STUDI HADITS
A.
Kompilasi Beberapa
Pandangan Tentang Ulumul Hadits
1.
Pandangan Prof.
Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Dilihat dari garis besarnya ilmu hadits terbagi dalam dua bagian
saja. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah) Kedua, Ilmu Hadits Dirayat
(Dirayah).[1]
Tgk. M. Hasbi ash-Shiddieqy menuturkan bahwa sebagian ulama Tahqiq
mengatakan, “Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas cara persambungan
hadits kepada Shahib ar-Risalah, junjungan kita Muhammad dari segi
keadaan para perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka dan dari
segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya dan sepertinya”.[2]
Sedangkan “Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang membahas
makna-makna yang dipahamkan dari lafal-lafal hadits yang dikehendaki dari
sesuatu lafal dan kalimat, dengan bersandar kepada aturan-aturan
(kaidah-kaidah) bahasa Arab dan kaidah-kaidah agama dan sesuai dengan keadaan
Nabi”.[3]
Kebanyakan ulama menta’rifkan ilmu hadits riwayah dan dirayah
sebagai berikut[4]:
“Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda
Nabi, perbuatan Nabi, taqrir-taqrir Nabi dan sifat-sifat Nabi.”
Objeknya adalah pribadi Nabi saw, yakni perkataan, perbuatan,
taqrir, dan sifat beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas di dalamnya.
Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah:
“Ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari
jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu”.
Adapun cabang-cabang ilmu hadits yaitu[5]:
a.
Ilmu Rijal
al-hadits
b.
Ilmu Jarh wa
at-Ta’dil
c.
Ilmu Fann
al-Mubhamat
d.
Ilmu ‘ilal
al-Hadits
e.
Ilmu Gharib
al-Hadits
f.
Ilmu Nasikh wal
mansukh
g.
Ilmu Talfiq
al-Hadits
h.
Ilmu Tashif
wat-Tahrif
i.
Ilmu Asbabi
Wurud al-Hadits
j.
Ilmu Mushthalah
al-Hadits
2.
Pandangan Prof.
Dr. H. M. Noor Sulaiman PI.
Mengikuti pendapat muhadditsin yang hampir sepakat membagi ilmu
hadits dalam dua bagian besar yaitu: ilmu hadist riwayah dan ilmu hadits
dirayah.[6]
Dalam bukunya Antologi Ilmu Hadits, M. Noor Sulaiman menuturkan
bahwa yang dimaksud dengan hadits riwayah adalah ilmu yang membahas segala
sesuatu yang datang dari nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sebagainya. Jadi, dalam ilmu ini tidak dibahas kejanggalan-kejanggalan atau
cacatnya matan hadits, juga tidak dibicarakan tentang apakah sanadnya
bersambung atau tidak, rawinya adil atau tidak. Dengan demikian, yang menjadi
objek pembahasan dari ilmu hadits riwayah adalah pribadi Nabi baik dari segi
perkataannya, perbuatannya, taqrirnya maupun sifat-sifatnya.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang
mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan sebagainya”.
Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadits dirayah adalah
keadaan matan, sanad, dan rawi hadits.[8]
Adapun cabang-cabang ilmu hadits yaitu[9]:
a.
Ilmu Rijal
al-Hadits
b.
Ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil
c.
Ilmu Tarikh
al-Ruwah
d.
Ilmu ‘Ilal
al-Hadits
e.
Ilmu al-Nasikh
wa al-Mansukh
f.
Ilmu Asbabul
Wurud al-Hadits
3.
Pembagian
Riwayah dan Dirayah
Berdasarkan pemaparan di atas maka yang termasuk ke dalam hadits
riwayah adalah:
a.
Ilmu Rijal
al-hadits
b.
Ilmu Fann
al-Mubhamat
c.
Ilmu Talfiq
al-Hadits
d.
Ilmu Tashif
wat-Tahrif
e.
Ilmu Asbabi
Wurud al-Hadits
Sedangkan yang termasuk ke dalam hadits dirayah adalah:
f.
Ilmu Jarh wa
at-Ta’dil
g.
Ilmu ‘ilal
al-Hadits
h.
Ilmu Gharib
al-Hadits
i.
Ilmu Nasikh wal
mansukh
j.
Ilmu Mushthalah
al-Hadits
B.
Kriteria Hadits
Dha’if
1.
Hadist-hadits
dha’if karena tidak bersambung-sambung sanadnya
a.
Hadits Mu’allaq
Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang,
baik semuanya, pada awal sanad, yaitu
guru dari seorang imam hadits.[10]
Contoh :
قال ابو عيسي : وقد روي عن عائشة عن النبي ص قال
: من صلىّ بعد المغرب عشرين ركعة بنى الله بيتاً فى الجنّة
Artinya : Berkata Abu Isa[11]
dan sesungguhnya telah diriwayatkan dari aisyah dari nabi r. Beliau
bersabda : “barangsiapa shalat sesudah maghrib, duapuluh rakaat.Allah akan
mendirikan baginya sebuah rumah di syurga.
Turmudzi tidak bertemu dan tidak sezaman dengan
Aisyah. Jadi tentu antara kedua-duanya itu ada beberapa orang rawi lagi. Karna
tidak disebut rawi-rawinya ini, maka dinamakan ia gugur, seolah-olah hadits itu
tergantung. Karena itulah dinamakan muallaq.
b.
Hadits Munqathi’
Yaitu hadits yang gugur seorang, atau dua orang dengan tidak
berturut-turut di pertengahan sanad. Hal tersebut dinamai inqitha’.[12] Contoh:
موسى
بن عقبة، عن عبد الله بن علي، عن الحسن بن علي, قال: علمني رسول الله صلى الله
عليه و سلم هؤلاء الكلمات في الوتر فذكر
حديث دعاء القنوط . . .
Musa bin Uqbah,
dari Abdillah bin Ali, dari Al Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah
mengajarkan kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu
menyebutkan hadits tentang do’a qunut.
Sanad
hadits ini inqitha’. Al Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab
at-Talkhish Al Khabir(1/264), “Abdullah bin ‘Ali adalah Ibnu Al Husain bin
‘Ali, tidak pernah bertemu dengan Al Hasan bin Ali”.
c.
Hadits Mu’dhal
Yaitu hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut
dipertengahan sanad. Mengugurkan perawi semacam ini dinamai I’dhal.[13]
Contoh dari hadits Mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Hakim dalam kitab “Ma’rifat Ulumil Hadits” dengan sanadnya yang terhubung
kepada al-Qo’nabi dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah
radiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ
“Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya secara ma’ruf
(yang sesuai) dan tidak boleh dibebani pekerjaan, kecuali yang disanggupinya
saja”
Imam Hakim rahimahullah menjelaskan bahwa hadits dengan sanad ini adalah mu’dhal. Beliau berkata : “Hadits ini mu’dhal
dari Malik, Malik meriwayatkannya dengan mu’dhal seperti ini dalam kitab
al-Muwaththa’ ”
d.
Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang tidak disebut dalam sanad atau sengaja digugurkan
olehseorang perawi nama gurunya dengan cara yang memberi waham (keraguan)
apakah dia mendengar sendiri hadits itudari orang yang disebut namanya itu.
perbuatan ini dinamai tadlis.[14]
Contoh:
Hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi
(2727) dan Ibnu Majah (3703) dari jalan periwayatan :
Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata : Rasulullah bersabda:
Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata : Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah
dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali mereka telah
diampuni dosa mereka sebelum berpisah”
2.
Hadits-hadits
dha’if karena perawinya cacat atau karena sebab lain
a.
Hadits Matruk
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang yang tertuduh
pendusta, baik dalam soal hadits maupun dalam lainnya, ataupun tertuduh fasiq,
atau banyak lalai dan banyak sangka.[15]
Contoh:
Hadits ‘Amr bin Syamir al-Ju’fi Al-Kufi asy-Syi’i
dari Jabir dari Abu at-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar bahwa mereka berdua berkata
:
كان النبي صلى الله عليه و سلم يقنت في الفجر ويكبر يوم عرفة من صلاة الغداة ويقطع صلاة العصر آخر أيام التشريق
“Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam selalu membaca qunut pada shalat
fajar, bertakbir pada hari Arafah dari semenjak shalat shubuh dan berhenti pada
waktu shalat ashar di terakhir dari hari tasyrik”
Imam Nasa’i, Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang ‘Amr
bin Syamir bahwa dia adalah Matrukul Hadits (Haditsnya ditinggalkan
dan tidak dipakai).
b.
Hadits Munkar
Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah yang menyalahi
riwaya orang terpercaya, atau riwayat orang yang kurang lemah daripadanya.
Lawannya dinamai ma’ruf.[16]
Contoh:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalur Habib bin Habib Az-Zayyat –
tidak tsiqah – dari Abu Ishaq dan Aizar bin Harits, dari Ibnu
‘Abbas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
من اقام الصلاة
واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة.
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
Abu Hatim berkata,”Hadits ini munkar, karena para
perawi tsiqah selain (Habib bin Zayyat) meriwayatkannya dari Abu
Ishaq hanya sampai kepada shahabat (mauqif), dan riwayat inilah yang
dikenal”.
c.
Hadits Syaz
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang terpercaya yang
menyalahi riwayat orang ramai yang terpercaya pula. Dalam hal ini ada yang
mensyaratkan adanya mukhallafh (perbedaan atau pertentangan dengan riwayat
orang lain). mereka berpendapat bahwa hadits yang syaz itu ialah sesuatu yang
diriwayatkan oleh hanya seorang yang terpercaya, tidak ada orang yang
meriwayatkan hadits itu selain dari dia
sendiri. Lawan syaz ini dinamai mahfuzh.[17]
Hadits
yang diriwyatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari haditsnya Abdul Wahid bin Ziad,
dari al-‘Amsyi, dari Abishaleh, dari Abu Hurairah, secara marfu’:
إذا صلىّ أحدكم الفجرفليضطجع عن يمينه
Apabila
salah seorang dari kalian telah selesai shalat fajar, hendaknya berbaring
kesebelah kanan.
Al-Baihaki berkata, dalam hal ini Abdul
Wahid menyalahi banyak rawi. Masyarakat itu meriwayatkan tentang perbutan Nabi
saw, bukan perkataanya. Dalam lafadz ini abdulwahid menyendiri dari rawi-rawi
tsiqah yang menjadi sahabat al-A’masy.[18]
d.
Hadits Mu’allal
Yaitu hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang tersembunyi
yang baru diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan pemeriksaan yang
mendalam, sedang pada zahirnya tidak cacat.[19]
e.
Hadits Mudhtharab
Yaitu hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya atau matan-nya, baik
dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan,
mengemudikan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dapat
dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matan-nya. Tetapi, jika dapat
dikumpulkan boleh diamalkannya. Jika tidak mungkin hendaklah ditawaqqufkan.[20]
f.
Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang disisipkan ke dalam matan-nya sesuatu perkataan
orang lain, baik orang itu shahaby, taupun tabi’iy untuk menerangkan maksud
makna.[21]
Sesuatu hadits dapat diketahui mana kata-kata yang disisipkan ke
dalamnya, dapat dipandangn shahih dengan megeluarkan kata-kata itu. tetapi jika
tidak lagi dapat dibedakan kata-kata sisipan itu masuklah ia ke dalam golongan
dha’if.[22]
g.
Hadits Maqlub
Yaitu sesuatu hadits yang telah terjadi kesalahan pada seorang
perawi dengan mendahulukan yang kemudian, atau mengemudiankan yang terdahulu.[23]
Contoh, hadis yang diriwayatkan dari
Ishaq bin Isa Al-Thabba’, katanya:
حَذَ ثَنَا جَرِ يْرٌ ا بْنُ حَا رِّمْ عَنْ ثَا بِتٍ عَنْ
اَنْسٍ قَلَ : قَلَ رسول الله صلي الله عليه وسلم : اِذَ ا اُقِيْمَتْ الصَّلاَةُ
فَلاَ تَقُوْ مُوْ ا حَتَّي تَرَوْنَي
“Meriwayatkan
hadis kepada kami Jarir bin Hazim dari Tsabit dari Anas r.a katanya Rasulullah
s.a.w bersabda: “apabila salat telah siap didirikan maka janganlah kamu berdiri
sehingga kamu melihatku.”
Ishaq bin
Isa berkata, “kemudian saya datang kepada Hammad dan bertanya kepadanya perihal
hadis ini. Ia menjawab: Abu al-Nadhar (yakin Jarir bin Hazim) salah duga.
Sesungguhnya kami berada di majelis Tsabit al-Bannani, dan Hajjaj bin Abu
Ustman ada bersama kami. Hajjaj al-Shawaf meriwayatkan hadis kepada kami dari
Yahya bin Abu Bakar dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapakya bahwa Rasulullah
s.a.w berkata:
:
اِذَ ا اُقِيْمَتْ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْ مُوْ ا حَتَّي تَرَوْنَي
Abu
al-Nadhar menduga bahwa hadis tersebut termasuk hadis yang diriwayatkan kepada
kami oleh Tsabit dari Anas.[24]
h.
Hadits Mushahhaf
Yaitu hadits yang telah terjadi perubahan huruf sedang rupa
tulisannya masih tetap.[25]
i.
Hadits Musharraf
Yaitu hadits yang telah terjadi perubahan baris (tanda baca).[26]
j.
Hadits Mubham
Yaitu hadits yang terdapat dalam sanad-nya seorang perawi yang
tidak disebut namanya, baik lelaki maupun perempuan.[27]
k.
Hadits Maqthu’
Hadits yang diriwayatkan dari Tabi’in dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan maupun perbuatannya”. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’,
adalah perkataan atau perbuatan Tabi’in.[28]
l.
Hadits Mauquf
Hadits mauquf adalah perkataan, perbuatan atau taqrir sahabat.
Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqat sahabat. Kemudian
ia tidak dikatakan marfu’, karena hadits ini tidak disandarkan kepada
Rasulullah saw.[29]
C.
Perbedaan Kitab
Hadits yang Tergabung dalam Kutub as-Sittah
1.
Kutub as Sittah
Adapun
yang termasuk kutub as Sittah ialah:
a.
Kitab Shahih
Bukhariy
b.
Kitab Sahih
Muslim
c.
Kitab Sunan Abu
Dawud
d.
Kitab Sunan
Turmudzi
e.
Kitab Sunan
Nasa’i
f.
Kitab Sunan
Ibnu Majah
2.
Perbedaan dari
segi jenis Kitab
a.
Kitab shahih
Yakni sebuah
kitab hadis yang penyusunnya tidak memasukkan ke dalamnya kecuali hadits-hadits
yang shahih saja.[30]
Kutub as Sittah yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1)
Shahih Bukhariy
2)
Shahih Muslim
b.
Kitab sunan
Yakni sebuah
kitab hadits yang penyusunnya memasukkan ke dalam kitabnya berbagai macam
hadits, baik yang shahih maupun dha’if, sambil menerangkan sebab-sebab
kedhai’fan sekedarnya.[31]
Kutub as Sittah yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1)
Sunan Abu Dawud
2)
Sunan Turmudzi
3)
Sunan Nasa’i
4)
Sunan Ibnu
Majah
3.
Perbedaan dari
segi isi kitab
a.
Shahih Bukhariy
Menurut
hitungan Ibnu Shalah, kitab shahih al-Bukhariy memuat hadits sebanyak 7265 buah
termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang
diulang-ulang penulisannya, maka jumlah haditsnya ada 4000 hadits.[32]
Menurut
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, kitab shahih al-Bukhariy terbagi dalam 97 kitab,
dan terbagi dalam 3450 bab, di awali dengan kitab Bada’ al-Wahyi dan di
akhiri dengan kitab al-Tauhid.[33]
b.
ShahihMuslim
Kitab al-Jami’
al-Shahih ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadits sebanyak 12.000 haditsm
termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang diulang-ulang
penulisannya, maka haditsnya hany 4.000 hadits saja. Kitab ini disusun dengan
sistem mushannaf, dalam 54 kitab.[34]
c.
Sunan Abu Dawud
Menurut
pengakuan penyusunnya, Sunan Abu Dawud memuat hadits sebanyak 4800 hadits,
merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadits yang dihafalnya. Menurut sebagian
ulama, termasuk di dalamnya Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, jumlah hadits
kitab sunan Abu Dawud ada 5274 hadits.[35]
Hadits tersebut
disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab, yang masing-masing kitab terbagi lagi
dalam banyak bab. Jumlah babnya ada 1871 bab.[36]
d.
Sunan al-Turmudziy
Sistematika
kitab ini diurutkan berdasarkan bab-baba fikih dan bab-bab lainnya. Susunan
(bab) di dalamnya terdiri atas 46 judul bab. Jumlah hadits yang dihimpun
sekitar 3.956 hadits.[37]
Betapapun kitab
sunan Turmudziy disampaikan kepada ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, menurut
pengakuan penyusunnya mereka sama ridha dan menganggap bagus (membaguskannya).
Akan tetapi, berdasarkan berbagai komentar ulama, dalam sunan al-Turmudziy
ditemukan berbagai macam hadits, baik yang shahih, hasan, dhaif dan bahkan ada
yang mungkar sebagaimana yang dikatakn oleh Ibnu Katsir.[38]
e.
Sunan al-Nasa’iy
Secara umum
al-Luknawiy mengatakan, bahwa hadits-hadits Sunan al-Nasa’iy dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni[39]:
1)
Kelompok hadits
shahih sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhariy atau Muslim.
2)
Kelompok hadits
yang diriwayatkan dengan menggunakan syarat-syarat al-Bukhariy Muslim.
3)
Kelompom hadits
yang ditakhrijkannya dengan system di luar dari dua kelompok terdahulu, dengan
penjelasan cacat-cacatnya.
Hadits sebanyak
5761 telah disusun dengan menggunakan metode mushannaf (Fiqih) dalam 51 kitab yang terbagi menjadi 2578 bab.[40]
f.
Sunan Ibnu Majah
Menurut
pengakuan sahabat penulisnya yakni Abu al-Hasan al-Qaththan, Sunan Ibnu Majad
memuat hadist sebanyak 4000 hadits, tersebar dalam 1500 bab. Berdasarkan
hitungan Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy jumlah hadits Sunan Ibnu Majah ad 4241
buah hadits, 3002 hadits di antaranya termaktub dalam lima kitab hadits
lainnya. 712 dan 1339 hadits adalah sangat lemah yang dapat dikategorikan
hadits dusta. Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-katsir
– merupakan kitab yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang fikih –
hanya saja di dalamnya ditemukan banyak hadits dha’if, dikatakan jumlahnnya
sampai 1000 hadits, bahkan ada yang mungkar dan ada juga beberapa yang maudhu’.[41]
D.
Contoh Hadits
Lemah yang Berkembang di Indonesia
1.
Keutamaan
memanjangkan wudhu
إِنْ أُمَّتِيْ
يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرَّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ فَمَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ.
“Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
putih cemerlang karena pengaruh bekas wudhu, maka barangsiapa yang mampu untuk
memanjangkan kecemerlangannya maka hendaklah dia lakukan”.
Riwayat hadits ini dari kata “maka barang siapa…” adalah
ucapan Abu Hurairah r.a., dan bukan hadits Rasulullah saw. hal ini dinyatakan
oleh para ulama kaliber ahli hadits, di antaranya[42]:
a.
Al-Hafizh
al-Mundziri rahimallahu dalam Targhib: 1/92 berkata, “Dikatakan bahwa lafazh “barang
siapa yang mampu…” adalah ucapan Abu Hurairah secara mauquf kepadanya. Hal
ini dinyatakan oleh banyak para ulama hadits.”
b.
Imam Ibnul
Qayyim rahimallahu berkata dalam Hadil Arwah: 1/316, “Tambahan ini adalah
sebuah sisipan yang asalnya dari ucapan Abu Hurairah, bukan merupakan sabda
Rasulullah. Hal ini diterangkan oleh banyak ulama hadits. Dan Ibnu Taimiyyah
rahimallahu berkata: ‘Lafazh ini tidak mungkin merupakan ucapan Rasulullah, karena
kata “gurroh” itu tidak mungkin berada di tangan dan wajah. Tidak mungkin
memanjangkannya, karena bisa masuk pada kepala, dan itu tidak dinamakan dengan
ghurroh.”
c.
Sayikh
al-Albani rahimallahu berkata, “Di antara yang menegaskan bahwa kalimat
tersebut adalah mudroj (sisipan) adalah murid al-Hafizh al-Mundziri sendiri,
yaitu Ibrahim an-Naji dalam al-Ujalah al-Mutayassirah."
2.
Keutamaan
mencari ilmu sampai ke cina
أُطْلُبُوا
الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Derajat: bathil
Diriwayatkan oleh Ibnu Adi (2/297), Abu Nu’aim
dalam Akhbar Ashbahan (2/106), al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad
(9/364), Ibnu Abdul Bar dalam Jami’ Bayanil Ilmi (1/7), dan selainnya dari
jalan Hasan bin Athiyyah berkata. “Telah menceritakan kepada kami Abu Atikah
Thorif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik secara marfu’.” Sisi cacatnya adalah
Abu Atikah Thorif bin Sulaiman.[43]
Imam Bukhari berkata, “Munkar hadits.”
An-Nasa’i berkata, ”Tidak Tsiqah.”
Al-Uqoili berkata, “Haditsnya ditinggalkan.”
Bahkan as-Sulaimani memasukkan ke dalam kelompo
orang-orang yang memalsukan hadits. Oleh karena itu Imam Ibnul Jauzi memasukkan
hadits ini ke dalam al-Maudhu’at dan berkata, “Imam Ibnu Hibban berkata:
‘Hadits ini bathil, tidak ada asal usulnya.’ Dan ini disepakati oleh as-Sakhawi
dalam al-Maqashid al Hasanah.”[44]
3.
Do’a keluar WC
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ قَالَ:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنَّي الْأَذَى وَعَافَانِ.
Apabila Rasulullah saw keluar dari WC beliau
berdo’a, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilankan diriku kotoran dan
menyelamatkank”.
Derajat: Lemah
Diriwayatkan
oleh Ibnu Sunni dalam Amaul Yaumi wal Lailah (8/21), “Telah menceritakan kepada
kami Abu Abdir Rohman, telah menceritakan kepada kami Husain bin Manshur, telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair, dari Syu’bah dari Manshur, dan
Abu Faidh, dari Abu Dzar secara marfu’.”[45]
Sisi
cacatnya adalah[46]:
a.
Kemajhulan
Abu Faidh. Dia tidak dikenal kcuali dalam riwayat ini.
b.
Sanad
dan matan hadits ini mudhthorib.
4.
Qunut Shubuh
أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا
“Sesungguhnya Rasulullah saw selalu qunut shubuh
samapi meninggal dunia”.
Derajat: Munkar
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq: 4964, Ibnu Abi
Sayibah: 7002, Ahmad (3/162), ath-Thahawi (1/244), Daruquthni (2/39), Hakim
dalam al-Arba’in, dan Baihaqi (2/201), dari Anas secara marfu’. Sisi cacatnya
adalah Abu Ja’far karena jelek hafalannya, hanya bisa digunakan untuk syawahid.
Jikalau sendirian maka haditsnya lemah.[47]
Hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Turkumani, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan lainnya. Al-Hafizh Ibnu
hajar berkata, “Hadits semacam ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.[48]
5.
Shalat tiang
agama
الصَّلَاةَ
عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنِ وَمَنْ هَدَمَهَا
فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنِ
“Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang
menagakkannya berarti dia menegakkan agama, namun barangsiapa yang meninggalkannya
maka berarti dia menghancurkan agama”.
Derajat: Lemah
Berkata Syaikh al-Ajluni dalam Kasyful Khafa’,
“Berkata Imam as-Sakhawi dalam al-Maqashid: ‘Hadits ini diriwayatkan oleh
Baihaqi dengan sanad lemah dari Ikrimah, dari Umar secara marfu.’”[49]
Imam Hakim berkata, “Ikrimah tidak bertemu dengan
Umar. Demikian pula keterangan yang terdapat dalam Takhrij Ihya’ oleh Imam
al-Iroqi.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadts bathil”.[50]
Abu Yusuf berkata cukuplah sebagai pengganti
riwayat ini sebuah hadits dari rasulullah saw dengan sanad shahih:
رَأْسُ
الأَمْرِ الاِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Islam
adalah pokok segala urusan, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah
jihad.”
6.
Puasa bulan
Rajab
رَجَبُ
شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانَ شَهْرِيْ وَرَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِيْ
“Rajab bulan Allah,
Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulan umatku.”
Derajat: Lemah
Diriwayatkan oleh al-Ashbahani dalam al-targib: 1/226 dari Qurrah
bin Tammam, dari Yunus, dari Hasan secara marfu’. Hadits ini lemah karrena
Hasan al-Bashri langsung meriwayatkan dari Rasulullah, padahal ia seorang
tabi’in. dan Qurrah bin Tammam seorang yang shaduq, terkadang salah.[51]
Juga Hadits:
كَانَ
رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ: "اَلَّلهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Rasulullah apabila memasuki bulan Rajab beliau berdo’a, ‘Ya
Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, lalu sampaikanlah kami
pada bulan Ramadhan.’”
Derajat:
Lemah
Diriwatkan oleh Ahmad
(1/259), al-Bazzar (426), Thabrani dalam al-Ausath: 3951, Ibnu Sunni
(659), Abu Nu’aim dalam Hilyah: 6/269, dan Baihaqi (3815), dari berbagai jalan
dari Zaidah bin Abu Riqad berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad
an-Namiri, dari Anas secara marfu’.”[52]
Berkata Baihaqi, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh an-Namiri, dan
dari dia hanya oleh zaidah. Berkata Bukhari: ‘Zaidah jikalau meriwayatkan dari
Ziyad an-Namiri haditsnya munkar.’ An-Namiri ini juga orang yang lemah.”[53]
Oleh karena itu para ulama melemahkannya, di antaranya al-Bazzar,
an-Nawawi, al-Haitsami, Ibnu Hajar, dan al-Albani.[54]
[1] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ed. 3,
Cet. 1 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 111.
[2] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 111.
[3] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 111.
[4] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 112.
[5] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 113.
[6] M. Noor.
Sulaiman PI., Antologi Ilmu Hadits, cet. I (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2008), hlm. 76.
[7] M. Noor.
Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 76.
[8] M. Noor.
Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 76.
[9] M. Noor. Sulaiman
PI., Antologi Ilmu…, hlm. 78-80.
[10] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 169.
[11] Abu isa : imam
turmudzi.
[12] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[13] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[14] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[15] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[16] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170
[17] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 171.
[18] Muhammad
Thahan, TafsirMustolahul Hadits.h.146.
[19] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[20] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[21] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[22] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[23] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[24] Nuruddin, ‘ulumul
hadis, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 468
[25] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[26] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm..172.
[27] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[28] M. Noor.
Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 109.
[29] M. Noor.
Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 108.
[30] M. Dailamy, Hadis
Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Cet. I (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2010), hlm. 309.
[31] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 309.
[32] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 314.
[33] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 314.
[34] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 320.
[35] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 326.
[36] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 327.
[37] Saifuddin,
Arus Tradisi Tadwin Hadis dan historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 160.
[38] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 333.
[39] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 339.
[40] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 340.
[41] M. Dailamy, Hadis
Semenjak…, hlm. 343.
[42] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia (Gresik: Pustaka al-Furqan, 1430
H.). hlm. 109.
[43] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 54.
[44] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 55.
[45] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 283.
[46] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 283.
[47] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 117.
[48] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 117.
[49] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 119.
[50] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 119.
[51] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 176.
[52] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 176.
[53] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 177.
[54] Ahmad Sabiq, Hadits
Lemah…, 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar