Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Orang
yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun namun Karl Marx dan august Comte
sebagai orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini lebih diakui
karena konstribusi mereka yang dianggap lebih besar daripada Ibn Khaldun.
Selain itu ada pula Emile Durkheim dan Max Weber. Pendekatan sosiologi
menggunakan beberapa teori yaitu evolusionisme, interaksionalisme,
fungsionalisme dan konflik. Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama
adalah: Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan
mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan
nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan
menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah
membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Kedua,
terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah
memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan
memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat,
terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan
erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu
sendiri. Adapun manfaat dari pendekatan sosiologi adalah: manfaat
teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis dan manfaat praktis
sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode
penelitian ilmu-ilmu keislaman.
Keyword:
Pendekatan, Studi, Sosiologi.
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami
krisis yang akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini
sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman
dengan realitas kontemporer. Ilmu-ilmu
keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan pengajian,
namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara
konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama
yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi
dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional
konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak
pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan
teologis normatif, astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan
pendekatan filosofis. Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan
tersebutlah kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil
agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya
masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak
boleh terjadi. Berkenaan dengan ini, pemakalah akan menyajikan pembahasan
mengenai pendekatan sosiologis dalam studi Islam.
A.
Pengertian
Sosiologi
Dalam mempelajari agama diperlukan
berbagai macam pendekatan agar substansi dari
agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh
karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu
sosial, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat
melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat
sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai
dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan
hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang
diberikan Allah kepadanya.
Sosiologi
berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan
Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August
Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. sosiologi mencoba
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana
yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti
memberi arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan
dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilm ini juga dibahas tentang
proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja
belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama
dari manusia.[2]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu
ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu
ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari
terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak
bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat
dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi
penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus oleh
Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. beberapa peristiwa tersebut
baru bisa djawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu
sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan
sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu
alat dalam memahami ajaran agama.[3]
Sebuah contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750
M dan bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan
Islam klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik,
karena bukan saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah
pergantian struktur social dan ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai
bahwa kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti
kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid
Conspiracy and Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan
bahwa ciri-ciri yang menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu
sama dengan ciri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia
modern sekarang ini. Fyre menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan
oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang
diamatinya, yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat
persamaan. Pertama, bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang sedang
berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan
penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari
ideology yang berkuasa itu. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien
karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum
intelektual dari mendukung ideology yang berkuasa kepada wawasan baru yang
ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton menamakan hal ini dengan “The dissertion
of the intellectuals”. Keempat, bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya
dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan
juga oleh sebagian kau penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas
dengan system yang ada.[4]
B.
Tokoh dan
Perkembangan Sosiologi Sebagai Pengetahuan
Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini
terutama berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya,
tetapi juga menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang
pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun.
1.
Ibn Khaldun
(1332 M)
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau
1 ramadhan 732 H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim
tradisionalis, raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat
di sekitarnya itulah yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara
serius. Dalam kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi,
seperti kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat dan
Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi pembahasan tentang sosiologi.[5]
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang
keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang
kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai
oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu
deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan
prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika
masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[6]
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu
kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai
orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan
panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan
revolu yang berlangsung sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang
paling besar perannya dalam pembentukan sosiologi.[7]
2.
August Comte (1798-1857)
Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi
semakin jelas bentuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839
disebutkannya sosiologi. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan
bahwa Comte berupaya agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu
baru ini, yang menurut pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah
ilmu yang mempelajari social statics (Statika social atau struktur social yang
ada) dan social dynamics (dinamika social atau perubahan social). Meski
keduanya dimaksudkan untuk menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa
dinamika social lebih penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan
sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.[8]
3.
Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap
dirinya sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa
dicakup dalam pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan
dalam karyanya. Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis
berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia
pada dasarnya produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu
bekerja di dalam dengan alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan
makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan
mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka
mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini
diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada
dasarnya adalah makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan
segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.[9]
4.
Emile Durkheim
(1858-1917)
Durkheim mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian
diujinya melalui studi empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method
(1859/1982) ia menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta
sosial. Ia meyakini fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat
eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala
luas ini – misalnya hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama – dan
pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritisi di
kemudian hari, termasuk Parsons.[10]
5.
Max Weber
(1864-1920)
Weber memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan
asumsi ini bahwa tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan
dapat diakui oleh orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana
seseorang terus menerus membaca dan menyesuaikan diri dengan
penafsiran-penafsirannya mengenai orang lain dan memodifikasi
tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya tterhadap
konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]
6.
Karl Mannheim
(1893-1847)
Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori
pengondisian social atau eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang
mengaitkan antara pengetahuan dan kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri
adalah seorang ilmuwan sosial Jerman.[12]
C.
Pendekatan
dalam kerja ilmiah sosiologi
1.
Evolusionisme
Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan dan
perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan
perhatiannya pada pertanyaan “apakah ada pola umum perubahan yang bisa
ditemukan dalam sebuah masyarakat?” misalnya “apakah pengaruh proses
industrialisasi terhadap keluarga di Negara berkembang akan sama dengan yang
ditemui di Barat?”; “apakah proses pemudarnya masyarakat tradisional sama untuk
setiap bangsa dan Negara.[13]
2.
Interaksionalisme
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar
individu dan kelompok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan
symbol-simbol atau isyarat. Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna
dari symbol-simbol itu dan dihubungan benda-benda atau kejadian-kejadian yang
berlangsung. Dalam perspektif ini sering muncul pernyataannya bahwa suatu kata,
benda atau kejadian tidak bermakna apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak
sependapat bahwa hal itu memiliki arti khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan
kuning lalu lintas”.[14]
3.
Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan
kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system
yang harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak
didik dan orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan
sebagainya.[15]
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi
dasar:
o Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam
fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung, sehingga
perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan
sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis adalah
menyelidiki mengapa suatu hal berpengaruh kepada hal lainnya, dan sampai
sejauh mana pengaruh tersebut.
o Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem
sosial. Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga,
perekonomian, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata
mapan lainnya.[16]
4.
Konflik
Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan
fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu
terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang
dominan”. Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah
fenomena setiap kelompok ingin mempertahankan dominasinya.[17]
D.
Pendekatan Sosiologi
dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat
dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhada masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami
agamanya.
1.
Perhatian Agama
Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam
terhadap masalah sosial adalah:
a.
Dalam al-Qur’an
atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah.
b.
Bahwa
ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.
Bahwa ibadah
yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada
ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.
Dalam Islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk
memberi makan bagi orang miskin.
e.
Dalam Islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya
membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang
yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang
terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).[18]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada
prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang
menyangkut sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri,
potensi untuk berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di
bidang politik,
ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa
manusia saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan
kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling
bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu
bisa menimbulkan kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin
memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social
(mechanism of social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk
mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.[19]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah
norma-norma agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya.
Namun penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar
kemungkinannya apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan
hukuman-hukuman yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau
sanksi-sanksi) social tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua
norma social, walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran
secara psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena
pernah menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan
dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam
kerangka acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula
dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat
sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena,
tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat
duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.[20]
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan
mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam
al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia
dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua
itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial
pada saat ajaran agama itu diturunkan.[21]
Elizabeth K.
Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu
membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan
kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara
keseluruhan:
Pertama,
agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan
kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[22]
Kedua,
terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah
memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan
memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat,
terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan
erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu
sendiri.[23]
2.
Aplikasi
Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat
ganda, yakni:
a.
Manfaat
teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap
substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan
pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan
paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks
sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan
sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b.
Manfaat praktis
sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode
penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan
berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan
bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan
cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah
terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu
keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena
dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas
masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk
dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu.
Oleh karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu
ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip
ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi
hanya akan menghasilkan kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar,
sesungguhnya tiada lain adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm
lama dalam ilmu ushul fikih telah mengalami keusangan (obsolete) dan
keterjebakan ideologis, sehingga mengalami disfungsi.[24]
Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas
atau memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga
terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk
dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak
ada lagi yang tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah
“tertutupnya” pintu ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang
dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan
untuk “menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang
lain karena dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai
kekuasaan untuk “menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan
salah satu dasar dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya
pemikiran dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi
setiap Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang
memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di
sana tidak ada lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum
Muslim hidup di dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang
mungkin dilontarkan di dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput,
dan ketika pemanfaatan segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti
hubungan kata dengan makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa
dijadikan sandaran analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad
dengan sendirinya tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka
pintu ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang
merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad
tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang
menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan
yang telah berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau
diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi
keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada
ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[27]
Islam telah meletakkan
dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu
dengan individu, antara individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas
masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana
sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas
keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di
dalamnya di dapati hukum-hukum perubahan
masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di
dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat
terdahulu.
[1]
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi,
tanggal akses, 28 November 2014.
[2]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hlm. 38-39.
[3]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.
[4] M.
Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[6]
Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses
melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html,
tanggal akses 28 November 2014.
[7]Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[8]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[9]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[10] Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.
[11]
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung:
Refika Aditama, 2009) , hlm. 46
[13]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius
Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.
[14]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115
[15]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[16]
Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/,
tanggal akses 28 November 2014.
[17]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[18]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[19]
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[20]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…,
hlm. 41-42.
[22]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyaraka…, hlm, 36.
[23]Elizabeth
K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat…,
hlm. 36.
[24]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[25]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[26] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,
hlm. 186.
[27] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,
hlm. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar