Kamis, 15 Februari 2018

SOSIOLOGI :Pendekatan Studi Islam (Oleh: Ria Astika)



Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun namun Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini lebih diakui karena konstribusi mereka yang dianggap lebih besar daripada Ibn Khaldun. Selain itu ada pula Emile Durkheim dan Max Weber. Pendekatan sosiologi menggunakan beberapa teori yaitu evolusionisme, interaksionalisme, fungsionalisme dan konflik. Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat  dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri. Adapun manfaat dari pendekatan sosiologi adalah: manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis dan manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman.
Keyword: Pendekatan, Studi, Sosiologi.


Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas kontemporer. Ilmu-ilmu  keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam  memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan teologis normatif, astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan dengan ini, pemakalah akan menyajikan pembahasan mengenai pendekatan sosiologis dalam studi Islam.    


A.  Pengertian Sosiologi
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi dari  agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilm ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[2]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.[3]
Sebuah contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology yang berkuasa kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton menamakan hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat, bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada.[4]


B.  Tokoh dan Perkembangan Sosiologi Sebagai Pengetahuan
Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun.
1.      Ibn Khaldun (1332 M)
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan 732 H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis, raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat dan Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi pembahasan tentang sosiologi.[5]
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[6]
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya dalam pembentukan sosiologi.[7]
2.      August Comte (1798-1857)
Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi semakin jelas bentuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839 disebutkannya sosiologi. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang menurut pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari social statics (Statika social atau struktur social yang ada) dan social dynamics (dinamika social atau perubahan social). Meski keduanya dimaksudkan untuk menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa dinamika social lebih penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.[8]
3.      Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya. Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dengan alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.[9]
4.      Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method (1859/1982) ia menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Ia meyakini fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini – misalnya hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama – dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritisi di kemudian hari, termasuk Parsons.[10]
5.      Max Weber (1864-1920)
Weber memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini bahwa tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus membaca dan menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang lain dan memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]
6.      Karl Mannheim (1893-1847)
Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori pengondisian social atau eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang mengaitkan antara pengetahuan dan kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri adalah seorang ilmuwan sosial Jerman.[12]


C.  Pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi
1.      Evolusionisme
Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan perhatiannya pada pertanyaan “apakah ada pola umum perubahan yang bisa ditemukan dalam sebuah masyarakat?” misalnya “apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di Negara berkembang akan sama dengan yang ditemui di Barat?”; “apakah proses pemudarnya masyarakat tradisional sama untuk setiap bangsa dan Negara.[13]
2.      Interaksionalisme
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan kelompok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-simbol atau isyarat. Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari symbol-simbol itu dan dihubungan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif ini sering muncul pernyataannya bahwa suatu kata, benda atau kejadian tidak bermakna apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak sependapat bahwa hal itu memiliki arti khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan kuning lalu lintas”.[14]
3.      Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system yang harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan sebagainya.[15]
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar:
o   Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis adalah menyelidiki mengapa  suatu hal berpengaruh kepada hal lainnya, dan sampai sejauh mana pengaruh tersebut.
o   Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata mapan lainnya.[16]
4.      Konflik
Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang dominan”. Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah fenomena setiap kelompok ingin mempertahankan dominasinya.[17]

D.  Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1.      Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial adalah:
a.       Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
b.      Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.       Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.      Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e.       Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[18]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang politik,
ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.[19]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social, walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.[20]
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[21]
            Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara keseluruhan:
            Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[22]
            Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat  dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.[23]
2.      Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni:
a.       Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b.      Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga mengalami disfungsi.[24] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk “menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[27]
   Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya  di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah  agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.



[1] Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui  http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 38-39.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.
[4] M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[6] Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
[7]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[8] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[9] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[10] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.
[11] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009) , hlm. 46
[12] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,hlm. 34.
[13] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.
[14] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115
[15] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[16] Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/, tanggal akses 28 November 2014.
[17] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[19] Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223. 
[20] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[21]  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.
[22] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyaraka…, hlm, 36.
[23]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat…, hlm. 36.
[24] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[25] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[26]  Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.
[27]  Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar