
hakim, padahal dia tahu bahwa dia yang harus bertanggung jawab dan dia tahu
pula bahwa dialah yang berdosa karena memakan harta yang haram (karena
bukan haknya).” Demikianlah pula yang
diriwayatkan dari Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah,
as-Sudi Muqatil bin Hayyan, dan Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam. Mereka
berkata, “Janganlah kamu berperkara (ke pengadilan) padahal kamu tahu bahwa
kamulah yang zalim (salah).”[13]
Diriwayatkan di
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu salamah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda,
إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّمَا يَأْتِيْنِى الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُوْنَ
الْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنَ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ
فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ نَارِ، فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ لِيَذَرْ هَا
“Sesungguhnya
aku hanya sorang manusia biasa. Maka, boleh jadi sebagian kamu lebih pandai
mengemukakan argumentasinya daripada sebagian yang lain, sehingga aku
menenangkannya. Maka, barangsiapa yang aku putuskan untuknya untuk mendapatkan
hak orang muslim lainnya (sesuai argumentasinya yang dikemukakannya), itu
adalah sepotong api neraka, maka biarlah ia membawanya atau meninggalkannya.”[14]
Demikianlah
Nabi saw. menyerahkan kepada mereka karena merekalah yang mengetahui hakikat
gugatan yang sebenarnya. Maka, keputusan hakim tidak menjadikan halalnya
sesuatu yang haram dan tidak menjadikan haramnya sesuatu yang halal. Keputusan
hakim itu hanya kelaziman lahiriah, sedang dosanya tetap ditanggung oleh orang
yang curang.
Allah juga berfirman dalam al-Qur’an surat
Al-Kahfi ayat 79
أَمَّا
السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ
أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun
kapal adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku akan
merusaknya karena di belakang mereka seorang raja yang selalu mengambil hak
mereka dengan jalan ghosob”.
Secara
etimologis ghasab berasal dari kata kerja “ غَصَبَ-يَغْصِبُ-غَصْبًا“
yang berarti “ أَخَذَهُ
قَهْرًا وَ ظُلْمًا“ (mengambil sesuatu secara paksa dan zalim). Muhammad al-Khatib
al-syarbini menjelaskan definisi ghasab secara etimologis lebih lengkap dari
definisi di atas, yaitu “ هُوَ لُغَةً
أَخْذُ الشَيْءِ ظُلْمًا وَ قَبْلَ أَخْذِ ظُلْمًا جِهَارًا“ (ghasab secarra bahasa berarti mengambil sesuatu secara zalim,
sebelum mengambilnya secara zalim (ia melakukannya juga) secara
terang-terangan). Sedangkan al-Jurjanimendefinisikan ghasab secara etimologis
dengan “ أَخْذُ الشَيْءِ
ظُلْمًا مَالًا كَانَ أَوْ غَيْرِهِ“ (mengambil sesuatu secara zalim, baik yang diambil itu harta
atau yang lain).[15]
Menurut M.
Nurul Irfan dalam bukunya, ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak
orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan
kekerasan serta dilakukan secara terang-terangan.
3.
Khianat
Q.S Al-Anfal Ayat 27
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Kata khianat
berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk verbal noun atau masdar dari
kata kerja “خَانَ -
يَخُوْنُ“. Selain “خِيَانَةً“
bentuk masdarnya bisa berupa “خَوْنًا
– خَانَةً - مُخَانَةً“ yang semuanya berarti “أَنْ يُؤْتَمَنَ الإِنْسَانَ فَلَا يَنْصَحُ“
(sikap tidak becusnya sesorang pada saat diberikan keprcayaan).[16]
Wahbah Zuhaili
mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu (tindakan/upaya yang bersifat)
melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan di dalamnyaatau telah
berlaku menurut adat kebiasaan, seperti tindakan pembantaian terhadap kaum
muslim atau sikap menampakkan permusuhan terhadap kaum muslim.
Sanksi ta’zir
bagi para pelaku khianat dalam dari kasusu Abu Lubabah bin Abdul Munzir
al-Anshari. Kasus ini diantara lain dikemukakan oleh al-Wahidi an diyakini oleh
ulama ahli sejarah dan pakar-pakar tafsir sebagai sebab turunnya suart al-Anfal
(8) ayat 27.
Dari riwayat
sejarah turun atau latar belakang diturunkannya surah al-Anfal (8) ayat 27,
bisa diketahui bahwa sikap dan perbuatan Abu Lubabah yang telah membocorkan
keputusan tegas yang akan ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’az terhadap komunitas
Yahudi Bani Quraidah yang mampu bertahan selama 21 hari, betul-betul disesali
oleh Abu Lubabah. Ia merasa sangat menyesal dan sadar telah mengkhianati Allah
dan Rasul-Nya.[17]
Hukuman
(sanksi) bagi pelaku korupsi menurut hukum Islam adalah ta’zir, yaitu suatu
hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana yang diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim untuk menentukan berat dan ringannya semua hukuman (sanksi)
atas pelaku tindak pidana yang belum ditentukan dalam al-qur’an dan hadis.
Tindak pidana korupsi belum disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Oleh sebab
itu, hukuman (sanksi) pelaku korupsi adalah ta’zir, yang mana sekarang ini
telah ada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah untuk penanggulangannya.
4.
Hirabah
Q.S. Al-Maidah
Ayat 33
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ
فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ
فِي الدُّنْيَا ۖ
وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
balasan orang-orang yang berbuat hirobah (perampokan) dengan maksud memerangi
Allah dan Rasulnya dan berbuat kerusakan di muka bumi dibunuh, atau disalib
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berbeda, atau dihilangkan dari bumi
(dibunuh), itulah balasan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka
akan mendapat azab yang besar”
Secara etimologis hirabah adalah bentuk masdar
atau verbal noun dari kata kerja “ حَارَبَ – يُحَارِبُ – مُحَارَبَةٌ – وَ حَرَابَةُ “
yang berarti “ قَاتَلَهُ“ yakni memerangi atau dalam kalimat “ حَارَبَ
اللهُ“
berarti seseorang bermaksiat kepada Allah.[18]
Adapun secara
terminologis, muharib atau qutta’u al-tariq adalah mereka yang
melakukan penyerangan dengan membawa senjata kepada komunitas orang sehingga
para pelaku merampas harta kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara
terang-terangan.[19]
Para ulama
berbeda pendapat tentang siapa sebetulnya yang disebut pelaku hirabah? Imam
Malik berkata: Pelaku hirabah menurut kami adalah orang-orang yang
menyengsarakan orang lain, baik di tempat yang ramai maupun di tempat yang
sunyi. Para pelaku menyerang korban,melenyapkan jiwa dan merampas harta mereka.
Tindakan ini dilakukan bukan karena ada unsur permusuhan dan bukan karena
dendam kesumat.[20]
Pemerintah,
menurut Imam Nawawi, wajib segera menindak tegas para pelaku hirabah, karena
tindakan hirabah menggangu ketertiban umum, menghilangkan rasa aman, menghambat
kegiatan masyarakat, serta merenggut nyawa yang tidak berdosa. Selengkapnya,
Imam Nawawi menjelaskan, “Terhadap orang-orang yang menghunus pedang dan
meneror orang di jalan-jalan, di tempat ramai maupun di tempat sunyi, maka
pemerintah wajib menindaknya. Sebab kalau pelaku hirabah ini dibiarkan pasti
akan semakin kuat pergerakan terror tersebut dan korban jiwa serta harta akibat
tindakan hirabah itu akan bertambah banyak. Jika para pelaku hirabah sudah bisa
ditangkap sebelum berhasil merampas harta dan membunuh jiwa, maka sanksi
hukumannya adalah ta’zir dan penahanan atas kebijakan pemerintah; sebab
tindakan ini sudah masuk dalam kategori sebuah dosa besar. Sebaliknya, jika
para pelaku hirabah sudah mengambil sejumlah harta yang jumlahnya telah
mencapai hisab pencurian, maka pemerintah wajib menghukum para pelaku hirabah
itu dengan memotong tangan kanan dan memotong kaki kiri secara silang.[21]
Uraian para
ulama salaf tersebut menyadarkan kita bahwa tindakan hirabah merupakan tindak
pidana yang diancam dengan hukuman mati. Sebab tindakan hirabah ini berakibat
menghilangkan harta, yang merupakan dua dari lima hal yang dilindungi syariat
Islam. Asy-Syatibi menamakan lima hal yang menjadi tujuan syariat Islam ini
dengan al-kulliyat al-khams (five universals), yaitu: himayatud-din
(memelihara agama), himayatun-nafs (memelihara jiwa),himayatul-‘aql
(memelihara akal/kecerdasan/intelek), himayatun-nasl (memelihara
keturunan), dan himayatul-amwal (melindungi hak/milik/harta/property).[22]
Kelima tujuan agama ini merupakan prinsip yang harus ditegakkan oleh seluruh
komponen umat muslim, baik umara maupun ulama. Oleh karena itu, berkenaan
dengan harta seorang muslim wajib menjauhi cara-cara mendapatkan harta, baik
uang maupun barang, dengan cara hirabah degan segala bentuk dan kemasannya di
zaman modern ini, seperti membobol data perbankan yang dikenal dengan istilah
kejatahan “kerahputih”.
5.
Sariqah (Pencurian)
Q.S. Al-Maidah 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan
keduanya, sebagai balasan bagi pekerjaan keduanya, sebagai balasan dari Allah
dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.
Secara etimologis sariqah adalah bentuk masdar atau verbal noun
dari kata “ سَرَقَ
–
يَسْرِقُ - سَرْقًا“ yang berarti”أَخَذَ
مَالَهُ خُفْيَةً وَحِيْلَةً“ mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya. [23]
Dalam menafsirkan ayat tersebut secara garis besar Ahmad Mustafa
al-Maraghi menjelaskan, “Setelah Allah
swt – pada ayat sebelumnya menjelaskan hukuman terhadap al-muharibin –
orang-orang yang melakukan tindak pidana hirabah, perampokan dan
pembajakan, yang berarti berbuat fasad, kekacauan di muka bumi dengan
memakan (menggunakan) harta orang lain (yang bukan miliknya), dengan cara yang
batil secara terang-terangan. Kemudian Allah memerintahkan kaum muslim agar
bertakwa kepada Allah, berupaya mencacari jalan (al-wasilah) untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan berjihad pada jalan-Nya, yaitu dengan
melakukan pekerjaan (karya-karya) yang dapat menyempurnakan iman dan mendidik
jiwa agar terhindar dari perbuatan haram dan jauh dari perbuatan maksiat. Maka
pada ayat ini, Allah swt menjelaskan hukuman terhadap tindakan pencurian, yakni
mengambil, memakan, dan menggunakan harta yang bukan miliknya dengan
sembunyi-sembunyi, yaitu dengan hukuman potong tangan.[24]
Sariqah adalah
mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari
tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta
kekayaan tersebut.dalam hal ini, Abdul qadir Audah menjelaskan secara detail
tentang perbedaanpencurian kecil dan pencurian besar. Pada pencurian kecil,
proses pengambilan harta kekayaan tidak disadari oleh korban dan dilakukan
tanpa seizinnya sebab dalam perncurian kecil harus memenuhi dua unsur ini
secara bersamaan, (yaitu korban tidak mengetahui dan tidak mengizinkan). Bila
salah satu dari dua unsur ini tidak ada maka tidak bisa disebut dengan
pencurian kecil.[25]
Ada beberapa
pendapat tentang hukuman yang harus diberikan kepada para pelaku pencurian,
baik dalam bentuk hukuman ta’zir mapun dalam bentuk al-hudud,
namun ada intinya ada dua hal yang perlu digarisbawahi: pertama, bahwa hukuman
itu bertujuan untuk mendidik dan menyadarkan pelaku pencurian agar memperbaiki
tingkah lakunya. Kedua, bahwa hukuman itu tidak memberikan efek jera pada diri
pelaku pencurian tersebut. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang paling
efektif guna menca[ai tujuan kedua hukuman tersebut, yakni mendidik dan
menyadarkan pelaku pencurian dan memberikan efek jera pada diri mereka. Kedua
tujuan hukuman tersebut akan tercapai dengan efektif, apabila aparat pengak
hukum bersikap adil dan istiqamah dalam menerapkan hukum sesuai dengan
ketentuan syariah.[26]
6.
Risywah (penyuapan)
Para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah
dinyatakan terlaknat atau terkutuk, hal ini menjadikan risywah dikategorikan ke
dalam dosa-dosa besar. Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis
dan tata cara menjatuhkan sanksi maka risywah dimasukkan dalam kelumpok tindak
pidana takzir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa karena dalam teks-teks dalil
tentang tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang telah
ditentukan maka sanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir.[27]
Adapun dalil mengenai risywah ini adalah
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَ الْمُرْتَشِي
“Allah mengutuk penyuap dan yang disuap”
Para pihak yang
terlibat dalam jarimah risywah dinyatakan erlaknat atau terkutuk, hal ini
menjadikan risywah di kategorikan ke dalam daftar dosa-dosa besar. Namun,
karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi
maka risywah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana takzir.
C.
Bahaya Korupsi
Praktik-praktik penggelapan atau korupsi di
zaman Rasulullah saw beru terbatas pada benda-benda dan harta-harta Negara yang
nilai nominalnya masih relative kecil. Terhadap semua kasus-kasus di atas,
Rasulullah saw. tetap memberikan sanksi berupa sanksi takzir dengan cara
dipublikasikan kepada masyarakat luas, dihukum dengan sikap beliau yang tidak
berkenan menyalatkan jenazahnya, dan diancam akan dipermalukan di depan Allah
kelak di akhirat.
Melalui dalil-dalil di atas dapat kita ketahui
bahwa bahaya dari korupsi diantaranya adalah:
1.
Setiap orang akan diberi balasan terhadap
apa-apa yang telah diperbuatnya.
2.
Tidak dicintai Allah dan rasul-Nya.
3.
Akan dilaknat oleh Allah
4.
Akan mendapatkan dosa
5.
Masuk dan diazab di dalam neraka.
6.
Orang yang mencuri dipotong tangannya.
7.
Orang yang membuat kerusakan dapat dibunuh,
disalib, serta di potong tangan dan kakinya.
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi di
Indonesia maka sanksi bagi pelakunya telah ditetapkan dalam Undang-undang No.
31 tahun 1999 pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi bahwa sanksinya penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20
(dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, sanksi denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang melawan hukum dengan melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau perekonomian Negara.
Bahkan pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan.[28]
Pada rumusan pasal-pasal Undang-undang No. 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini terdapat tiga macam
hukuman ta’zir, yaitu sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, dan sanksi
pidana mati.
[1] IGM Nurdjana,
Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Tegaknya Keadadilan
Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14
[2] IGM Nurdjana,
Sistem Hukum… ,hlm 14-15.
[3]IGM Nurdjana,
Sistem Hukum… , hlm. 15.
[4] IGM Nurdjana,
Sistem Hukum… , hlm. 16.
[5]IGM Nurdjana,
Sistem Hukum…, hlm. 16.
[6] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm.
79.
[7] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 79.
[8] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil
Qur’an jilid 2, (Jakarta Gema Insani Press, 2001), hlm. 197.
[9] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm. 197.
[10] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an… , hlm. 197.
[11] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm. 197.
[12] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 87-88.
[13] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) , hlm. 210.
[14] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an…, hlm 210.
[15] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 105.
[16] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 111.
[17] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 114.
[18] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 122.
[19] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 122.
[20] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 82-83.
[21] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 83.
[22] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 83-84.
[23] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum… , hlm. 117.
[24] Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Darul-Fikr, 2001), cet. 1, jilid
2, hlm. 297.
[25] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 118.
[26] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi…, hlm. 96-97.
[27] M. Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum…, hlm. 103.
[28] Kementrian
Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat; Tafsir al-Qur’an Tematik, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012),hlm. 137-138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar