Jumat, 16 Februari 2018

ULUMUL HADITS : Sekilas Pandangan Tentang Ulumul Hadits, Kriteria Dha'if, Kutub as-Sittah, dan Contoh Hadits Lemah di Indonesia


STUDI HADITS



A.  Kompilasi Beberapa Pandangan Tentang Ulumul Hadits
1.    Pandangan Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Dilihat dari garis besarnya ilmu hadits terbagi dalam dua bagian saja. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah) Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (Dirayah).[1]
Tgk. M. Hasbi ash-Shiddieqy menuturkan bahwa sebagian ulama Tahqiq mengatakan, “Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas cara persambungan hadits kepada Shahib ar-Risalah, junjungan kita Muhammad dari segi keadaan para perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya dan sepertinya”.[2]
Sedangkan “Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang membahas makna-makna yang dipahamkan dari lafal-lafal hadits yang dikehendaki dari sesuatu lafal dan kalimat, dengan bersandar kepada aturan-aturan (kaidah-kaidah) bahasa Arab dan kaidah-kaidah agama dan sesuai dengan keadaan Nabi”.[3]
Kebanyakan ulama menta’rifkan ilmu hadits riwayah dan dirayah sebagai berikut[4]:
“Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda Nabi, perbuatan Nabi, taqrir-taqrir Nabi dan sifat-sifat Nabi.”
Objeknya adalah pribadi Nabi saw, yakni perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas di dalamnya.
Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah:
“Ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk  mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu”.
Adapun cabang-cabang ilmu hadits yaitu[5]:
a.       Ilmu Rijal al-hadits
b.      Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
c.       Ilmu Fann al-Mubhamat
d.      Ilmu ‘ilal al-Hadits
e.       Ilmu Gharib al-Hadits
f.       Ilmu Nasikh wal mansukh
g.      Ilmu Talfiq al-Hadits
h.      Ilmu Tashif wat-Tahrif
i.        Ilmu Asbabi Wurud al-Hadits
j.        Ilmu Mushthalah al-Hadits
2.    Pandangan Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PI.
Mengikuti pendapat muhadditsin yang hampir sepakat membagi ilmu hadits dalam dua bagian besar yaitu: ilmu hadist riwayah dan ilmu hadits dirayah.[6]
Dalam bukunya Antologi Ilmu Hadits, M. Noor Sulaiman menuturkan bahwa yang dimaksud dengan hadits riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir, dan sebagainya. Jadi, dalam ilmu ini tidak dibahas kejanggalan-kejanggalan atau cacatnya matan hadits, juga tidak dibicarakan tentang apakah sanadnya bersambung atau tidak, rawinya adil atau tidak. Dengan demikian, yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadits riwayah adalah pribadi Nabi baik dari segi perkataannya, perbuatannya, taqrirnya maupun sifat-sifatnya.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan sebagainya”. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadits dirayah adalah keadaan matan, sanad, dan rawi hadits.[8]
Adapun cabang-cabang ilmu hadits yaitu[9]:
a.    Ilmu Rijal al-Hadits
b.    Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
c.    Ilmu Tarikh al-Ruwah
d.   Ilmu ‘Ilal al-Hadits
e.    Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh
f.     Ilmu Asbabul Wurud al-Hadits
3.    Pembagian Riwayah dan Dirayah
Berdasarkan pemaparan di atas maka yang termasuk ke dalam hadits riwayah adalah:
a.       Ilmu Rijal al-hadits
b.      Ilmu Fann al-Mubhamat
c.       Ilmu Talfiq al-Hadits
d.      Ilmu Tashif wat-Tahrif
e.       Ilmu Asbabi Wurud al-Hadits
Sedangkan yang termasuk ke dalam hadits dirayah adalah:
f.       Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
g.      Ilmu ‘ilal al-Hadits
h.      Ilmu Gharib al-Hadits
i.        Ilmu Nasikh wal mansukh
j.        Ilmu Mushthalah al-Hadits

B.  Kriteria Hadits Dha’if
1.    Hadist-hadits dha’if karena tidak bersambung-sambung sanadnya
a.    Hadits Mu’allaq
Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik  semuanya, pada awal sanad, yaitu guru dari seorang imam hadits.[10]
Contoh :
قال ابو عيسي : وقد روي عن عائشة عن النبي ص قال : من صلىّ بعد المغرب عشرين ركعة بنى الله بيتاً فى الجنّة
Artinya : Berkata Abu Isa[11] dan sesungguhnya telah diriwayatkan dari aisyah dari nabi r. Beliau bersabda : “barangsiapa shalat sesudah maghrib, duapuluh rakaat.Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah di syurga.
Turmudzi tidak bertemu dan tidak sezaman dengan Aisyah. Jadi tentu antara kedua-duanya itu ada beberapa orang rawi lagi. Karna tidak disebut rawi-rawinya ini, maka dinamakan ia gugur, seolah-olah hadits itu tergantung. Karena itulah dinamakan muallaq.
b.    Hadits Munqathi’
Yaitu hadits yang gugur seorang, atau dua orang dengan tidak berturut-turut di pertengahan sanad. Hal tersebut dinamai inqitha’.[12] Contoh:
موسى بن عقبة، عن عبد الله بن علي، عن الحسن بن علي, قال: علمني رسول الله صلى الله عليه و سلم  هؤلاء الكلمات في الوتر فذكر حديث دعاء القنوط . . .

Musa bin Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari Al Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadits tentang do’a qunut.
Sanad hadits ini inqitha’. Al Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab at-Talkhish Al Khabir(1/264), “Abdullah bin ‘Ali adalah Ibnu Al Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan Al Hasan bin Ali”.
c.    Hadits Mu’dhal
Yaitu hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut dipertengahan sanad. Mengugurkan perawi semacam ini dinamai I’dhal.[13]
Contoh dari hadits Mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab “Ma’rifat Ulumil Hadits” dengan sanadnya yang terhubung kepada al-Qo’nabi dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah radiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :

ل
ِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ
“Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya secara ma’ruf (yang sesuai) dan tidak boleh dibebani pekerjaan, kecuali yang disanggupinya saja”
Imam Hakim rahimahullah menjelaskan bahwa hadits dengan sanad ini adalah mu’dhal. Beliau berkata : “Hadits ini mu’dhal dari Malik, Malik meriwayatkannya dengan mu’dhal seperti ini dalam kitab al-Muwaththa’ ”
d.   Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang tidak disebut dalam sanad atau sengaja digugurkan olehseorang perawi nama gurunya dengan cara yang memberi waham (keraguan) apakah dia mendengar sendiri hadits itudari orang yang disebut namanya itu. perbuatan ini dinamai tadlis.[14]
Contoh:
Hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dari jalan periwayatan :
Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata : Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali mereka telah diampuni dosa mereka sebelum berpisah”
2.    Hadits-hadits dha’if karena perawinya cacat atau karena sebab lain
a.    Hadits Matruk
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang yang tertuduh pendusta, baik dalam soal hadits maupun dalam lainnya, ataupun tertuduh fasiq, atau banyak lalai dan banyak sangka.[15]
Contoh:
Hadits ‘Amr bin Syamir al-Ju’fi Al-Kufi asy-Syi’i dari Jabir dari Abu at-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar bahwa mereka berdua berkata :

كان النبي صلى الله عليه و سلم يقنت في الفجر ويكبر يوم عرفة من صلاة الغداة ويقطع صلاة العصر آخر أيام التشريق
“Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam selalu membaca qunut pada shalat fajar, bertakbir pada hari Arafah dari semenjak shalat shubuh dan berhenti pada waktu shalat ashar di terakhir dari hari tasyrik”
Imam Nasa’i, Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang ‘Amr bin Syamir bahwa dia adalah Matrukul Hadits (Haditsnya ditinggalkan dan tidak dipakai).
b.    Hadits Munkar
Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah yang menyalahi riwaya orang terpercaya, atau riwayat orang yang kurang lemah daripadanya. Lawannya dinamai ma’ruf.[16]
Contoh:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalur Habib bin Habib Az-Zayyat – tidak tsiqah – dari Abu Ishaq dan Aizar bin Harits, dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة.
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
Abu Hatim berkata,”Hadits ini munkar, karena para perawi tsiqah selain (Habib bin Zayyat) meriwayatkannya dari Abu Ishaq hanya sampai kepada shahabat (mauqif), dan riwayat inilah yang dikenal”.
c.    Hadits Syaz
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang terpercaya yang menyalahi riwayat orang ramai yang terpercaya pula. Dalam hal ini ada yang mensyaratkan adanya mukhallafh (perbedaan atau pertentangan dengan riwayat orang lain). mereka berpendapat bahwa hadits yang syaz itu ialah sesuatu yang diriwayatkan oleh hanya seorang yang terpercaya, tidak ada orang yang meriwayatkan hadits  itu selain dari dia sendiri. Lawan syaz ini dinamai mahfuzh.[17]
Hadits yang diriwyatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari haditsnya Abdul Wahid bin Ziad, dari al-‘Amsyi, dari Abishaleh, dari Abu Hurairah, secara marfu’:
 إذا صلىّ أحدكم الفجرفليضطجع عن يمينه
Apabila salah seorang dari kalian telah selesai shalat fajar, hendaknya berbaring kesebelah kanan.
          Al-Baihaki berkata, dalam hal ini Abdul Wahid menyalahi banyak rawi. Masyarakat itu meriwayatkan tentang perbutan Nabi saw, bukan perkataanya. Dalam lafadz ini abdulwahid menyendiri dari rawi-rawi tsiqah yang menjadi sahabat al-A’masy.[18]
d.    Hadits Mu’allal
Yaitu hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang tersembunyi yang baru diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan pemeriksaan yang mendalam, sedang pada zahirnya tidak cacat.[19]
e.    Hadits Mudhtharab
Yaitu hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya atau matan-nya, baik dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan, mengemudikan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matan-nya. Tetapi, jika dapat dikumpulkan boleh diamalkannya. Jika tidak mungkin hendaklah ditawaqqufkan.[20]
f.     Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang disisipkan ke dalam matan-nya sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu shahaby, taupun tabi’iy untuk menerangkan maksud makna.[21]
Sesuatu hadits dapat diketahui mana kata-kata yang disisipkan ke dalamnya, dapat dipandangn shahih dengan megeluarkan kata-kata itu. tetapi jika tidak lagi dapat dibedakan kata-kata sisipan itu masuklah ia ke dalam golongan dha’if.[22]
g.    Hadits Maqlub
Yaitu sesuatu hadits yang telah terjadi kesalahan pada seorang perawi dengan mendahulukan yang kemudian, atau mengemudiankan yang terdahulu.[23]
Contoh, hadis yang diriwayatkan dari Ishaq bin Isa Al-Thabba’, katanya:
حَذَ ثَنَا جَرِ يْرٌ ا بْنُ حَا رِّمْ عَنْ ثَا بِتٍ عَنْ اَنْسٍ قَلَ : قَلَ رسول الله صلي الله عليه وسلم : اِذَ ا اُقِيْمَتْ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْ مُوْ ا حَتَّي تَرَوْنَي
“Meriwayatkan hadis kepada kami Jarir bin Hazim dari Tsabit dari Anas r.a katanya Rasulullah s.a.w bersabda: “apabila salat telah siap didirikan maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku.”
Ishaq bin Isa berkata, “kemudian saya datang kepada Hammad dan bertanya kepadanya perihal hadis ini. Ia menjawab: Abu al-Nadhar (yakin Jarir bin Hazim) salah duga. Sesungguhnya kami berada di majelis Tsabit al-Bannani, dan Hajjaj bin Abu Ustman ada bersama kami. Hajjaj al-Shawaf meriwayatkan hadis kepada kami dari Yahya bin Abu Bakar dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapakya bahwa Rasulullah s.a.w berkata:
: اِذَ ا اُقِيْمَتْ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْ مُوْ ا حَتَّي تَرَوْنَي
Abu al-Nadhar menduga bahwa hadis tersebut termasuk hadis yang diriwayatkan kepada kami oleh Tsabit dari Anas.[24]

h.    Hadits Mushahhaf
Yaitu hadits yang telah terjadi perubahan huruf sedang rupa tulisannya masih tetap.[25]
i.      Hadits Musharraf
Yaitu hadits yang telah terjadi perubahan baris (tanda baca).[26]
j.      Hadits Mubham
Yaitu hadits yang terdapat dalam sanad-nya seorang perawi yang tidak disebut namanya, baik lelaki maupun perempuan.[27]
k.    Hadits Maqthu’
Hadits yang diriwayatkan dari Tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’, adalah perkataan atau perbuatan Tabi’in.[28]
l.      Hadits Mauquf
Hadits mauquf adalah perkataan, perbuatan atau taqrir sahabat. Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqat sahabat. Kemudian ia tidak dikatakan marfu’, karena hadits ini tidak disandarkan kepada Rasulullah saw.[29]
C.  Perbedaan Kitab Hadits yang Tergabung dalam Kutub as-Sittah
1.      Kutub as Sittah
Adapun yang termasuk kutub as Sittah ialah:
a.       Kitab Shahih Bukhariy
b.      Kitab Sahih Muslim
c.       Kitab Sunan Abu Dawud
d.      Kitab Sunan Turmudzi
e.       Kitab Sunan Nasa’i
f.       Kitab Sunan Ibnu Majah
2.      Perbedaan dari segi jenis Kitab
a.       Kitab shahih
Yakni sebuah kitab hadis yang penyusunnya tidak memasukkan ke dalamnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja.[30] Kutub as Sittah yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1)      Shahih Bukhariy
2)      Shahih Muslim
b.      Kitab sunan
Yakni sebuah kitab hadits yang penyusunnya memasukkan ke dalam kitabnya berbagai macam hadits, baik yang shahih maupun dha’if, sambil menerangkan sebab-sebab kedhai’fan sekedarnya.[31] Kutub as Sittah yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1)      Sunan Abu Dawud
2)      Sunan Turmudzi
3)      Sunan Nasa’i
4)      Sunan Ibnu Majah
3.      Perbedaan dari segi isi kitab
a.       Shahih Bukhariy
Menurut hitungan Ibnu Shalah, kitab shahih al-Bukhariy memuat hadits sebanyak 7265 buah termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang diulang-ulang penulisannya, maka jumlah haditsnya ada 4000 hadits.[32]
Menurut Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, kitab shahih al-Bukhariy terbagi dalam 97 kitab, dan terbagi dalam 3450 bab, di awali dengan kitab Bada’ al-Wahyi dan di akhiri dengan kitab al-Tauhid.[33]
b.      ShahihMuslim
Kitab al-Jami’ al-Shahih ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadits sebanyak 12.000 haditsm termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang diulang-ulang penulisannya, maka haditsnya hany 4.000 hadits saja. Kitab ini disusun dengan sistem  mushannaf, dalam 54 kitab.[34]
c.       Sunan Abu Dawud
Menurut pengakuan penyusunnya, Sunan Abu Dawud memuat hadits sebanyak 4800 hadits, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadits yang dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, jumlah hadits kitab sunan Abu Dawud ada 5274 hadits.[35]
Hadits tersebut disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab, yang masing-masing kitab terbagi lagi dalam banyak bab. Jumlah babnya ada 1871 bab.[36]
d.      Sunan al-Turmudziy
Sistematika kitab ini diurutkan berdasarkan bab-baba fikih dan bab-bab lainnya. Susunan (bab) di dalamnya terdiri atas 46 judul bab. Jumlah hadits yang dihimpun sekitar 3.956 hadits.[37]
Betapapun kitab sunan Turmudziy disampaikan kepada ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, menurut pengakuan penyusunnya mereka sama ridha dan menganggap bagus (membaguskannya). Akan tetapi, berdasarkan berbagai komentar ulama, dalam sunan al-Turmudziy ditemukan berbagai macam hadits, baik yang shahih, hasan, dhaif dan bahkan ada yang mungkar sebagaimana yang dikatakn oleh Ibnu Katsir.[38]
e.       Sunan al-Nasa’iy
Secara umum al-Luknawiy mengatakan, bahwa hadits-hadits Sunan al-Nasa’iy dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni[39]:
1)      Kelompok hadits shahih sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhariy atau Muslim.
2)      Kelompok hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan syarat-syarat al-Bukhariy Muslim.
3)      Kelompom hadits yang ditakhrijkannya dengan system di luar dari dua kelompok terdahulu, dengan penjelasan cacat-cacatnya.
Hadits sebanyak 5761 telah disusun dengan menggunakan metode mushannaf (Fiqih) dalam 51 kitab  yang terbagi menjadi 2578 bab.[40]
f.       Sunan Ibnu Majah
Menurut pengakuan sahabat penulisnya yakni Abu al-Hasan al-Qaththan, Sunan Ibnu Majad memuat hadist sebanyak 4000 hadits, tersebar dalam 1500 bab. Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy jumlah hadits Sunan Ibnu Majah ad 4241 buah hadits, 3002 hadits di antaranya termaktub dalam lima kitab hadits lainnya. 712 dan 1339 hadits adalah sangat lemah yang dapat dikategorikan hadits dusta. Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-katsir – merupakan kitab yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang fikih – hanya saja di dalamnya ditemukan banyak hadits dha’if, dikatakan jumlahnnya sampai 1000 hadits, bahkan ada yang mungkar dan ada juga beberapa yang maudhu’.[41]


D.  Contoh Hadits Lemah yang Berkembang di Indonesia
1.    Keutamaan memanjangkan wudhu
إِنْ أُمَّتِيْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرَّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ.   
Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dalam keadaan putih cemerlang karena pengaruh bekas wudhu, maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan kecemerlangannya maka hendaklah dia lakukan”.
Riwayat hadits ini dari kata “maka barang siapa…” adalah ucapan Abu Hurairah r.a., dan bukan hadits Rasulullah saw. hal ini dinyatakan oleh para ulama kaliber ahli hadits, di antaranya[42]:
a.    Al-Hafizh al-Mundziri rahimallahu dalam Targhib: 1/92 berkata, “Dikatakan bahwa lafazh “barang siapa yang mampu…” adalah ucapan Abu Hurairah secara mauquf kepadanya. Hal ini dinyatakan oleh banyak para ulama hadits.”
b.    Imam Ibnul Qayyim rahimallahu berkata dalam Hadil Arwah: 1/316, “Tambahan ini adalah sebuah sisipan yang asalnya dari ucapan Abu Hurairah, bukan merupakan sabda Rasulullah. Hal ini diterangkan oleh banyak ulama hadits. Dan Ibnu Taimiyyah rahimallahu berkata: ‘Lafazh ini tidak mungkin merupakan ucapan Rasulullah, karena kata “gurroh” itu tidak mungkin berada di tangan dan wajah. Tidak mungkin memanjangkannya, karena bisa masuk pada kepala, dan itu tidak dinamakan dengan ghurroh.”
c.    Sayikh al-Albani rahimallahu berkata, “Di antara yang menegaskan bahwa kalimat tersebut adalah mudroj (sisipan) adalah murid al-Hafizh al-Mundziri sendiri, yaitu Ibrahim an-Naji dalam al-Ujalah al-Mutayassirah."
2.    Keutamaan mencari ilmu sampai ke cina
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Derajat: bathil
Diriwayatkan oleh Ibnu Adi (2/297), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan (2/106), al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (9/364), Ibnu Abdul Bar dalam Jami’ Bayanil Ilmi (1/7), dan selainnya dari jalan Hasan bin Athiyyah berkata. “Telah menceritakan kepada kami Abu Atikah Thorif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik secara marfu’.” Sisi cacatnya adalah Abu Atikah Thorif bin Sulaiman.[43]
Imam Bukhari berkata, “Munkar hadits.”
An-Nasa’i berkata, ”Tidak Tsiqah.”
Al-Uqoili berkata, “Haditsnya ditinggalkan.”
Bahkan as-Sulaimani memasukkan ke dalam kelompo orang-orang yang memalsukan hadits. Oleh karena itu Imam Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini ke dalam al-Maudhu’at dan berkata, “Imam Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits ini bathil, tidak ada asal usulnya.’ Dan ini disepakati oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashid al Hasanah.”[44]
     
3.    Do’a keluar WC
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ قَالَ: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنَّي الْأَذَى وَعَافَانِ.
Apabila Rasulullah saw keluar dari WC beliau berdo’a, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilankan diriku kotoran dan menyelamatkank”.
Derajat: Lemah
Diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam Amaul Yaumi wal Lailah (8/21), “Telah menceritakan kepada kami Abu Abdir Rohman, telah menceritakan kepada kami Husain bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair, dari Syu’bah dari Manshur, dan Abu Faidh, dari Abu Dzar secara marfu’.”[45]
Sisi cacatnya adalah[46]:
a.    Kemajhulan Abu Faidh. Dia tidak dikenal kcuali dalam riwayat ini.
b.    Sanad dan matan hadits ini mudhthorib.
4.    Qunut Shubuh
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Sesungguhnya Rasulullah saw selalu qunut shubuh samapi meninggal dunia”.
Derajat: Munkar
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq: 4964, Ibnu Abi Sayibah: 7002, Ahmad (3/162), ath-Thahawi (1/244), Daruquthni (2/39), Hakim dalam al-Arba’in, dan Baihaqi (2/201), dari Anas secara marfu’. Sisi cacatnya adalah Abu Ja’far karena jelek hafalannya, hanya bisa digunakan untuk syawahid. Jikalau sendirian maka haditsnya lemah.[47]
Hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Turkumani, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan lainnya. Al-Hafizh Ibnu hajar berkata, “Hadits semacam ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.[48]
5.    Shalat tiang agama
الصَّلَاةَ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنِ وَمَنْ هَدَمَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنِ
Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang menagakkannya berarti dia menegakkan agama, namun barangsiapa yang meninggalkannya maka berarti dia menghancurkan agama”.
Derajat: Lemah
Berkata Syaikh al-Ajluni dalam Kasyful Khafa’, “Berkata Imam as-Sakhawi dalam al-Maqashid: ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad lemah dari Ikrimah, dari Umar secara marfu.’”[49]
Imam Hakim berkata, “Ikrimah tidak bertemu dengan Umar. Demikian pula keterangan yang terdapat dalam Takhrij Ihya’ oleh Imam al-Iroqi.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadts bathil”.[50]
Abu Yusuf berkata cukuplah sebagai pengganti riwayat ini sebuah hadits dari rasulullah saw dengan sanad shahih:

رَأْسُ الأَمْرِ الاِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
Islam adalah pokok segala urusan, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad.”
6.    Puasa bulan Rajab
  رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانَ شَهْرِيْ وَرَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِيْ
Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulan umatku.”
Derajat: Lemah
Diriwayatkan oleh al-Ashbahani dalam al-targib: 1/226 dari Qurrah bin Tammam, dari Yunus, dari Hasan secara marfu’. Hadits ini lemah karrena Hasan al-Bashri langsung meriwayatkan dari Rasulullah, padahal ia seorang tabi’in. dan Qurrah bin Tammam seorang yang shaduq, terkadang salah.[51]
Juga Hadits:
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ: "اَلَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Rasulullah apabila memasuki bulan Rajab beliau berdo’a, ‘Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, lalu sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.’”
Derajat: Lemah
Diriwatkan oleh Ahmad  (1/259), al-Bazzar (426), Thabrani dalam al-Ausath: 3951, Ibnu Sunni (659), Abu Nu’aim dalam Hilyah: 6/269, dan Baihaqi (3815), dari berbagai jalan dari Zaidah bin Abu Riqad berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad an-Namiri, dari Anas secara marfu’.”[52]
Berkata Baihaqi, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh an-Namiri, dan dari dia hanya oleh zaidah. Berkata Bukhari: ‘Zaidah jikalau meriwayatkan dari Ziyad an-Namiri haditsnya munkar.’ An-Namiri ini juga orang yang lemah.”[53]
Oleh karena itu para ulama melemahkannya, di antaranya al-Bazzar, an-Nawawi, al-Haitsami, Ibnu Hajar, dan al-Albani.[54]



[1] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ed. 3, Cet. 1 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 111.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 111.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 111.
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 112.
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 113.
[6] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu Hadits, cet. I (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 76.
[7] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 76.
[8] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 76.
[9] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 78-80.
[10] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 169.
[11] Abu isa : imam turmudzi.
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[13] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[14] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170.
[16] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 170
[17] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 171.
[18] Muhammad Thahan, TafsirMustolahul Hadits.h.146.
[19] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[20] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[21] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm.. 171.
[22] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[23] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[24] Nuruddin, ‘ulumul hadis, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 468
[25] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[26] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm..172.
[27] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 172.
[28] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 109.
[29] M. Noor. Sulaiman PI., Antologi Ilmu…, hlm. 108.
[30] M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Cet. I (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2010), hlm. 309.
[31] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 309.
[32] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 314.
[33]  M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 314.
[34]  M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 320.
[35]  M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 326.
[36]  M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 327.
[37] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 160.
[38] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 333.
[39] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 339.
[40] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 340.
[41] M. Dailamy, Hadis Semenjak…, hlm. 343.
[42] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia (Gresik: Pustaka al-Furqan, 1430 H.). hlm. 109.
[43] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 54.
[44] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 55.
[45] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 283.
[46] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 283.
[47] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 117.
[48] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 117.
[49] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 119.
[50] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 119.
[51] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 176.
[52] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 176.
[53] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 177.
[54] Ahmad Sabiq, Hadits Lemah…, 177.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar